Senin, 31 Desember 2007

Sejarah yang Fanatik


Dewi Justicia tak selalu adil. Timbangannya tidaklah selalu berat merata. Tengoklah ia menulis sebuah kisah sejarah.
Sejarah hanyalah milik segelintir orang. Milik yang paling berkuasa, milik yang paling berduit, milik yang paling dikenal, dan milik mereka yang paling jahanam dan bangsat. Hanya mereka yang mampu memahat prasasti.
Adakah dunia mengukir sejarah dengan menorehkan nama-nama yang kecil?
Si Udin penanam sayur, si Ayu penjual jamu gendong, Si A Leong penjual nasi uduk, Si Situpang avokat amatir, atau si Budi yang berjalan kaki 8 kilo demi mengajar anak-anak di daerah pendalaman?
Manusia menimbang dengan neraca yang cetek, dalam paradigma yang ringkih rapuh.
Manusia mungkin tak sadar sebetulnya ia dalam neraca milik Si Penimbang Agung, dan daripadaNya hanyalah kata Adil.
Dan sejarah hanyalah bualan semata. Dongeng indah manusia ...

Dualisme


Pualam biru langit suarga bertemu sabaha hijau hutan tropika dalam satu garis horison. Kedua unsur bersatu. Bertemu.
Barangkali dunia ini terbungkus dalam dualisme yang mempesona; Pekat malam dan benderang siang. Indahnya hari dan badai di malam bisu. Panas api dan beku salju. Surga dan neraka. Dewa dan setan. Sanjungan dan makian. Belaian dan pukulan. Ria tawa dan tangis isak. Hidup dan maut ..
Bukankah kedua unsur beradu dan berpadu satu? Bukankah sekalipun berbeda, sperma dan telur bertemu dan membentuk hidup baru?
Dan yang bijak segera tahu: bahwa pujian tak menjadikannya jaminan masuk surga, sedang cacian tak menjadi surat rekomendasi untuk masuk neraka.

Selasa, 18 Desember 2007

Credo


Aku hanya satu orang, tapi bagaimanapun aku tetap seseorang.
Aku tidak bisa melakukan semua hal, tapi bagaimanapun aku masih bisa melakukan sesuatu.
Dan karena aku tidak bisa melakukan semua hal, aku tak akan menolak apa yang bisa ku lakukan.

Senin, 17 Desember 2007

Epifania


Menakjubkan tapi tak mustahil; bahwa Yang Tiada Terbatas menyapa manusia yang tersekat oleh ruang dan waktu, Yang Maha Sempurna berbisik kepada manusia yang ringkih. Keduanya bertemu dalam membran tipis bernama iman. Sungguh, di horison iman itu manusia berusaha merekam perjumpaan yang luar biasa agung luhur itu, sedang panca indra tak mampu lagi bertingkah di depan Sang Ajaib itu.
Dalam kesahajaan, kesederhanaan kandang, Tuhan hadir dalam semua hal yang layak disapa. Auden menulisnya demikian, "Remembering the stable where for once in our lives, Everything became a You and othing was an It". Segala sesuatu yang hadir kini berubah menjadi "Engkau" – menjadi kehadiran Tuhan sendiri, bukan lagi menjadi sekedar objek yang dengan gampang dapat diacuhkan.
Dan ketika semua ‘hal’ diambil alih menjadi ‘Engkau’, Sang Suci menerobos masuk dalam tiap celah dan lekuk manusia. Perjumpaan manusia dalam setiap ‘hal’ adalah perjumpaan dengan ‘Engkau’. Inilah Epifania – ketika Yang Kekal menampakan diri kepada yang fana. Epifania, suatu momen yang berdaya luar biasa sekaligus berbahaya.
Momen yang luar biasa ketika manusia menangkap semua yang hadir disekelilingnya sebagai manifestasi keberadaan Tuhan. Dan pandangan manusia telah diubah. Manusia akan memperlakukan dan memandang semua dengan penuh takjub dan takzim mendalam, tanpa pernah ada rasa merusak dan menangkapnya dalam sesaknya paradigma.
Tapi juga sebagai momen yang berbahaya. Sebab tak semua menjadi senang ketika Tuhan hadir dan menyapa dalam setiap ‘hal’. Herodes, raja itu menjadi kalut, jika tiap ‘hal’ menjadi ‘Engkau’ apakah dunia tidak akan menjadi kacau? Jika Kasih menjelma dalam setiap hal, lalu apa faedah sebongkah ego? Sungguh berbahaya jika tiba-tiba wajah seorang yang dimusuhi, anjing yang berkeliaran, sebuah buletin gereja, atau sebuah cekungan di jalan beraspal menjadi sebuah perjumpaan dengan Sang Illahi. Herodes hanya mampu melihat bentuk.
Di pelupuk iman, menghantar tiga Sarjana dari Timur menemukan Kristus. Kini, dalam iman yang sama, melampaui dimensi bentuk, menghantar kita menemukan ‘Engkau’ dalam setiap ‘hal’.

Herodes: Sebuah Wajah yang Lain


Ada beberapa Herodes yang kita kenal, misalnya Herodes Agripa I (yang membunuh Yakobus dan ditampar malaikat hingga mati), Herodes Agripa II (yang bertemu dengan Paulus). Nah, Herodes yang hadir dalam kisah Natal yang ditulis Matius dikenal dengan nama Herodes Agung.
Mengapa ia begitu ketakutan dan marah ketika mendengar kabar kelahiran Yesus? Mengapa ia berniat membunuh Yesus? Mengapa ia begitu tega dan sadis dalam membunuh anak-anak Betlehem? Siapakah Herodes Agung ini?
Herodes Agung berasal dari sebuah daerah bernama Idumea. Ayahnya adalah seorang Edom (keturunan Esau) yang akhirnya memeluk agama Yahudi dan adalah perdana menteri Yudea, sebuah provinsi Roma waktu itu, dan teman dekat Julis Caesar. Ibunya seorang Arab dari Petra (Yordania). Dengan demikian Herodes bukanlah asli orang Yahudi dan karenanya ia sebenarnya tidak layak menjadi raja atas orang Yahudi. Meskipun demikian dengan kepandaian politiknya, pada umur 25 tahun diangkat pemerintah Romawi menjadi gubernur Galilea.
Sesungguhnya latar belakang dirinya yang bukan orang Yahudi menjadi halangan baginya untuk diterima dengan tulus oleh sebagai pemimpin Yahudi. Herodes lalu berusaha dengan berbagai cara untuk mengamankan kedudukannya. Langkah pertama yang ia lakukan adalah menikahi gadis remaja berdarah bangsawan Yahudi yang bernama Mariamme di mana sebelumnya ia menceraikan dan mengusir Doris (isteri pertamanya) bersama puteranya Antipater yang baru berumur 3 tahun. Dengan menikahi Mariamme maka Herodes mendapat kesempatan emas di mana ia akan dianggap sebagai keluarga raja Yahudi yang adalah penguasa Yudea yang sebenarnya. Menikahinya sama dengan mendapat sekutu yang kuat. (Ket. Herodes mempunyai 10 orang isteri). Setelah menikahi Mariamme, 5 tahun kemudian pihak Roma menetapkan Herodes sebagai ”Raja orang Yahudi”.
Ia berusaha menarik simpati orang Yahudi dengan cara membangun Bait Allah yang sangat megah. Bait Allah yang dikerjakan oleh 18 ribu orang itu sangat besar dan indah dan dilapisi dengan marmer dan emas. Halamannya dikelilingi dengan menara-menara dan dinding benteng. Herodes lebih banyak menghamburkan uang untuk pembangunan Bait Allah ini daripada bangunan lain dalam sejarah Yudea. Ia membangun Bait Allah tersebut di Yerusalem untuk menguatkan reputasinya sebagai orang Yahudi.
Herodes selalu merasa bahwa kedudukannya tidak aman. Apalagi ia mengetahui adanya suatu harapan dalam diri banyak orang Yahudi bahwa akan datang seorang raja Yahudi yang sebenarnya, yakni Mesias. Ia takut bahwa suatu saat orang Yahudi akan melakukan pemberontakan terhadapnya. Itulah sebabnya istana tempat ia tinggal (Herodium) dibuat seperti layaknya sebuah benteng. Ia juga membangun sebuah istana dekat tepi pantai laut mati yang dikenal dengan mana ”Masada” di mana menaranya ribuan kaki di atas gurun Yudea dengan ketinggian 3 lantai. Masada ini dilengkapi dengan gudang persenjataan, gudang makanan, dan tempat persembunyian yang sangat aman. Ketakutan Herodes yang amat kuat membuat ia membangun lebih dari 20 benteng di seluruh kerajannya di mana sinyal dapat dikirim antar benteng dengan menggunakan cermin.
Ketakutan Herodes membuat ia begitu peka dan sangat curiga dengan segala sesuatu yang akan mengancam diri dan kedudukannya. Tidak segan-segan ia membunuh setiap orang yang dianggapnya mengancam diri dan kekuasaannya. Itulah sebabnya perjalanan hidup Herodes sering dikenal sebagai ’perjalanan berdarah’. Suatu saat, karena takut bahwa orang Yahudi akan mendukung iparnya (adiknya Mariamme) yang bernama Aristobulus (17 tahun) yang diangkatnya menjadi Imam Besar, Herodes lalu membunuh Aristobulus dengan cara ditenggelamkan pada sebuah acara pesta kolam. Pembunuhan itu dibuat seolah kecelakaan.
Bahkan Mariamme akhirnya dibunuh mati dalam usia 25 tahun. Tragis memang karena Herodes tega membunuh isteri yang paling dicintainya yang telah memberinya 5 orang putera selama 7 tahun hidup bersama. Walaupun demikian Herodes menjadi stres dan sakit. Dalam kondisi semacam ini tiba-tiba Alexsandra (ibunya Mariamme) mencoba mengambil alih pemerintahan dan mengumumkan dirinya sebagai Ratu. Ini menyebabkan Herodes marah besar dan tanpa diadili, langsung menghukum mati Alexandra. Tindakan herodes ini justru memicu lebih banyak kudeta. Pada usia 65 tahun Herodes mendengar bahwa 2 orang puteranya (anak Mariamme) yakni Alexander dan Aristobulus berencana membunuhnya dan merebut kerajaan. Ini adalah kedua anak dari wanita yang sangat dicintainya. Herodes akhirnya menghukum mati 2 anaknya itu. Selanjutnya di tahun 4 SM, hanya 5 hari sebelum Herodes mati, ia membasmi komplotan yang dipimpin puteranya Antipater. Herodes akhirnya mati pada usia 70 tahun dan dikubur di istana gurunnya, Herodium.
Itulah kehidupan Herodes. Ia adalah orang yang dalam hidupnya penuh ketakutan dan rela melakukan apa saja demi mempertahankan kedudukannya. Ia membunuh adik iparnya sendiri, isterinya, mertuanya dan juga anak-anak kandungnya sendiri. Kesadisan Herodes membuat sampai-sampai Kaisar Agustus pernah mengeluarkan kalimat yang akhirnya menjadi populer pada saat itu yakni : “Lebih baik menjadi babinya Herodes daripada menjadi anaknya Herodes”. (Ket : Dalam bahasa Yunani, kata “anak laki-laki” adalah HUIOS, sedangkan kata “babi” adalah HUOS, sehingga dalam bahasa Yunani kata-kata di atas itu membentuk syair yang indah). Mengapa muncul kalimat demikian? Karena Herodes, demi menghargai dan meraih simpati orang Yahudi, tidak makan babi. Jadi dapat dipastikan babi-babi waktu itu aman dan tidak akan dipotong. Tetapi anak-anak Herodes sungguh-sungguh tidak aman. Mereka dibunuh dan dipotong dengan kejam.
Itulah Herodes! Warna inilah yang ia perlihatkan pada momen Natal ketika Kristus dilahirkan ke dunia ini. Lihatlah kedalam, tidakkah ada dari kita juga yang merayakan Natal sambil tetap memelihara mentalitas Herodes ini dalam hati? Amarah, dendam, kedengkian, serta iri? Berapa banyak di antara kita yang belum mengampuni sesamanya? Sungguh gema natal adalah damai, dan damai tak pernah pernah mampu kompromi dengan amarah, dengki, iri, dendam, dan keegoan.

Ketika Damai dan Adil Berpelukan


Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 diwarnai dengan banyak rencana besar tetapi juga dengan pembinasaan yang lebih besar. Tak pernah bisa masuk ambang hati yang bening bahwa Hitler membunuh jutaan Yahudi hanya karena alasan bahwa Jerman harus menjadi awal dari Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki. Tak pernah bisa masuk dalam gerbang logika kemanusiaan bahwa Stalin dan Mao serta Pol Pot membinasakan sekian juta ‘kontrarevolusioner’ hanya karena tiang sosialisme harus berdiri kokoh, atau rezim Orde Baru yang menghilangkan sekian juta jiwa penduduk karena ‘demokrasi Pancasila’ tak memungkinkan adanya komunis dan tindakan ekstrem di sisi manapun. Namun, sekalipun hal tersebut diluar nalar kemanusiaan, hal itu terjadi dan terekam dalam sejarah kelam peradaban manusia.
Berambisi besar, cita-cita dan rencana besar, dan berujung pada darah yang tumpah. Manusia menjadi penakhluk, manusia ingin berbeda – menjadi subjek atas manusia lain.

Perdamaian Dunia
Tak banyak dari kita yang mengetahui bahwa Hari perdamaian Sedunia selalu diperingati bersamaan dengan hari pertama di tahun yang baru, membuka pintu gerbang satu tahun itu dengan menorehkan rasa damai. Percaya atau tidak, moment ini dihormati oleh bangsa-bangsa yang tengah perperang. Medan perang menjadi lenggang, tentara yang tengah berperang rehat sejenak dan kadangkala menulis sepucuk surat untuk keluarganya yang jauh mengabarkan dirinya masih hidup dalam kancah perang yang sewaktu-waktu bisa meregut nyawanya. Terbersit harapan bahwa perang akan segera berakhir dan semua kembali pada keluarga dan memulai hidup yang baru takala melihat fajar yang merekah di hari pertama tahun yang baru. Sungguh, suatu moment manis yang menembus segi kemanusiaan bagi seseorang yang terjepit oleh ideologis dan paradigma pemikir bangsa.
Kini, makna perdamaian yang awalnya berarti ketiadaan perang (Pax Absentia Belli Est) merembes dalam segmen yang lain. Damai tak hanya ketiadaan keadaan perang, tapi keadaan dimana semua manusia merasa dimanusiakan. Dan keadilan adalah salah satu jalan memanusiakan manusia. “Peace is not the absence of conflict but is the presence of justice” – Damai bukanlah diakibatkan dari hadirnya konflik, tapi justru karena tak berkunjungnya keadilan. Inilah yang dilontarkan oleh Martin Luther King, dan sebagai akibatnya sebutir timah panas menembus tenggorokannya sewaktu ia memperjuangkan hak dan keadilan bagi para pekerja kulit hitam di Memphis, Tennesse, 4 April 1968.
There can be no justice without peace and there can be no peace without justice. Respect for human rights is the only way in which justice and peace can be brought to live together. If these principles had always been respected in history, many lives would have been saved; much suffering and many tears would have been spared everywhere”. Tiada keadilan tanpa perdamaian dan tiada perdamaian tanpa keadilan. Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia adalah satu-satunya jalan dalam mana keadilan dan perdamaian dapat dipertemukan untuk hidup bersama. Jika prinsip-prinsip ini senantiasa dihormati dalam sejarah maka banyak nyawa dapat diselamatkan, banyak luka derita dan airmata dapat diperhemat di mana-mana. Bagi Kardinal Roger Etchegaray, Ketua Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, keadilan dan perdamaian dalah dua sisi dalam sekeping wajah kemanusiaan. Keyakinan yang diamini itu dilontarkannya dalam jumpa pers di Bandar Udara Comoro Dili, Timor Timur pada tanggal 27 Februari 1996.

Perdamaian Bukan Utopia
Sekalipun jalan menuju perdamaian dan keadilan bukanlah jalan yang bertabur bunga mawar, bahkan sebagian malah harus menebus harga sebuah kedamaian dengan butiran timah panas yang menembus raga mereka. Sebut saja misalnya Presiden Abraham Lincoln yang tewas pada tahun 1865, ia berjuang keras menghapus perbudakan dan mengupayakan perdamaian Perang Sipil Amerika yang menjadi rekaman penting dalam sejarah negara tersebut. Nasib yang sama juga dihadapi musisi Inggris, John Lennon yang nyawanya berakhir justru di tangan penggemarnya sendiri – Mark David Chapman tahun 1980. Lennon dianggap sebagai musuh Amerika lantaran melontarkan kritik tajam atas peran Amerika dalam perang di Vietnam dan mengusahakan perdamaian dengan berbagai cara. Namun selalu ada saja tangan-tangan kecil yang berjuang demi persamaan, kemanusiaan, hak, solidaritas, yang berujung pada rasa damai itu sendiri.
Damai bukanlah utopia, bukan suatu hal yang hanya berada di wilayah mimpi. Damai adalah sesuatu yang bisa diciptakan! Mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam ‘Negotiation’ (1981) berujar: “Perdamaian bukanlah suatu utopia, juga bukan suatu cita-cita yang tidak bisa diraih atau di realisasikan. Sedang perang bukanlah suatu kekacauan yang tidak dapat dihindari. Perdamaian adalah sesuatu yang mungkin, dan karena itu mungkin, maka perdamaian adalah kewajiban dan tanggung jawab kita yang paling besar. Memang perdamaian itu sukar dan menuntut banyak kemauan baik, kebijaksanaan dan keuletan, tetapi kita harus mampu mengusahakan kekuatan akal budi untuk mengatasi kekerasan”. Tak seorang pun dapat memandang dirinya sendiri asing dan acuh tak acuh terhadap anggota lain dari keluarga manusia. Tak dapat seorang pun dapat berkata bahwa ia tak bertanggung jawab atas kesejahteraan saudara saudarinya (Centesimus Annus).Jika demikian, maka masing-masing dari kita adalah duta-duta perdamaian yang sejatinya menjaga keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas. Perdamaian bukanlah rasa aman nyaman bagi pribadi dan dengan samar-samar memandang kedukaan yang terjadi disekitar. Sebaliknya kedamaian merupakan wujud ketetapan hati yang kuat dan mantap untuk melibatkan diri demi kesejahteraan bersama, yang juga berarti panggilan khusus untuk setiap individu menjadi ‘penjaga saudaranya’ sebagaimana dititipkan Allah kepada kita.

Hierofania: Kemanusiaan & Solider


Merenungi Natal samahalnya merenungi sepenggal narasi kemanusiaan. Menghirup aroma Natal, adalah menghirup wewangian keIllahian yang terbungkus dalam aroma kemanusiaan. Hierofania (Penampakan Diri yang Tersuci) Allah dengan manusia tidaklah dengan cara spektakuler yang gegap gempita, melainkan sarat dengan kemanusiaan, kesederhanaan, luput dari perhatian dunia.
Palestina di abad pertama ditandai zaman penuh pergolakan dan perubahan besar di bidang ekonomi, sosial, politis dan keagamaan, masa persaingan antara berbagai aliran keagamaan dan masa rawan kerusuhan. Ditambah beban pajak yang mencekik leher rakyat, secara politis kian runyam. Palestina selalu menjadi mainan penguasa besar di sekitarnya. Penguasa Romawi, selalu melukai rakyat dengan kekejaman dan kekerasan yang lambat laun memercik api yang menyulut pemberontakan.
Dalam situasi Palestina yang sembraut dan kacau balau itulah Yesus lahir. Semenjak dalam kandungan ibuNya, Yesus telah mengalami sistem kekerasan penguasa Romawi. Dalam perjalanan pengungsian dari Nazaret di Galilea menuju Betlehem di tanah Yudea yang atas perintah paksa sensus penduduk yang beraroma penarikan pajak, Yesus lahir di tempat yang tidak layak. Bayi mungil dibungkus kain lampin dan dibaringkan di palungan, tempat makanan ternak. Tak hanya sampai di situ, Dia pun mengalami nasib ancaman kekerasan dan nyaris terbunuh oleh Raja Herodes yang bengis dan haus kekuasaan. Jika seandainya Bayi Kecil itu tidak diungsikan ke Mesir, nasibnya akan sama dengan ratusan bayi lain yang meregang nyawa tertembus pedang tentara Herodes.

Keadilan
Natal perdana, bintang kejora bersinar menghalau kelam. Dalam kegelapan peradaban itu, Kristus lahir sebagai fajar keadilan di tengah kegelapan hati manusia. KehadiranNya adalah rentangan tangan Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya.
Yesus lahir dan hadir menerbitkan fajar keadilan bagi mereka yang miskin papa, tertindas, tersingkir, lapar, telantar, para pendosa, orang-orang sakit dan susah. Ia menyampaikan kabar baik bagi orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk mewartakan penglihatan baru kepada yang buta dan membebaskan orang yang terbelenggu dan memberitakan tahun rahmat Tuhan! Yesus bercahaya laksana fajar keadilan dengan solidaritas-Nya kepada semua orang, terutama yang miskin dan menderita.
Demi solidaritas-Nya kepada semua orang, Yesus berhadapan dengan pribadi tertentu yang melintas dalam hidup dan pikiran-Nya, sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun dikesampingkan dan setiap orang dicintai demi dirinya sendiri tanpa pandang bulu leluhur, suku, kebangsaan, kedudukan, kepandaian atau hasil- hasil karyanya. Cinta-Nya sedemikian universal dan paripurna berlaku untuk semua orang yang merindukan keadilan dan kedamaian.
Ditengah keretakan itulah Yesus lahir dan hadir.

Keprihatinan
Rupanya wajah dunia kini dan dua ribu tahun silam tidaklah banyak berubah. Dosa yang sama tetap mewajah. Kini, berselang dua puluh satu abad, aroma keprihatinan yang dihirup oleh manusia di Palestina dulu masih dihirup oleh manusia yang hidup di zaman ini. Masa gelap itu masih menembus dimensi waktu, hingga kini masa gelap itu masih menyeruak dalam kehidupan manusia.
Ratap tangis akibat kekerasan, pekikan atas kekejaman, politik yang kotor merembes dalam kapilaritas kehidupan, sistem perekonomian kompleks yang ditimbulkan oleh segelintir pembesar merugikan rakyat yang kecil, diskriminasi ras dan gender, yang tak lagi mampu memenuhi kebutuhan pangan, pengeksploitasian terhadap manusia dan lingkungan hidup demi memuaskan keegoannya, pengungsian akibat konflik dan perang, ketidakadilan yang berselubung dalam modernitas, ketimpangan akibat teknologi, pengeliminasian terhadap hak asasi kemanusiaan masih mengisi koridor-koridor sebuah ruang peradaban manusia. Seberapa berani dan rendah hatikah kita untuk mengakui hal itu?
Ironis memang bila kesederhanaan dan kemanusiaan Kelahiran Yesus dimanipulasi dan dikhianati oleh manusia. Natal tak lain menjadi ajang konsumerisme. Natal menjadi sebatang pohon terang berbinar, natal menjadi sebuah lagu teduh tenang dan meninabobokan manusia dalam kegembiraan semu. Natal menjadi moment bertukar kado, menjadi sepiring kue tart natal, menjadi kerlap kerlip seindah gantungan dekorasi.

Merenungi Natal samahalnya merenungi sepenggal narasi kemanusiaan. Menghirup aroma Natal, adalah menghirup wewangian keIllahian yang terbungkus dalam aroma kemanusiaan. Sungguh, dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan itulah sebenarnya umat Kristiani setiap tahun merayakan kelahiran Yesus. Timbul pertanyaan, sejauh mana segala bentuk kegiatan dan perayaan Natal yang diselenggarakan umat Kristiani kian menyelaraskan diri dengan-Nya? Sejauh mana spirit kemanusiaan, keadilan, solidaritas masih melekat erat dalam lekak lekuk kita? Jika aroma keprihatinan masih mendominasi kehidupan kita, sehingga manusia masih dicekam kegelapan hidup, tidakkah kita dipanggil menghadirkan fajar keadilan dalam kehidupan bersama? Gema malam di Bethlehem itu adalah panggilan kita untuk peduli dan solider pada sesama.

10 Desember


Setiap makhluk yang menapakan kaki di lorong dunia ini, tak hanya berjalan dalam dimensi ruang. Tetapi juga dalam dimensi waktu.
Ia bebas untuk menorehkan aksara dalam buku pelajaran ‘kehidupan’ sebelum lonceng tanda selesai dibunyikan. Ketika spiral waktu mengantar pada gelanggang moment itu, tak lain adalah kesiapan mengumpulkan buku yang siap dinilai oleh Sang Guru yang Luar Biasa Bijak itu.
Moment berpacu waktu, waktu merekam segala jejak. Ketika jejak berjejal – berbaris dalam susunan verbal, yang ada hanya noktah hitam kecil dalam jagat yang raya.

Aku melamun sejenak, melihat keluar dari horison jendela kelas.
Kutatap kepik di kelopak bunga jambu. Ia tahu apa yang harus ia kerjakan
Lalu ku tatap kembali buku di depanku,
Ku tau apa yang harus kutulis.
Sekalipun itu hanya dalam anganku..

Hari itu 10 Desember ..
dunia berpesta atas hak asasi manusia ..
dan aku merenung, 9.855 hari telah ku jalani ..

Senin, 03 Desember 2007

Doa


Doa adalah keheningan. Doa ada dan tiada, ia masuk dan memantul bayang pada wilayah iman yang takjub takzim sekaligus terpesona pada Sang Pemutar Hidup. Sungguh, di hadapan Sang Tak Bisa Disamai itu, lidah tak bisa bertingkah.