Rabu, 30 Januari 2008

Sidik Jari Allah dalam Maut


Bayangkan saja kalau malam ini atau beberapa menit lagi kita menghadapi masa-masa yang menentukan dimana malaikat pencabut nyawa berdiri di samping kita dan siap membawa jiwa kita pada pintu maut. Atau coba kita bayangkan raga kita berbaring tenang tanpa hembusan nafas dan detak jantung dalam peti yang dingin kaku. Apakah kita masing-masing sudah siap?
Memang tak satupun dari kita yang dapat menyangkal kematian. Ia adalah salah satunya kepastian ditengah ketidakpastian hidup ini. Bagi yang hidup, mati adalah pasangan hidupnya. Makhluk apapun yang hidup di muka bumi ini pada hakekatnya akan mati. Sehingga seharusnya mati menjadi bagian yang hakiki dari prosesi yang bernama hidup ini. Namun kematian bisa menjadi sedemikian dramatis ketika melibatkan diri kita sendiri, dan melibatkan orang yang kita cintai. Lantas kematian menjadi momok yang sedemikian menakutkan. Nyali menjadi ciut ketika membayangkan raga kita atau orang yang kita cintai membujur kaku. Kematian menjadi hal yang tabu dan kalau bisa kematian pun diminimalisir. Kematian semakin dihindari. Manusia memang tidak bisa mengatasi kematian, ketidaktahuan, kesengsaraan dan akhirnya mereka memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Namun bagaimanapun manusia menghindar, malaikat maut pasti datang. Seperti yang ditulis Horatius, seorang penyair lirik asal Roma (8 SM), dalam bukunya: Mors et fugacem persequitur virum – kematian mengejar siapaun yang berlari di depannya.

Kematian: Prosesi Kehidupan
Menghadapi kematian, pada dasarnya orang dapat mengambil salah satu dari dua sikap berikut. Sikap yang pertama adalah lari dari kematian, mengingkari kematian secara ekstensial dan berusaha mencapai kebakaan melalui anak keturunan, ketenaran, kekuasaan dan berbagai kegiatan lain. Ernest Becker menulis demikian: gagasan kematian, ketakutan akan kematian dan kematian menghantui manusia melebihi hal lain mana pun, ini merupakan dorongan utama kegiatan manusia, kegiatan yang dirancang pada umumnya untuk mngelakkan kefatalan kematian, untuk mengalahkan kematian itu dengan mengingkari bahwa kematian adalah takdir terakhir untuk manusia (The Denial of Death).
Sikap yang lain adalah secara bebas merdeka dan siap sedia menerima kematian, dengan segala implikasinya menyangkut keterbatasan dan ketidaksempurnaan, sebagai kesempatan unik untuk merealisasi diri secara tidak terbatalkan melalui kebebasan, sebagai terang yang menyinari segala sesuatu melalui keberadaan orang. Sikap menerima seperti itu bukanlah sekedar persetujuan intelektual belaka kepada dimensi abstrak bahwa orang akan mati. Sikap seperti ini diwujudkan dalam suatu sikap spiritualitas atau cara hidup yang ditandai yang ditandai oleh rasa syukur dan terima kasih atas anugrah hidup, oleh keseriusan bertanggung jawab untuk membangun hidup melalui kebebasan, oleh sikap menerima keterbatasan-keterbatasan dan kelemahan-kelemahan, dan keberanian yang rendah hati menerima kematian itu sendiri.
Orang Kristen bahkan dapat menginginkan kematian, bukan untuk mengelak dari penderitaan, tetapi untuk mempersatukan diri dengan Kristus yang bangkit dan untuk semakin meresapi misteri Allah. Tentu saja, mistisisme kematian ini tidak membebaskan orang Kristen dari kewajiban memelihara tubuh mereka dengan sebaik-baiknya dan tidak memberi mereka hak untuk mengambil langkah-langkah positif mempercepat kematian mereka.
Barangkali contoh terbaik mistisisme ini ditemukan dalam Gita Sang Surya, karya Santo Fransiskus Asisi. Dalam madah ini, ia mengucap syukur dan berterima kasih kepada Allah tidak saja atas anugrah hidup, tetapi juga atas kematian: Terpujilah Engkau, Tuhanku atas saudari kami Maut jasmani, daripadanya tak ada orang yang bisa lepas. Celaka orang yang akan mati dalam dosa berat! Bahagia orang yang akan ditemukan ada dalam kehendak-Mu yang suci, sebab kematian kedua tidak akan menyentuhnya.

Langit dan Bumi yang Baru
E.J Fortman dalam bukunya Eternal After Death, menulis bahwa ada seorang teologis yang mempunyai banyak sekali angan dalam hidupnya sehingga ia juga menginginkan adanya ruang ilmu, ruang kesenian, ruang musik, ruang psikologi, ruang fisika, ruang filsafat dan sederet ruang lain dalam rumahnya yang baru di surga.
Orang mungkin akan tertawa membaca daftar itu. Sederet permintaan yang tak lebih sama dengan permintaan seorang anak kecil pada hari natal. Namun tentu saja, Feuerbach, Marx, Freud benar apabila mereka berkata bahwa surga tak lebih dari sekedar proyeksi manusia saja seandainya daftar itu dipahami sebagai lukisan faktual tentang seperti apakah kerajaan kekal itu. Akan tetapi, apa yang tidak berhasil oleh para pemikir yang terpancang di bumi dan daya angan-angannya ialah bahwa daftar itu bukan kulisan faktual mengenai hidup di akhirat, melainkan ungkapan harapan manusia yang diciptakan sedemikian sehingga tidak akan tenang sebelum beristirahat dalam Allah.
Pengharapan ini bukanlah penantian yang iseng atau isapan jempol. Nyala api pengharapan itu dipelihara dan terus berkobar oleh iman kepercayaan yang dijadikan aktif dalam cinta kasih. Pemenuhan pengharapan itu bergantung pada cinta kasih Allah yang tak terbatas kepada kita dan pada kedalaman jawaban dan tanggapan kita atas cinta kasih itu dengan mencintai setiap jejak dan karya Allah di bumi ini. Mungkin surga membawa kita kembali ke bumi, ke jantung dunia, tempat kita dengan bebas dan cinta kasih, dan dengan bantuan rahmat Allah, mengukir batu nisan kita yang kekal.Ketika kelak jiwa kita lepas dari raga kita yang hancur, kitapun bisa berseru penuh kemenangan, “Hei maut! Dimana sengatmu?”

Oase Hidup

Hidup adalah rangkaian masalah yang mesti diselesaikan, sebuah benang kusut yang mesti diuraikan. Setiap pribadi memiliki masalahnya sensiri, bahkan dunia kita yang tua ini juga menyimpan sekelumit masalah yang senantiasa membisikan kepiluan mendalam. Kita dapat membedakan dewasa ini terdapat 1,3 milyar orang hidup di bawah ambang batas kemiskinan absolut, 840 juta orang menderita kelaparan yang 200 juta diantaranya adalah anak-anak. 13 juta orang dihukum mati setiap tahunnya, yang juga berarti bahwa hampir 36.000 orang setiap hari – atau 1.500 tiap jam – 25 orang tiap menit atau kira-kira 1 orang dihukum mati dalam setiap 3 detik. Di luar sana, juga terdapat kira-kira 1,5 milyar penduduk dunia yang memiliki harapan hidup kurang lebih dari 60 tahun, lebih dari 880 juta orang tidak memiliki akses ke pelayanan kesehatan, dan 2,6 milyar orang tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan yang hakiki. Antara tahun 1990 dan 1997, jumlah orang yang terserang virus AIDS meningkat dari 15 juta menjadi 33 juta orang. Tahun 2007, tak urag dari 40 juta orang sudah terjangkit epidemi yang belum ditemukan obatnya.
Kemiskinan menimbulkan banyak persoalan sosial lain, pelacuran, peredaran obat bius diantara anak-anak, tindakan kekerasan dan kejahatan yang mewabah. Kekurangan dari lapangan kerja dan harga bahan pokok yang membumbung tinggi adalah sebab utama dari banyaknya jumlah korban yang putus asa. Kegelisahan budaya adalah wajah tersendiri dari kemiskinan. Terdapat 8,5 juta orang dewasa yang buta huruf dan lebih dari 260 juta anak-anak terdepak dari pendidikan sekolah dasar dan menengah. 88% pengguna internet hidup di negara-negara industri, semantara 2 milyar orang belum mempunyai penerangan listrik. Dan bahwa 20% dari penduduk dunia yang makmur mengkonsumsi 86% dari seluruh kekayaan dunia. Dunia yang dramatis, ironis dan tragis!
Kita tidak bisa menutup mata terhadap masalah global yang dihadapi, sekalipun kita mampu berkata, “bodo amat! Masalah gue aja gak ada yang peduliin”. Kita memang tidak bisa membuat sesuatu yang dasyat dan luar biasa, yang bisa menyulap angka-angka statistik diatas dengan cepat dan mudah. Kita juga tak akan bisa menyelesaikan semua masalah itu dengan cara mengeliminasi semua masalah pribadi kita.
Namun, selalu ada jalan kecil yang selalu dimulai dalam diri kita sendiri, dari hal yang paling dekat dengan diri kita. Mungkin tak perlu bagi yang kaya secara radikal menjual semua benda dan mengambil rupa miskin, setidaknya ia masih mampu untuk menyisihkan sesuatu bagi yang butuh. Mungkin tak perlu bagi pejabat untuk mengundurkan diri, setidaknya tidak dengan korup dan mulai memikirkan rakyat di republik ini sudah cukup. Mungkin tak butuh membentuk komisi, setidaknya dengan kehadiran kita sudah memberi angin baru, kelegaan sesama kita.Datanglah kepadaKu kamu yag letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu .. masihkah kita ingat ayat ini? Masihkah mampu menyebut diri Kristen sedang kita bahkan tak lagi kuat dan berani untuk berkata demikian bagi sesama yang berbeban berat? Atau jangankan kelegaan yang dapat kita bagi – yang ada malah cuma bikin bete, wahahualam ketenangan, yang ada cuma bikin keki .. nah loo!

Selasa, 29 Januari 2008

Komitmen Manusia Pembelajar


Aku adalah pembelajar di ‘Universitas Besar Kehidupan’
Di mana aku berdiri sendiri berhadapan dengan Tuhanku,
Lalu merenungi hakekat penciptaanku
Di sana, di sanctuari itu, aku akan melakukan ziarah,
Perjalanan ke dalam jiwaku.

Aku adalah pembelajar di ‘Universitas Besar Kehidupan’
Di mana aku belajar untuk menerima tangung jawab
Dengan pertama kali berusaha menjadi diriku sendiri,
Dan bukan orang lain
Untuk menolak yang ditentukan, didikte, dipaksakan oleh yang
Bukan ‘diriku’ siapapun atau apapun itu.

Lalu aku akan bertanya siapakah aku ini?
Dari mana aku berasal dan ke manakah aku akan pergi?
Apakah aku mampu dan harus aku lakukan sebagai egoku?
Apakah yang akan kutinggalkan di dunia ini?
Dan, kepada siapa siapa aku harus percaya kalau bukan
Kepada-Mu?

Lalu aku berjanji:
Aku akan mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu
Dengan mencari pengetahuan diri sepenuh hasrat
Dengan merancang pembangunan kehidupanku sendiri
Dengan keberanian menyatakan perbedaan
Dan merayakannya
Dengan mengatasi ketidakmampuan belajar
Dengan menjadi semakin manusiawi,
Lalu fidele a la mort (setia sampai mati)



** Puisi A. Harefa kutulis dalam skripsiku

Senin, 21 Januari 2008

Tuhan Tak Memiliki Rumah


Dalam jagat yang maha raya ini Tuhan menyembunyikan dirinya. Ia merasuk dalam keheningan semesta, diantara bentangan hutan dan diantara butiran klorofil hijau daun pakis. Dalam mineral yang dikandung dalam rahim bumi ini Tuhan bersemayam, dalam riak gemilang air yang mengalir gemericik Tuhan membasuh wajahNya.
Kepada kepik merah di tubir kuning bunga peoni, kepada insekta yang penuh warna dan mempesona, kepada burung-burung penjelajah samudra. Kepada bianglala merona angkasa, kepada embun pagi bersahaja, kepada andromeda perkasa, Ia bercanda dan bercerita tentang narasi-narasi kasih terdalam. Ia menata semuanya dalam kemah KerahimanNya.

Lalu manusia – rupaNya sendiri mengubah dengan rancangannya yang ringkih. Hutan menjadi tiada, semua dipetakan menjadi sebuah penghunian yang setinggi gedung Babel. Dengan kayu yang ia olah, manusia menjadikannya sebuah tempat ibadah sebagai syukurnya atas Dirinya dengan ornamen rumit dan indah. Dengan mineral dalam kandungan bumi ia oleh menjadi lonceng yang menggema menerobos hening pekat. Pilar, menara, tempok, berdiri bisu dalam keponggahan manusia. Selanjutnya doa dengan pengeras suara, lagu menerobos sesak udara, tak menyisakan lagi ruang hening menggoreskan makna.
Angin bertiup tapi tak lagi mengalunkan nada, mentari tetaplah bersinar tapi tak lagi menyapa.

Saat manusia sadar, Tuhan sudah tak lagi memiliki rumah!

Seabad Pekan Doa Sedunia


Embrio pemikiran Paul Wattson tentang kesatuan umat Kristen sedunia dalam doa menetaskan Pekan Doa Sedunia (PDS) pada tahun 1908, tepatnya pada tanggal 18 – 25 Januari, suatu momen untuk mengisi hari-hari antara pesta Santo Petrus dan Santo Paulus. Sungguhpun acara tahun tersebut sudah berjalan seabad penuh, rupanya baru 40 tahun yang lalu seluruh gereja sedunia menerima untuk pertama kalinya bahan-bahan mengenai PDS yang dipersiapkan oleh Dewan Gereja Sedunia.
Kini, bersama seluruh gereja sedunia, Anglikan, Protestan, Ortodoks, Katolik tengah mempersiapkan diri untuk merayakan PDS sebagai suatu momen khusus dimana doa bersama dipanjatkan sebagai satu kesatuan yang penuh harapan dan kegembiran.
Tentunya usaha persatuan umat Kristiani tidak hanya terbatas pada satu pekan. Kita semua didorong untuk menggunakan pada kesempatan yang cocok sepanjang tahun guna mengungkapkan rasa kesatuan dari gereja-gereja, dan berdoa bersama bagi persatuan yang penuh sebagaimana dikehendaki oleh Kristus sendiri.

Tetaplah Berdoa
PDS tahun 2008 ini mengambil tema yang diambil dari teks Kitab Suci, “Pray without ceasing”, tetaplah berdoa (1 Tes 5:17), menekankan pentingnya peranan doa dalam umat Kristiani sebagai anggota dari Tubuh Kristus yang satu, dan hubungannya dengan sesama anggota lainnya.
Surat rasul paulus kepada jemaat di Tesalonika ditulisnya pada tahun 50-51. ia memang memiliki hubungan yang erat dengan umat di Tesalonika. Ia menulis beberapa surat ketika ia dipenjara bersama Silvanus dan Timotius setelah ditangkap dan disiksa di Filipi, ia mengharapkan bahwa jemaat di Tesalonika mampu bertumbuh dalam iman dan kasih dan saling mengingatkan satu sama lain.
Demikian juga dengan jemaat Kristen sedunia, dengan menyatukan kedua tugas dari Gereja dan karya misi ini, tema Minggu doa untuk persatuan Gereja tahun ini bermaksud menekankan hubungan mendasar antara usaha untuk berdoa demi persatuan di antara umat Kristen dan berinisiatip untuk menjawab kekurangan dan penderitaan umat manusia. Roh yang sama menjadikan kita saudara dan saudari dalam Kristus dan menguatkan kita untuk menyentuh kebutuhan semua manusia yang berkekurangan. Roh yang sama, yang sedang berkarya untuk merealisasikan usaha persatuan umat Kristen juga memberikan kekuatan kepada setiap gerakan yang mengarah pada pembaruan muka bumi. Setiap upaya mengurangi penderitaan akan menampakkan persatuan di antara kita, dan setiap langkah kepada persatuan membuat seluruh Tubuh Kristus semakin kuat.

Delapan Hari PDS
Hari pertama: tetaplah berdoa (1 Tes 5:17)

Dalam Injil Lukas dikisahkan seorang yang mencari keadilan dengan terus berseru-seru kepada hakim, dan akhirnya permintaanya dikabulkan. Deikian juga dengan kita, umat Kristiani, doa yang diserukan kepada Tuhan dalam kesetiaan akan dijawab olehNya. “Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?” (Luk 18:7).
Hari kedua: Berdoalah senantiasa, percaya kepada Allah
Renungan hari ini diambil dari surat pertama Rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika 5:18. Cerita Nabi Elia yang dicatat dalam Kitab Raja-raja membuktikan bahwa hanya Allah yang hidup yang memberikan api kepada bahan kurban. Menyadari hal ini, para penyembang dewa baal berbalik kepada Tuhan. Demikian juga kita, percaya hanya dalam satu nama Tuhan.
Hari ketiga: Berdoa senantiasa untuk perubahan hati
Renungan hari ini diambil dari surat pertama Rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika 5:14. Cerita mengenai Nabi Yusus yang diutus Tuhan untuk mempertobatkan penduduk di Niniwe. Demikian juga kita, dipanggil untuk mendengarkan Tuhan dan menyesal dan berbalik, sebegitu pentingnya berrekonsiliasi.
Hari keempat: Berdoa senantiasa untuk keadilan
Renungan hari ini diambil dari surat pertama Rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika 5:15. Bersama seluruh umat Kristiani lainnya, kita mendoakan keadilan, penghormatan kepada hakekat kemanusiaan.
Hari kelima: Berdoa senantiasa dengan hati yang sabar
Renungan hari ini diambil dari surat pertama Rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika 5:14. Kesabaran dalam berdoa memang dibutuhkan. Kadang doa kita seakan tak dijawab, tapi biarlah Tuhan bekerja dalam caraNya, dalam waktuNya. Tapi tak hanya dalam berdoa saja, kita dipanggil menjadi sabar dalam setiap hal, dalam setiap peristiwa.
Hari keenam: Berdoa senantiasa atas rahmat untuk bekerja bersama Tuhan
Renungan hari ini diambil dari surat pertama Rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika 5:16. Allah bersama manusia, ciptaannya, hendaknya adalah satu kolaborasi yang indah. Seperti jemaat di Tesalonika, hendaknya kita juga senantiasa bergembira dan berdoa tiada henti, dan tentunya bekerja bersama Tuhan dalam dunia ini.
Hari ketujuh: Berdoa senantiasa unutuk hal yang kita butuhkan
Renungan hari ini diambil dari surat pertama Rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika 5:14. Cerita Hanna yang tidak dapat melahirkan dan menimbulkan stress yang hebat pada dirinya menjadi inspirasi. Ia senantiasa berdoa untuk hal yang ia butuhkan, dan kita tahu bahwa Samuel (yang kuminta dari Tuhan) dilahirkan. Kita didorong berdoa untuk yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Hari kedelapan: Berdoa senantiasa, agar semua menjadi satu.
Renungan hari ini diambil dari surat pertama Rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika 5:13b. Melalui babtisan kita telah menjadi satu dalam Tuhan. Demikian juga dalam Yoh 7:22 “supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu”!

Senin, 14 Januari 2008

Laudate


Jika aku berpikir bahwa aku adalah seseorang atau sesuatu, Tuhan tidak akan muat di dalam aku. Karna Tuhan sesungguhnya sungguh Besar ..

Benedictus Deus, qui fecit mirabilis solus..

Transeamus


Sebagian orang berpikir bahwa berjalan diatas air atau di udara adalah suatu keajaiban. Tetapi menurutku, keajaiban adalah berjalan di atas Bumi ini. Setiap jengkal tanah yang dipijak menyisipkan keajaiban yang luar biasa. Langit biru lazuardi, hujan di bulan Juni, mata anak-anak yang ingin tahu, biji yang berkecambah, semut di lubang cetek di tanah..
Sebagian orang berpikir bahwa membagikan dan mencukupkan lima roti dan dua ikan kepada lima ribu orang adalah peristiwa mengagumkan. Tetapi menurutku, adalah lebih mengagumkan ketika kita masih mampu membentangkan tangan untuk sesama, sedang kita tak mempunyai apapun lagi untuk dibagi..
Sebagian orang berpikir bahwa mengubah air menjadi anggur adalah peristiwa yang luar biasa. Tetapi menurutku, jauh luar biasa ketika kita mampu mengubah kelam malam menjadi cahaya mentari pagi, lebih luar biasa kita mampu mengubah air mata menjadi senyum berbinar, lebih luar biasa ketika kita mengubah ketakutan akan maut menjadi kebesaran hati untuk memaknai jejak hidup itu sendiri..

Jumat, 04 Januari 2008

Kemartiran Tak Berdarah


Tubuh adalah misteri yang menyimpan sekelumit imajinasi. Jadi tak salah rasanya jika kita berimajinasi andai ada satu dari kita terpilih menjadi Uskup San Salvador 30 tahun silam. Apa bisa kita selantang itu meneriakan kebenaran? Atau apa kita seberani beliau merayakan misa di depan todongan pistol dan ditelanjangi di depan publik? Atau kita sekuat beliau ketika sebutir peluru menghunjam di dadanya ketika konsekrasi?
Dan sah-sah saja jika kita berimajinasi menjadi Bunda Teresa; apakah ada satu dari kita berani lantang berteriak, “Aku akan meninggalkan tempat ini kalau ibu, kakak, atau saudaramu ke sini dan merawat mereka yang hampir mati ini!”, ketika dipaksa warga sekampung untuk meninggalkan karya karitatif dan mendedikasikan penuh bagi gelandangan miskin dan kumuh yang memenuhi koridor-koridor kota.
Bisa saja kita menjawab ya atau tidak dengan mudah, karena memang kita tidak hidup di spiral waktu yang sama, juga tidak hidup dalam gelanggang permasalahan yang sama.
Walau Bunda Teresa tidak mengakhiri hidupnya dengan tetesan darah seperti yang dialami oleh Uskup Romero, rasanya tak bisa sangkal bahwa kesaksian yang diberikan oleh Bunda Teresa adalah kesaksian yang sama yang diberikan oleh Uskup Romero.
Kedua orang di atas melakukan hal heroik tersebut karena kesaksian akan Kerajaan Allah. Kesaksian akan Kerajaan Allah seperti ini memang paling sempurna diteladankan oleh Kristus. Tak sedikit pengikut Orang Gila ini mengalami nasib yang sama. Tapi agaknya tren kemartiran berdarah hanya terjadi di satu dua tempat di bumi ini. Hal ini bisa dimengerti karena kemartiran adalah soal kesaksian akan kebenaran, dan pencurahan darah adalah risiko dari kesaksian seperti itu.
Kristus mengingatkan kita kembali untuk senantiasa berjaga, bersaksi dan hidup dalam kebenaran, yang berbicara dengan jujur, yang menolak untung hasil pemerasan, yang mengebaskan tangannya supaya jangan menerima suap, yang menutup telinganya supaya jangan mendengarkan rencana penumpahan darah, yang menutup matanya supaya jangan melihat kejahatan.
Semakin kita berusaha untuk mengenal dan bersaksi tentang Ia, maka sejatinya kita sadar bahwa semakin dasyatlah misteri Allah bagi kita, semakin banyak hal yang tidak dapat kita mengerti, semakin sulit untuk mengenal Ia. Akan tetapi, semakin kita menyadari hal itu, mestinya kita makin terdorong untuk melirik Yesus Kristus yang menjadi wahyu sempurna bagi kita.Dan ketika kita ditanya untuk mengambil bagian dalam kemartiran tak berdarah dalam prosesi hidup ini, semoga jawabannya adalah siap.


** artikel ini dimuat di Warta Minggu pekan Adventus 2006

Cintaku Pada Secarik Kertas


Berapa pohon yang kamu tebang hari ini?” ujar kolegaku. Dikomentari seperti itu saya bingung, “maksudnya apa ya?”. Teman saya menjawab, “Setiap kamu nge-print, maka berkuranglah pohon”. Oh, itu to maksudnya. Di waktu yang lain, dia komentar lagi tentang penggunaan tissue, “Waduh, si Anu itu udah menghabiskan berapa pohon selama ini?”. Saya menjawab sekenanya, “Sudah satu hutan kali, dia khan boros tissue, tiap hari tempat sampah didekatnya penuh tissue tuh”.
Demikianlah sekelumit cerita tentang pemakaian kertas dan tissue. Di kantor saya, pemakaian kertas termasuk boros. Pasalnya, aku dan teman-temanku lebih suka membaca file diatas kertas daripada membacanya di file asalnya. Jadi jika ada kiriman dokumen yang hendak di kerjakan, kami selalu cetak. Beruntung kalau aku ini bukan tipe orang yang suka nge-print e-books, karena aku yakin habis di print out pun tak memiliki waktu untuk membacanya.
Nah, menyoal kertas dan tissue, tengoklah sekotak tissue di meja makan kita atau di ruangan kita. Lalu jangan lupa pula melihat tumpukan kertas-kertas di meja belajar atau meja kerja kita. Tapi tak hanya sekedar dilihat, tapi juga di cermati. Pernahkah selama ini, kita tergelitik untuk bertanya darimana kertas dan tissue diolah? Pernahkah dalam benak ini mencoba untuk menghubungkan kertas dan tissue yang kita pakai sehari-hari dengan lingkungan hidup kita?
Mungkin tak banyak dari kita yang mengetahui bahwa dalam satu rim kertas HVS atau sekotak tissue, diperlukan minimal sebatang pohon untuk ditebang dan diolah. Sedang sebatang pohon butuh enam sampai delapan tahun untuk bisa siap ditebang dan diolah lagi (life time). Jika data tahun 2005, tingkat konsumsi kertas di Indonesia sebanyak 8,3 juta ton, maka bisa dibayangkan berapa ratus milyar pohon ditebang untuk menyokong permintaan pasar Indonesia. Wah! Kita tercengang, bukankah itu angka yang fantastis?

Selanjutnya, tulisan ini sama sekali tidak menguraikan esensi anarkisme manusia terhadap hutan. Tulisan ini hanyalah sebutir pasir di tepian gelanggang samudra pemerenungan, sebutir pasir yang dihempas untuk mengusik paradigma manusia terhadap alamnya. Suatu pola pikir yang bisa saja berkata “Buat apa aku peduli dengan lingkungan ku? Toh aku gak berhubungan dengan hutan? Tak ada gunanya”. Suatu pendapat yang acapkali berujar “Bukan urusan saya, itu urusan mereka!”, “lho? Aku masih sanggup beli kertas dan tissue kok. Suka-suka aku dong” dan sederet panjang litani pembelaan diri terhadap kerusakan lingkungan hidup. Tulisan ini beranjak dari keprihatinan mendalam akan kerusakan lingkungan. Getaran keprihatinan ini tidak merujuk pada kekerasan berpikir, namun lebih menggunakan pendekatan empati.

Zoom Out: My Green Garden
Tengoklah Bumi Persada yang berserakan di Khatulistiwa, hijau elok di biru samudra. Adalah kebanggaan tersendiri menjadi bagian dari Indonesia yang raya ini. Di dalam negeri ini, ia menyimpan 10 persen hutan tropis dunia yang masih tersisa. Dalam hutannya, Indonesia memiliki 12% dari jumlah binatang menyusui (mamalia), memiliki 16% spesies binatang amphibia dan reptilia. Ia menjadi pemilik dari 1.519 spesies burung dan memiliki 25% dari spesies ikan dunia. Bahkan sebagian diantaranya adalah endemik, hanya dapat ditemui di daerah tertentu di Bumi Persada ini.
Sayangnya, kebanggaan tersebut mengundang keprihatinan mendalam, sebab kekayaan alam, dan kesuburan tanahnya tak berbanding lurus dengan tanggung jawab yang diletakan di pundaknya. Keanekaragaman hayati dan biota tak lain hanya sebagai aksara pemanis didalam narasi besar berbangsa dan bernegara.
Kerusakan hutan dan lahan yang disebabkan berbagai aktivitas manusia seperti pertanian, perladangan, pembalakan ilegal dan kebakaran hutan yang terus berulang setiap tahun hampir satu dasawarsa terakhir. Hutan dibabat guna menyokong berbagai barang komoditi yang diolah dan siap dijual, termasuk komoditi kertas dan tissue, menyebabkan luas kawasan hutan semakin menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (World Resource Institute, 1997).
Sebagai illustrasi kecil, pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7% dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa oleh pohon tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya.
Laju kerusakan hutan di Indonesia pada periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode tahun 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. (Badan Planologi Dephut, 2003).
Dengan tingkat kelajuan deforestasi sebesar 3.8 juta hekter per tahun yang juga berarti Indonesia kehilangan luas hutan sebesar empat kali luas pulau Bali setiap tahunnya atau sebesar 300 kali luas lapangan sepak bola setiap jam. Jika angka itu dipertahankan apalagi ditingkatkan maka Indonesia tak lagi memiliki hutan dataran rendah di pulau Sumatera di tahun 2010 dan hutan dataran rendah di pulau Kalimantan di tahun 2020.

Memang benar bila tidak semua penebangan hujan adalah untuk memenuhi komoditi kertas dan pulp (bubur kertas), akan tetapi pengaruh kebutuhan manusia akan kertas terhadap hutan yang ditebang cukup signifikan. Pada saat ini, paling tidak terdapat lebih dari 450 jenis kertas untuk berbagai macam kebutuhan, mulai dari kardus, kertas tissue sampai dengan popok bayi.
Ketika pertama kali ditemukan, bahan baku pembuatan kertas berasal dari bahan baku non-kayu, sisa sayur mayur, seperti sutra, serat kapas, jaring ikan yang sudah tua, batang buah mulberry, rumput-rumputan, bambu, rotan, dan sebagainya. Sejalan dengan perkembangan industrialisasi dan kapitalisme, pada saat itu dirasakan perlu untuk membuat suatu industri yang berskala besar, tersentralisasi, dan padat modal. Namun kendala yang dihadapi saat itu adalah sulitnya mendapatkan bahan baku non-kayu tersebut dalam volume besar dan yang dapat diperoleh secara berkelanjutan. Sekitar tahun 1860-an dimulailah sejarah pembuatan kertas dari bahan baku kayu, dimana saat itu hutan-hutan tua yang ada menyediakan ‘tambang’ bahan baku yang memungkinkan produksi komersial berskala besar dan berkelanjutan dapat dilaksanakan. Oleh karenanya harga dapat ditekan sampai 85%. Sejak itulah kebutuhan akan kertas juga mulai meningkat, seperti yang berasal dari kebutuhan industri media massa cetak.
Saat ini 90% bahan baku pulp berasal dari kayu, yang mencakup angka sekitar 170 juta ton per tahun. Sebanyak 640 juta meter kubik dikonsumsi di dalam proses setiap tahunnya, atau hampir sekitar 13% dari total kayu yang digunakan di seluruh dunia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut tanpa harus menebang hutan alam, maka dibutuhkan sekitar 10 juta hektar hutan tanaman yang harus ditanami setiap tahunnya.

Sejalan dengan kenaikan tingkat penggunaan kertas, demikian pula halnya dengan kebutuhan. Pada tahun 1997, kebutuhan kertas global mencapai 299 juta ton, yaitu lebih dari 60 kali lipat kebutuhan kertas di tahun 1950. Pada tahun 2010 diperkirakan kebutuhan kertas global akan meningkat 32%. Penggunaan kertas berbanding lurus dengan tingkat pendapatan, dimana pada saat ini sebagian besar produksi dan konsumsi kertas terjadi di negara-negara industri. Tingkat konsumsi global rata-rata di tahun 1997 mencapai 51 kg/kapita/tahun. Di negara-negara berkembang, tingkat konsumsi rata-rata hanya 18 kg/kapita/tahun, sementara di negara-negara telah berkembang dan industri tingkat konsumsi mencapai 164 kg/kapita/tahun (di Amerika Serikat, tingkat konsumsi mencapai 335 kg/kapita/tahun, sementara di Afrika, rata-rata konsumsi hanya 6 kg/kapita/tahun). Menurut UNEP (United Nations Environment Program/Badan Lingkungan PBB) dibutuhkan setidaknya 30-40 kg kertas per tahun bagi setiap orang untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan dan komunikasi. Tingkat konsumsi kertas di Indonesia baru 25 kg/kapita. Bandingkan dengan Malaysia yang sumber daya alamnya terbatas, tetapi konsumsi kertasnya mencapai 106 kilogram per kapita, dan Singapura 180 kilogram per kapita.

Lalu bagaimana Indonesia mengambil andil dalam penyediaan kertas yang berakibat pembabatan hutan?
Pada akhir tahun 1980-an, industri pulp dan kertas mulai meluncur, yang juga dipercepat oleh subsidi pemerintah dalam jumlah besar. Subsidi yang paling nyata adalah pinjaman tidak berbunga dari Dana Reboisasi, sehingga biaya produksi menjadi yang terendah di dunia. Dari tahun 1988 hingga 2001, produksi pulp meningkat sepuluh kali lipat dari 606.000 kg ke 6,1 ton per tahun. Produksi kertas meningkat tujuh kali lipat dari 1,2 juta ke 8,3 juta ton per tahun pada masa yang sama. Pada tahun 2001, pulp dan kertas menjadi penghasil pendapatan terbesar dalam sektor kehutanan, mencapai 50% dari ekspor kehutanan negara.
Walaupun dipromosikan sebagai sarana pengembangan industri kehutanan yang berkelanjutan, sektor perkebunan yang berkembang dengan cepat telah merusak hutan-hutan alam Indonesia dan akses masyarakat lokal ke hutan. Dengan pertumbuhan industri pulp dan kertas yang sangat pesat, permintaan akan kayu yang efektif juga membubung tinggi dari 3 juta meter kubik pada tahun 1990 ke 30 juta meter kubik per tahun pada tahun 2002. Akan tetapi, mayoritas kayu ini diperoleh dari penebangan hutan alam, bukan dari hutan tanaman industri (HTI) atau perkebunan yang berkelanjutan. Dari tahun 1988-2000 hanya 10% dari 120 juta meter kubik kayu untuk pulp berasal dari HTI.

The Tower of Babel : What’s Wrong with Our Generation?

Pembabatan hutan untuk menghabiskan sumber daya alam di dalamnya (seperti penambangan batu bara, emas, biji besi, niekel dan sebagainya) dan diatasnya (keragaman flora dan fauna), pembakaran ladang dan hutan, penumpukan sampah, berkurangnya cadangan air bersih, banjir dan erosi, perubahan iklim, punahnya biodiversitas, kerusakan ekosistem, sampai pada isu pemanasan global adalah menara babel keegoisan manusia terhadap alam. Manusia mengeruk perut bumi, mengeksploitasi kekayaan yang tersimpan di dalam dan di atasnya, membuang sisa pembakaran, demi keuntungan pribadi dan lantas meninggalkan alam dalam keadaan sakit adalah keponggahan dan keringkihan mencermati kehidupan yang bersemi di Bumi ini. Manusia telah bertindak secara anarki terhadap alam, dan segala bencana yang muncul mewarnai peradaban manusia adalah efek domino dari sikap anarkisme manusia terhadap alam, habitatnya sendiri.
Cermatilah akibat dari hutan yang terus menerus dibabat guna memenuhi kubutuhan manusia itu sendiri:

1. Kerusakan Ekonomis
Berdasarkan pada perkiraan Prof. Dr. Herujono Hadisuprapto, MSc, mantan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, setiap hari kayu ilegal berbentuk balok yang diselundupkan dari Kalimantan Barat ke Serawak mencapai 10.000 m kubik. Kayu-kayu ini terbebas dari iuran resmi seperti dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, dan pajak ekspor. Diprediksi kerugian negara mencapai Rp. 5,35 milyar per hari, atau sekitar Rp 160,5 milyar perbulan. Maka sebenarnya sangat ironis jika kerugian ini dihubungkan dengan usaha mati-matian dari pemerintah Indonesia untuk mencari pinjaman dana dari IMF. Ketika pemerintah mengemis pada IMF dana senilai 400 juta $ AS, sebenarnya pemerintah kehilangan pendapatan atas pajak senilai 4 Milyar $ AS setiap tahunnya akibat penebangan hutan liar sejak 1998.
Kerugian akibat kerusakan ekologi yang jumlahnya jauh lebih besar meliputi kerugian akibat lepasnya karbon dari bahan organik kayu yang tumbang sebesar Rp 90.000 per hektar, kerugian hilangnya unsur hara tanah akibat tidak adanya tutupan hutan sebesar Rp 10,5 juta per hektar dan kerugian dari hilangnya fungsi pengurai limbah sebesar Rp 435.000 per hekter, disamping itu musnahnya fauna dan flora sebagi sumber plasma nutfah, Kerugian ekonomis yang ditimbulkan meliputi nilai kayu tegakan, sebesar Rp 3,3 juta per meter kubik dan nilai pakai lahan dan hutan disekitarnya tidak hilang dan tidak rusak sebesar Rp 32 juta per hektar.
Pengeluaran biaya untuk pemulihan kembali hutan tersebut ke kondisi semula diperkirakan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, meliputi biaya pengendalian erosi dan limpasan sebesar Rp 6 juta per hektar, pemulihan keanekaragaman hayati Rp 2,7 juta per hektar, pemulihan genetic Rp 410.000 per hektar, biaya pembentukan tanah Rp 1,5 juta per hektar, pengaturan tata air Rp 22,27 juta per hektar dan biaya penampungan air Rp 200.000 per hektar. Semua biaya ini dikalikan dengan indeks harga konsumen pada setiap tahun terjadinya perambahan hutan dimulai sejak terjadinya pengrusakan hutan tersebut dikali lagi dengan luas hutan yang rusak.
Ekonomi dan lingkungan bukanlah dialektis yang merupakan tesis dan anti-tesis. Keduanya, bahkan, merupakan dua elemen yang harus saling komplementer. Bukankah ketika pertimbangan ekonomi dipisahkan dengan pertimbangan lingkungan hidup, maka manusia sedang menyusun bencana bagi peradabannya sendiri?

2. Dampak kerusakan terhadap ekologi lingkungan
Penebangan hutan secara ilegal ini juga menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi hutan itu sendiri maupun lingkungan di sekelilingnya. Secara umum, dampak penebangan hutan menyebabkan: pertama, masalah pemanasan global; kedua, masalah degradasi tanah; dan ketiga, mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati di dalamnya.

Masalah pemanasan global
Emisi karbon sampai dengan tahun 2000-an yang meningkat menjadi sekitar 6,5 miliar ton hanya dalam waktu setengah abad menyebabkan kenaikan suhu rata-rata dunia sekitar 0,13 derajat Celsius setiap dekade. Akibat lain dari perubahan iklim adalah terjadinya pencairan es di kutub yang menciutkan lautan es Artik seluas 2,7 persen per dekade, meningkatnya tinggi muka air laut 0,5 milimeter per tahun, dan badai yang sering kali kita rasakan.
Negara maju, khususnya Amerika Serikat, telah menyumbang 24% emisi global, diikuti China 14%, Rusia 6%, dan negara industri raksasa Jepang serta India menyumbang 5%. Meskipun tiga perempat (75%) dari emisi karbon disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi hutan terutama disebabkan oleh penebangan yang berlebihan, kebakaran hutan, dan perubahan fungsi lahan hutan tetap dianggap memperparah terjadinya emisi karbon dunia.
Para ahli memperkirakan bahwa dampak dari pemanasan global akan sangat meningkat bila kelestarian dan keutuhan hutan tidak dipelihara. Ada beberapa akibat yang akan muncul akibat pemanasan global ini, antara lain terjadinya perubahan iklim. Hal ini akan mempercepat penguapan air sehingga berpengaruh pada curah hujan dan distribusinya. Akibat selanjutnya adalah terjadinya banjir dan erosi di daerah-daerah tertentu.
Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan (Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003).

Masalah degradasi tanah
Penebangan hutan secara tak terkendali pasti juga menyebabkan degradasi tanah dan berkurangnya kesuburan tanah. Data dari Biro Pusat Statistik menyebutkan bahwa lahan produktif yang telah diolah di Indonesia sebanyak 17.665.000 hektar. Sebesar 70 % dari lahan itu adalah lahan kering. Sisanya adalah lahan basah. Akibat penebangan liar yang terjadi banyak lahan kering yang tidak digarap. Akibatnya erosi menjadi mudah terjadi dan tanah berkurang kesuburannya.

Masalah kepunahan keranekaragaman hayati
Masalah ini cukup mendapat perhatian penting saat ini. Berdasar penelitian para ahli, dikatakan bahwa jumlah spesies binatang atau spesies burung semakin berkurang, khususnya di Kalimantan Barat. Akibat penebangan hutan yang dilakukan terus menerus, banyak hewan yang menyingkir dan mencari habitat yang baru. Misalnya, harimau Kalimantan semakin terjepit karena tempat tinggalnya semakin sempit dan terus di babat. Bukan tidak mungkin bahwa tahun-tahun mendatang spesies harimau akan punah. Para ahli memperkirakan bahwa pada tahun 2015 dengan penggundulan hutan tropis di Kalimantan akan menyebabkan punahnya 4-8% spesies dan 17,35 % pada tahun 2040.

New Earth and Heaven
Tidakkah kita merasa bahwa Semesta ini menyimpan keajaiban yang absolut? Ia bahkan memiliki semacam sistem kontrol penyeimbang yang memungkinkan Bumi ini memiliki lingkungan yang sesuai bagi makhluk yang berdiam diatasnya. Bumi pada dasarnya dapat menyembuhkan dirinya sendiri dengan dengan semua organ yang dimilikinya (tanah, hutan, samudra, atmosfir). Hipotesis yang telah menjadi teori Gaia dikenalkan oleh James Lovelock tiga dasawarsa silam dan dipandang serius dalam Deklarasi Amsterdam tahun 2001.
Namun, Semesta ini pula mengandung hukum baku tresendental, sebuah hukum yang belum tentu dapat ditangkap oleh intelegentia manusia. Inilah akibatnya jika manusia menggeruk perut bumi demi perutnya sendiri, Bumi ini dengan bijak akan memurnikannya sendiri. Manusia dapat berbuat apa saja terhadap Bumi ini, namun secara a fortiori Bumi ini juga bisa berbuat hal yang sama.
Nah, ketika bencana demi bencana berkunjung silih berganti, maka ada yang salah dengan sikap manusia terhadap alam semesta ini. Pertanyaan yang terbersit mungkin apakah yang salah? Apa pula yang harus saya lakukan?

Dari pendekatan etika, menjelaskan bahwa alam memiliki fungsi sebagai penopang kehidupan. Untuk itu, lingkungan patut dihargai dan diperlakukan dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut etika lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi. Etika ini menekankan pemeliharaan alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri. Karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama. Etika lingkungan ini dibagi lagi menjadi beberapa macam menurut fokus perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme, zoosentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme.
Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut pandangan etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem. Perspektif ekologis juga menyiratkan pentingnya rekonstruksi drastis pada produksi dan konsumsi. Kita pun harus berhenti mengukur manusia dari efisiensi dan produktivitas mereka, tapi harus diperhatikan pula aspek kesehatan, keharmonisan, keindahan, keadilan, dan kesamaan (“Ecology for Beginners”, 1991).
Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :
1. Manusia adalah bagian dari alam
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang
3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang
4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk
5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai
6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati
7. Menghargai dan memelihara tata alam
8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem
9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.
Kitab Suci dibuka dengan kata-kata yang luar biasa meriah ini: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej 1:1). Pengakuan iman Kristen mengambil kata-kata ini sebagai credo akan Allah, Bapa yang Maha Kuasa, Pencipta langit dan bumi, segala yang kelihatan maupun segala sesuatu yang tak kelihatan. Kalimat ini pula menorehkan secara tajam bahwa Allah sendiri yang menciptakan alam semesta secara bebas, langsung dan tanpa bantuan apapun. Sehingga segala ciptaanNya, termasuk manusia tidak mempunyai kekuasaan tanpa batas untuk meniadakan atau menghilangkan sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah, Sang Pemilik Semesta.
Selanjutnya, Allah berfirman: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:26-28).
Kalimat diatas mempunyai beberapa benang merah yang penting. Pertama, manusia adalah gambaran Allah, citra Allah. Dari segala ciptaanNya yang kelihatan, hanya manusia itu “mampu mengenal dan mencintai Penciptanya” (Gaudium et Spes 12.3) hanya dialah yang dipanggil, supaya dalam pengertian cinta mengambil bagian dalam kehidupan Allah (GS 24.3). manusia diciptakan untuk tujuan ini, dan itulah dasar utama bagi martabatnya. Kedua, manusia ditugasi untuk menjaga alam raya sebagai salah satu cara pengabdian kepada Pencipta. “Engkau menjadikan manusia seturut gambaranMu, Engkau menyerahkan kepadanya tugas mengenai alam raya, agar dengan demikian dapat mengabdi kepadaMu, satu-satunya Pencipta” (bdk. Doa Syukur Agung IV).
Hubungan baik manusia dan Allah terbukti bahwa Allah menempatkan manusia dalam ‘kebun’. Ia hidup didalamnya “utuk mengusahakan dan memelihara” taman itu (Kej 2:15). Tentulah kerjaan ini bukanlah kerja paksa, melainkan kerjasama dengan Allah demi penyempurnaan ciptaanNya.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang luar biasa istimewa. Manusia dianugrahi oleh Tuhan bumi ini beserta dengan isinya untuk dimiliki dan dan digunakan. “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej 2:15). Jelaslah bahwa setiap manusia tanpa kecuali memiliki anugrah untuk memiliki bumi, mengusahakan alam ini dan beserta isinya, namun berbarengan dengan itu masing-masing memikul tanggung jawab yang sama dalam memelihara dan melestarikan alam ini. Manusia diijinkan memanfaatkan alam untuk kebutuhkannya tapi manusia sama sekali tidak berhak untuk berbuat anarki terhadap alam, dengan merusaknya.
Mungkin ini adalah salah satu langkah kecil/ framework yang bisa kita gunakan (dikemukakan oleh Christian Environmentalists) untuk semakin menghormati alam:
1. Kesadaran (melihat, identifikasi, menamakan, alokasi)
2. Apresiasi (mentoleransi, menghormati, memberi nilai, menghargai)
3. Pelayanan (menggunakan, memulihkan, melayani, menjaga, mempercayakan)

St. Bonaventura mengikuti pengalaman St. Fransiskus megembangkan suatu teologi yang disebut Sakramentalitas Ciptaan, yakni, jejak-jejak Kristus dalam dunia ciptaan. Dunia dihuni oleh yang kudus. Semua makhluk ciptaan adalah suatu tanda dan pewahyuan Pencipta yang meninggalkan jejak-Nya di mana-mana (diafania). Merusak dengan sengaja ciptaan berarti merusak gambar Kristus yang hadir dalam segenap ciptaan. Kristus menderita tidak saja ketika manusia mengabaikan hak-haknya dan dieksploitasi tetapi juga ketika laut, sungai dan hutan dirusakkan. Ketika ciptaan diakui sebagai sakramen, yang menyatakan dan membawa kita kepada Allah, maka relasi kita dengan orang lain juga ditantang untuk beralih dari dominasi dan kuasa ke rasa hormat dan takzim.
Dokumen Kepausan yang secara khusus berbicara tentang lingkungan dan masalah-masalah pembangunan berjudul, “Berdamai dengan Allah Pencipta, berdamai dengan segenap ciptaan” (1 Januari 1990) menegaskan bahwa setiap orang Kristen mesti menyadari bahwa tugas mereka terhadap alam dan ciptaan merupakan bagian esensial dari iman mereka (no.15).
Allah sang pemilik dunia tidak saja mendesak kita untuk memperhatikan keadilan sosial, yakni relasi yang baik antara masyarakat, tetapi juga keadilan ekologis, yang berarti relasi yang baik antara manusia dengan ciptaan lainnya dan dengan bumi sendiri. Sekarang ciptaan diakui sebagai satu komunitas makhluk ciptaan dalam kaitan relasi dengan yang lain dan dengan Allah Tritunggal. Keutuhan ciptaan adalah bagian esensial dari semua tradisi iman dan merupakan hal penting karena dengannya dialog, kerja sama dan saling pengertian dapat dibangun.
Menjaga lingkungan hidup berarti ajakan untuk memperhatikan semua ciptaan dan untuk menjamin kegiatan manusia, sambil mengolah alam, manusia tidak merusak keseimbangan dinamika yang ada di antara semua makhluk hidup yang bergantung pada tanah, udara dan air bagi keberadaannya. Isyu lingkungan hidup telah menjadi inti pemikiran sosial, politik dan ekonomi karena degradasi yang seringkali menyebabkan penderitaan kelompok miskin dari masyarakat. Resiko akibat perubahan iklim dan bertambahnya bencana alam mendorong untuk mempersoalkan kembali keyakinan masyarakat modern. Berkembangnya gap antara kaya dan miskin tidak boleh membuat orang acuh tak acuh dan mencegah penggunaan berlebihan sumber-sumber alam dan mencegah percepatan hilangnya spesies-spesies (Cardinal Fracis Xavier Nguyen Van Thuan, Presiden Dewan Pontifikal untuk Keadilan dan Perdamaian).

Tengoklah kembali sekotak tissue di meja makan kita atau di ruangan kita. Lalu jangan lupa pula melihat tumpukan kertas-kertas di meja belajar atau meja kerja kita. Tapi tak hanya sekedar dilihat, tapi juga di cermati. Pernahkah selama ini, kita tergelitik untuk bertanya darimana kertas dan tissue diolah?
Produk seperti kertas, tissue, karton dan sebagainya merupakan barang yang kita gunakan sehari-hari. Saking terlalu sering digunakan, kita lupa bahwa barang-barang tersebut adalah turunan dari hasil hutan. Barang-barang tersebut dengan mudah kita dapatkan di pasar dan toko-toko dengan harga yang terjangkau membuat kita terlena untuk mengkonsumsi berlebihan alias boros. Bukankah dengan pemakaian yang boros, kita juga ikut menciptakan peluang untuk mempercepat pembabatan hutan?

Nah Saudara, berapa pohon yang telah ditebang hari ini?*



** artikel ini dimuat pada BBR XIV terbitan Sekretariat Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi, Keuskupan Agung Jakarta