Rabu, 10 Desember 2008

Titik Nol

Aku berdiam di titik nol. Akulah kenangan, kenyataan, dan harapan. Berbaur dalam fluktuasi tawa dan tangis, terpilin dalam benang ria dan pilu. Mula akhir kata – gaduh sunyi. Tinggal kerdip lilin di malam sunyi

Walk with Me


Kubersandar sejenak di pagar kayu tepi jalan kecil itu.
Melihat balik jejak-jejak yang pernah kutapaki.
Ada rasanya yang hilang, yang tak pernah ku perhatikan selama ini.
Pohon mahoni di tepi, ilalang yang rendah hati,
Dengung serangga, desau bayu dan ricik air.
Nyanyian kecil sahabat.

Terpesona.
Kulihat banyak tapak-tapak di jalan kecil itu.
Tentu ku tahu itu bukan milikku sendiri.
Dan ku yakin jika tanpa tapak-tapak itu,
Aku tak pernah sampai sejauh ini
Tak pernah sekuat ini
10220 tapak sudah ku jejakan di bumi ini.

Berjalanlah bersamaku.
Setidaknya biar ku pelajari makna yang ada
Dalam pijak-pijak di jalan ini
Sampai akhirku, sampai pada Kota yan baru.

Berjalanlah bersamaku.

Tulisan adalah Makna

Tiap tulisan adalah coretan di atas selembar kertas polos, sebuah interupsi terhadap kesatuwarnaan. Tiap tulisan adalah sebuah kehadiran yang tak selamanya bisa diduga sebelumnya pada sebuah moment yang horison. Tiap tulisan bisa saja menghadirkan makna tak semuanya bisa paripurna dalam satu kemasan yang kompleks. Barangkali, tulisan adalah perlawanan terhadap arsitektur, ribuan subversi panorama yang mengklaim dirinya sempurna.

Sabtu, 29 November 2008

Promise of Silence


… di setiap masa nampaknya selalu ada saat yang tak mudah untuk berbicara, tapi tidak gampang untuk diam. Kita tidak tahu pasti bagaimana persisnya kata-kata akan diberi harga, dan apakah sebuah isyarat akan sampai. Di luar pintu, pada saat seperti ini, hanya ada mendung, atau hujan, atau kebisuan, mungkin ketidakacuhan.
Semuanya teka-teki …

Kesungguhan Bermain


Bermainlah dengan permainan, tapi jangan main-main
mainlah dengan sungguh-sungguh, tapi permainan jangan di persungguh.
kesungguhan permainan terletak dalam ketidak sungguhannya,
sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi.
bermainlah dengan eros, tapi jangan mau dipermainkan eros.
bermainlah dengan agon tapi jangan mau dipermainkan agon.

Minggu, 09 November 2008

Tuhan Lebih Tahu


…kegagalan kita untuk memaafkan, kesediaan kita untuk mengakui dendam, adalah penerimaan tentang batas. Setelah itu adalah doa, pada akhirnya kita akan tahu bahwa kita bukan hakim yang terakhir. Kematian dengan demikian diberi tafsiran bukan sebagai lawan dari kehidupan, melainkan kelanjutannya. Di ujung sana Tuhan lebih tahu…

Rahmat yang Sederhana


…Kenapa selama ini orang praktis terlupa akan burung gereja, daun asam, harum tanah: benda-benda nyata yang, meskipun sepele, memberi getar pada hidup dengan tanpa cincong? Tidakkah itu juga sederet rahmat, sebuah bahan yang sah untuk percakapan, untuk sebuah pemikiran? ...

Diam


… Tuhan, kata Bunda Teresa, bersahabat dengan diam. Kembang tumbuh tanpa kata dan bulan bergerak tanpa berisik. …

Diberi untuk Memberi


Image sebuah modernitas adalah sebuah image vertikal yang profan. Yang modern selalu terlukis degan jelas, lurus, benderang serta mampu melintasi dimensi waktu dan ruang. Setidaknya inilah yang terekam dalam beberapa dasawarsa terakhir.
“Mampu” mungkin inilah kata kuncinya, sedang berderet di belakangnya bayangan manusia yang menangkap dengan ego. Aku adalah tahu. Barangkali, di sinilah letak persoalannya. Ketika subjek “aku yang tahu” disematkan pada tungkai tubuh yang tumbuh pada sejarah, terjadilah apa yang disebut sebagai “metafisika lubang intip”: subjek itu seakan-akan tersekap di menara tanah liat yang tertutup, dan ia memandang dunia dari sebuah lubang.
Terbatas memang. Ia tak terbuka untuk yang lain, demikian pula yang lain. Di sana tak ada yang saling silang, saling berbagi.
Berbagi adalah “memberi”. Di dalamnya, waktu tak terulangi. Tak ada pengharapan akan adanya pembalasan kelak. Ketika kita “memberi”, batas kepercayaan, solidaritas, dan waktu jelas tereliminasi. Malah waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak melingkar, malah lepas tak terhingga.
Tapi hidup kian ribut oleh manusia yang cemas. “Memberi” makin jadi laku yang sulit. Yang berkuasa adalah perdagangan: proses tukar-menukar yang mengharapkan laba.
Rahmat Tuhan tak dilihat lagi sebagai sesuatu yang memancar tak terhingga. Rahmat jadi sesuatu yang harus diperebutkan. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Tuhan akhirnya juga jadi proses pertukaran yang dikalkulasi. Manusia menyembah Tuhan dengan mesin hitung pahala yang dipegang dengan was-was: jangan-jangan Tuhan selalu kekurangan. Jika itu yang terjadi, alangkah jauh telah melangkah dari panggilan sejati.
Jika sedang kau takar talentamu hari ini, beranjaklah dari lubang intip menara tanah liat keegoan itu dan ulurkan tangan untuk berbagi. Mungkin perlu belajar seperti Abraham di dataran tinggi Moria, ia tak tahu apa faedah perbuatannya bagi dirinya sendiri atau bagi Tuhan, tapi di saat ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh ego, mengatasi rasa takut akan “dunia yang profan”. Do ut Des!

Langit yang Terpejam


Ketika malam menghantar pada gelap langit,
kita kenali lagi sepi itu:
Lampu jalanan berdiri jauh-jauh
tak ingin saling menyapa.
Jalanan menjadi datar, sedang mobil berjalan
dengan gusar.
Suara angin-angin malam berdesau menemukan rumah
seperti berpulang kepada randu,
daun-daun yang tak beraksara
Tapi Kejora masih selalu sama
pada andromeda yang tetap.
Menatapmu sambil berbinar,
mendapati malam berpijar
di dalam hitam korneamu.


Sudah kita kenali sepi itu
ketika cakrawala terpejam
dalam diam.

Senin, 03 November 2008

Holiness


What are you doing my God to one so small?

Mukjijat


Mukjijat bukanlah hal yang supranatural,
mukjijat terjadi ketika manusia belajar untuk mengeliminasi ego,
menghalau keserahkan, iri hati, kebencian,
dan dendam...

Minggu, 02 November 2008

Kebijaksanaan


Kebijaksanaan tidak dapat dikomunikasikan. Pengetahuan dapat dikomunikasikan, tapi kebijaksanaan tidak. Kita dapat menemukannya, hidup dengannya, diperkuat olehnya, menciptakan keajaiban melaluinya, tapi kita tak dapat mengkomunikasikan dan mengajarkannya...

Cukuplah Kau Bercahaya


Sebuah lilin kecil berada dalam genggaman.
Lalu ia dibawa ke sebuah ruang gelap dengan tangga menjulang keatas.
“Mau dibawah kemanakah aku?”
“Oh, aku akan menjadikanmu cahaya terang yang amat besar.”

“Tapi, bagaimana mungkin? Aku hanya sebuah kerdip lilin kecil”
“engkau mungkin tak perlu tahu akan hal itu. Aku hanya ingin engkau tetap bercahaya. Itu sudah cukup.”

Lalu, lilin kecil dibawa keatas sebuah menara mercusuar.
Dengan api yang kecil, ia menyulutkan ke sebuah perapian yang besar. Lalu di depannya diletakan sebuah cermin cembung, sehingga cahayanya memantul bermil-mil jauhnya. Cahayanya kini memandu kapal-kapal yang berlabuh di sekitar dermaga.

Kita adalah lilin kecil dalam genggamanNya.
Mungkin tak perlu kita ketahui rencana agungNya,
Cukuplah kata ini, “Aku hanya ingin engkau tetap bercahaya”

Kisah Bambu


Dalam sebuah kemarau panjang.
Pemilik kebun menghampiri bambu di sudut halaman.
“aku membutuhkanmu”
“dengan senang hati, tuan”
“aku akan menjadikanmu pengantara”
“apa yang bisa ku lakukan untuk itu?”
“aku akan memotongmu. Membersihkan daunmu. Membuang sendi-sendimu”
“tidak! Itu terlalu menyakitkan”
“jika kau tidak bersedia, maka lambat laun semua akan kering dan mati”
“tapi itu tidak adil. Kenapa harus aku?”
“sebab hanya engkau yang mampu. Maukah engkau melihat semua kering dan mati?”
“tentu saja tidak mau!”
“lalu? Bagaimana?”
“baiklah. Jadikan aku seturut kehendakmu”

Bambu tersebut dipotong, dibersihkan daun-daunnya, dibuang juga segala sekat dan sendinya. Lalu bambu tersebut diletakan diantara mata air dan lahan itu. Dan air yang mengalir melewatinya lambat laun membuat taman itu kembali segar. Hijau. Bestari.

Kita bisa memilih menjadi bambu dipojok tanah kering, atau menjadi bambu yang menjadi sarana? Konsekuensinya jelas bahwa menjadi sarana selalu ada yang ‘dipotong’ dan ‘dibersihkan’.

Sebuah Ruang Untuk Kaum Muda


Dengan tidak sengaja saya menemukan kata “paidea” dalam sebuah buku yang kubaca, yang dalam bahasa Yunani berarti pemuda. Mungkin kata ini pula yang membentuk kata “pendagogis” yang menjadi nama dari kelompok kepemudaan di beberapa paroki di Jakarta. Konon, orang Yunani memandang bahwa kaum muda adalah pemasok negara yang utama.
Dan memang itulah sejatinya kaum muda. Ia adalah sebuah garda depan masyarakat dan agen-agen perubahan budaya atau gaya hidup masyarakat yang paling efektif. Selain itu, kaum muda adalah wajah masa depan Gereja (Apalagi, wajah Asia adalah wajah kaum muda: 60% orang Asia berusia 30 tahun kebawah). Dunia membutuhkan gairah orang muda sebab antusiasme kaum muda membuat dunia lebih berdegup lebih dinamis dan penuh semangat menjawab panggilan Tuhan. Beranjak dari fenomena ini, sangat menarik apabila menemukan sebuah korelasi antara budaya kaum muda dengan agama sebagai konteks sekularisasi. Sekularisasi menggambarkan sebuah proses kultural di mana pemikiran, praktek agama kehilangan signifikansi sosialnya. Berkat penemuan iptek, sekularisasi menjadi sebuah proses penemuan jati diri dunia: “global village” itu otonom tapi tetap berkorelasi dengan Sang Pencipta (bdk. Gaudium et Spes, art. 36). Namun, dengan rendah hati kita juga mengakui bahwa penemuan itu menjadi embrio lahirnya sekularisme: suatu ideologi tertutup yang memutlakkan otonomi hal-hal duniawi tanpa keterbukaan kepada yang Illahi.

Quo Vadis Kaum Muda?
Maka, ketika dunia kita berlari dengan kencang tanpa kendali pasti, ketika anonimitas (orang tidak lagi saling mengenal) dan mobilitas (begitu cepatnya orang orang berpindah tempat) begitu pekat dan erat, sebagian besar masyarakat bergumul di tengah lalu lintas modernitas yang penuh kebisingan dan kekejaman, kaum muda juga mengalami situasi tercabut dari akar, serta terpencar, lepas dari ikatan teritorial yang tetap dan aman. Bahkan, mungkin dapat dikatakan bahwa sosok kaum muda kerap linglung mencari potret wajahnya sendiri.
Keprihatinan ini tertuang pada sebuah rekomendasi pada Temu Kaum Muda 2002 di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ada delapan masalah yang kini dihadapi oleh kaum muda: (1) masalah yang semakin kompleks (tauran, narkoba, sex bebas, film porno), (2) kecendrungan membuat kelompok eksklusif (penjelajah mal, penggemar film, playboy club), (3) hilang keceriaan, sikap kritis, spontan dan kreatif, (4) kehilangan ketajaman dalam berpikir (sulit diajak berpikir/ simplitis), (5) kesalahan pendidikan formal: konformis, suka keseragaman, tidak terbuka, tidak jujur, cuek dan apatis pada soal kemanusiaan, (6) hidup dalam dua kutub: budaya modern/ hedonis dan budaya tradisi feodal (gereja dan sekolah), (7) punya mimpi semu akan masa depan: kerja ringan tapi hasil banyak, generasi instan, (8) kegamangan menatap masa depan: tidak tahan banting.

Komunitas Basis a la Kaum Muda
Berdasarkan survei Pusat Penelitian Atmajaya – Jakarta, secara de facto kaum muda tidak krasan dalam kelompok besar dengan penanganan massal. Mereka membutuhkan kelompok kecil yang lebih menyediakan keakraban dan kekompakan. Kaum muda senang dengan variasi, dengan segala kreativitas yang membuncah, mereka mudah jenuh dengan kegiatan yang rutin dan monoton. Bagi mereka kegiatan menjadi kurang menarik kalau terlalu formal dan penuh dengan pengarahan moral.
Bersama kaum muda, kita tentu dapat memulai komunitas basis, dari kelompok yang kecil dimana keakraban tidak melulu ditemukan dalam week-end atau rapat organisasi, tapi lebih banyak ditemukan dalam acara informal seperti nongkrong bareng, diskusi, ngumpul bareng dan acara sederhana lainnya. Di Yogyakarta, sebelah utara keraton terdapat sebuah komunitas Tikar Pandan. Diatas tikar inilah kaum muda interfidei (lintas agama) berkumpul, baraktifitas, berdiskusi, berdoa, bernyanyi, bercerita. Iman terasa menyatu, lebih erat dari sekat- sekat primordial dan sekterian.
Muncul juga berbagai komunitas basis lainnya, seperti Biro Komunikasi Pelajar Katolik, Forum Kontak Pelajar Katolik, dan sebuah paroki di Jakarta Barat muncul sebuah komunitas yang bernama Socrates. Mengikuti misa bersama. Menonton film bersama, membahasnya dan mendiskusikannya, membedah buku dan aktualisasi dalam keseharian. Tak melulu di sebuah ruangan di gedung serba guna paroki, tapi sesekali mereka ngumpul bareng di Starbuck sambil menyeruput secangkir cappuccino, atau di kafe di mana biasa mereka hang out.
Dalam komunitas basis inilah Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda begitu menggema. Gereja menitikberatkan pengembangan katolisitas pada dua hal: Kehidupan iman dan kehidupan menggereja. Disinilah kaum muda diharapkan dapat menggumuli hidup sehari-hari sebagai perwujudan iman-pertemuan dengan Allah, perjumpaan dengan sesama sebagai aktualisasi diri. Ia pun terlibat dalam berbagai kegiatan tugas-tugas Gereja: koinonia/ persekutuan, kyrigma/ pewartaan, liturgia/ ibadat, diakonia/ pelayanan, dan martyria/ kesaksian.

Epilog: Sebuah Pekerjaan Rumah
Memang harus diakui bahwa filosofi hidup orang muda itu singkat, tapi maknyus, nancep, dan dalem! Nampaknya slogan-slogan iklan lebih menarik untuk mereka ikuti, seperti: “Kutahu yang kumau”, “Free Yourself”, “Cuek is the Best” atau barangkali “emangnye aye fikirin!” Di jalan-jalan umum, layar kaca di rumah, selebaran yang ditempel, dengan mudah kita menemukan sebuah kata iklan: Bukan Basa-Basi. Orang muda tak suka banyak teori bijak “basa-basi” yang kerap di jumpai dalam ajaran agama. “Ini tidak boleh, itu tidak boleh... but why not?” Kaum muda butuh jawaban yang kongkrit sebagai bukti.
Kadang muncul sebuah pertanyaan yang menggelitik: apakah kaum muda menganggap keselamatan yang ditawarkan oleh agama selama ini adalah sebuah dongeng yang meninabobokan? Situasi khas postmodern ini membuat mereka lebih berani berpikir dan menangkap tanda-tanda dalam panca indra mereka. Dan tantangan bagi kita: beranikah kita menawarkan keselamatan yang paripurna kepada kaum muda berikut dengan berbagai pergualatan eksitensial mereka tanpa harus mengubah arus mereka?
Jika kehidupan ini adalah sebuah organisasi, maka kaum muda adalah sebuah organisme yang hidup dan terus ber-‘phanta rei’ (berkembang), mereka memang harus diperhatikan agar tidak amburadul, mbrudul dan mandul. Disinilah kita ditantang untuk proaktif menemukan peluang dan praktek solidaritas universal dalam dunia sekuler.Memang, banyak opini, pendapat, ulasan, tulisan yang dapat kita kemukakan sebagai dasar untuk menyentuh keprihatinan kaum muda kita yang saecula saeculorum. Tapi barangkali ada satu pertanyaan yang jauh lebih mendasar: apakah selama ini kita juga berbicara dengan kaum muda?

Bawa kami ke Bumi


Di ujung rangka baja ini
kami merasa sepi dan dingin
wahai engkau sang waktu
mampirlah dan bawalah kami
kembali ke Bumi menghirup wangi rumput

Senin, 22 September 2008

Kapitalisme

Kapitalisme selalu akan mengubah tanah menjadi ruang yang bisa dipertukarkan, setelah itu dikonsumsi. Konsumsi adalah cara untuk menghabisi. Si petak tanah tak ubah nasibnya seperti sebongkah nasi tumpeng: ia di tata dengan indah, diberi makna simbolik, tapi tak lama setelah itu ia akan menjadi santapan, benda yang dikunyah dan ditelan.
Ya, konsumsi adalah menghabisi! membuat ludus!
Tapi, terlepas dari statusnya yang unik dan tunggal, ia selalu bisa dipertukarkan dengan sesuatu yang tak selalu tampak. Dalam agama, ia disebut "rahmat Tuhan"; dalam kapitalisme ia disebut "harga" yang tentunya ditentukan oleh "the invisible hand"

Hidup adalah Mencari


Barangkali Timothy McVeigh akan selalu ingat kejadian 19 April 1995 sampai akhirnya ia dihukum mati. dengan 2.000 kilogram campuran pupuk amonium nitrat dan bahan bakar diesel, yang ia taruh sebuah truk sewaan, ia meledakan sebuah bangunan besar di kota Oklahomo. Gedung itu tempat pemerintah federal berkantor untuk urusan kesejahteraan sosial dan badan pengawasan tembakau, alkohol dan senjata api. Suara menggelegar dan bagian depan bangunan itu hancur. 168 orang mati sebagian adalah anak-anak, 500 lebih luka-luka.
McVeigh yakin tindakannya benar, ia bersikukuh membela tuhan dengan tindakannya. Mungkin, dalam hal ini ia tak pernah sendiri. Dan kita semua tahu kelanjutkan dari kisah membela agama yang berujung pada pertumpahan darah. Juergensmeyer - penulis Terror in the Mind of God menyimpulkan bahwa agama memang selalu mengandung imajinasi yang membuat pelbagai nilai menjadi mutlak. sementara itu agama membenarkan kekerasan, dan kekerasan memperkukuh agama.
Yang agaknya diabaikan oleh para "laskar" itu adalah bahwa moral selalu menjadi manusia lebih baik menuju Sang Cahaya tanpa harus mendekatinya. bukankah hidup menjadi berarti bukan karena ingin mencapai, tetapi karena ingin mencari?

Tuhan dan Kata


Tampaknya, tak hanya ada satu makna yang terkandung dalam kata "Tuhan". bahkan sejak berkembangnya struktur bahasa, kita semakin sadar betapa tidak stabilnya makna kata.
Maka, setiap kali "Tuhan" kita sebut, sebetulnya kita tidak menyebut-Nya. Saya ingat sebuah kalimat yang pernah dikatakan oleh teman saya yang ia kutip dari sebuah sutra: "Budha bukan Budha dan oleh sebab itu ia Budha". Bagi saya, ini berarti ketika kita sadar bahwa "Tuhan" atau "Budha" yang kita acu dalam kata sebenarnya tak terwakili oleh kata itu.
dan aku semakin yakin bahwa "Tuhan" tak akan pernah terwakilkan oleh satu aksara, apapun itu!

Minggu, 17 Agustus 2008

Bangsa


Seorang DPR berkunjung ke sebuah sekolah dasar dimana dulu ia menuntut ilmu, dan ia diijinkan berbicara dengan anak-anak di salah satu kelas.
Ia maju menulis kata "TRAGEDI" dengan kapur di papan tulis.
"anak-anak, apakah kalian tahu arti dari kata tragedi?" tanyanya.

Seoarang anak yang tambun menjawab dengan percaya diri:
"Seorang kakek terjatuh dari pohon kelapa ketika ia hendak memetik buah kelapa untuk cucunya"
Bapak DPR menggeleng, "Bukan. Itu namanya kecelakaan"

Anak lain mengajungkan jarinya dan menjawab:
"Sekelompok atlet menginap di wisma dan tiba-tiba tsunami dan menewaskan semuanya"
Bapak itu kembali menggeleng, "Bukan. Itu namanya bukan kehilangan besar bagi bangsa"

Akhirnya anak lain menjawab:
"Ketika sekelompok besar bapak anggota DPR naik helikopter dan diatas sana helikopter goyang sehingga semua anggota DPR itu jatuh ke jurang"
Bapak itu bingung dan bertanya kembali, "kenapa kau sebut itu tragedi nak?"

anak itu menjawab:
"Sebab, itu bukan kecelakaan, dan juga bukan kehilangan besar bagi bangsa, pak"

Kamis, 07 Agustus 2008

Tuhan Mestikah Ada?


Di Jerman pada abad ke-13, seorang pengkhotbah Ordo Dominikan, Meister Eckhart, berdoa dengan menyebut Gotthes (Tuhan) dan Gottheit (Maha Tuhan). yang pertama adalah "pengertian" tentang Tuhan, sebuah konsep. sedangkan pengertian yang kedua adalah sesuatu yang tak terjangkau oleh konsep, sesuatu yang tak tertakar. Maka, si Eckhart berdoa demikian: "aku mohon .. agar aku dijauhkan dari Gotthes"
Tahun 1329, Paus Yohanes XXII menuduhnya 'bidaah'. Eckhart diadili dan ditemukan mati sebelum vonis dijatuhkan pada dirinya.
Menurutku, Tuhan bukanlah hasil keinginan kita. Tuhan tak benar-benar harus ada, bahkan Ia mengatasi ruang yang bernama 'ada'. Ia mampu tanpa Ada. Ia datang dalam kemerdekaan karena kasihNya.

Iman & Sarang



Iman selamanya akan ditorehkan sebagai jejak-jejak ketabahan. Tapi iman juga dibaca sebagai antagonisme. Kita bahkan bisa menampik bahwa bagi sebagian orang, imannya kepada Sang Maha Agung itu memberikan dirinya daya yang luar biasa dan sulur inspirasi yang tak pernah terhenti. Tapi, kita juga tak mampu menyanggah bahwa keyakinan abstrak itu juga membuat sebagian menghalalkan penindasan, membangkitkan kekerasan, dan menumpahkan darah.
Iman tak ubahnya perisai. Ia menjadi pelindung seseorang dari kerasnya sekitar, tapi juga sebagai perisai membela diri untuk menyerang yang lain.
Lalu kenapa iman mesti sebagai perisai?

Aku termenung. Sekali lagi aku dengar suara jengkrik, serangga yang mudah terinjak itu. Aku ingat semut yang mudah diusir, nyamuk yang dengan mudah dimusnahkan, laba-laba yang mudah diterjang, burung-burung yang mudah dihalau. Tapi mereka memiliki ruang yang privat. Entah liang, entah gua, entah sarang, yang selalu mengandung rahasia terdalam. Bagian dari desain Tuhan yang menakjubkan.

Selasa, 29 Juli 2008

Bebas!

Manusia tidak terkurung dalam tubuh, ataupun dibatasi oleh gubuk. Karena ia tinggal diatas gunung, dan mengembara bersama angin. Manusia tidak merangkak ke bawah sinar matahari untuk mencari kehangatan. Ataupun menggali lubang untuk masuk ke dalam kegelapan untuk mencari keselamatan. Manusia adalah makhluk yang bebas, sebuah jiwa yang menyelimuti Bumi dan menggembara bersama hembusan bayu di angkasa.

Alasan

Antara alasan dan tidak hanya sebatas sebuah garis yang membentang dalam-dalam dan kita selalu berada diantara garis itu sekalipun tak selamanya bersinggungan dengan garis horison itu. Bunga mekar karena ingin mekar. Tak ada alasan.

Lalu, apakah ada alasan tentang keberadaan Tuhan? Para mistikus menjawabnya “tidak”. Sebab Tuhan yang hanya terkukung dalam alasan adalah Tuhan yang hidup dalam paradigma, Tuhan yang tertangkap dalam angan dan imajinasi manusia – gambaranNya.

Mungkin itulah sebabnya, Nietzsche hanya percaya kepada Tuhan yang menari.

Senin, 28 Juli 2008

Waktu: Cermin yang Menggelembung


Waktu adalah cermin. Di dalamnya, setiap masa yang berlalu, akan saya lihat: guratan umur yang semakin nyata. keriput yang semakin banyak. pori-pori kulit membesar. rambut memutih dan rontok.
Dan ketika waktu dibaca sebagai angka: dalam setiap masa yang berlalu kita tahu jangka waktu hidup yang sama tak akan tercapai lagi. ujung jalan sudah tampak. dalam masa itulah masa depan jadi lebih tentu: hidup akan berakhir. Saya tidak akan menyaksikan batang muda yang ditanam tumbuh menjadi pohon-pohon tinggi dan rimbun, seperti deretan pokok asam dan mahoni di tepi jalan raya di masa kecil saya. saya tidak akan merasakan jalan0jalan tidak macet, polusi udara kurang karena bensin tak lagi dipakai, bulan tak lagi kusam ketika malam purnama, dan mneyaksikan yang lebih manusiawi di rumah sakit umum, di penjara, di kakilima, di museum dan teater yang dikunjungi. Ya, akan banyak hal yang takan pernah ku alami kembali.
Waktu yang "copot dari sendirinya" memang terasa mencemaskan. tapi rasa cemas itu tak melumpuhkan manusia. Dalam waktu, manusia seakan-akan terlontar. Ia mengalami kebebasan dari hukum sebab akibat, tetapi dengan itu ia masuk dalam momen "kejadian". seperti nada dalam harmoni, "kejadian" tak berlangsung dalam waktu yang sudah disusun; ia justru membuka waktunya sendiri. Bahkan pada akhirnya, "kejadian" atau "penciptaan" tak bisa selamanya berada dalam harmoni. Hidup adalah cakupan harmonis ke dalam sebuah susuanan yang macam-macam nada, termasuk yang sumbang atau, "sebuah polifoni yang terserak".

Dream of Peace!


Tuhan dan pembuhan: Mengapa itu semua terjadi, tak hanya dikalangan Kristen dan Islam, tetapi juga di kalangan Yahudi, Hindu, Sikh, dan Buddha? Penulis Terror in the Mind of God juga menyimpulkan bahwa agama memang selalu mengandung imajinasi yang membuat pelbagai nilai jadi mutlak; agama dengan itu juga memproyeksikan "perang kosmis". Sementara itu, agama sering membenarkan kekerasan, dan kekerasan memperkukuhkan agama, yang dalam kehidupan berpolitik, memberikan mercusuar ke arah tatanan moral.
Di sebuah gambar kuno lain saya lihat deretan tubuh orang Protestan yang dibakar sampai mati oleh Ratu Mary yang Katolik di Inggris pada pertengahan abad ke-16. Sejarah memang mencatat, ratusan termasuk Uskup Agung Canterbury, dipanggang hidup-hidup. Orang Katolik punya catatan lain: di sebuah terbitan Belgia tahun 1587 tampak orang Protestan memancung bayi-bayi, merobek perut dan menarik usus para korban. Juga Amangkurat I di Mataram abad ke-17 yang membabat ribuan ulama hanay dalam 30 menit.
mungkin karena manusia akhirnya sadar dan ngeri, bahwa aniaya itu akan mengenai siapa saja, selama Yang Mahasempurna sipakai untuk mnegukur hidup yang ada dalam badan yang tidak sempurna. Maka berangsur-angsur Tuhan yang menakutkan ditinggalkan, dan manusia berpihak kepada sosok yang terpentang di tiang siksa.
dan kita pun memulai perlawanan, dengan memekik atau diam. kita kembalikan kekuasaan atas tubuh sebagai pertempuran yang terus menerus dan yang menang, juga atas nama Tuhan, tak sepenuhnya menang.
Manusia hakekatnya adalah manusia, bukan babi panggang!

Where are You?

God where are you?
When I call on Your name
When the anxiety fills my heart
So many thing to blame
The road rough and hard


God where are you?
When things going unpleasant
When hope disappear
Still I am Your servant
Your answer I need to hear


God where are you?
When tears falling on my face
When chill and trembling I feel
Tomorrow will I receive another Grace
All the best finally fulfilled


God where are you?
When desperately I need you
When I lost and go astray
Looking for something I don’t even know
Recall the love I’ve betrayed


God where are you?
When I miss the way we had before
When love and peace come everyday
All these things I am asking for
Hold me until your very day

Minggu, 06 Juli 2008

Kata yang Melompat

Ada kata berlompatan di gelas capuccino
yang menghangat dari tatapan saat lelah menyengat
perlahan kata-kata kupungut
dengan kelu yang enggan berlalu nanti saat malam menyapa
bersama cakrawala yang jingga biar semua kutata lagi
kata-kata menjadi puisi

Embun untuk Sahabat

Sisa embun masih ada
menjadi titik koma pada kata di baris
yang baru kuselesaikan.
Tatapan dari bening kaca jendela
mewarnai seseorang yang menggurat rindu
dengan hentakan keyboard di sajaknya
akan dititipkannya pada pagi
sajak buat sahabat yang memberi embun
pada degup hari-harinya.

Ibu


Ibu
Beri aku sajakmu
Matahari yang belum pernah terbit di langit lain,
Kicau yang belum pernah berdesau di pohon lain,
Sukma yang belum pernah merekah jiwa lain,
Api yang belum pernah melelehkan lilin lain,
Wahyu yang belum pernah sampai ke nabi lain,
Keheningan yang tak pernah menyimpan kenangan lain,
Harapan yang tak pernah mengarah ke tujuan lain,
Amarah yang tak pernah pecah oleh sebab lain,
Tawa yang tak pernah menggema karena alasan lain
Selain aku!

Mudah-mudahan engkau yang bersahaja
yang menyala redupdi bukit, langit, dan lautan,
reda gerimis di dalam selokan,
timbul tenggelam di balik awan,
hilang tampakdi sekeliling bulan,
bangkit jatuh di ujung jalan

Berkenan menggoreskannya dalam-dalam!

Selasa, 24 Juni 2008

Si Ular

Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu:
"Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat."

Kota Pesolek

Jakarta, Kuala Lumpur atau .. kota ini adalah kota yang pesolek tetapi selalu saja seperti tak terbiasa dengan malam, dengan dingin, meskipun ia telah berdiri separuh abad lebih, dengan tertatih-tatih. Sedang gedung-gedung melembing tinggi telah menanggung musim silih berganti, begitu juga dengan taman, trotoar, halaman, bahkan juga pasar yang hiruk pikuk dini hari tadi.
Hujan menjatuhkan ujungnya yang tajam, kerap dan dingin. Sementara lampu-lampu jalanan berdiri sendiri tanpa sapa – seberkas cahaya yang kuyup dalam remang malam. Sedang angin mengaum sesekali. Kita mendengarnya dalam celah lorong yang dibentuk oleh bangunan tinggi.
Pejalan kaki berjalan kaki dengan cepat, malam semakin larut, dan jalanan menjadi semakin datar. Mobil dan sepeda motor sesekali melaju terpaksa, bagian dari kepekatan dan kesunyian malam yang tak diharapkan.

Kota-kota ini tak terbiasa dengan malam. Namun benarkah demikian. Sekali lagi kota-kota ini adalah kota remaja yang pesolek, dan berdandankan niat yang pura-pura. Kota adalah sebuah etalase besar, dimana ada sesuatu yang dipajang, dan selalu ada saja yang disingkirkan seperti najis. Kaum gelandangan merapat ke pojok, penjaga malam yang mengutuk diri, para pelacur yang mencari mangsa tapi mesti hati-hati.

Disebelah poster besar sebuah produk terkemuka di kota itu, ada seorang gadis.
Yang mungkin sama dalam cerita Andersen. Bocah lapar yang menanggung beku, yang menyalakan sebatang demi sebatang korek api, sampai habis. Kita pun tahu ia akan hilang, berpendar dalam partikel tak tampak. Dan kita pun tak peduli, bahkan tak tahu ia telah mati.

Kupu-kupu


Tak ada kupu-kupu yang terbang dengan bermodal sayap semata.
Ia harus bersahabat dengan Semesta dan hembusan cuaca.

Sanctissima, Ora Pro Nobis

Emak duduk diatas batu. Matanya terpejam namun sekalipun begitu ia memeluk semesta dalam batinnya. Jemarinya mahir bergulir di bulir-bulir kenari yang lambat menjadi halus lantaran bergesek terus menerus.
Butir-butir kenari luntur dimakan waktu, dan rantai halusnya pun tampak legam. bulir berlalu sebutir demi sebutir, hanya kata yang tak terdengar menguap bersama hening semesta. Sejak Buyung masih netek, Emak sudah terbiasa dengan bulir yang mistik itu bahkan sampai Buyung bisa berlari pun Emak masih bersikukuh dengan bulir-bulir miliknya. Satu-satunya.
"Emak, biar Buyung saja yang membantu memutar bulir itu"
"Kamu masih buyung, cukup emak yang memutarkan bulir itu bagimu"
Emak tabah memutar bulir-bulir kenarinya bersama kata-kata mistik yang tak pernah ku pahami. Ia menjalani takdirnya. Tapi ku tahu pasti, untukkulah kata-kata yang keluar seiring biji yang ranum itu tak lain adalah aksara yang senantiasa bergesek
berputar ke ruang suci..

Waktu Tak Pernah Mati

Waktu tak juga mati. Para penyair mengira waktu akan menjadi beku ketika ia dibaca sebagai sesuatu yang matematis dalam sebuah ruang yang hampa.
Namun barangkali kita semua semua tahu bahwa waktu semakin efektif dalam pilar modernitas yang melengkung. Ia menjadi abstrak tapi berisi dan pejal.
Dan dalam ruang waktu itulah, segala tapal batas terabaikan. Bahkan tak lagi bermakna dan menggema.

Tapi inikah waktu bagi kita sebut merdeka?
Barangkali belum, atau barangkali kita semakin terikat dengan waktu.
Bukankah kita memberikan daya yang ampuh?
dan setiap pagi kita bangun dengan mata yang cemas,
yang kita reduksi menjadi aksara 'merdeka'

Tuhan dalam Mangkok


Tuhan yang ku temukan di mangkok buah tadi pagi bukanlah Tuhan.
Tuhan yang ku makan dalam nasi lemak tadi siang bukanlah Tuhan.
Tuhan yang ku masukan dalam saku celana jean bukanlah Tuhan.
Tuhan yang ku dengar dalam sesayup hening malam diantara suara jengkrik juga bukanlah Tuhan.
Tuhan yang ku hirup dalam hembusan gerimis senja itu juga bukanlah Tuhan.
Tuhan yang ku ketik dalam layar notebook juga bukan Tuhan.

lalu?
Tuhan sejatinya Zat yang tak dapat ku peluk ..

Minggu, 15 Juni 2008

Cahaya


Benda; Energi; Cahaya ..

Mungkin hanya cahaya yang selalu di damba.
kita ubah benda,
kita ubah pula energi,
hanya untuk mendapatkan secercah
cahaya ..

Sajak untuk Hdj


Sudahi saja tangis itu
Sempurnakan saja kepak sayapmu
Hingga sampai ke gerbang Petrus
di Nirwana ..


Sabtu, 14 Juni 2008

Gemuruh Guruh


Tak ada dunia yang diciptakan dapat merintangi jalannya guruh!
Gemuruh di langit tak mampu terekam oleh indra penglihatan. Ia hanya mampu di dengar. Oleh karena itu, manusia tak dapat menariknya dalam patokan fokus. Cahaya mentari dan semarak bianglala memberi kita pengenalan akan ruang. Tapi gemuruh memberi ruangan lain, yang menggelegar tanpa pernah tau muncul di titik mana. Sesuatu yang tak terkendali, yang muncul serentak dari segala arah. Makin lama, suaranya makin hilang. Makin lama - kata ini membentuk dimensi waktu.
Dan kita tahu, Gemuruh berjalan dalam dimensi ruang dan waktu. Mungkin gemuruh datang dari kedalaman waktu. Bagian dari keabadian waktu.

Senin, 09 Juni 2008

Tuhan Menyapa

“Tuhan memanggil” mungkin kata yang terlampau menggelembung. Tapi adakah yang lebih mengharukan dari “panggilan” itu?
Dan perihal”‘panggilan” itu, salahkah bila Yang Terkudus tak melulu hadir dalam hening sunyi tanpa bunyi? Bukanlah Ia juga bergetar dalam resonansi yang kerap kali tertangkap oleh kornea mata. Dan kita semua sadar memiliki indera penglihatan selain pendengaran?
Mata memang menyimpan daya yang ampuh. Butiran momen tersusun pejal dalam pigmen yang merekah. Pandangan melahiran rupa, sedang rupa menerobos masuk dalam wacana, mengatasi konsep, rumus, nalar dan membuncah keluar dalam satu aksi yang tak selalu dimengerti.
Matius sangat jeli bermain aksara. Ia menulis prolog Injil minggu ini: “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka ..”. Belas kasian! tampaknya sikap ini yang meluntur seiring deting sang waktu. slide momen itu pula yang terekam dalam mata Sang Terkudus, dan membuncah keluar dalam aksi panggilan dan pengutusan.
Mungkin “panggilan” bukan kata yang menggelembung. “Terpanggil” berarti terpesona kepada yang-beda, menyentuh apa yang terbatas dalam diri sendiri pada saat bersua dengan yang-lain, dan sadar bahwa bahasa tak bisa menangkap apa yang ada dalam diriku dan yang-lain itu.
Mungkin seperti Abraham di Moriah: para rasul tak tahu apa faedah panggilan dan pengutusan bagi dirinya sendiri atau bagi Tuhan, tapi di saat ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh Rakus, mengatasi rasa takut akan hilang di ”dunia yang profan”. Pada titik itulah, Roh Tuhan berdaya optimal.
Kini, beribu tahun, tak jarang hubungan manusia dengan Tuhan tak ubahnya proses pertukaran yang dikalkulasi. Manusia menyembah Tuhan dengan mesin hitung pahala yang dipegang dengan was-was: jangan-jangan Tuhan selalu kekurangan. Orang pun berlomba melipatgandakan ibadat dan amal demi pahala. Jika itu yang terjadi, alangkah jauh telah melangkah dari sebuah kata awal yang sederhana: “oleh belas kasihan ..”
Panggilan terajut nyata dalam lembaran iman, sedang iman tak lain adalah anak tangga menuju Tuhan. Di mana setiap anak tangganya tersusun dari bongkahan rasa gelisah mencari, kegalauan ingin menemukan dan juga niat untuk merombak.
Deus mitto vos!

Jumat, 06 Juni 2008

Agama Tak Ber-Tuhan


Pertama-tama, dalam pengobatan gigi kita tak lagi merasa sakit.
Lalu sepeda tak lagi berantai,
Kereta tak lagi mesti berkuda,
Banyak hukum dirombak dan tak lagi dipaksakan,
Alat memasak pun tak lagi memakai api
Rokok tak lagi bernikotin,

Lalu semangka tak lagi berbiji,
Pemandangan hijau tak akan lagi dihalangi alang-alang
Mahasiswa tak lagi perlu memakai jas almamater
Baja tak lagi berkarat,
Lapangan sepak bola tak lagi berumput

Dan,
Agama baru pun tak lagi bertuhan ..

Kamis, 05 Juni 2008

Persepsi


Dua orang memandang dari jendela yang sama.
Seseorang memandang lumpur,
dan yang lain memandang bintang.

Apple for God

Ada seorang yang tidak memiliki apa-apa dan Tuhan memberinya 10 buah apel. Tiga apel pertama untuk dimakan, tiga buah apel kedua digunakan untuk menyewa tempat tinggal, dan tiga buah apel berikutnya untuk ditukarkan dengan pakaian. Sisanya sebuah apel terakhir diberikan untuk dapat dipersembahkan orang itu kepada Tuhan sebagai ungkapan terima kasih atas kesembilan apel yang telah diterimanya.
Orang itu kemudian memakan tiga buah apel pertama, tiga apel berikutnya dia tukarkan dengan tempat tinggal. Tiga apel berikutnya ia belikan pakaian.
Lalu kemudian ia memandang apel ke sepuluh. Tampaknya apel itu jauh lebh ranum dan lebih segar dari sembilan apel yang pernah ia terima. Dia sendiri tahu persis bahwa apel kesepuluh itu harus dipersembahkan kepada Tuhan sebagai ungkapan terima kasih. Tapi pikirnya bahwa Tuhan pasti memiliki semua apel di dunia ini, dan apel kesepuluh ini sangat istimewa.
Lalu orang tersebut memakan apel kesepuluh itu, dan mempersembahkan biji apel kesepuluh itu untuk Tuhan..

Ah, tampaknya aku lebih besar dari Tuhan
Dan Tuhan mesti menurut ..

Lebih Sempurna


Dua orang taksidermist – ahli mengisi kulit binatang dengan kapas sehingga binatang tampak hidup) berhenti di depan jendela dimana seekor burung dipamerkan.
Mereka mulai membuka percakapan;
“Matanya tidak alamiah”
“Sayapnya tidak seimbang dengan kepalanya”
“Bulunya tidak diatur dengan rapi”
“Ah! Kakinya masih bisa dibikin lebih bagus lagi”

Ketika mereka sedang meluncurkan semua kritik itu, burung itu tiba-tiba mengedipkan matanya dan terbang meninggalkan mereka.

Kerapkali, kita mencoba lebih baik dari Sang Pencipta!

Selasa, 03 Juni 2008

Blue Ocean of Life


I do not know what I may appear to the world. But to myself I seem to have been only a boy playing on the sea shore, and diverting myself in now and then finding a smooter pebble or a prettier shell than ordinary, shilst the great ocean of truth lay all undiscovered before me!
Saya tidak tahu bagaimana dunia memandang saya, namun saya memandang diri saya sendiri tak lain dari seorang bocah yang sedang bermain-main di pantai, dan kadang-kadang mengalihkan perhatian saya untuk mencari coral yang lebih halus, atau kulit kerang yang lebih indah daripada biasanya. Sedang di depan saya terbentang lautan kebenaran yang tak terselami.
Sir Isaac newton, ahli matematika kelahiran Inggris, sepanjang hidupnya merasa dirinya tak pernah menyelam dalam laut biru kebenaran itu. Ia hanya menganggap diri hanya bermain di sepanjang horison pertemuan lautan dan darat, di hamparan panjang pasir.

Manusia adalah makhluk yang bermain. Ia bermain dengan waktu, nasib, waktu, spekulasi, dan bermain dengan ego dan imaji. Celakanya, sebagian tak pernah tahu ada samudra kebenaran yang terhampar. Ia begitu sibuk dengan dirinya tanpa pernah tahu dan tahu-tahu ia terkubur oleh pasir yang ia bangun sendiri.
Sebagian begitu senang, tapi akhirnya tengelam!

Homo Viator

Do ut des: aku berbuat demikian supaya engkau memberi. Aku melakukan ziarah supaya segala doa dan permohonanku dikabulkan. Pelan atau keras demikianlah degup yang berdetak dari sebuah penziarahan.
Sungguhkan demikian proses tawar menawar itu?
St. Bernadette dalam secarik pesannya, In the footsteps of St. Bernadette:
“Bila kamu datang berziarah, janganlah sepert turis, tapi berlakulah sungguh sebagai penziarah – homo viator, mulailah sebuah perjalanan, yakni masuklah dalam sebuah perjalanan dan lepaskanlah pelbagai kesenangan serta lemparkanlah dirimu dalam ketidaktahuan mengikuti Yesus..”

Ziarah tak lain adalah sebuah upaya yang tak pernah lepas dari suatu pencarian hati akan kehendak Yang Maha Suci yang memutar Spiral Keajaiban – lalu dengan senantiasa melemparkan diri dalam pelukanNya tanpa syarat, tanpa ada lagi keinginan yang perlu diutarakan.

Sanctify Me


Soul of Christ, sanctify me
Body of Christ, save me
Blood of Christ, inebriate me
Water from the side of Christ, wash me
Passion of Christ, strengthen me
O good jesus, hear me
Within Thy wounds hide me
Permit me not to be separated from Thee
From the wicked foe, defend me
At the hour of my death call me
And bid me come to Thee
That with Thy saints I may praise Thee
For ever and ever. Amen
(St. Ignatius of Loyola)

Rabu, 21 Mei 2008

Enigma


Saudara,
Apakah yang mengeras di kepalamu? Belulang!
Apakah yang bernyanyi dalam hening pikiranmu? Mimpi!
Apakah yang berdegup dalam alur detak jantungmu? Juang!
Apakah yang mengalir dalam diammu? Emosi!

Butiran enigma tak terjawab,
ketika abtrak dan nyata terlebur satu
ketika bayang dan objek bertemu
dalam tubir nan tipis
itu ..

Jumat, 16 Mei 2008

Mamat


"Mak", Mamat mencolek paha ibunya yang sedang tertidur dengan kakinya.
"Mmm.." emak menyahut sekenanya.
"Bosan" ujar Mamat.
"Maen sana",ujar emak yang masih terkantuk - kantuk menunggui dagangannya yang tak laku - laku sejak pagi tadi.
Mamat diam saja.
"Mak", kali ini sedikit keras.
Apa sih lu?", emak agak marah.
"Aku bosan", Mamat mengulang lagi.
"Ya sudah maen sana", emak mulai marah tapi tetap berbaring dan berjuang melawan kantuk.
Aaah! Mamat merasa tak puas dengan perhatian emak dan kali ini lebih keras mencolek paha emak dengan kakinya.
Emak bangun lalu memukul Mamat dengan gagang kipas pengusir lalat yang sedari tadi berkeliling di atas kue dagangannya.

"Kurang ajar!", Mamat berhasil menghindar dari pukulan emak kemudian berlalu pergi sambil teriak..."Wek! Gak kena Wek!", kepada emak.
"Anak setan!", emak tak kalah kencang meneriakinya.

Mamat yang hidup di pinggir pasar yang terletak di daerah Jakarta Barat adalah salah satu dari sekian banyak gambaran anak Indonesia yang hidup dijalanan ibu kota yang keras dan liar.