Senin, 22 September 2008

Kapitalisme

Kapitalisme selalu akan mengubah tanah menjadi ruang yang bisa dipertukarkan, setelah itu dikonsumsi. Konsumsi adalah cara untuk menghabisi. Si petak tanah tak ubah nasibnya seperti sebongkah nasi tumpeng: ia di tata dengan indah, diberi makna simbolik, tapi tak lama setelah itu ia akan menjadi santapan, benda yang dikunyah dan ditelan.
Ya, konsumsi adalah menghabisi! membuat ludus!
Tapi, terlepas dari statusnya yang unik dan tunggal, ia selalu bisa dipertukarkan dengan sesuatu yang tak selalu tampak. Dalam agama, ia disebut "rahmat Tuhan"; dalam kapitalisme ia disebut "harga" yang tentunya ditentukan oleh "the invisible hand"

Hidup adalah Mencari


Barangkali Timothy McVeigh akan selalu ingat kejadian 19 April 1995 sampai akhirnya ia dihukum mati. dengan 2.000 kilogram campuran pupuk amonium nitrat dan bahan bakar diesel, yang ia taruh sebuah truk sewaan, ia meledakan sebuah bangunan besar di kota Oklahomo. Gedung itu tempat pemerintah federal berkantor untuk urusan kesejahteraan sosial dan badan pengawasan tembakau, alkohol dan senjata api. Suara menggelegar dan bagian depan bangunan itu hancur. 168 orang mati sebagian adalah anak-anak, 500 lebih luka-luka.
McVeigh yakin tindakannya benar, ia bersikukuh membela tuhan dengan tindakannya. Mungkin, dalam hal ini ia tak pernah sendiri. Dan kita semua tahu kelanjutkan dari kisah membela agama yang berujung pada pertumpahan darah. Juergensmeyer - penulis Terror in the Mind of God menyimpulkan bahwa agama memang selalu mengandung imajinasi yang membuat pelbagai nilai menjadi mutlak. sementara itu agama membenarkan kekerasan, dan kekerasan memperkukuh agama.
Yang agaknya diabaikan oleh para "laskar" itu adalah bahwa moral selalu menjadi manusia lebih baik menuju Sang Cahaya tanpa harus mendekatinya. bukankah hidup menjadi berarti bukan karena ingin mencapai, tetapi karena ingin mencari?

Tuhan dan Kata


Tampaknya, tak hanya ada satu makna yang terkandung dalam kata "Tuhan". bahkan sejak berkembangnya struktur bahasa, kita semakin sadar betapa tidak stabilnya makna kata.
Maka, setiap kali "Tuhan" kita sebut, sebetulnya kita tidak menyebut-Nya. Saya ingat sebuah kalimat yang pernah dikatakan oleh teman saya yang ia kutip dari sebuah sutra: "Budha bukan Budha dan oleh sebab itu ia Budha". Bagi saya, ini berarti ketika kita sadar bahwa "Tuhan" atau "Budha" yang kita acu dalam kata sebenarnya tak terwakili oleh kata itu.
dan aku semakin yakin bahwa "Tuhan" tak akan pernah terwakilkan oleh satu aksara, apapun itu!