Rabu, 31 Oktober 2007

Damai vs Pertentangan




Tak selamanya pribadi yang melakukan kebaikan akan menerima imbalan berupa kebaikan pula. Tak jarang bagi mereka malah akan disingkirkan dan dihancurkan. Tapi dalam keajaiban tersebut, selalu saja ada tangan-tangan kecil yang mengusahakan kebaikan.
Anna Politkovskaya, Ibu dua anak ini lahir pada 30 Agustus 1958 di New York, dari orangtua seorang diplomat Uni Soviet keturunan Ukraina untuk PBB, dunia kewartawanan adalah hidupnya.
Setelah lulus dari Fakultas Jurnalisme, Lomonosov Moscow State University tahun 1980, ia menjadi wartawan koran Izvestia. Dan terus meniti karirnya hingga tahun 1994, menjadi wartawan Obshchaya Gazeta sebagai kolumnis dan editor di bagian kriminal. Lalu menjadi wartawan Novaya Gazeta sejak Juni 1999. Ketika Rusia menancapkan kekuasaannya atas Chechnya, Politkovskaya menjadi salah satu wartawan yang paling vokal dan tajam mengkritiknya.
Laporan Politkovskaya membuat Kremlin mendidih. “Saya telah menyaksikan ratusan orang disiksa. Saya hampir tidak percaya bahwa penyiksaan seperti itu dilakukan oleh orang-orang yang menjalani pendidikan sekolah seperti saya.” tulis Politkovskaya yang pada tahun 2000 dan sebagai hasilnya ia ditangkap FSB dan ditahan selama tiga hari tanpa diberi makanan dan minum.
Ia juga menceritakan tentang para pengungsi yang kelaparan dan kedinginan tinggal di tenda, penculikan, pembunuhan, penghilangan serta pemerkosaan yang dilakukan tentara Rusia dan aparat keamanan Chechnya dukungan Rusia. Dan akibat dari tulisannya, ia nyaris kehilangan nyawanya. Ketika dalam perjalanan ke Beslan untuk ikut menyelesaikan krisis penyanderaan sekolah, ia diracun. Beruntung ia masih bisa diselamatkan dari insiden tersebut.
Namun semuanya berakhir pada 7 Oktober 2006, bertepatan dengan hari ulang tahun Vladimir Putin, ia ditemukan tergeletak di depan pintu lift apartemennya di Moskwa. Di sisinya tergeletak pistol Makarov dan empat selonsong peluru. Ia menjadi wartawan ke-23 di Rusia yang dibunuh pada tahun 1996-2006.
Nabi Isa menyatakan bahwa Ia datang ke muka bumi bukan membawa damai, melainkan pertentangan. Dalam banyak hal, mengatakan 'ya' kepada Yesus berarti mewujudkan damai bahkan melalui cara-cara yang kadang keras dan berujung maut. Yesus menuntut kesetiaan, keberanian dan kerelaan kita untuk keluar dari zona nyaman dalam menyatukan salib kita dengan salib-Nya.Anna Politkovskaya telah menjawab ‘ya’ dengan hidupnya. Dan ketika pertanyaan yang sama bergulir, semoga jawaban kita selantang Politkovskaya.

Kegembiraan Dalam Kefanaan Hidup



Hans Christian Andersen mengarang 156 buku cerita yang sudah diterjemahkan ke dalam ratusan bahasa. Beberapa di antaranya sudah begitu meluas sampai banyak orang tidak tahu lagi bahwa itu adalah karangan Andersen. Misalnya cerita tentang raja yang keranjingan pakaian mewah, lalu ditipu pembeli kain “begitu halus sampai tidak tampak”. Padahal kain itu sebenarnya tidak ada sehingga raja menjadi tertawaan rakyat, karena raja yang merasa berpakaian kain halus gemerlap itu tampil telanjang di depan rakyatnya. Atau cerita seorang gadis yang terpaksa menyalakan sebatang demi sebatang korek api demi menghangatkan tubuhnya diantara dinginnya salju, sampai ketika ia menyalakan batang korek api terakhir dan muncul neneknya dalam gemilang cahaya dan membawanya pergi menuju negeri yang lebih hangat.
Andersen lahir tahun 1805 di Odense, Denmark. Ayahnya seorang tukang sepatu berusia 22 tahun, ibunya berusia 37 tahun. Ayahnya suka membacakan cerita kepada Andersen namun ia kehilangan ayahnya sewaktu ia berusia 11 tahun. Ibunya kemudian menjadi seorang tukang cuci. Dengan bantuan beberapa dermawan, ia masuk perguruan tinggi yang memilih fakultas sastra.
Cerita yang sajikan oleh Andersen seolah memaparkan sebuah proses yang bernama hidup itu sendiri. Dalam ceritanya terselip berbagai kisah tantangan dan kesulitan, tokoh selalu mendapat hikmahnya. Sang tokoh terkadang bertemu dengan yang baik, kadang yang buruk, saling berganti, dan saling menjalin. Mungkin kita masih ingat dengan kisah bebek yang buruk rupa, yang pedih perih karena dianak tirikan, tetapi menemukan dirinya dalam ‘komunitas’ sesungguhnya, angsa yang anggun. Atau barangkali masih ingat gadis yang lahir dari kelopak bunga dengan tubuh sebesar jempol, ia kedinginan, ketakutan, tetapi terkadang menemukan katak, kumbang, kupu-kupu yang membawanya dalam aman.
Pengalaman baik dan yang buruk silih berganti dalam jalan hidup ini. Mungkin begitu pula kita memandang hidup dengan kacamata iman. Hidup ini adalah sebuah proses yang membawa sekelumit suka dan duka, kebaikan dan keburukan, rasa aman dan ketakutan, pujian dan cercaan, sanjungan dan celaan, dan sebagainya. Tapi beruntung kita mempunyai harapan dalam Kristus, yang memampukan kita tetap bertahan.
Tuhan akan mendewasakan kita dengan setiap peristiwa yang tampil dalam gelanggang hidup ini, sampai suatu saat Ia datang dan merengkuh kita dalam dekapanNya. Kita tak akan pernah meminum cawan pahit kecuali yang endapannya madu, tak akan pernah berjalan dalam lorong hidup yang gelap kecuali berakhir pada terang, tak akan pernah kehilangan seorang sahabat sampai kita menemukannya dalam sinsingan fajar pagi. Anda dapat marah dan mengumpat Tuhan, tapi tak dapat menghindarkan Ia untuk menemukan dan mencintai Anda.

Selasa, 30 Oktober 2007

Akselerasi


Di alam ini, pertumbuhan melibatkan akselerasi dan transformasi berkala, pada suatu waktu segala sesuatu berjalan dengan amat lambat seolah-olah tidak terjadi apapun, sampai tiba-tiba kulit telur retak, cabang-cabang bermekaran, ekor berudu menyusut, daun-daun berguguran, burung-burung berganti bulu dan dimulainya musim penghujan. sama halnya dengan manusia. sekalipun tanda-tanda tidak sejelas dunia flora dan fauna, fungsi waktu transisi tetaplah sama.

Sang Tabib Ajaib dan Si Lumpuh yang Ringkih


Samuel Butler, seorang penulis Inggris pernah menggoreskan kata-kata ini dalam buku hariannya: “Hidup bukanlah suatu ilmu pengetahuan pasti, melainkan suatu seni”.
Bukan tanpa dasar Butler yang hidup diakhir tahun delapan belasan itu menuliskan kalimat tersebut. Ia menuliskannya sebagai refleksi panjang atas hidupnya sendiri. Ia yang sudah lama makan asam garam di dunia ‘kuli tinta’ setuju bahwa jalan hidup ini tak selamanya bertabur bunga mawar tapi hidup ini malah terkadang jalan hidup menjadi kecil dan penuh onak duri, tak selamanya sebuah hidup bak cerita dongeng yang gemerlap tapi tak jarang hidup ini penuh dengan adegan kelam, didera sakit, dicemooh oleh kegagalan, dan sebagainya. Roda kehidupan akan terus berputar, kadang diatas, kadang dibawah.
Hidup tak hanya terdiri dari terang, tetapi juga terselubung gelap. Dan justru dalam gelap itu manusia belajar mengetahui indahnya terang. Hidup tak selamanya penuh cinta dan damai, tetapi juga terkadang terselip konflik dan kesalahan. Dan justru dalam konflik dan kesalahan itu manusia belajar menghargai kedamaian, penerimaan, dan kasih. Hidup bukanlah cerita panjang tentang kesuksesan, terkadang tak jarang banyak kerikil kegagalan. Dan justru dalam kegagalan, manusia belajar menghargai usaha dan ketekunan untuk mencapai kesuksesan.
Hidup bukanlah ilmu pasti, ia tetap sebagai sebagai misteri, sebab tak pernah ada yang bisa menentukan masa depan. Seperti kata orang bijak bahwa manusia hanya merencana dan berusaha, selanjutnya Tuhanlah yang bekerja. Bagaimana manusia menjalankan hidup ini dalam situasi secemerlang dan sekelam apapun yang ia hadapi adalah sebuah “seni” dimata Butler. Sebuah seni bagaimana melihat hidup ini dan merasa nyaman di gelanggang yang digeluti setiap waktu, yaitu hidup, walau sepekat apapun itu.
Kita tentu boleh menganggukan kepala tanda setuju, boleh juga menggelengkan kepala tanda ketidaksetujuan kita terhadap pernyataan sebuah pernyataan singkat Butler diatas. Bahkan kita juga boleh berkata “No Comment”.
Kelak jika kita laksana roda di bagian bawah, disaat kita merasa disesaki dengan berbagai masalah dan beban hidup, disaat kita dicemooh kegagalan dan menjadi ‘lumpuh’ dalam hidup ini, saat itu kiranya kita masih ingat Injil ini, Yesus yang tergerak hatiNya untuk menyembuhkan seorang lumpuh karena imannya. Saat seperti itu kiranya kita masih mempunyai secuil iman untuk datang kepada Yesus dan membawa segala ‘kelumpuhan’ kita.
Imanlah yang mendongkrak semangat kita untuk tetap mampu berdiri tegar. Bukankah ribuan mukjijat tak akan pernah terjadi tanpa sebongkah iman yang terpatri dalam nubari?Manusia sejatinya harus ‘kuat’, sebab manusia yang tak pernah bisa menjadi ‘kuat’ dalam situasi ‘kelam’ itu akan terkikis dari kegembiraan dan akhirnya terhempas dari prosesi kehidupan itu sendiri.

Memandang yang Illahi


Coba melamun sejenak, dan memanjakan pikiran dengan sentuhan imajinasi. Andaikata Bunda Maria menampakan diri, apa yang akan dilakukan?
Bisa diduga jawaban Saudara tak akan seliar yang dilakukan oleh Filipus Neri. Konon, Santo itu pernah ditampaki oleh Bunda Maria. Hasilnya Bunda Maria tersebut diludahi oleh si Santo. Cuih! Kontan aja, Bunda Maria langsung marah dan protes, ‘Lho sampean itu begimana tho? Lha wong sudah saya tampaki, kok malah ngidoni (ludahi)?!’
Si Filipus Neri menjawab: ‘saya ini pendosa besar. Tidak mungkin Bunda Tuhan Yesus menampakan diri kepada saya. Juga seandainya Bunda menampakan diri kepada saya, tidak mungkin saya bisa melihat Beliau. Mata saya sudah dibutakan oleh dosa-dosa saya. Jadi kamu pasti Bunda Maria palsu’. Lalu Bunda Maria diludahi sekali lagi, cuih! Untungnya, bener saja, Bunda Maria berubah menjadi setan dan langsung menghilang.
Ironis memang, Filipus Neri, orang kudus yang rendah hati, dan merasa tidak pantas mendapat penampakan dari Bunda Maria. Sekarang, bila mendengar ada penampakan Bunda Maria disana dan disini, maka orang-orang akan berbondong-bondong kesana kemari hanya untuk melihat sosok Bunda Maria walau hanya sekelebat. Mungkin zaman kini, orang-orang merasa pantas melihat Bunda Maria.
Terlepas dari penampakan diatas, Mama Maria tetaplah sebagai pribadi, sebagai seorang Ibu yang dihormati bukan karena semua keajaiban yang ia lakukan tapi justru ketaatan yang menyebabkan peristiwa ajaib tersebut terjadi, bukan juga karena diangkat ke surga dan dimahkotahi tapi justru kerendahhatian dan cintanya kepada Sang Perencana Agung.
Mencintai Tuhan dengan seluruh hati berarti dengan seluruh hati pula mengucapkan kata ‘ya’ kepada kehidupan dan segala peristiwa yang terjadi didalamnya. Menerima tanpa syarat segala sesuatu yang direncanakan Tuhan dalam hidup ini. Memiliki sikap seperti Bunda Maria ketika berkata: ‘sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadikanlah aku menurut perkataanmu’. Mencintai Tuhan dengan sepenuh hati terangkum dalam kalimat ini: ‘Terima kasih untuk semua yang telah berlalu. Terjadilah segala yang akan terjadi – ya aku terima”Bunda Maria adalah sosok yang menarik hal-hal ilahi dalam hidupnya tanpa mengeliminasi getir dan pahitnya hidup. Bunda Maria tahu betul bahwa Allah tidak mati ketika kita tidak lagi percaya kepada keilahian yang personal, tetapi kita mati ketika tidak lagi diterangi oleh sesuatu yang gaib, yang senantiasa memancar, yang senantiasa baru, yang sumbernya di luar jangkauan akal budi.

Bulir Kehidupan


Mungkin kita akan tersenyum simpul dengan cerita ini, tapi hal ini sungguh pernah terjadi. Kepada Romo yang setelah memimpin ibadat di suatu lingkungan, seorang pemuda bertanya: “Mo, gini Mo, Gereja senantiasa membuka diri kepada budaya setempat tuh. Misalnye, ada misa adat etnis Jawa, etnis Batak sampe ada yang etnis China tuh. Nah kenape semua diganti aja Mo. Misal nih ye perumpamaan Pokok Anggur Kehidupan. Kan kite tau sama tau Mo kalo tanaman anggur tuh jarang Nusantara, kenapa gak sekalian diganti dengan pokok rambutan, duren, atau pokok singkong. Kan lebih membumi Mo?”
Romo yang tersentak kaget juga memberi jawaban yang bikin kaget, “Hare gene baru bicara inkulturasi dalam Gereja? Bisa aja diganti semua, misal perumpamaan Akulah Roti Kehidupan diganti dengan Akulah Gudeg Yogya, atau Nasi Padang Kehidupan, atau Soto (dari) Kudus Kehidupan, atau Bakmi Bangka dan sederet menu lain. Mau seperti itu? Ya gak bisa begitu toh”
Kepada pemuda yang cekikikan dan beberapa ibu yang melotot, Romo lalu melanjutkan ceritanya.
Ia pernah dikirim kabar dari rekannya yang ditugaskan dipendalaman. Disana rupanya umat tak pernah melihat atau mengimajinasikan domba, sehingga seruan Anak Domba Allah diganti menjadi Anak Babi Allah. Disini kita mengganggap babi adalah binatang yang malas dan kotor, tapi disana babi dianggap seperti harta yang tak ternilai. Jadi kalo ada pemuda yang jatuh cinta, ia merayu pujaan hati dengan; cantik benar kau bagai babi.
Kali ini giliran beberapa ibu cekikikan dan pemuda tadi menjadi melotot. Romo lalu meneruskan. Kisah tadi memang ada. Tapi itu bukan inspirasi kita untuk mengubah simbol gandum dan anggur dalam Tubuh dan Darah Tuhan. Tanaman anggur yang merambat itu butuh perawatan dan pemangkasan yang ekstra lebih bila dibandingkan tanaman lain. Minuman anggur diperas dari ratusan butir anggur. Dan roti terbuat dari ratusan bulir gandum. Kitalah bulir-bulir gandum dan ranting-ranting anggur yang berkembang. Kita diproses dan disatukan dalam satu persaudaraan yang besar, Gereja.
Roti dan anggur menjadi simbol keberadaan, pengorbanan dan kekuatan Tuhan. Bagi yang beriman, lewat sekeping roti benar-benar menjadi daging, mengalirlah segala rahmat Ilahi. Dialah santapan para penziarah. Para kudus bahkan menimba kekuatan lewat sakramen ekaristi yang mulia itu.Tuhan hakekatnya ada dimana-mana. Ia ada didalam api tapi Ia bukanlah api. Ia ada dalam badai, tapi Ia bukanlah badai. Ia dalam wajah sesama, tapi Ia bukan sesama. Ia ada dalam nasi, tapi Ia bukan nasi itu. Ia adalam secangkir teh hanget, tapi Ia bukanlah teh hanget.

Monolog: Kayu Salib


Aku tak peduli seberapa bermartabatnya manusia itu, aku tak akan pernah peduli dengan seberapa hebatnya mereka menata moral mereka. Yang aku peduli adalah perlakuan mereka terhadapku. Kucatat dalam serat-seratku, kupahat dalam lekuk sekujur tubuhku akan semua hal yang mereka perbuat padaku. Mereka mencampakkanku di pojok sudut kota yang kumuh. Mungkin tak satupun dari manusia itu ingat bahwa aku ada di pojokan sana. Mereka menutup matanya, tenggelam dalam ritual jahat yang mereka anggap suci. Lihat saja, ludah, keringat, debu, berbaur membentuk sediman di air hujan terserap dalam serat tubuhku. Lantas matahari dengan bijak dan lembut akan mengambilnya kembali lembab dalam uap sambil menjanjikan tempat yang hangat bagi fungi berpesta di tubuh ini. Yang aku tahu, mereka harus membayar lunas semua ini!
Aku tak pernah berdecak kagum pada segala yang diperbuat oleh manusia. Mereka adalah bangsa yang munafik dan jahat. Aku membenci manusia, membenci semua kemunafikan dan kejahatan yang mereka anggap sebagai suatu kebaikan. Suatu saat mereka dapat merajut kata-kata yang manis, licin dengan lidah menari-nari mengajak yang lain tenggelam dalam larutan makna bagai magma yang meletup-letup, tapi disaat lain dibibir yang sama keluar jerat yang membentangkan maut. Lidah yang sama, lidah yang mengeluarkan manis madu menjadi lidah sepahit empedu. Mulut yang sama, mulut yang berteriak hosana menjadi pekikan maut. Mereka mengoral, menjilat pada yang lebih berkuasa. Kata dengan ribuan makna jahat menjadi semakin sarat, menggema dari bibir yang manjemuk dibanding dengan sebuah suara yang hening bersemayam dalam hati yang terdalam.
Aku tak pernah mengubris akan segala sesuatu yang diberi manusia. Mereka memberi kepingan emas sebagai silih atas dosa, tapi dari tangan yang sama mereka merampas hak sesama yang kecil. Mereka boleh membelai dan menepuk pundak orang yang mereka suka, tapi dari tangan yang sama mereka menusukan belati yang membiaskan nyawa. Mereka boleh saja menipu dengan senyum dan raut wajah yang segar, tapi tak seorangpun tahu bahwa hatinya merancang yang keji terkecuali ia dan Tuhannya.
Aku tak pernah menaruh hormat pada sebuah hati yang tersembunyi dalam rongga dada tiap manusia. Hati yang sejatinya mengalunkan kebaikan kehilangan tuts untuk menggemakan kidung kemanusiaan. Hati yang sejatinya mencatat dan meng­ingatkan akan kemurnian hidup telah kehabisan tinta untuk tetap bisa menggoreskan makna sejati dalam kefanaan hidup.
Aku bahkan tak mampu menguraikan kuasa apa yang dimiliki manusia hingga ia berhak untuk mendorong sesamanya pada maut, memahkotahinya dengan duri kematian. Tak pernah bisa masuk ke dalam neuron otakku untuk bisa mencerna kekuasaan seperti apa yang dimiliki manusia hingga mereka memperbolehkan Tubuh yang terkoyak cambuk dan hancur itu memikul tubuhku yang dipundakNya.
Aku tak akan pernah mempuyai waktu yang cukup untuk menghitung setiap goresan dan lubang di tubuhnya yang hancur. Aku tak pernah paham alasan apa hingga Tubuh ini tak pernah berontak, diantara pekikan, makian. Tubuh sedemikian kuat diantara cambuk, luka, peluh, darah, dan air mata.
Aku bertanya, berteriak, meronta, memberontak.Aku mendengar jelas ketika paku menembus tangan dan kaki Sang Tubuh, menancapkannya pada tubuhku. Aku mendengar sesayup, ‘Kini, Aku menyatu dalam tubuhmu, darahKu meresap dalam ronggamu. Lihat! kita telah memenangkan mereka. Mereka menembus ragaKu tapi tidak jiwaKu..”

Rabu, 24 Oktober 2007

Spirit yang Menghidupkan


Pesawat yang saya tumpangi itu turun merendah kemudian landing setelah beberapa menit hanya berputar-putar diatas Bandara Supadio. Asap pekat yang membuat jarak pandang hanya hampir lima ratus meter membuat pilot ekstra hati-hati untuk landing. Belasan menit lalu, dari dalam kabin pesawat, yang aku lihat hamparan kelabu yang sesekali melihat garis merah menyala dibawah sana. Sembab mataku melihat langit tidak lagi biru, hutan tak lagi hijau, yang ada hanya warna cakrawala kelabu bersemu kemerahan dengan matahari pucat menggantung diantaranya.
Suhu udara yang memang tinggi mencapai 39°C dan kering mempercepat api meluas. Selain itu, tanah gambut yang pada lapisan atasnya kering, tetapi di bagian bawahnya tetap lembab dan basah karna mengandung air dimana kobaran api akan bercampur dengan uap air, asap yang dihasilkan lebih banyak enak kali lipat dibanding dengan lahan kering.
Kebakaran yang terjadi seringkali diakibatkan oleh petani yang membuka lahan dengan cara yang konvensional, pembakaran ladang yang berujung pada api yang tak kunjung padam dan merambah area hutan. Kebakaran hutan menjadi menu utama media massa nasional selama beberapa hari.
Ketika aku melewati perjalanan darat dari Pontianak menuju Sanggau pada tahun berikutnya, memang kulihat sebagian lahan telah menjadi ladang penduduk, sebagian menjadi padang ilalang dan tanaman liar lain, sebagian hanya menyisakan sisa kenangan betapa hebatnya api melewati pohon-pohon tegak yang menghitam.
Namun ada yang menarik. Mataku besar memandang pucuk-pucuk hijau berebut menyembul dari pohon hitam pekat yang telah terbakar tetapi masih berdiri tegak, dan kulit coklat baru mulai menggantikan kulit pohon yang telah pupus dimakan api. Aku terperanjat, bahwa ada kehidupan baru yang mulai tumbuh bersemi dari pohon hitam terbakar bagai seogok arang itu.
Api memang bisa menghanguskan daun-daunnya dan membakar batangnya, tapi sesungguhnya api tak mampu membunuh inti kehidupan dari pohon karet tersebut. Batang hitam yang melapuk tersebut bukanlah barang mati sebab ada kehidupan yang mencuat dari dalamnya.
Mungkin sama halnya dengan gum tree tersebut, misteri spiritual selalu mengingatkan kita bahwa dibalik luka dan duka, dibalik takut dan maut, dibalik kekerdilan iman dan kekalahan, ada kehidupan baru yang absolut, ada fajar merenggut kelam. Dan Spirit itu, memampukan kita mempunyai ‘jiwa’ baru untuk senantiasa bertumbuh.

Membunuh Tuhan?


Du kannst Gott hassen, du kannst Gott schimpfen.
Du kannst Gott tot schlagen, du kannst Gott verfluchen.
Aber Du kannst ihn nicht hindern, Dich zu suchen und Dich zu lieben!

(Anda dapat membenci Tuhan, Anda dapat memaki nista Tuhan. Anda dapat memukul Tuhan sampai mati, dan Anda dapat mengutuk Tuhan. tetapi Anda tidak dapat menghindarkan Ia untuk mencari dan mencintai Anda!)

Indahnya Maut


My Savior comes and walks with me,
And sweet communion here have we;
He gently leads me by the land,
For this Heaven’s borderland.
My Heaven, my home forevermore!

Edgar Page dalam A Little Bit of Heaven mengajariku tentang maut. Banyak sekali artikel, puisi, kata-kata indah yang menggambarkan kematian. Tetapi seindah apapun itu, aku tidak pernah dapat mengeliminasi sikap takut dan gentar bila berhadapan dengan sosok yang bernama Maut.

Ku sadari, bersiap-siap untuk meninggal tidak dapat dilakukan hanya dalam menit-menit atau hari-hari terakhir hidup di atas ranjang menunggu maut menjemput atau sejak dokter memvonis mengidap penyakit yang tak tersembuhkan. sebagaimana hidup, persiapan itu berproses, setapak demi tapak sepanjang hidup ini. Rahner dalam bukunya On the Theology of Death menulis ‘Sikap berjaga-jaga, ingat akan Hal Terakhir, menantikan Tuhan, bersukacita karena Ia dekat, keluh kesah alam ciptaan menantikan penebusan, pemuliaan tubuh karena ini mungkin sudah mulai bahkan dalam hidup ni, memulai usaha perlahan-lahan mendekati cita-cita Firdaus, kebebasan dengan menjalani hidup laku tapa’.

Gita Sang Surya yang diciptakan oleh mistikus Fransiskus Asisi menjelang kematiannya mendidiku dalam memandang maut. Dalam kerapuhan raganya, ia mengidungkan, ‘Terpujilah Engkau Tuhanku atas saudari kami Maut jasmani, daripadanya tak ada orang yang bisa melepaskan diri. Berbahagia orang yang ditemukan ada dalam kehendakMu yang suci, sebab kematian kedua tak akan pernah menyentuhnya”.

Dalam keponggahan dan keringkihan hidup, kematian adalah prasasti yang memahat setiap lekak-lekuk jejak seorang penziarah. Kelak ketika Peri Maut berdiri di tepi ranjang kita, masihkah kita mampu berlari dan pergi? Atau kita terpesona memandang maut dan berkata: “Wahai Maut, tuliskanlah pada batu nisanku, disini terbaring seseorang yang menuliskan namanya di langit dengan huruf-huruf api”?

Silentium


Ketika engkau dalam kandungan, engkau diam dan hening. Kemudian engkau lahir dan bicara, bicara, bicara sampai hari engkau terbaring dalam kuburan. Saat itulah engkau akan diam dan hening lagi.
Tangkaplah keheningan yang ada dalam kandungan, dan yang akan ada dalam kuburan, yang bahkan sekarang mendasari interval bunyi yang disebut hidup.
keheningan itulah esensi dirimu yang paling dalam.

Selasa, 23 Oktober 2007

Overdosis Agama


Ada yang lebih luas daripada sebuah samudra, yaitu cakrawala; dan ada yang lebih luas daripada sebuah cakrawala, yaitu sebuah ruang dalam jiwa. Kerap kali ruang jiwa terisi oleh dogma, ideologi, agama, atau paradigma sendiri hingga tak menyisakan ruang lagi bagi kemanusiaan dan belaskasihan.
Sungguh pedih menyimak perjalanan sebuah peradaban yang mengabarkan tentang kebengisan dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya demi suatu tatanan ideologi, paradigma, agama, kedudukan, solidaritas kelompok atau apapun yang ia yakini teguh dan membuatnya nyaman. Bisakah Anda bayangkan seorang pria menenteng kepala sesamanya yang ia penggal dengan bangga lantas menancapkannya dalam sebuah tiang besi dalam suatu konflik etnis yang terjadi di Kalimantan? Bisakah Anda membayangkan seseorang yang bangga ketika ia berhasil meledakan bom ketika sesamanya sedang tertunduk dalam doa sewaktu kerusuhan di Ibukota? Atau bisakah Anda membayangkan tempat ibadah yang hari ini masih berdiri lantas besok menjadi tiang arang dan hamparan abu? Penembakan para demonstran damai yang berjuang demi perbaikan, penyiksaan di kamp tahanan, suara para aktivis yang dibungkam, peniadaan hak dasar dan sederet panjang catatan kelam peradaban kemanusiaan.
Pada hakekatnya, manusia bukanlah makhluk yang bengis. Ia menjadi bengis ketika ia tidak bahagia, atau ia menganut sebuah ideologi. Bukankah suatu ideologi melawan ideologi yang lainnya? Bukankah sebuah sistem beradu dengan sistem yang lainnya? Dan agama yang satupun ikut serta melawan agama yang lain. Sedang manusia itu sendiri terhimpit diantara idelogi, sistem dan agama itu sendiri.
Barangkali orang-orang yang menyalibkan Nabi Isa bukan orang yang jahat bengis. Mungkin saja orang-orang itu dalam kehidupan mereka pribadi adalah sebagai ayah yang penyayang bagi istri dan anak-anaknya, atau seorang suami yang menaruh perhatian besar pada keluarganya. Mereka menjadi bengis ketika mempertahankan sistem, ideologi, atau agama.
Jika seandainya orang-orang yang beragama itu sedikit mendengarkan suara hati yang menggema perlahan dalam jiwanya dibanding ideologi yang kaku, maka sejatinya tak akan pernah ada pembantaian dan pembakaran bagi pengikut bidaah, tak perlu ada jutaan jiwa hilang lenyap ketika dilangsungkannya perang yang dianggap suci karena membela agama.Agama ibarat instrumen yang mengusahakan kita untuk melihat cahaya surgawi, karena agama membawa kita masuk dalam samudra yang amat luas. Tapi hati-hatilah! Berusahalah melihat, tetapi jangan sampai mati tenggelam.