Senin, 31 Desember 2007

Sejarah yang Fanatik


Dewi Justicia tak selalu adil. Timbangannya tidaklah selalu berat merata. Tengoklah ia menulis sebuah kisah sejarah.
Sejarah hanyalah milik segelintir orang. Milik yang paling berkuasa, milik yang paling berduit, milik yang paling dikenal, dan milik mereka yang paling jahanam dan bangsat. Hanya mereka yang mampu memahat prasasti.
Adakah dunia mengukir sejarah dengan menorehkan nama-nama yang kecil?
Si Udin penanam sayur, si Ayu penjual jamu gendong, Si A Leong penjual nasi uduk, Si Situpang avokat amatir, atau si Budi yang berjalan kaki 8 kilo demi mengajar anak-anak di daerah pendalaman?
Manusia menimbang dengan neraca yang cetek, dalam paradigma yang ringkih rapuh.
Manusia mungkin tak sadar sebetulnya ia dalam neraca milik Si Penimbang Agung, dan daripadaNya hanyalah kata Adil.
Dan sejarah hanyalah bualan semata. Dongeng indah manusia ...

Dualisme


Pualam biru langit suarga bertemu sabaha hijau hutan tropika dalam satu garis horison. Kedua unsur bersatu. Bertemu.
Barangkali dunia ini terbungkus dalam dualisme yang mempesona; Pekat malam dan benderang siang. Indahnya hari dan badai di malam bisu. Panas api dan beku salju. Surga dan neraka. Dewa dan setan. Sanjungan dan makian. Belaian dan pukulan. Ria tawa dan tangis isak. Hidup dan maut ..
Bukankah kedua unsur beradu dan berpadu satu? Bukankah sekalipun berbeda, sperma dan telur bertemu dan membentuk hidup baru?
Dan yang bijak segera tahu: bahwa pujian tak menjadikannya jaminan masuk surga, sedang cacian tak menjadi surat rekomendasi untuk masuk neraka.

Selasa, 18 Desember 2007

Credo


Aku hanya satu orang, tapi bagaimanapun aku tetap seseorang.
Aku tidak bisa melakukan semua hal, tapi bagaimanapun aku masih bisa melakukan sesuatu.
Dan karena aku tidak bisa melakukan semua hal, aku tak akan menolak apa yang bisa ku lakukan.

Senin, 17 Desember 2007

Epifania


Menakjubkan tapi tak mustahil; bahwa Yang Tiada Terbatas menyapa manusia yang tersekat oleh ruang dan waktu, Yang Maha Sempurna berbisik kepada manusia yang ringkih. Keduanya bertemu dalam membran tipis bernama iman. Sungguh, di horison iman itu manusia berusaha merekam perjumpaan yang luar biasa agung luhur itu, sedang panca indra tak mampu lagi bertingkah di depan Sang Ajaib itu.
Dalam kesahajaan, kesederhanaan kandang, Tuhan hadir dalam semua hal yang layak disapa. Auden menulisnya demikian, "Remembering the stable where for once in our lives, Everything became a You and othing was an It". Segala sesuatu yang hadir kini berubah menjadi "Engkau" – menjadi kehadiran Tuhan sendiri, bukan lagi menjadi sekedar objek yang dengan gampang dapat diacuhkan.
Dan ketika semua ‘hal’ diambil alih menjadi ‘Engkau’, Sang Suci menerobos masuk dalam tiap celah dan lekuk manusia. Perjumpaan manusia dalam setiap ‘hal’ adalah perjumpaan dengan ‘Engkau’. Inilah Epifania – ketika Yang Kekal menampakan diri kepada yang fana. Epifania, suatu momen yang berdaya luar biasa sekaligus berbahaya.
Momen yang luar biasa ketika manusia menangkap semua yang hadir disekelilingnya sebagai manifestasi keberadaan Tuhan. Dan pandangan manusia telah diubah. Manusia akan memperlakukan dan memandang semua dengan penuh takjub dan takzim mendalam, tanpa pernah ada rasa merusak dan menangkapnya dalam sesaknya paradigma.
Tapi juga sebagai momen yang berbahaya. Sebab tak semua menjadi senang ketika Tuhan hadir dan menyapa dalam setiap ‘hal’. Herodes, raja itu menjadi kalut, jika tiap ‘hal’ menjadi ‘Engkau’ apakah dunia tidak akan menjadi kacau? Jika Kasih menjelma dalam setiap hal, lalu apa faedah sebongkah ego? Sungguh berbahaya jika tiba-tiba wajah seorang yang dimusuhi, anjing yang berkeliaran, sebuah buletin gereja, atau sebuah cekungan di jalan beraspal menjadi sebuah perjumpaan dengan Sang Illahi. Herodes hanya mampu melihat bentuk.
Di pelupuk iman, menghantar tiga Sarjana dari Timur menemukan Kristus. Kini, dalam iman yang sama, melampaui dimensi bentuk, menghantar kita menemukan ‘Engkau’ dalam setiap ‘hal’.

Herodes: Sebuah Wajah yang Lain


Ada beberapa Herodes yang kita kenal, misalnya Herodes Agripa I (yang membunuh Yakobus dan ditampar malaikat hingga mati), Herodes Agripa II (yang bertemu dengan Paulus). Nah, Herodes yang hadir dalam kisah Natal yang ditulis Matius dikenal dengan nama Herodes Agung.
Mengapa ia begitu ketakutan dan marah ketika mendengar kabar kelahiran Yesus? Mengapa ia berniat membunuh Yesus? Mengapa ia begitu tega dan sadis dalam membunuh anak-anak Betlehem? Siapakah Herodes Agung ini?
Herodes Agung berasal dari sebuah daerah bernama Idumea. Ayahnya adalah seorang Edom (keturunan Esau) yang akhirnya memeluk agama Yahudi dan adalah perdana menteri Yudea, sebuah provinsi Roma waktu itu, dan teman dekat Julis Caesar. Ibunya seorang Arab dari Petra (Yordania). Dengan demikian Herodes bukanlah asli orang Yahudi dan karenanya ia sebenarnya tidak layak menjadi raja atas orang Yahudi. Meskipun demikian dengan kepandaian politiknya, pada umur 25 tahun diangkat pemerintah Romawi menjadi gubernur Galilea.
Sesungguhnya latar belakang dirinya yang bukan orang Yahudi menjadi halangan baginya untuk diterima dengan tulus oleh sebagai pemimpin Yahudi. Herodes lalu berusaha dengan berbagai cara untuk mengamankan kedudukannya. Langkah pertama yang ia lakukan adalah menikahi gadis remaja berdarah bangsawan Yahudi yang bernama Mariamme di mana sebelumnya ia menceraikan dan mengusir Doris (isteri pertamanya) bersama puteranya Antipater yang baru berumur 3 tahun. Dengan menikahi Mariamme maka Herodes mendapat kesempatan emas di mana ia akan dianggap sebagai keluarga raja Yahudi yang adalah penguasa Yudea yang sebenarnya. Menikahinya sama dengan mendapat sekutu yang kuat. (Ket. Herodes mempunyai 10 orang isteri). Setelah menikahi Mariamme, 5 tahun kemudian pihak Roma menetapkan Herodes sebagai ”Raja orang Yahudi”.
Ia berusaha menarik simpati orang Yahudi dengan cara membangun Bait Allah yang sangat megah. Bait Allah yang dikerjakan oleh 18 ribu orang itu sangat besar dan indah dan dilapisi dengan marmer dan emas. Halamannya dikelilingi dengan menara-menara dan dinding benteng. Herodes lebih banyak menghamburkan uang untuk pembangunan Bait Allah ini daripada bangunan lain dalam sejarah Yudea. Ia membangun Bait Allah tersebut di Yerusalem untuk menguatkan reputasinya sebagai orang Yahudi.
Herodes selalu merasa bahwa kedudukannya tidak aman. Apalagi ia mengetahui adanya suatu harapan dalam diri banyak orang Yahudi bahwa akan datang seorang raja Yahudi yang sebenarnya, yakni Mesias. Ia takut bahwa suatu saat orang Yahudi akan melakukan pemberontakan terhadapnya. Itulah sebabnya istana tempat ia tinggal (Herodium) dibuat seperti layaknya sebuah benteng. Ia juga membangun sebuah istana dekat tepi pantai laut mati yang dikenal dengan mana ”Masada” di mana menaranya ribuan kaki di atas gurun Yudea dengan ketinggian 3 lantai. Masada ini dilengkapi dengan gudang persenjataan, gudang makanan, dan tempat persembunyian yang sangat aman. Ketakutan Herodes yang amat kuat membuat ia membangun lebih dari 20 benteng di seluruh kerajannya di mana sinyal dapat dikirim antar benteng dengan menggunakan cermin.
Ketakutan Herodes membuat ia begitu peka dan sangat curiga dengan segala sesuatu yang akan mengancam diri dan kedudukannya. Tidak segan-segan ia membunuh setiap orang yang dianggapnya mengancam diri dan kekuasaannya. Itulah sebabnya perjalanan hidup Herodes sering dikenal sebagai ’perjalanan berdarah’. Suatu saat, karena takut bahwa orang Yahudi akan mendukung iparnya (adiknya Mariamme) yang bernama Aristobulus (17 tahun) yang diangkatnya menjadi Imam Besar, Herodes lalu membunuh Aristobulus dengan cara ditenggelamkan pada sebuah acara pesta kolam. Pembunuhan itu dibuat seolah kecelakaan.
Bahkan Mariamme akhirnya dibunuh mati dalam usia 25 tahun. Tragis memang karena Herodes tega membunuh isteri yang paling dicintainya yang telah memberinya 5 orang putera selama 7 tahun hidup bersama. Walaupun demikian Herodes menjadi stres dan sakit. Dalam kondisi semacam ini tiba-tiba Alexsandra (ibunya Mariamme) mencoba mengambil alih pemerintahan dan mengumumkan dirinya sebagai Ratu. Ini menyebabkan Herodes marah besar dan tanpa diadili, langsung menghukum mati Alexandra. Tindakan herodes ini justru memicu lebih banyak kudeta. Pada usia 65 tahun Herodes mendengar bahwa 2 orang puteranya (anak Mariamme) yakni Alexander dan Aristobulus berencana membunuhnya dan merebut kerajaan. Ini adalah kedua anak dari wanita yang sangat dicintainya. Herodes akhirnya menghukum mati 2 anaknya itu. Selanjutnya di tahun 4 SM, hanya 5 hari sebelum Herodes mati, ia membasmi komplotan yang dipimpin puteranya Antipater. Herodes akhirnya mati pada usia 70 tahun dan dikubur di istana gurunnya, Herodium.
Itulah kehidupan Herodes. Ia adalah orang yang dalam hidupnya penuh ketakutan dan rela melakukan apa saja demi mempertahankan kedudukannya. Ia membunuh adik iparnya sendiri, isterinya, mertuanya dan juga anak-anak kandungnya sendiri. Kesadisan Herodes membuat sampai-sampai Kaisar Agustus pernah mengeluarkan kalimat yang akhirnya menjadi populer pada saat itu yakni : “Lebih baik menjadi babinya Herodes daripada menjadi anaknya Herodes”. (Ket : Dalam bahasa Yunani, kata “anak laki-laki” adalah HUIOS, sedangkan kata “babi” adalah HUOS, sehingga dalam bahasa Yunani kata-kata di atas itu membentuk syair yang indah). Mengapa muncul kalimat demikian? Karena Herodes, demi menghargai dan meraih simpati orang Yahudi, tidak makan babi. Jadi dapat dipastikan babi-babi waktu itu aman dan tidak akan dipotong. Tetapi anak-anak Herodes sungguh-sungguh tidak aman. Mereka dibunuh dan dipotong dengan kejam.
Itulah Herodes! Warna inilah yang ia perlihatkan pada momen Natal ketika Kristus dilahirkan ke dunia ini. Lihatlah kedalam, tidakkah ada dari kita juga yang merayakan Natal sambil tetap memelihara mentalitas Herodes ini dalam hati? Amarah, dendam, kedengkian, serta iri? Berapa banyak di antara kita yang belum mengampuni sesamanya? Sungguh gema natal adalah damai, dan damai tak pernah pernah mampu kompromi dengan amarah, dengki, iri, dendam, dan keegoan.

Ketika Damai dan Adil Berpelukan


Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 diwarnai dengan banyak rencana besar tetapi juga dengan pembinasaan yang lebih besar. Tak pernah bisa masuk ambang hati yang bening bahwa Hitler membunuh jutaan Yahudi hanya karena alasan bahwa Jerman harus menjadi awal dari Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki. Tak pernah bisa masuk dalam gerbang logika kemanusiaan bahwa Stalin dan Mao serta Pol Pot membinasakan sekian juta ‘kontrarevolusioner’ hanya karena tiang sosialisme harus berdiri kokoh, atau rezim Orde Baru yang menghilangkan sekian juta jiwa penduduk karena ‘demokrasi Pancasila’ tak memungkinkan adanya komunis dan tindakan ekstrem di sisi manapun. Namun, sekalipun hal tersebut diluar nalar kemanusiaan, hal itu terjadi dan terekam dalam sejarah kelam peradaban manusia.
Berambisi besar, cita-cita dan rencana besar, dan berujung pada darah yang tumpah. Manusia menjadi penakhluk, manusia ingin berbeda – menjadi subjek atas manusia lain.

Perdamaian Dunia
Tak banyak dari kita yang mengetahui bahwa Hari perdamaian Sedunia selalu diperingati bersamaan dengan hari pertama di tahun yang baru, membuka pintu gerbang satu tahun itu dengan menorehkan rasa damai. Percaya atau tidak, moment ini dihormati oleh bangsa-bangsa yang tengah perperang. Medan perang menjadi lenggang, tentara yang tengah berperang rehat sejenak dan kadangkala menulis sepucuk surat untuk keluarganya yang jauh mengabarkan dirinya masih hidup dalam kancah perang yang sewaktu-waktu bisa meregut nyawanya. Terbersit harapan bahwa perang akan segera berakhir dan semua kembali pada keluarga dan memulai hidup yang baru takala melihat fajar yang merekah di hari pertama tahun yang baru. Sungguh, suatu moment manis yang menembus segi kemanusiaan bagi seseorang yang terjepit oleh ideologis dan paradigma pemikir bangsa.
Kini, makna perdamaian yang awalnya berarti ketiadaan perang (Pax Absentia Belli Est) merembes dalam segmen yang lain. Damai tak hanya ketiadaan keadaan perang, tapi keadaan dimana semua manusia merasa dimanusiakan. Dan keadilan adalah salah satu jalan memanusiakan manusia. “Peace is not the absence of conflict but is the presence of justice” – Damai bukanlah diakibatkan dari hadirnya konflik, tapi justru karena tak berkunjungnya keadilan. Inilah yang dilontarkan oleh Martin Luther King, dan sebagai akibatnya sebutir timah panas menembus tenggorokannya sewaktu ia memperjuangkan hak dan keadilan bagi para pekerja kulit hitam di Memphis, Tennesse, 4 April 1968.
There can be no justice without peace and there can be no peace without justice. Respect for human rights is the only way in which justice and peace can be brought to live together. If these principles had always been respected in history, many lives would have been saved; much suffering and many tears would have been spared everywhere”. Tiada keadilan tanpa perdamaian dan tiada perdamaian tanpa keadilan. Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia adalah satu-satunya jalan dalam mana keadilan dan perdamaian dapat dipertemukan untuk hidup bersama. Jika prinsip-prinsip ini senantiasa dihormati dalam sejarah maka banyak nyawa dapat diselamatkan, banyak luka derita dan airmata dapat diperhemat di mana-mana. Bagi Kardinal Roger Etchegaray, Ketua Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, keadilan dan perdamaian dalah dua sisi dalam sekeping wajah kemanusiaan. Keyakinan yang diamini itu dilontarkannya dalam jumpa pers di Bandar Udara Comoro Dili, Timor Timur pada tanggal 27 Februari 1996.

Perdamaian Bukan Utopia
Sekalipun jalan menuju perdamaian dan keadilan bukanlah jalan yang bertabur bunga mawar, bahkan sebagian malah harus menebus harga sebuah kedamaian dengan butiran timah panas yang menembus raga mereka. Sebut saja misalnya Presiden Abraham Lincoln yang tewas pada tahun 1865, ia berjuang keras menghapus perbudakan dan mengupayakan perdamaian Perang Sipil Amerika yang menjadi rekaman penting dalam sejarah negara tersebut. Nasib yang sama juga dihadapi musisi Inggris, John Lennon yang nyawanya berakhir justru di tangan penggemarnya sendiri – Mark David Chapman tahun 1980. Lennon dianggap sebagai musuh Amerika lantaran melontarkan kritik tajam atas peran Amerika dalam perang di Vietnam dan mengusahakan perdamaian dengan berbagai cara. Namun selalu ada saja tangan-tangan kecil yang berjuang demi persamaan, kemanusiaan, hak, solidaritas, yang berujung pada rasa damai itu sendiri.
Damai bukanlah utopia, bukan suatu hal yang hanya berada di wilayah mimpi. Damai adalah sesuatu yang bisa diciptakan! Mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam ‘Negotiation’ (1981) berujar: “Perdamaian bukanlah suatu utopia, juga bukan suatu cita-cita yang tidak bisa diraih atau di realisasikan. Sedang perang bukanlah suatu kekacauan yang tidak dapat dihindari. Perdamaian adalah sesuatu yang mungkin, dan karena itu mungkin, maka perdamaian adalah kewajiban dan tanggung jawab kita yang paling besar. Memang perdamaian itu sukar dan menuntut banyak kemauan baik, kebijaksanaan dan keuletan, tetapi kita harus mampu mengusahakan kekuatan akal budi untuk mengatasi kekerasan”. Tak seorang pun dapat memandang dirinya sendiri asing dan acuh tak acuh terhadap anggota lain dari keluarga manusia. Tak dapat seorang pun dapat berkata bahwa ia tak bertanggung jawab atas kesejahteraan saudara saudarinya (Centesimus Annus).Jika demikian, maka masing-masing dari kita adalah duta-duta perdamaian yang sejatinya menjaga keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas. Perdamaian bukanlah rasa aman nyaman bagi pribadi dan dengan samar-samar memandang kedukaan yang terjadi disekitar. Sebaliknya kedamaian merupakan wujud ketetapan hati yang kuat dan mantap untuk melibatkan diri demi kesejahteraan bersama, yang juga berarti panggilan khusus untuk setiap individu menjadi ‘penjaga saudaranya’ sebagaimana dititipkan Allah kepada kita.

Hierofania: Kemanusiaan & Solider


Merenungi Natal samahalnya merenungi sepenggal narasi kemanusiaan. Menghirup aroma Natal, adalah menghirup wewangian keIllahian yang terbungkus dalam aroma kemanusiaan. Hierofania (Penampakan Diri yang Tersuci) Allah dengan manusia tidaklah dengan cara spektakuler yang gegap gempita, melainkan sarat dengan kemanusiaan, kesederhanaan, luput dari perhatian dunia.
Palestina di abad pertama ditandai zaman penuh pergolakan dan perubahan besar di bidang ekonomi, sosial, politis dan keagamaan, masa persaingan antara berbagai aliran keagamaan dan masa rawan kerusuhan. Ditambah beban pajak yang mencekik leher rakyat, secara politis kian runyam. Palestina selalu menjadi mainan penguasa besar di sekitarnya. Penguasa Romawi, selalu melukai rakyat dengan kekejaman dan kekerasan yang lambat laun memercik api yang menyulut pemberontakan.
Dalam situasi Palestina yang sembraut dan kacau balau itulah Yesus lahir. Semenjak dalam kandungan ibuNya, Yesus telah mengalami sistem kekerasan penguasa Romawi. Dalam perjalanan pengungsian dari Nazaret di Galilea menuju Betlehem di tanah Yudea yang atas perintah paksa sensus penduduk yang beraroma penarikan pajak, Yesus lahir di tempat yang tidak layak. Bayi mungil dibungkus kain lampin dan dibaringkan di palungan, tempat makanan ternak. Tak hanya sampai di situ, Dia pun mengalami nasib ancaman kekerasan dan nyaris terbunuh oleh Raja Herodes yang bengis dan haus kekuasaan. Jika seandainya Bayi Kecil itu tidak diungsikan ke Mesir, nasibnya akan sama dengan ratusan bayi lain yang meregang nyawa tertembus pedang tentara Herodes.

Keadilan
Natal perdana, bintang kejora bersinar menghalau kelam. Dalam kegelapan peradaban itu, Kristus lahir sebagai fajar keadilan di tengah kegelapan hati manusia. KehadiranNya adalah rentangan tangan Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya.
Yesus lahir dan hadir menerbitkan fajar keadilan bagi mereka yang miskin papa, tertindas, tersingkir, lapar, telantar, para pendosa, orang-orang sakit dan susah. Ia menyampaikan kabar baik bagi orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk mewartakan penglihatan baru kepada yang buta dan membebaskan orang yang terbelenggu dan memberitakan tahun rahmat Tuhan! Yesus bercahaya laksana fajar keadilan dengan solidaritas-Nya kepada semua orang, terutama yang miskin dan menderita.
Demi solidaritas-Nya kepada semua orang, Yesus berhadapan dengan pribadi tertentu yang melintas dalam hidup dan pikiran-Nya, sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun dikesampingkan dan setiap orang dicintai demi dirinya sendiri tanpa pandang bulu leluhur, suku, kebangsaan, kedudukan, kepandaian atau hasil- hasil karyanya. Cinta-Nya sedemikian universal dan paripurna berlaku untuk semua orang yang merindukan keadilan dan kedamaian.
Ditengah keretakan itulah Yesus lahir dan hadir.

Keprihatinan
Rupanya wajah dunia kini dan dua ribu tahun silam tidaklah banyak berubah. Dosa yang sama tetap mewajah. Kini, berselang dua puluh satu abad, aroma keprihatinan yang dihirup oleh manusia di Palestina dulu masih dihirup oleh manusia yang hidup di zaman ini. Masa gelap itu masih menembus dimensi waktu, hingga kini masa gelap itu masih menyeruak dalam kehidupan manusia.
Ratap tangis akibat kekerasan, pekikan atas kekejaman, politik yang kotor merembes dalam kapilaritas kehidupan, sistem perekonomian kompleks yang ditimbulkan oleh segelintir pembesar merugikan rakyat yang kecil, diskriminasi ras dan gender, yang tak lagi mampu memenuhi kebutuhan pangan, pengeksploitasian terhadap manusia dan lingkungan hidup demi memuaskan keegoannya, pengungsian akibat konflik dan perang, ketidakadilan yang berselubung dalam modernitas, ketimpangan akibat teknologi, pengeliminasian terhadap hak asasi kemanusiaan masih mengisi koridor-koridor sebuah ruang peradaban manusia. Seberapa berani dan rendah hatikah kita untuk mengakui hal itu?
Ironis memang bila kesederhanaan dan kemanusiaan Kelahiran Yesus dimanipulasi dan dikhianati oleh manusia. Natal tak lain menjadi ajang konsumerisme. Natal menjadi sebatang pohon terang berbinar, natal menjadi sebuah lagu teduh tenang dan meninabobokan manusia dalam kegembiraan semu. Natal menjadi moment bertukar kado, menjadi sepiring kue tart natal, menjadi kerlap kerlip seindah gantungan dekorasi.

Merenungi Natal samahalnya merenungi sepenggal narasi kemanusiaan. Menghirup aroma Natal, adalah menghirup wewangian keIllahian yang terbungkus dalam aroma kemanusiaan. Sungguh, dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan itulah sebenarnya umat Kristiani setiap tahun merayakan kelahiran Yesus. Timbul pertanyaan, sejauh mana segala bentuk kegiatan dan perayaan Natal yang diselenggarakan umat Kristiani kian menyelaraskan diri dengan-Nya? Sejauh mana spirit kemanusiaan, keadilan, solidaritas masih melekat erat dalam lekak lekuk kita? Jika aroma keprihatinan masih mendominasi kehidupan kita, sehingga manusia masih dicekam kegelapan hidup, tidakkah kita dipanggil menghadirkan fajar keadilan dalam kehidupan bersama? Gema malam di Bethlehem itu adalah panggilan kita untuk peduli dan solider pada sesama.

10 Desember


Setiap makhluk yang menapakan kaki di lorong dunia ini, tak hanya berjalan dalam dimensi ruang. Tetapi juga dalam dimensi waktu.
Ia bebas untuk menorehkan aksara dalam buku pelajaran ‘kehidupan’ sebelum lonceng tanda selesai dibunyikan. Ketika spiral waktu mengantar pada gelanggang moment itu, tak lain adalah kesiapan mengumpulkan buku yang siap dinilai oleh Sang Guru yang Luar Biasa Bijak itu.
Moment berpacu waktu, waktu merekam segala jejak. Ketika jejak berjejal – berbaris dalam susunan verbal, yang ada hanya noktah hitam kecil dalam jagat yang raya.

Aku melamun sejenak, melihat keluar dari horison jendela kelas.
Kutatap kepik di kelopak bunga jambu. Ia tahu apa yang harus ia kerjakan
Lalu ku tatap kembali buku di depanku,
Ku tau apa yang harus kutulis.
Sekalipun itu hanya dalam anganku..

Hari itu 10 Desember ..
dunia berpesta atas hak asasi manusia ..
dan aku merenung, 9.855 hari telah ku jalani ..

Senin, 03 Desember 2007

Doa


Doa adalah keheningan. Doa ada dan tiada, ia masuk dan memantul bayang pada wilayah iman yang takjub takzim sekaligus terpesona pada Sang Pemutar Hidup. Sungguh, di hadapan Sang Tak Bisa Disamai itu, lidah tak bisa bertingkah.

Kamis, 29 November 2007

Bulan


Manusia lebih mudah mengingat siapa yang telah mendekati Tuhan dengan berdiri di atas permukaan bulan ketimbang mengingat siapa yang pertama kali memandang bulan. Bulan pudar ujung meruncing berpendar bersama gemerlap bintang riang ria di atap kenisah semesta. Berkilau. Meredup. Menyapa.
Memandang bulan, pernahkah terbersit sebuah tanya, adakah yang melihat manusia dari bulan, dari bintang, dari jagat yang raya? Jikalau ada, sungguh bahagialah manusia yang terekam jejak peradabannya. Peradaban yang menjalin, berpilin dan memutar spiral kehidupan. Sama halnya dengan bulan dan bintang, berotasi, bergerak dengan roda dan rantai dasyat yang tak terlihat yang di kendalikan oleh Yang Tak Bisa Disamai itu.
Lumrah memang memandang bulan merembes cahaya beserta jagat semesta pekat. Tapi kejadian kerusuhan etnis 1998 di Kalimantan Barat membuat penduduk lebih suka mencari aman nyaman dalam rumah dibanding memandang alam terbuka. Manusia sejenak lupa. Di bawah bentangan cakrawala, dibawah bulan merona meruncing, dibawah hingar bingar gemerlap bintang, manusia dengan idealis merobek kemanusiaannya sendiri. Di atas, semua organ bersatu dalam harmoni mendalam; di bawah, manusia berserakan dalam kepingan arogansi yang terpatri.

Selasa, 27 November 2007

MendengarkanMu


Konon, Santo Fransiskus Asisi belajar kebijaksanaan dari Tuhan sendiri. Tuhan mengajarkan jejak-jejak semesta dan segala kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya kepada Fransiskus seperti seorang guru kepada muridnya. Sebegitu intim dan akrab, hingga jika seluruh Kitab Suci dimusnahkan, Fransiskus masih mampu menangkap segala denyut keillahian dalam jagat yang maha raya.

Sayangnya, aku tidaklah seberuntung Fransiskus Asisi. banyak orang disekelilingku yang berupaya mendidikku, berupaya menanamkan konsep keillahian itu padaku. mereka berkata: aku mengatakan ini kepadamu dari Allah. Barangsiapa mendengar aku juga mendengar Tuhan sendiri. mereka berkata-kata, bermain dengan aksara, memaparkan ideologi tentunya menempelkan namaMu disana. Mereka berupaya menyesakkanku dengan dogma, ajaran, peraturan, hingga tak aku tak punya ruang lagi untuk mendengar suaraMu sendiri.

Tapi, aku tak bisa menyalahkan mereka. Aku harusnya yang di persalahkan. aku tidak cukup kuat untuk membungkam mereka, tak cukup kuat menghalau kebisingan suara itu, tak cukup kuat untuk bertahan, hingga aku mampu mendengarkanMu yang melengkung dalam hening dan bening.

Kamis, 15 November 2007

Kapal


Kapal yang aman selalu berada di dermaga.

tapi bukan untuk itu kapal dibuat.


Manusia selalu aman berada di zona yang nyaman.

tapi bukan untuk itu manusia dicipta.

Senin, 12 November 2007

Epidemi AIDS: Satu Dunia Satu Harapan


Personel band legendaris Queen – Freddy Mercury yang bernama asli Farrokh Bulsara, akhirnya mengaku kepada publik setelah lima tahun divonis positif HIV. Kepada publik ia berkata, “Bagaimanapun, sudah tiba waktunya bagi teman-teman dan fans saya dimanapun untuk mengetahui kebenaran. Saya berharap semua orang akan bergabung dengan dokter dan semua pihak untuk menanggulangi penyakit yang mengerikan ini”. Dua puluh empat jam setelah pernyataan itu dilontarkan, ia menghadap Sang Khalik akibat infeksi oportunstik, di Kensington, London, 23 November 1991 silam. Penyanyi kondang sekaligus gitaris dan pencipta lagu itu pergi diusia yang muda – 45 tahun, dengan harapan bahwa semua orang akan peduli pada persoalan HIV/ AIDS.
Sejak pertama kali ditemukan di Conpenhagen tahun 1979, AIDS telah mengubah dunia. Sekurangnya 20 juta jiwa meninggal dunia dan 40 juta lain terinfksi. AIDS telah menjadi salah satu penyebab utama kematian bagi manusia dengan rentang usia 15-59 tahun. Dengan demikian, AIDS menjadi beban besar dan epidemi yang membalikan peradaban dan perkembangan sejarah manusia.
Data resmi yang dilaporkan Departemen Kesehatan RI, sampai tahun 2006 kemarin sekurangnya mencatat 8.194 kasus. Angka ini mengalami kenaikan 2,3 lipat dari tahun 2005 sebesar 3.513 kasus. Sesungguhnya tak kurang dari 110.000 jiwa di Persada Nusantara ini yang terjangkit AIDS. Dan angka tersebut menjadikan Indonesia berada di urutan ke 47 dari 163 negara yang terbanyak penderita HIV/AIDS. Negara yang berada di urutan pertama adalah Afrika Selatan sebanyak 5,5 juta orang dan India 5,2 juta jiwa orang. Selain itu, Departement RI juga mengeluarkan statistik terdapat 3,61 per 100.000 penduduk di Tanah Air ini terjangkit penyakit AIDS dengan rasio pembandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 5,12 : 1. proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal dunia adalah 22,83%.
Dalam Negeri ini, Kalimantan Barat (4 dari 100.000 orang terjangkit AIDS) menduduki posisi keempat dari 32 propinsi setelah Papua, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau. Sementara Bali, Irian Jaya Barat dan Maluku menyusul dibelakang.

Stigma Sosial dan Diskriminasi
Beberapa saat lalu, aktivis kesehatan Margaret Marabe menuturkan bahwa ia menyaksikan para penderita AIDS dikubur dalam keadaan hidup oleh anggota keluarganya di wilayah Tari, Southern Highlands, Papua Nugini, dengan dalih takut terjangkit penyakit mematikan tersebut. Sekalipun pengakuan Marabe belum terbukti benar tetapi sungguh mengundang keprihatinan yang mendalam.
Awal tahun ini, manajemen Fujiwa Manokwari dikecam telah melakukan diskriminasi dengan menolak kehadiran orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di kamar hotel mereka yang nota bene sudah check in dan sudah di konfirmasikan sebelumnya. Sementara itu Ester Wanda, direktur dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mencermati masalah HIV/AIDS di Papua (3.377 ODHA, yang sebagian besar disebabkan oleh hubungan seksual) menuturkan bahwa masyarakat masih memberikan stigma buruk kepada ODHA dan cenderung mendiskriminasikan mereka. Diskriminasi semakin tampak ketika pemerintah daerah DPRD menggondok Rancangan Peraturan Daerah propinsi tentang Pembangunan Kesehatan di Papua yang berisi rencana memasang alat diteksi seperti mikrochip pada tubuh penderita untuk memantau penyebaran dan aktivitas yang dilakukan oleh si penderita.
Stigma sosial tak lain seumpama cap, suatu penilaian yang dijatuhkan kepada seseorang atau sekolompok yang dianggap tercela. Tak bisa disangkal stigma sosial berhubungan kuat dengan kekuasaan dan dominasi di masyarakat yang berpuncak pada aklamasi penilaian tersebut dan berlanjut pada beberapa kelompok yang kurang dihargai, dikucilkan oleh kelompok superior. Stigma sosial berujung pada diskriminasi dan mendorong lahirnya pelangaran HAM, yang dalam hal ini adalah ODHA. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV/AIDS dengan menghambat usaha pencegahan, perawatan, pemelihara kebisuan dan penyangkalan tentang HIV/AIDS.
Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga utuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Beberapa contoh diatas adalah beberapa gambaran dari sikap diskriminatif, sebuah tindakan yang merupakan suatu bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia.

Tema Hari AIDS sedunia 2007: Kepemimpinan
Tema Hari AIDS Sedunia telah ditentukan oleh Kampanye AIDS Sedunia sejak tahun 1997, dan hingga kini terus berkembangkan oleh komite yang terdiri dari jaringan-jaringan AIDS global. Global Streering Committee AIDS menggoreskan tema ‘Kepemimpinan’ dalam pertemuannya yang kelima di Jenewa tanggal 8-9 Februari 2007. Tujuan yan ingin dicapai dati Kampanye Hari AIDS adalah memastikan para pemimpin dan pembuat keputusan untuk menepati janji-janji mereka untuk AIDS.
Ketika epidemi itu muncul hingga saat ini, pengalaman dengan jelas memperlihatkan bahwa banyak individu yang yang penuh komitmen melibatkan diri dan dengan kegigihan menghadapai tantangan dan hambatan. Mereka memiliki motivasi, aksi, inovasi dan visi kedepan. Pemimpin yang diusung oleh tema kali ini bukanlah pemimpin yang kerap kali duduk di posisi tinggi. Tapi kepemimpinan yang diusung adalah kepemimpinan individual yang dengan dirinya memberikan contoh dan mendorong sesamanya melibatkan diri dalam memerangi epidemi yang ganas tersebut, kepemimpinan yang ditampilkan dalam setiap tingkat – dalam keluarga, dalam masyarakat, bangsa-bangsa dan secara internasional.
Tema ini diharapkan mampu menumbuhkan kuncup inspirasi dan melahirkan embrio pejuang-pejuang baru dalam berbagai kelompok, jaringan baik di tingkat nasional, maupun di tingkat internasional.
Mantan presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela yang juga pejuang hak asasi kebijakan Apartheid di Afrika, mengumumkan akan menyenggarakan konser internasional untuk memperingati hari AIDS sedunia di Johannesgurg pada tanggal 1 Desember 2007 dengan tujuan menyadarkan semua orang bahwa ancaman HIV/AIDS menjadi momok yang menakutkan di dunia terutama di benua hitam itu. Setahun lalu, ketika memperingati hari AIDS sedunia, mantan sekjen PBB, Kofi A. Annan, mengatakan, “Selama saya mempunyai tenaga, saya memegang teguh janji bahwa hanya pada hari ini, tahun ini, atau tahun depan, setiap hari dalam hidup ini adalah perang sampai epidemi ini terkalahkan”.
Sadar bahwa kita hidup dunia yang sama, bertumbuh dengan harapan yang sama yaitu epidemi ini akan berakhir. Bagaimanapun, dunia ini menanti komitmen Anda.

Kisah Burung Beo


“Selamat pagi sayang..” kata seorang ibu gendut berpipi merah berambut keriting kepadaku. Wajahnya secerah pagi itu dan senyumannya tertawa lebar, selebar piring yang dibawanya, memperlihatkan deretan gigi kuning bagai biji jagung berderet dengan rapinya.
“Koak! Koak! Koak! Lamat paghi! Lamat Paghi!” seruku riang gembira begitu melihat ibu gemuk yang bekerja sebagai tukang masak pastoran membuka sangkarku dan memasukan lobak kesukaanku. Dengan segera ku sambar lobak itu.
“Ayo sayang, bilang ‘terima kasih’” kata ibu gendut itu mengajariku kosakata baru.
“Tima Kaih, koak!” katanya meniru kata ibu juru masak dapur pastoran itu. Ibu gendut itu lantas tertawa, jemari tangannya menutup sangkarku dan melenggang pergi laksana bebek mau pergi bertelur.
Entah berapa lama aku tinggal di sangkar ini. Yang aku tahu bahwa aku tinggal disangkar yang kecil. Sangkarku ini digantung pada sebuah sangkar yang lebih besar dimana tinggal seorang bapak yang tampak bijaksana dan penyanyang. Ia selalu memberiku pisang. Orang-orang yang lewat biasanya memanggilnya monsinyur ..dan aku menyapanya “Lamat paghi montiknul .. koak! Koak!” aku selalu memanggilnya begitu entah siang, entah senja, entah malam .. yang penting setiap ketemu selalu “Lamat paghi montiknul”. Dan melihatku beliau akan tersenyum, dan kalo lagi ada pisang, diberinya aku pisang jumbo. mungkin bapak ini adalah kepala adat atau mungkin kepala suku bangsa manusia. bangsaku tak ada sesepuh seperti itu.
Dihadapanku ada sangkar yang jauh besar sekali yang luar biasa megah, yang mempunyai lonceng yang pada waktu tertentu, lonceng itu berdentang keras sekali. Ding dong .. ding dong …yang pada saat tertentu orang-orang datang dan bernyanyi di dalamnya. Kadang-kadang membosankan, bikin ngantuk. Tapi kadang mengejutkan tidur siangku dengan lagu-lagu yang aneh-aneh. “koak!” dibangsaku tak ada lagu aneh seperti ini, yang paling mahir pun hanya bisa nyanyi; “bourang khakhak tuuo .. hingtap di cendelow .. koak .koak ...”
Tak jauh dari sangkarku, ada juga sangkar yang agak kecil. Yang pada waktu tertentu anak-
anak lucu datang ke sangkar ini. Mereka tampak ceria, tapi kadang dengan wajah cemberut. Aku suka memperhatikan sikap polos mereka. Sesekali aku pernah memperhatikan mereka. Mereka berteng¬ger dekat kayu panjang, mengatupkan sayap, menutup mata dan paruhnya komat kamit. Katanya sih komunikasi dengan Tuhan.
“koak!” aku semakin bingung, bangsaku juga gak mengenal hal ini. Berbicara dengan Tuhan dengan tidak mereka lihat?
Setelah itu seorang dari anak-anak itu akan berpidato. Kadang anak-anak berkumpul ini akan gaduh sekali. Kadang kalo gak ada kumpul di sangkar itu, mereka akan ke lapangan di dekat sangkar mereka. Mereka akan memainkan benda bulat yang ditendang kesana sini. Mereka ceria. Kadang tertawa lepas. “koak!” aku hanya bisa memandang mereka, atau kalo lagi cuek aku lebih suka memperhatikan binatang lain yang suka berbunyi gukk gukkk, si “Hiro centil” orang memang¬gilnya demikian, yang kemudian aku tau bahwa ia berkaki empat, atau kadang aku lebih suka memilih memperhatikan sepa¬sang cecak di dinding luar toilet sambil memadu kasih.

“hei bulung itam! Lagi ngapain lu” suara bocah laki-laki yang serak-serak basah itu membuyarkan lamunanku. “koak! Koak!” seruku kaget sambil meloncat di kayu kecil tempet tenggerku.
“eh Tenk, jangan ganggu tuh burung dah.. macem kau tak ade kerja jak!” seru seorang perempuan berkulit sawo matang dengan mata melotot. “koak! Koak!” aku berseru girang karna ada yang belain aku. Cewek lagi .. suit suit ..
Ternyata cowok gempal itu tak kalah jahil, “eh bulung item, ayo bilang a San jelek, a San jelek .. ayo bilang..” kembali cowok sambil mengepal tindu di depan sangkarku.
Aku kaget bukan kepalang. “ak Cang Celek, ak Cang Celek .. koak! Koak!” seruku ikut-ikutan sambil mengepakkan sayapku ..
“pletakkkkkk ...” kontan saja cewek bermata besar itu melemparkan topi aneh dari plastik (helm) keras ke arah cowok gempal itu.
“koak koak!!” rasain kata ku, mungkin mereka tak mengerti. Tapi hatiku riang dapat menonton adegan india dimana cowok gempal nakal dikejar ama cewek bermata besar yang tak kalah serem ...”koak! koak!”
Baru saja kejar-kejaran, eh datang gadis cantik lainnya. “kak Vivi, knape ye burung nih item? Jelek banget ye? Coba putih kan keren” Ujar seorang cewek jangkung tinggi semampai (sepuluh meter gak sampai) dengan suara bergetarnya yang khas. “ya biarin sajalah lah Fi, mungkin waktu induknya mau bertelur ngidam burung cucok rowo yang itam kali” jawab gadis yang berkulit sawo matang yang juga semampai (semeter setengah gak sampai)
“koak!.. koak! Ak Cang celek!” aku seakan berusaha berkata “lu tuh yang jelek!” berusaha membela diri tapi aku tak mengerti apa yang kuucapkan. Burung beo kan itam semua! Bego sekali mereka ini. “koak! Koak!” .. aku juga bingung, nama mereka mirip Fifi (dibaca: Pipit) dan Vivi (lagi-lagi dibaca Pipit) .. lha, mereka juga dari keluarga burung pipit tho?
Tiba-tiba datang cowok kacamata dengan kalemnya melemparkan kacang yang entah dari mana datangnya. Hatiku senang. Dapat kiriman makanan. “Tima kaih, tima kaih .. koak!” aku berteriak ingat kosakata yang diajarkan ibu juru masak pastoran yang gendut dan berpipi merah.
“Eh Lix, loe kasih kacang expired ya. Dah kadaluarsa ya? Tar mati burang kau ..” si Vivi semampai berujar
“Burung? Punya sapa?..” si kalem melirik ‘burung’ yang lain.
Cewek semampai hanya terkekeh-kekeh dengan pipi merona sambil mencomot kacang dari tangan cowok kalem dan melemparkannya ke kandangku!
Tuing! .. Kacang memang masuk kandangku, tapi malah terselip diantara kayu dibawah sangkarku.
Oleh si semampai yang sepuluh meter gak sampai, sangkarku digoncang-goncang. Dipikir kacangnya bisa disa dikeluarkan.

“koaaakkk ..koaakk!! montiknul! Koak! ..” aku kaget setengah mati, ku kira anak-anak mao menjadikan ku lalapan sore mereka. Aku teriak keras-keras mao melaporkan pelanggaran HAB –Hak Asasi Burung ke bapak montiknul. Tapi percuma. Anak-anak itu mana ada yang peduli dengan burung-burungan. Malah oleh seorang cewek berrambut ikal berkulit item dibilang: “ih dah item, jelek, bayak gaya, bicara pulak..”
“eh Retno! Ini burung cendrawasih pak uskup nih. Loe hina-hina! Makin item kayak nih burung baru tau luu” kata si cowok kalem sembari melemparkan kacangnya.
Si Retno yang tak terima hinaan si kalem langsung pasang kuda-kuda, siap menendang! Hiattt ...
Cowok jangkung berkacamata melangkah dengan cepat melihat adiknya pasang kuda-kuda. Ia pikir adiknya ini akan bermain kuda lumping. “wei ngapaen sore-sore maen kuda lumping?” Merasa ada kakaknya, Retno mengadukan segala nasibnya, bahwa ia disamakan dengan cendrawasih uskup yang jelek ..
“koakkk ..Koakk .. ak cang celek!” sekali lagi aku membela diri bahwa aku tidak jelek.
“Bego amat sih! Ini burung beo tau! Bukan cendrawasih!” ujar cowok beridung antik
Baru ku tahu bahwa cowok berhidung antik itu bernama Edo.
“Kok disebut burung beo??” tanya polos Tifani seakan tanpa dosa. “Karna kerjanya cuman bisa membeo” ceplas ceplos si semampai Vivi (dibaca pipit) sekenanya.
“Coba kau ajarin dia bilang ‘Felix Pisang’” kata seorang cowok berhidung antik, menghela nafas setelah puas menendang benda bulat di lapangan belakang.
“Janganlah lha Do, sekretaris apa kau? Tugas kau kan memuaskan ketua!” ujar Fifi.
“Koak .. koak!! Elix Icang, Elix Icang .. koak!!” kataku mengikuti tanpa disuruh.. kontan kataku membuat mereka tertawa. Keceriaan memba¬hana. Si kalem tertawa simpul dan membalikkan badannya. Dilemparkan kacang yang digen¬gamnya ke arah cowok berhidung antik. Akhir¬nya, bisa ditebak.. sebutir kacang menyumbat hidungnya yang antik .. aik!

“Kasian juga yah jadi burung beo” tiba-tiba si gadik cilik yang baru keluar dari sangkar dimana anak-anak sering berkumpul. “lho kenapa, Alma?” tanya si Tifani dan semua mata berpandangan mencari tau
“Ya Habisnya cuman bisa mem-beo” jawab cewek itu cengar cengir.
“Yahh itu mah semua juga pada tau kalee” si idung antik berujar.
“Bagus kalo lu tau Do, gue kira lu kagak tau. Abis lu kan juga suka mem-beo” si cewek semampai Vivi (dibaca pipit) kembali berujar.
“Emangnya gue doank yang bisa membeo? Lu juga biasa membeo. Contoh nih ye, abis doa, loe bilang AMIN kuat-kuat. Padahal lu kan gak tahu AMIN warga negara apa? Iya kan? Itu kan membeo..” jawab si idung antik tak mao kalah.

“Koakkk .. Koak ..” aku hendak berkata: benar benar. Tapi kayaknya suaraku tak diperhatikan mereka.
“Ah Edo” ujar si Vivi dengan mata genit, “apakah kau kira kau tak cukup membeo? Ketika kau mencatat notulen rapat, kau kan tinggal membeo, mengutip yang dibicarakan di rapat? Nah loo .. ini kan membeo?..”
“Eh jangan maen tuduh-tuduhan. Kita mesti sadar sendiri kali” ujar si semampai Fifi yang sekarang malah mengamati semut merah di dinding, ingat akan cinta kasih di sekolah SMU.
“Bener sih kata wakil ku” ujar si cowok kalem.
Aku hendak berkata benar, tapi suara yang aku keluarkan: “elik icang .. koak!!!”
Alhasil aku dilempar kerikil ..

“Pokoknya jangan mau kaum muda yang suka membeo deh! Kita kan punya jati diri kita sendiri, kita punya pikiran diri kita sendiri, jangan cuman mau ikut buntut orang.. gimana teman?” ujar cowok adiknya si kalem sambil berapi-api!
“Hidup Chris! ...merdeka!” si idung antik tak kalah berapi-api.
“eh tunggu dulu, kalo membeo orang yang rajin dan sukses, membeo orang yang baik dan saleh? Masa gak boleh?” si Tifani kembali bertanya tanpa dosa.
“Maksud die, jangan diajak makan, kau ikut makan, diajak keluyuran, kau ikut saja, diajak kawin, kau juga manggut-manggut ..” ujar abangnya Retno yang jangkung dan berkacamata.
“oooo..” semua menjawab serempak, tentunya tanpa tenor, bariton, sopran dan alto ..
“Iya ya kita mesti dewasa, kita tau harus kepada siapa kita membeo. Bukankah Kristus adalah yang harus kita Beo?” si cowok kalem Felix bergumam ..

“Kalian kulang keljaan ya? Sole-sole gini bicala soal BEOL MEMBEOL.. mending kalian pe el ka pe, atau losalio sana ..” jawab cowok gempal yang doyan makan.
“Bukan BEOL kak Budi! Ini soal BEO” si kecil Alma menjelaskan.
“Oh, lalu ngapain kalian membahas BEO yang BEOL?” cowok gempal kembali bertanya.

Kembali si semampai Vivi (dibaca pipit) berulah. Dipegangnya kening cowok itu. Sekali lagi wajah si Vivi (dibaca pipit) bersemu merah.
“BUKAN! Kita lagi bicarain kalau kita jangan seperti burung Beo yang suka asal membeo doank. Kita mesti punya jadi diri dan berkembang sebagai kaum muda” kembali si Alma menjelaskan dengan sabar.
“Benel juga! Kita tidak boleh BEOL sembalangan. Eh kan kita mau ulang tahun tuh, kita ajalkan saja bulung ini nyanyi mals kita? Gimana?” cowok itu cekikian merasa idenya brilian.
“Ha? Aku diajarkan bernyayi? Alamakk” .. batinku, membaca saja saya tidak bisa ..koakkk!!! ..

Dipanggilnya cewek cantik berambut ikal manis, “sini Nia, tugas lu ajarin si bulung itam ini nyanyi mals kita ya!” perintah cowok itu lagi..

“eh burung, ambil suara .. doooo~” Nia mengajariku bernyanyi.
“koakkkk ....”
“bukan koak, tapi doooo~”
“koakkkk koakkkkk ...” cuman itu yang ku bisa ku keluarkan lewat keronkonganku
“Disinilah kita Putra Putri Kristus ...” “coba dikit nyanyi burung jelek ..” gerutu Nia.
“ak cang celek .... elik icang .. koak!!!”

“Begonya! Membeo pun tak bisa ...” gerutu kesal Nia dan melenggang pergi mirip bebek pergi bertelur ..

Sore semakin menggelinding, anak-anak hari ini mendapat satu pelajaran, bahwa hidup ini terlalu sayang bila hanya dijalankan dengan membeo, terlalu miskin bila hanya bermodal ikut-ikutan tanpa punya kepribadian.
Bagaimanapun mereka tak akan seperti aku, tinggal dalam sangkar kecil, dan hanya bisa menghibur dan berkoakk koak ria.

Mentari senja semakin memudar, dan dalam hening ku dengar suara: “disinilah kita putla putli Klistus belsatu dalam santo Klistofolus, malilah belsama kita belsatu padu ...”
Dan aku semakin yakin, itu suara siapa ...

“Koakkkkkk...”



Artikel ini dikirim untuk sahabat para putra putri altar katedral st. Yosef.

Jumat, 09 November 2007

Tuhan dan KeajaibanNya


Diguncang keluar dari alur persepsi, diperlihatkan sebuah adegan yang mengatasi interval dimensi waktu dan tempat, diluar nalar bagi yang cukup waras, dan merembes dalam keringkihan pengetahuan. Kejadian itu perlahan merambat dalam celah kecil kepercayaan, dan di gelanggang iman tersebut, keteguhan merambat mengganti keraguan.
Kubur kosong menjadi awal tanda Kristus bangkit, yang berlanjut dengan penampakannya beberapa kali kepada para pengikutNya. Kali ini, ia menampakan diri, hadir ditengah para pengikutNya sekalipun pintu dan jendela terkunci rapat, serapat ketakutan mereka terhadap bangsa Yahudi. Ia hadir untuk memberikan harapan baru, memberikan kekuatan baru, ketika harapan dan kekuatan iman yang dimiliki pengikutNya tinggal selembar membran tipis dalam pelupuk iman.
Ia menghembusi mereka, menyalaminya berkali-kali dengan ucapan ‘damai sejahtera’. Sepenggal sapaan yang cukup hangat untuk menghilangkan dahaga kecemasan dan kegalauan. Sepenggal kata sederhana yang cukup merajut kebingungan dan ketidakpastian menjadi pengharapan baru.
Ia membuka lenganNya, membiarkan Thomas mencucukan jarinya dalam lukaNya. Ini memang benar Tubuh yang tertembus paku, dan Tubuh yang hancur. Satu Tubuh yang jasmani yang lapuk didera dan ditikam, beralih mejadi tubuh yang mulia yang mengatasi hukum kimia dan fisika.
Ia masih berada di situ. Berdiri dengan tangan terentang.
Kita bebas memandang TubuhNya yang luka. Jika itu memampukan kita untuk melihat segala sesuatu dibalik peristiwa itu. Kehidupan yang baru dibalik kematian, kemuliaan dibalik kehinaan, kehangatan dibalik keringkihan, kekuatan dibalik ketakutan dan kegalauan.
Kita masih diijinkan untuk menyentuh lukaNya jika itu memampukan kita melihat lebih dalam bahwa ada selalu ada keajaiban ketika melihat dunia semesta ini dengan iman dan harapan yang baru. Kita masih boleh mencucukan jari kita dalam lambungNya jika itu memampukan kita masih meragukan eksitensi diriNya yang tak berawal dan tak berakhir serta segala keajaibanNya disekeliling kita.
Banyak orang beranggapan bahwa berjalan di atas air atau di udara adalah sebuah keajaiban. Tetapi bukankah keajaiban sesungguhnya bukan berjalan di atas air atau di atas udara, keajaiban yang yang sejati adalah berjalan di atas permukaan bumi ini. Setiap hari kita terlibat dalam keajaiban yang bahkan tidak kita sadari lagi; langit biru, awan putih, daun hijau, bola mata hitam yan selalu penuh dengan rasa ingin tahu milik seorang anak kecil. Semua adalah keajaiban, ketika Tuhan mencelikan mata kita.Yakinlah. Tidak ada hal riil yang bisa diancam. Tidak ada hal tidak riil yang eksis. Dan didalamnya Tuhan mendapatkan tempatnya.

Kamis, 08 November 2007

Minggu Ini Miliknya


Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Pagi itu sinar mentari beringsut masuk ke dapur, menerpa sebuah mangkok melamin biru di atas meja. Lalu membiaskan pendar warna yang mempesona. Potongan kembang kol yang putih, seledri dan brokoli yang hijau segar, irisan tomat dan paprika yang merah ranum, wortel yang jingga kesumba, belum lagi ditambah potongan jamur, jangung muda, dan kacang polong. Disamping mangkok biru melamin, ada juga mangkok putih yang isi separuh penuh daging kepiting yang telah dikupas, beberapa butir telur ayam, seikat baby kailan, dan tepung dalam stoples violet bening.
Dalam sesaat, dengan mempesona, diubahnya semua bahan di meja menjadi menu santap siang yang lezat. Sepiring Cap Chai, Sepiring Phu Yonghai, Sayuran baby kailan pun tetap merona hijau, dan sepiring ayam Nanking. Semuanya disajikan diatas piring putih ceper di meja makan bersama sebakul Nasi Hainan. Lengkap dengan Nai Cha, susu yang dicampur dengan teh dan dessert berupa potongan buah sunkist.
Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Sama halnya dengan Minggu ini, Minggu-minggu sebelumnya dan setelahnya adalah minggu yang penuh dengan warna. Ia tak hanya piawai meracik masakan Chinesee. Masakan seperti Ayam Gulai, Empal, Kripik Balado, sampai dengan Tom Yam dan Manggo Salad khas Thailand pernah masuk dalam daftar panjang menu yang pernah dibuatnya. Ia tau persis kelapa muda seperti apa yang mampu melembutkan daging Ayam Kalasan, dan ia tau persis seberapa banyak siung bawang untuk membuat menu Kepiting Saos Padang.

Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Hari dimana suaminya seharian dapat makan di rumah setelah seminggu penuh disesaki dengan kesibukan di kantor, meeting dengan klien, menjamu rekanan bisnis, sampai hal entertain corporate relationship. Hari dimana kedua putranya Pascal dan Corel (mereka diberi nama demikian karena sang ayah sebegitu tergila dengan dunia software komputer) dapat makan dirumah setelah seminggu si sulung sibuk dengan kerja, membuat program yang sesuai dengan keinginan klien hingga membuat daily report yang menumpuk dan si bungsu bebas dari tumpukan tugas kuliah dan kerja kelompok dan acara bersama teman-temannya.
Hari dimana ia dengan sukacita memasak seharian dan menjadikan acara masak sebagai ritual yang dapat ia berikan kepada keluarganya. Ia akan memenuhi meja makan dengan aneka menu makanan dan minuman yang bervariasi setiap Minggu. Ia tahu dengan persis selera suami dan kedua anaknya. Ia akan membuatkan minuman es kelapa muda bercampur sirsak atau singkong yang di kukus lembut dan bersiramkan santan atau susu kesukaan anak sulungnya, dan perkedel kentang bercampur dengan daging sapi yang dicincang halus untuk camilan anak bungsunya. Ia akan lebih berhati-hati untuk suaminya yang sering mengeluh sakit di bagian dadanya. Walau ia khawatir suaminya didekati oleh penyakit jantung, ia tak berani mencegahnya bermain golf siang bolong, walau batinnya hendak mengusulkan jalan di pagi hari di kompleks perumahan jauh lebih baik. Bagi suaminya ia akan membuatkan juice buah segar atau Chinesse tea sebagai minuman. Ia akan menjauhkan jeroan, goreng-gorengan dan memilih minyak sayur terbaik untuk memasak.

Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Hari dimana seharian Ia tak mau seorang pun membantunya di dapur, walaupun itu kedua pembantu yang dipekerjakannya. Pernah suatu ketika, pembantunya melihat betapa ia kerepotan dan kelelahan menyiapkan makan siang. Ia menolaknya. Tapi pembantu tetap berinisiatif membantunya memotong daun bawang. Ia kembali menolaknya dengan tegas. Akhirnya, ia menceritakan kepada Mbok Ati, bahwa menyiapkan makan di hari Minggu adalah pekerjaan yang paling membahagia­kannya. Hal yang sangat bernilai, sangat mendalam, dan sangat pribadi. Ia menjelaskan dengan bahasa yang paling sederhana kepada pembantunya karena yakin pembantunya tak akan habis mengerti mengapa ada kebahagiaan yang sedemikian rupa dibalik kesibukan dan kelelahan yang dimiliki.
Ia mengatakan bahwa dengan tangan sendirinyalah ia akan memasak, tanganlah yang akan memasak sendiri, lidahnyalah yang akan mengecap setiap masakannya, dan wajahnyalah yang akan diterba oleh uap air dari panci yang ia gunakan untuk memasak. Ia sendiri yang akan melewati setiap rangkaian ritual itu dengan cinta yang ia miliki.

Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Awalnya ia tak perlu menungu hingga akhir pekan untuk memasak bagi suami dan anaknya. Dulu, suaminya hanya staff kecil di perusahaan Content Provider hingga ia dapat meluangkan banyak waktu bersama keluarga. Dan kedua anaknya adalah anak sekolahan yang betah dirumah, yang selalu bercerita apa saja yang terjadi di sekolah padanya. Namun kini, perubahan itu semakin mengental dan mengendapkan ruang sempit baginya, yaitu hari Minggu. Ia tak yakin sejak kapan embrio perubahan dalam keluarganya bermula, tapi yang pasti kini suaminya telah menjadi Business Development Manager di Perusahaan Content Provider dan Pascal menduduki posisi Gateway Asisstant Manager. Keduanya disesaki dengan pekerjaan yang tak pernah selesai. Sedang Corel sedang getol-getonya dengan kuliahnya. Saatnya mereka merasakan masakan dari tangannya hanyalah di Minggu. Itupun tidak penuh satu hari. Sebab pagi hari suaminya bermain badmiton, dan kedua putranya ada acara renang. Saatnya berkumpul bersama hanyalah siang hingga sore ditutup dengan misa bersama. Minggu siang ketika suami dan anak-anaknya berkumpul dan mengecap masakan yang dimasak dengan tangannya adalah saat yang membahagiakannya. Pujian anak-anaknya, “enak .. enak! Tambah donk ma” adalah kata yang mampu melambungkan jiwa ke surga.

Tapi pagi ini, semua menjadi lain.
Ketika ia sedang memotong buncis yang akan dimasak, ia mendengar pembicaraan anak bersama ayahnya. “Pa, makan siang kita Soto Kudus di Kedoya aja ya..” ujar Pascal. “Atau kita ke Sushi Tei aja di mall, sekaligus jalan-jalan” usul Corel. “wah boleh juga tuch! Di mall kan banyak pilihan. Kita bisa memilih Platinum, Gokana, Pizza Hut, Eaton, atau Samudra Suki ..”
Ia menjadi gamang mendengar pembicaraan itu. Kepalanya menjadi berat dan pandangannya meredup hingga cahaya terang mentari di dapurnya hanya terlihat bagai kerdip lilin yang jauh. Apalagi ia mendengar sendiri yang dikatakan suaminya, “Boleh-boleh aja, pilihlah apa yang suka dan cocok dengan kita..”.
Ia terus memotong walaupun ia tau bahwa buncis yang ada di talenan itu telah abis dipotong. Ia terus memotong walau tahu itu adalah jarinya. Ia tak mampu lagi mendengar lebih lanjut. Ia juga tak merasakan sakit walau jarinya terluka. Percakapan di pagi itu tak pernah ada dalam benaknya sebab ia yakin keluarganya tak mungkin merampas Minggu miliknya. Lalu dunianya menjadi gelap. Brukkk ...
“Ma bangun maaa ...” panggil Corel, “Ayo lekas bawa ke rumah sakit.. hidupkan mobil” suara suaminya didengarnya secara samar-samar ..

Siang ini, di jok mobil belakang ia bersandar dengan tangan diperban oleh dokter. “Ma, mama udah gak kuat kerja lagi ma. Kita pesan katering aja ya ma. Biar mama istirahat saja” ujar Paskal di disela alunan suara Josh Groban, You Are Loved – Dont Give Up. “Atau jika Mbok Ati tidak bisa memasak, bukankah lebih baik kita mengambil seorang pembantu lagi?” ujar suaminya. “kamu terlalu lelah hingga jarimu teriris..” suaranya menjadi pelan. “Ma, jika mama mau aku bisa buatkan list telepon toko-toko makanan yang bisa di delivery kok ma. Mama tinggal telepon aja .. ya ma ya ..”
Mereka berbicara bersahutan. Mengema dalam mobil yang melaju menuju mall. Tapi bagi perempuan separuh baya itu tak ingin mendengar apa-apa lagi, setiap kata yang diucapkan terbang bersama butiran debu yang ia lihat di luar sana. Baginya dunia ini menjadi hening, menjadi sebegitu dingin.
Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya. Seharusnya.

Jumat, 02 November 2007

Anak-anak: Generasi yang Terhempas




Menjadi manusia – dalam pengertian dilahirkan ke dalam spesies manusia – harus dapat dilihat juga dalam pengertian proses menjadi manusia. Dalam hal ini, anak hanyalah seseorang yang berpotensi menjadi manusia, dan harus tumbuh dalam kemanusiaan.
Sidang MU PBB tanggal 20 November 1989 telah disahkan Konvensi Hak-hak Asasi Anak (KHAA). Hal penting yang terkandung dalam pasal-pasal KHAA antara lain menyebutkan: “Setiap anak secara kodrati memiliki hak hidup dan harus dijamin kehidupan dan perkembangan anak secara maksimal”. Kini, setiap tahun dalam tanggal yang sama dunia diajak kembali meninjau sejauh mana kita memperlakukan anak-anak, sejauh mana kita telah memberikan keamanan, perlindungan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan dari mereka.

Mengacu pada laporan Organisasi Kesehatan Dunia WHO, setiap tahun kurang lebih 10 juta anak-anak di seluruh dunia meninggal dunia sebelum mencapai usia lima tahun dan 150 juta anak-anak menderita kekurangan pangan. Dalam setiap tahunnya terdapat kurang lebih 700 anak menjadi korban penyelundupan manusia dan anak-anak diperdagangkan layaknya budak. Dalam hal ini PBB melaporan bahwa permintaan akan tenaga kerja murah begitu banyak, dan kebutuhan anak-anak dalam perniagaan seks semakin meningkat.
Organisasi Buruh Dunia ILO menyinggung 245 juta anak berusia 5 hingga 17 tahun di seluruh dunia menjadi tenaga kerja. Diantara angka tersebut, sebanyak 8,4 juta anak menjadi korban aktivitas ilegal seperti perbudakan, penyelundupan manusia, eksploitasi seks dan dipaksa terjun ke medan militer. Perlu dicatat bahwa sebanyak 2 juta jiwa anak mengalami pelecehan seksual dan pornografi.
WHO melaporkan bahwa virus Aids selain menjadi faktor utama yang menyebabkan anak-anak kehilangan orang tua, juga meyebabkan kematian 4,5 juta anak di dunia dan 1,5 juta anak di dunia mengidap penyakit tersebut. 7 juta anak di bawah usia lima tahun meninggal dunia karena mengidap lima jenis penyakit yang bisa diobati; TBC, diare, malaria, batuk berdarah dan kekurangan pangan. Malaria merupakan pembunuh nomor satu di Benua Afrika dan menyabet urutan pertama dalam menyeret anak-anak dibawah umur 5 tahun dalam liang kubur.
Angka-angka diatas tak hanya sampai disana. Lebih dari 100 juta anak mengalami kekurangan vitamin A dan terancam mengalami kebutaan sedang 20 juta yang lain kekurangan yodium dan terancam mengalami kemunduran mental. Selama perang dan kekerasan terjadi, 2 juta anak meregang nyawa dan 6 juta rekannya cedera permanen.

Lihatlah kondisi anak-anak di Indonesia. Adakah mereka lebih baik dari anak-anak di Palestina yang merasakan mesiu lebih banyak dari susu ibu mereka? atau anak-anak Irak kini banyak yang terserang kanker darah akibat senjata kimia yang digunakan dalam perang dan sebagian dari mereka menjadi cacat akibat terkena ranjau darat sisa-sisa perang? atau anak-anak Libanon banyak yang kehilangan ayah yang gugur dalam perang dan anak-anak Afghanistan kehilangan tempat tinggal yang hancur akibat serangan pasukan asing?
Data memaparkan bahwa sekurangnya 300-400 ribu bayi yan lahir per tahun di Tanah Air dengan berat badan kurang dari 2.500 gram. Jika tidak ditangani dengan serius, maka akan megalami kematian, keterlambatan perkembangan fisik dan kecerdasan (Untoro, 2005). Tidak mengherankan bila Persatuan Dokter Anak Indonesia (PDAI) mengeluarkan data tingkat kematian bayi 36 per 1000 kelahiran hidup. Bahkan, dalam setiap satu jam sekali tercatat ada 10 dari 20 balita yang meninggal adalah bayi yang umumnya menderita gangguan penyakit malnutrisi, DBD, polio, tuberculosis dan diare.
Masalah kemiskinan dan kerentanan sosial ekonomi tetap tinggi sekalipun sudah ada pemulihan dalam batas tertentu. Dengan total utang 1.318 triliun rupiah dengan jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa, maka setiap penduduk Indonesia (termasuk anak-anak dan bayi yang baru lahir) terbebani utang sekitar 7 juta rupiah (Kompas, 20 Mei 2006). Organisasi Anak-anak Sedunia UNICEF memperingatkan Indonesia, bahwa bangsa ini akan kehilangan beberapa generasi yang disebabkan oleh kekurangan gizi, kekurangan pendidikan dan penurunan status kesehatan berjuta anak Indonesia. Dan kerap kali terdengar skandal sosial busung lapar, malnutrisi, dan gizi buruk melanda anak-anak di negeri ini, yang mestinya secara de facto memposisikan Indonesia sebagai red zone dalam pemenuhan hak-hak anak.

Harus diakui dengan rendah hati, tahun demi tahun menyisakan catatatan yang memprihatinkan mengenai anak-anak sedunia. Perhatian kita terhadap anak-anak tak melebihi perhatian kita terhadap perkembangan ekonomi kapitalis yang kompleks, atau perhatian terhadap masalah birokrasi dan politik, dan masalah lain. Di usia yang dini, mereka harus menjalani kehidupan dengan paradigma yang dimiliki oleh orang dewasa. Karena tidak mengenal cara untuk mempertahankan dirinya, anak-anak menjadi sasaran pertama dari kekejaman, perang, ketidakadilan, kemiskinan, penyakit, dan berbagai masalah yang melanda dunia. Dan tanpa kita sadari, anak-anak hanyalah objek dan korban dari generasi yang berada di atasnya.
Boleh saja laporan pernyataan anak-anak sedunia 2007 menyebutkan bahwa pembangunan seteraaan gender akan berjalan seiring dengan pencapaian pembangunan milenium atau MDGs. Boleh saja pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Program Keluarga Harapan (PHK) bulan Juli 2007 silam yang memberikan bantuan tunai kepada 500 ribu ibu rumah tangga miskin (RTM) yang sedang hamil, memiliki balita atau anak usia sekolah SD-SMP dengan tujuan menekan jumlah penduduk miskin dan mendekatkan akses ke pelayanan kesehatan dan pendidikan (Antara, 11 Juni 2007). Tetapi usaha tersebut belum sepenuhnya berarti, tanpa partisipasi personal dalam kesadaran yang paripurna.
Kekuatan dalam mendidik anak tidak terletak pada perkataan atau pengajaran, melainkan pada kepribadian dan tindakan kita, tidak pada pengajaran yang ideal melainkan pada hidup (Andrea Murray dalam How to Raise Children for Christ). Panggilan setiap pribadi dan keluarga untuk anak adalah pengabdian dalam pada kehidupan (bdk.Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio, 22 November 1981).

Bagaimanapun, kepahitan kemiskinan, ratapan pedih atas perang dan konflik yang memakan korban, air mata yatim piatu, kesakitan akibat tindak kekerasan, diskriminasi ras dan gender, serta buta huruf, penculikan, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan organ tubuh anak, menggunakan anak-anak sebagai media pengedar narkotika masih terus mengancam. Dan benang kusut skandal tersebut akan terurai ketika kita mulai mendengar pekikan sunyi mereka, mulai dengan hati membaca aksara yang keluar dari keringkihan raga mereka.
Anak-anak adalah milik dari masa depan yang tak pernah kita miliki!
** artikel dimuat di majalah Duta - Keuskupan Agung Pontianak, vol November 2007

Rabu, 31 Oktober 2007

Damai vs Pertentangan




Tak selamanya pribadi yang melakukan kebaikan akan menerima imbalan berupa kebaikan pula. Tak jarang bagi mereka malah akan disingkirkan dan dihancurkan. Tapi dalam keajaiban tersebut, selalu saja ada tangan-tangan kecil yang mengusahakan kebaikan.
Anna Politkovskaya, Ibu dua anak ini lahir pada 30 Agustus 1958 di New York, dari orangtua seorang diplomat Uni Soviet keturunan Ukraina untuk PBB, dunia kewartawanan adalah hidupnya.
Setelah lulus dari Fakultas Jurnalisme, Lomonosov Moscow State University tahun 1980, ia menjadi wartawan koran Izvestia. Dan terus meniti karirnya hingga tahun 1994, menjadi wartawan Obshchaya Gazeta sebagai kolumnis dan editor di bagian kriminal. Lalu menjadi wartawan Novaya Gazeta sejak Juni 1999. Ketika Rusia menancapkan kekuasaannya atas Chechnya, Politkovskaya menjadi salah satu wartawan yang paling vokal dan tajam mengkritiknya.
Laporan Politkovskaya membuat Kremlin mendidih. “Saya telah menyaksikan ratusan orang disiksa. Saya hampir tidak percaya bahwa penyiksaan seperti itu dilakukan oleh orang-orang yang menjalani pendidikan sekolah seperti saya.” tulis Politkovskaya yang pada tahun 2000 dan sebagai hasilnya ia ditangkap FSB dan ditahan selama tiga hari tanpa diberi makanan dan minum.
Ia juga menceritakan tentang para pengungsi yang kelaparan dan kedinginan tinggal di tenda, penculikan, pembunuhan, penghilangan serta pemerkosaan yang dilakukan tentara Rusia dan aparat keamanan Chechnya dukungan Rusia. Dan akibat dari tulisannya, ia nyaris kehilangan nyawanya. Ketika dalam perjalanan ke Beslan untuk ikut menyelesaikan krisis penyanderaan sekolah, ia diracun. Beruntung ia masih bisa diselamatkan dari insiden tersebut.
Namun semuanya berakhir pada 7 Oktober 2006, bertepatan dengan hari ulang tahun Vladimir Putin, ia ditemukan tergeletak di depan pintu lift apartemennya di Moskwa. Di sisinya tergeletak pistol Makarov dan empat selonsong peluru. Ia menjadi wartawan ke-23 di Rusia yang dibunuh pada tahun 1996-2006.
Nabi Isa menyatakan bahwa Ia datang ke muka bumi bukan membawa damai, melainkan pertentangan. Dalam banyak hal, mengatakan 'ya' kepada Yesus berarti mewujudkan damai bahkan melalui cara-cara yang kadang keras dan berujung maut. Yesus menuntut kesetiaan, keberanian dan kerelaan kita untuk keluar dari zona nyaman dalam menyatukan salib kita dengan salib-Nya.Anna Politkovskaya telah menjawab ‘ya’ dengan hidupnya. Dan ketika pertanyaan yang sama bergulir, semoga jawaban kita selantang Politkovskaya.

Kegembiraan Dalam Kefanaan Hidup



Hans Christian Andersen mengarang 156 buku cerita yang sudah diterjemahkan ke dalam ratusan bahasa. Beberapa di antaranya sudah begitu meluas sampai banyak orang tidak tahu lagi bahwa itu adalah karangan Andersen. Misalnya cerita tentang raja yang keranjingan pakaian mewah, lalu ditipu pembeli kain “begitu halus sampai tidak tampak”. Padahal kain itu sebenarnya tidak ada sehingga raja menjadi tertawaan rakyat, karena raja yang merasa berpakaian kain halus gemerlap itu tampil telanjang di depan rakyatnya. Atau cerita seorang gadis yang terpaksa menyalakan sebatang demi sebatang korek api demi menghangatkan tubuhnya diantara dinginnya salju, sampai ketika ia menyalakan batang korek api terakhir dan muncul neneknya dalam gemilang cahaya dan membawanya pergi menuju negeri yang lebih hangat.
Andersen lahir tahun 1805 di Odense, Denmark. Ayahnya seorang tukang sepatu berusia 22 tahun, ibunya berusia 37 tahun. Ayahnya suka membacakan cerita kepada Andersen namun ia kehilangan ayahnya sewaktu ia berusia 11 tahun. Ibunya kemudian menjadi seorang tukang cuci. Dengan bantuan beberapa dermawan, ia masuk perguruan tinggi yang memilih fakultas sastra.
Cerita yang sajikan oleh Andersen seolah memaparkan sebuah proses yang bernama hidup itu sendiri. Dalam ceritanya terselip berbagai kisah tantangan dan kesulitan, tokoh selalu mendapat hikmahnya. Sang tokoh terkadang bertemu dengan yang baik, kadang yang buruk, saling berganti, dan saling menjalin. Mungkin kita masih ingat dengan kisah bebek yang buruk rupa, yang pedih perih karena dianak tirikan, tetapi menemukan dirinya dalam ‘komunitas’ sesungguhnya, angsa yang anggun. Atau barangkali masih ingat gadis yang lahir dari kelopak bunga dengan tubuh sebesar jempol, ia kedinginan, ketakutan, tetapi terkadang menemukan katak, kumbang, kupu-kupu yang membawanya dalam aman.
Pengalaman baik dan yang buruk silih berganti dalam jalan hidup ini. Mungkin begitu pula kita memandang hidup dengan kacamata iman. Hidup ini adalah sebuah proses yang membawa sekelumit suka dan duka, kebaikan dan keburukan, rasa aman dan ketakutan, pujian dan cercaan, sanjungan dan celaan, dan sebagainya. Tapi beruntung kita mempunyai harapan dalam Kristus, yang memampukan kita tetap bertahan.
Tuhan akan mendewasakan kita dengan setiap peristiwa yang tampil dalam gelanggang hidup ini, sampai suatu saat Ia datang dan merengkuh kita dalam dekapanNya. Kita tak akan pernah meminum cawan pahit kecuali yang endapannya madu, tak akan pernah berjalan dalam lorong hidup yang gelap kecuali berakhir pada terang, tak akan pernah kehilangan seorang sahabat sampai kita menemukannya dalam sinsingan fajar pagi. Anda dapat marah dan mengumpat Tuhan, tapi tak dapat menghindarkan Ia untuk menemukan dan mencintai Anda.

Selasa, 30 Oktober 2007

Akselerasi


Di alam ini, pertumbuhan melibatkan akselerasi dan transformasi berkala, pada suatu waktu segala sesuatu berjalan dengan amat lambat seolah-olah tidak terjadi apapun, sampai tiba-tiba kulit telur retak, cabang-cabang bermekaran, ekor berudu menyusut, daun-daun berguguran, burung-burung berganti bulu dan dimulainya musim penghujan. sama halnya dengan manusia. sekalipun tanda-tanda tidak sejelas dunia flora dan fauna, fungsi waktu transisi tetaplah sama.

Sang Tabib Ajaib dan Si Lumpuh yang Ringkih


Samuel Butler, seorang penulis Inggris pernah menggoreskan kata-kata ini dalam buku hariannya: “Hidup bukanlah suatu ilmu pengetahuan pasti, melainkan suatu seni”.
Bukan tanpa dasar Butler yang hidup diakhir tahun delapan belasan itu menuliskan kalimat tersebut. Ia menuliskannya sebagai refleksi panjang atas hidupnya sendiri. Ia yang sudah lama makan asam garam di dunia ‘kuli tinta’ setuju bahwa jalan hidup ini tak selamanya bertabur bunga mawar tapi hidup ini malah terkadang jalan hidup menjadi kecil dan penuh onak duri, tak selamanya sebuah hidup bak cerita dongeng yang gemerlap tapi tak jarang hidup ini penuh dengan adegan kelam, didera sakit, dicemooh oleh kegagalan, dan sebagainya. Roda kehidupan akan terus berputar, kadang diatas, kadang dibawah.
Hidup tak hanya terdiri dari terang, tetapi juga terselubung gelap. Dan justru dalam gelap itu manusia belajar mengetahui indahnya terang. Hidup tak selamanya penuh cinta dan damai, tetapi juga terkadang terselip konflik dan kesalahan. Dan justru dalam konflik dan kesalahan itu manusia belajar menghargai kedamaian, penerimaan, dan kasih. Hidup bukanlah cerita panjang tentang kesuksesan, terkadang tak jarang banyak kerikil kegagalan. Dan justru dalam kegagalan, manusia belajar menghargai usaha dan ketekunan untuk mencapai kesuksesan.
Hidup bukanlah ilmu pasti, ia tetap sebagai sebagai misteri, sebab tak pernah ada yang bisa menentukan masa depan. Seperti kata orang bijak bahwa manusia hanya merencana dan berusaha, selanjutnya Tuhanlah yang bekerja. Bagaimana manusia menjalankan hidup ini dalam situasi secemerlang dan sekelam apapun yang ia hadapi adalah sebuah “seni” dimata Butler. Sebuah seni bagaimana melihat hidup ini dan merasa nyaman di gelanggang yang digeluti setiap waktu, yaitu hidup, walau sepekat apapun itu.
Kita tentu boleh menganggukan kepala tanda setuju, boleh juga menggelengkan kepala tanda ketidaksetujuan kita terhadap pernyataan sebuah pernyataan singkat Butler diatas. Bahkan kita juga boleh berkata “No Comment”.
Kelak jika kita laksana roda di bagian bawah, disaat kita merasa disesaki dengan berbagai masalah dan beban hidup, disaat kita dicemooh kegagalan dan menjadi ‘lumpuh’ dalam hidup ini, saat itu kiranya kita masih ingat Injil ini, Yesus yang tergerak hatiNya untuk menyembuhkan seorang lumpuh karena imannya. Saat seperti itu kiranya kita masih mempunyai secuil iman untuk datang kepada Yesus dan membawa segala ‘kelumpuhan’ kita.
Imanlah yang mendongkrak semangat kita untuk tetap mampu berdiri tegar. Bukankah ribuan mukjijat tak akan pernah terjadi tanpa sebongkah iman yang terpatri dalam nubari?Manusia sejatinya harus ‘kuat’, sebab manusia yang tak pernah bisa menjadi ‘kuat’ dalam situasi ‘kelam’ itu akan terkikis dari kegembiraan dan akhirnya terhempas dari prosesi kehidupan itu sendiri.

Memandang yang Illahi


Coba melamun sejenak, dan memanjakan pikiran dengan sentuhan imajinasi. Andaikata Bunda Maria menampakan diri, apa yang akan dilakukan?
Bisa diduga jawaban Saudara tak akan seliar yang dilakukan oleh Filipus Neri. Konon, Santo itu pernah ditampaki oleh Bunda Maria. Hasilnya Bunda Maria tersebut diludahi oleh si Santo. Cuih! Kontan aja, Bunda Maria langsung marah dan protes, ‘Lho sampean itu begimana tho? Lha wong sudah saya tampaki, kok malah ngidoni (ludahi)?!’
Si Filipus Neri menjawab: ‘saya ini pendosa besar. Tidak mungkin Bunda Tuhan Yesus menampakan diri kepada saya. Juga seandainya Bunda menampakan diri kepada saya, tidak mungkin saya bisa melihat Beliau. Mata saya sudah dibutakan oleh dosa-dosa saya. Jadi kamu pasti Bunda Maria palsu’. Lalu Bunda Maria diludahi sekali lagi, cuih! Untungnya, bener saja, Bunda Maria berubah menjadi setan dan langsung menghilang.
Ironis memang, Filipus Neri, orang kudus yang rendah hati, dan merasa tidak pantas mendapat penampakan dari Bunda Maria. Sekarang, bila mendengar ada penampakan Bunda Maria disana dan disini, maka orang-orang akan berbondong-bondong kesana kemari hanya untuk melihat sosok Bunda Maria walau hanya sekelebat. Mungkin zaman kini, orang-orang merasa pantas melihat Bunda Maria.
Terlepas dari penampakan diatas, Mama Maria tetaplah sebagai pribadi, sebagai seorang Ibu yang dihormati bukan karena semua keajaiban yang ia lakukan tapi justru ketaatan yang menyebabkan peristiwa ajaib tersebut terjadi, bukan juga karena diangkat ke surga dan dimahkotahi tapi justru kerendahhatian dan cintanya kepada Sang Perencana Agung.
Mencintai Tuhan dengan seluruh hati berarti dengan seluruh hati pula mengucapkan kata ‘ya’ kepada kehidupan dan segala peristiwa yang terjadi didalamnya. Menerima tanpa syarat segala sesuatu yang direncanakan Tuhan dalam hidup ini. Memiliki sikap seperti Bunda Maria ketika berkata: ‘sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadikanlah aku menurut perkataanmu’. Mencintai Tuhan dengan sepenuh hati terangkum dalam kalimat ini: ‘Terima kasih untuk semua yang telah berlalu. Terjadilah segala yang akan terjadi – ya aku terima”Bunda Maria adalah sosok yang menarik hal-hal ilahi dalam hidupnya tanpa mengeliminasi getir dan pahitnya hidup. Bunda Maria tahu betul bahwa Allah tidak mati ketika kita tidak lagi percaya kepada keilahian yang personal, tetapi kita mati ketika tidak lagi diterangi oleh sesuatu yang gaib, yang senantiasa memancar, yang senantiasa baru, yang sumbernya di luar jangkauan akal budi.

Bulir Kehidupan


Mungkin kita akan tersenyum simpul dengan cerita ini, tapi hal ini sungguh pernah terjadi. Kepada Romo yang setelah memimpin ibadat di suatu lingkungan, seorang pemuda bertanya: “Mo, gini Mo, Gereja senantiasa membuka diri kepada budaya setempat tuh. Misalnye, ada misa adat etnis Jawa, etnis Batak sampe ada yang etnis China tuh. Nah kenape semua diganti aja Mo. Misal nih ye perumpamaan Pokok Anggur Kehidupan. Kan kite tau sama tau Mo kalo tanaman anggur tuh jarang Nusantara, kenapa gak sekalian diganti dengan pokok rambutan, duren, atau pokok singkong. Kan lebih membumi Mo?”
Romo yang tersentak kaget juga memberi jawaban yang bikin kaget, “Hare gene baru bicara inkulturasi dalam Gereja? Bisa aja diganti semua, misal perumpamaan Akulah Roti Kehidupan diganti dengan Akulah Gudeg Yogya, atau Nasi Padang Kehidupan, atau Soto (dari) Kudus Kehidupan, atau Bakmi Bangka dan sederet menu lain. Mau seperti itu? Ya gak bisa begitu toh”
Kepada pemuda yang cekikikan dan beberapa ibu yang melotot, Romo lalu melanjutkan ceritanya.
Ia pernah dikirim kabar dari rekannya yang ditugaskan dipendalaman. Disana rupanya umat tak pernah melihat atau mengimajinasikan domba, sehingga seruan Anak Domba Allah diganti menjadi Anak Babi Allah. Disini kita mengganggap babi adalah binatang yang malas dan kotor, tapi disana babi dianggap seperti harta yang tak ternilai. Jadi kalo ada pemuda yang jatuh cinta, ia merayu pujaan hati dengan; cantik benar kau bagai babi.
Kali ini giliran beberapa ibu cekikikan dan pemuda tadi menjadi melotot. Romo lalu meneruskan. Kisah tadi memang ada. Tapi itu bukan inspirasi kita untuk mengubah simbol gandum dan anggur dalam Tubuh dan Darah Tuhan. Tanaman anggur yang merambat itu butuh perawatan dan pemangkasan yang ekstra lebih bila dibandingkan tanaman lain. Minuman anggur diperas dari ratusan butir anggur. Dan roti terbuat dari ratusan bulir gandum. Kitalah bulir-bulir gandum dan ranting-ranting anggur yang berkembang. Kita diproses dan disatukan dalam satu persaudaraan yang besar, Gereja.
Roti dan anggur menjadi simbol keberadaan, pengorbanan dan kekuatan Tuhan. Bagi yang beriman, lewat sekeping roti benar-benar menjadi daging, mengalirlah segala rahmat Ilahi. Dialah santapan para penziarah. Para kudus bahkan menimba kekuatan lewat sakramen ekaristi yang mulia itu.Tuhan hakekatnya ada dimana-mana. Ia ada didalam api tapi Ia bukanlah api. Ia ada dalam badai, tapi Ia bukanlah badai. Ia dalam wajah sesama, tapi Ia bukan sesama. Ia ada dalam nasi, tapi Ia bukan nasi itu. Ia adalam secangkir teh hanget, tapi Ia bukanlah teh hanget.

Monolog: Kayu Salib


Aku tak peduli seberapa bermartabatnya manusia itu, aku tak akan pernah peduli dengan seberapa hebatnya mereka menata moral mereka. Yang aku peduli adalah perlakuan mereka terhadapku. Kucatat dalam serat-seratku, kupahat dalam lekuk sekujur tubuhku akan semua hal yang mereka perbuat padaku. Mereka mencampakkanku di pojok sudut kota yang kumuh. Mungkin tak satupun dari manusia itu ingat bahwa aku ada di pojokan sana. Mereka menutup matanya, tenggelam dalam ritual jahat yang mereka anggap suci. Lihat saja, ludah, keringat, debu, berbaur membentuk sediman di air hujan terserap dalam serat tubuhku. Lantas matahari dengan bijak dan lembut akan mengambilnya kembali lembab dalam uap sambil menjanjikan tempat yang hangat bagi fungi berpesta di tubuh ini. Yang aku tahu, mereka harus membayar lunas semua ini!
Aku tak pernah berdecak kagum pada segala yang diperbuat oleh manusia. Mereka adalah bangsa yang munafik dan jahat. Aku membenci manusia, membenci semua kemunafikan dan kejahatan yang mereka anggap sebagai suatu kebaikan. Suatu saat mereka dapat merajut kata-kata yang manis, licin dengan lidah menari-nari mengajak yang lain tenggelam dalam larutan makna bagai magma yang meletup-letup, tapi disaat lain dibibir yang sama keluar jerat yang membentangkan maut. Lidah yang sama, lidah yang mengeluarkan manis madu menjadi lidah sepahit empedu. Mulut yang sama, mulut yang berteriak hosana menjadi pekikan maut. Mereka mengoral, menjilat pada yang lebih berkuasa. Kata dengan ribuan makna jahat menjadi semakin sarat, menggema dari bibir yang manjemuk dibanding dengan sebuah suara yang hening bersemayam dalam hati yang terdalam.
Aku tak pernah mengubris akan segala sesuatu yang diberi manusia. Mereka memberi kepingan emas sebagai silih atas dosa, tapi dari tangan yang sama mereka merampas hak sesama yang kecil. Mereka boleh membelai dan menepuk pundak orang yang mereka suka, tapi dari tangan yang sama mereka menusukan belati yang membiaskan nyawa. Mereka boleh saja menipu dengan senyum dan raut wajah yang segar, tapi tak seorangpun tahu bahwa hatinya merancang yang keji terkecuali ia dan Tuhannya.
Aku tak pernah menaruh hormat pada sebuah hati yang tersembunyi dalam rongga dada tiap manusia. Hati yang sejatinya mengalunkan kebaikan kehilangan tuts untuk menggemakan kidung kemanusiaan. Hati yang sejatinya mencatat dan meng­ingatkan akan kemurnian hidup telah kehabisan tinta untuk tetap bisa menggoreskan makna sejati dalam kefanaan hidup.
Aku bahkan tak mampu menguraikan kuasa apa yang dimiliki manusia hingga ia berhak untuk mendorong sesamanya pada maut, memahkotahinya dengan duri kematian. Tak pernah bisa masuk ke dalam neuron otakku untuk bisa mencerna kekuasaan seperti apa yang dimiliki manusia hingga mereka memperbolehkan Tubuh yang terkoyak cambuk dan hancur itu memikul tubuhku yang dipundakNya.
Aku tak akan pernah mempuyai waktu yang cukup untuk menghitung setiap goresan dan lubang di tubuhnya yang hancur. Aku tak pernah paham alasan apa hingga Tubuh ini tak pernah berontak, diantara pekikan, makian. Tubuh sedemikian kuat diantara cambuk, luka, peluh, darah, dan air mata.
Aku bertanya, berteriak, meronta, memberontak.Aku mendengar jelas ketika paku menembus tangan dan kaki Sang Tubuh, menancapkannya pada tubuhku. Aku mendengar sesayup, ‘Kini, Aku menyatu dalam tubuhmu, darahKu meresap dalam ronggamu. Lihat! kita telah memenangkan mereka. Mereka menembus ragaKu tapi tidak jiwaKu..”

Rabu, 24 Oktober 2007

Spirit yang Menghidupkan


Pesawat yang saya tumpangi itu turun merendah kemudian landing setelah beberapa menit hanya berputar-putar diatas Bandara Supadio. Asap pekat yang membuat jarak pandang hanya hampir lima ratus meter membuat pilot ekstra hati-hati untuk landing. Belasan menit lalu, dari dalam kabin pesawat, yang aku lihat hamparan kelabu yang sesekali melihat garis merah menyala dibawah sana. Sembab mataku melihat langit tidak lagi biru, hutan tak lagi hijau, yang ada hanya warna cakrawala kelabu bersemu kemerahan dengan matahari pucat menggantung diantaranya.
Suhu udara yang memang tinggi mencapai 39°C dan kering mempercepat api meluas. Selain itu, tanah gambut yang pada lapisan atasnya kering, tetapi di bagian bawahnya tetap lembab dan basah karna mengandung air dimana kobaran api akan bercampur dengan uap air, asap yang dihasilkan lebih banyak enak kali lipat dibanding dengan lahan kering.
Kebakaran yang terjadi seringkali diakibatkan oleh petani yang membuka lahan dengan cara yang konvensional, pembakaran ladang yang berujung pada api yang tak kunjung padam dan merambah area hutan. Kebakaran hutan menjadi menu utama media massa nasional selama beberapa hari.
Ketika aku melewati perjalanan darat dari Pontianak menuju Sanggau pada tahun berikutnya, memang kulihat sebagian lahan telah menjadi ladang penduduk, sebagian menjadi padang ilalang dan tanaman liar lain, sebagian hanya menyisakan sisa kenangan betapa hebatnya api melewati pohon-pohon tegak yang menghitam.
Namun ada yang menarik. Mataku besar memandang pucuk-pucuk hijau berebut menyembul dari pohon hitam pekat yang telah terbakar tetapi masih berdiri tegak, dan kulit coklat baru mulai menggantikan kulit pohon yang telah pupus dimakan api. Aku terperanjat, bahwa ada kehidupan baru yang mulai tumbuh bersemi dari pohon hitam terbakar bagai seogok arang itu.
Api memang bisa menghanguskan daun-daunnya dan membakar batangnya, tapi sesungguhnya api tak mampu membunuh inti kehidupan dari pohon karet tersebut. Batang hitam yang melapuk tersebut bukanlah barang mati sebab ada kehidupan yang mencuat dari dalamnya.
Mungkin sama halnya dengan gum tree tersebut, misteri spiritual selalu mengingatkan kita bahwa dibalik luka dan duka, dibalik takut dan maut, dibalik kekerdilan iman dan kekalahan, ada kehidupan baru yang absolut, ada fajar merenggut kelam. Dan Spirit itu, memampukan kita mempunyai ‘jiwa’ baru untuk senantiasa bertumbuh.

Membunuh Tuhan?


Du kannst Gott hassen, du kannst Gott schimpfen.
Du kannst Gott tot schlagen, du kannst Gott verfluchen.
Aber Du kannst ihn nicht hindern, Dich zu suchen und Dich zu lieben!

(Anda dapat membenci Tuhan, Anda dapat memaki nista Tuhan. Anda dapat memukul Tuhan sampai mati, dan Anda dapat mengutuk Tuhan. tetapi Anda tidak dapat menghindarkan Ia untuk mencari dan mencintai Anda!)

Indahnya Maut


My Savior comes and walks with me,
And sweet communion here have we;
He gently leads me by the land,
For this Heaven’s borderland.
My Heaven, my home forevermore!

Edgar Page dalam A Little Bit of Heaven mengajariku tentang maut. Banyak sekali artikel, puisi, kata-kata indah yang menggambarkan kematian. Tetapi seindah apapun itu, aku tidak pernah dapat mengeliminasi sikap takut dan gentar bila berhadapan dengan sosok yang bernama Maut.

Ku sadari, bersiap-siap untuk meninggal tidak dapat dilakukan hanya dalam menit-menit atau hari-hari terakhir hidup di atas ranjang menunggu maut menjemput atau sejak dokter memvonis mengidap penyakit yang tak tersembuhkan. sebagaimana hidup, persiapan itu berproses, setapak demi tapak sepanjang hidup ini. Rahner dalam bukunya On the Theology of Death menulis ‘Sikap berjaga-jaga, ingat akan Hal Terakhir, menantikan Tuhan, bersukacita karena Ia dekat, keluh kesah alam ciptaan menantikan penebusan, pemuliaan tubuh karena ini mungkin sudah mulai bahkan dalam hidup ni, memulai usaha perlahan-lahan mendekati cita-cita Firdaus, kebebasan dengan menjalani hidup laku tapa’.

Gita Sang Surya yang diciptakan oleh mistikus Fransiskus Asisi menjelang kematiannya mendidiku dalam memandang maut. Dalam kerapuhan raganya, ia mengidungkan, ‘Terpujilah Engkau Tuhanku atas saudari kami Maut jasmani, daripadanya tak ada orang yang bisa melepaskan diri. Berbahagia orang yang ditemukan ada dalam kehendakMu yang suci, sebab kematian kedua tak akan pernah menyentuhnya”.

Dalam keponggahan dan keringkihan hidup, kematian adalah prasasti yang memahat setiap lekak-lekuk jejak seorang penziarah. Kelak ketika Peri Maut berdiri di tepi ranjang kita, masihkah kita mampu berlari dan pergi? Atau kita terpesona memandang maut dan berkata: “Wahai Maut, tuliskanlah pada batu nisanku, disini terbaring seseorang yang menuliskan namanya di langit dengan huruf-huruf api”?