Sabtu, 29 November 2008

Promise of Silence


… di setiap masa nampaknya selalu ada saat yang tak mudah untuk berbicara, tapi tidak gampang untuk diam. Kita tidak tahu pasti bagaimana persisnya kata-kata akan diberi harga, dan apakah sebuah isyarat akan sampai. Di luar pintu, pada saat seperti ini, hanya ada mendung, atau hujan, atau kebisuan, mungkin ketidakacuhan.
Semuanya teka-teki …

Kesungguhan Bermain


Bermainlah dengan permainan, tapi jangan main-main
mainlah dengan sungguh-sungguh, tapi permainan jangan di persungguh.
kesungguhan permainan terletak dalam ketidak sungguhannya,
sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi.
bermainlah dengan eros, tapi jangan mau dipermainkan eros.
bermainlah dengan agon tapi jangan mau dipermainkan agon.

Minggu, 09 November 2008

Tuhan Lebih Tahu


…kegagalan kita untuk memaafkan, kesediaan kita untuk mengakui dendam, adalah penerimaan tentang batas. Setelah itu adalah doa, pada akhirnya kita akan tahu bahwa kita bukan hakim yang terakhir. Kematian dengan demikian diberi tafsiran bukan sebagai lawan dari kehidupan, melainkan kelanjutannya. Di ujung sana Tuhan lebih tahu…

Rahmat yang Sederhana


…Kenapa selama ini orang praktis terlupa akan burung gereja, daun asam, harum tanah: benda-benda nyata yang, meskipun sepele, memberi getar pada hidup dengan tanpa cincong? Tidakkah itu juga sederet rahmat, sebuah bahan yang sah untuk percakapan, untuk sebuah pemikiran? ...

Diam


… Tuhan, kata Bunda Teresa, bersahabat dengan diam. Kembang tumbuh tanpa kata dan bulan bergerak tanpa berisik. …

Diberi untuk Memberi


Image sebuah modernitas adalah sebuah image vertikal yang profan. Yang modern selalu terlukis degan jelas, lurus, benderang serta mampu melintasi dimensi waktu dan ruang. Setidaknya inilah yang terekam dalam beberapa dasawarsa terakhir.
“Mampu” mungkin inilah kata kuncinya, sedang berderet di belakangnya bayangan manusia yang menangkap dengan ego. Aku adalah tahu. Barangkali, di sinilah letak persoalannya. Ketika subjek “aku yang tahu” disematkan pada tungkai tubuh yang tumbuh pada sejarah, terjadilah apa yang disebut sebagai “metafisika lubang intip”: subjek itu seakan-akan tersekap di menara tanah liat yang tertutup, dan ia memandang dunia dari sebuah lubang.
Terbatas memang. Ia tak terbuka untuk yang lain, demikian pula yang lain. Di sana tak ada yang saling silang, saling berbagi.
Berbagi adalah “memberi”. Di dalamnya, waktu tak terulangi. Tak ada pengharapan akan adanya pembalasan kelak. Ketika kita “memberi”, batas kepercayaan, solidaritas, dan waktu jelas tereliminasi. Malah waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak melingkar, malah lepas tak terhingga.
Tapi hidup kian ribut oleh manusia yang cemas. “Memberi” makin jadi laku yang sulit. Yang berkuasa adalah perdagangan: proses tukar-menukar yang mengharapkan laba.
Rahmat Tuhan tak dilihat lagi sebagai sesuatu yang memancar tak terhingga. Rahmat jadi sesuatu yang harus diperebutkan. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Tuhan akhirnya juga jadi proses pertukaran yang dikalkulasi. Manusia menyembah Tuhan dengan mesin hitung pahala yang dipegang dengan was-was: jangan-jangan Tuhan selalu kekurangan. Jika itu yang terjadi, alangkah jauh telah melangkah dari panggilan sejati.
Jika sedang kau takar talentamu hari ini, beranjaklah dari lubang intip menara tanah liat keegoan itu dan ulurkan tangan untuk berbagi. Mungkin perlu belajar seperti Abraham di dataran tinggi Moria, ia tak tahu apa faedah perbuatannya bagi dirinya sendiri atau bagi Tuhan, tapi di saat ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh ego, mengatasi rasa takut akan “dunia yang profan”. Do ut Des!

Langit yang Terpejam


Ketika malam menghantar pada gelap langit,
kita kenali lagi sepi itu:
Lampu jalanan berdiri jauh-jauh
tak ingin saling menyapa.
Jalanan menjadi datar, sedang mobil berjalan
dengan gusar.
Suara angin-angin malam berdesau menemukan rumah
seperti berpulang kepada randu,
daun-daun yang tak beraksara
Tapi Kejora masih selalu sama
pada andromeda yang tetap.
Menatapmu sambil berbinar,
mendapati malam berpijar
di dalam hitam korneamu.


Sudah kita kenali sepi itu
ketika cakrawala terpejam
dalam diam.

Senin, 03 November 2008

Holiness


What are you doing my God to one so small?

Mukjijat


Mukjijat bukanlah hal yang supranatural,
mukjijat terjadi ketika manusia belajar untuk mengeliminasi ego,
menghalau keserahkan, iri hati, kebencian,
dan dendam...

Minggu, 02 November 2008

Kebijaksanaan


Kebijaksanaan tidak dapat dikomunikasikan. Pengetahuan dapat dikomunikasikan, tapi kebijaksanaan tidak. Kita dapat menemukannya, hidup dengannya, diperkuat olehnya, menciptakan keajaiban melaluinya, tapi kita tak dapat mengkomunikasikan dan mengajarkannya...

Cukuplah Kau Bercahaya


Sebuah lilin kecil berada dalam genggaman.
Lalu ia dibawa ke sebuah ruang gelap dengan tangga menjulang keatas.
“Mau dibawah kemanakah aku?”
“Oh, aku akan menjadikanmu cahaya terang yang amat besar.”

“Tapi, bagaimana mungkin? Aku hanya sebuah kerdip lilin kecil”
“engkau mungkin tak perlu tahu akan hal itu. Aku hanya ingin engkau tetap bercahaya. Itu sudah cukup.”

Lalu, lilin kecil dibawa keatas sebuah menara mercusuar.
Dengan api yang kecil, ia menyulutkan ke sebuah perapian yang besar. Lalu di depannya diletakan sebuah cermin cembung, sehingga cahayanya memantul bermil-mil jauhnya. Cahayanya kini memandu kapal-kapal yang berlabuh di sekitar dermaga.

Kita adalah lilin kecil dalam genggamanNya.
Mungkin tak perlu kita ketahui rencana agungNya,
Cukuplah kata ini, “Aku hanya ingin engkau tetap bercahaya”

Kisah Bambu


Dalam sebuah kemarau panjang.
Pemilik kebun menghampiri bambu di sudut halaman.
“aku membutuhkanmu”
“dengan senang hati, tuan”
“aku akan menjadikanmu pengantara”
“apa yang bisa ku lakukan untuk itu?”
“aku akan memotongmu. Membersihkan daunmu. Membuang sendi-sendimu”
“tidak! Itu terlalu menyakitkan”
“jika kau tidak bersedia, maka lambat laun semua akan kering dan mati”
“tapi itu tidak adil. Kenapa harus aku?”
“sebab hanya engkau yang mampu. Maukah engkau melihat semua kering dan mati?”
“tentu saja tidak mau!”
“lalu? Bagaimana?”
“baiklah. Jadikan aku seturut kehendakmu”

Bambu tersebut dipotong, dibersihkan daun-daunnya, dibuang juga segala sekat dan sendinya. Lalu bambu tersebut diletakan diantara mata air dan lahan itu. Dan air yang mengalir melewatinya lambat laun membuat taman itu kembali segar. Hijau. Bestari.

Kita bisa memilih menjadi bambu dipojok tanah kering, atau menjadi bambu yang menjadi sarana? Konsekuensinya jelas bahwa menjadi sarana selalu ada yang ‘dipotong’ dan ‘dibersihkan’.

Sebuah Ruang Untuk Kaum Muda


Dengan tidak sengaja saya menemukan kata “paidea” dalam sebuah buku yang kubaca, yang dalam bahasa Yunani berarti pemuda. Mungkin kata ini pula yang membentuk kata “pendagogis” yang menjadi nama dari kelompok kepemudaan di beberapa paroki di Jakarta. Konon, orang Yunani memandang bahwa kaum muda adalah pemasok negara yang utama.
Dan memang itulah sejatinya kaum muda. Ia adalah sebuah garda depan masyarakat dan agen-agen perubahan budaya atau gaya hidup masyarakat yang paling efektif. Selain itu, kaum muda adalah wajah masa depan Gereja (Apalagi, wajah Asia adalah wajah kaum muda: 60% orang Asia berusia 30 tahun kebawah). Dunia membutuhkan gairah orang muda sebab antusiasme kaum muda membuat dunia lebih berdegup lebih dinamis dan penuh semangat menjawab panggilan Tuhan. Beranjak dari fenomena ini, sangat menarik apabila menemukan sebuah korelasi antara budaya kaum muda dengan agama sebagai konteks sekularisasi. Sekularisasi menggambarkan sebuah proses kultural di mana pemikiran, praktek agama kehilangan signifikansi sosialnya. Berkat penemuan iptek, sekularisasi menjadi sebuah proses penemuan jati diri dunia: “global village” itu otonom tapi tetap berkorelasi dengan Sang Pencipta (bdk. Gaudium et Spes, art. 36). Namun, dengan rendah hati kita juga mengakui bahwa penemuan itu menjadi embrio lahirnya sekularisme: suatu ideologi tertutup yang memutlakkan otonomi hal-hal duniawi tanpa keterbukaan kepada yang Illahi.

Quo Vadis Kaum Muda?
Maka, ketika dunia kita berlari dengan kencang tanpa kendali pasti, ketika anonimitas (orang tidak lagi saling mengenal) dan mobilitas (begitu cepatnya orang orang berpindah tempat) begitu pekat dan erat, sebagian besar masyarakat bergumul di tengah lalu lintas modernitas yang penuh kebisingan dan kekejaman, kaum muda juga mengalami situasi tercabut dari akar, serta terpencar, lepas dari ikatan teritorial yang tetap dan aman. Bahkan, mungkin dapat dikatakan bahwa sosok kaum muda kerap linglung mencari potret wajahnya sendiri.
Keprihatinan ini tertuang pada sebuah rekomendasi pada Temu Kaum Muda 2002 di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ada delapan masalah yang kini dihadapi oleh kaum muda: (1) masalah yang semakin kompleks (tauran, narkoba, sex bebas, film porno), (2) kecendrungan membuat kelompok eksklusif (penjelajah mal, penggemar film, playboy club), (3) hilang keceriaan, sikap kritis, spontan dan kreatif, (4) kehilangan ketajaman dalam berpikir (sulit diajak berpikir/ simplitis), (5) kesalahan pendidikan formal: konformis, suka keseragaman, tidak terbuka, tidak jujur, cuek dan apatis pada soal kemanusiaan, (6) hidup dalam dua kutub: budaya modern/ hedonis dan budaya tradisi feodal (gereja dan sekolah), (7) punya mimpi semu akan masa depan: kerja ringan tapi hasil banyak, generasi instan, (8) kegamangan menatap masa depan: tidak tahan banting.

Komunitas Basis a la Kaum Muda
Berdasarkan survei Pusat Penelitian Atmajaya – Jakarta, secara de facto kaum muda tidak krasan dalam kelompok besar dengan penanganan massal. Mereka membutuhkan kelompok kecil yang lebih menyediakan keakraban dan kekompakan. Kaum muda senang dengan variasi, dengan segala kreativitas yang membuncah, mereka mudah jenuh dengan kegiatan yang rutin dan monoton. Bagi mereka kegiatan menjadi kurang menarik kalau terlalu formal dan penuh dengan pengarahan moral.
Bersama kaum muda, kita tentu dapat memulai komunitas basis, dari kelompok yang kecil dimana keakraban tidak melulu ditemukan dalam week-end atau rapat organisasi, tapi lebih banyak ditemukan dalam acara informal seperti nongkrong bareng, diskusi, ngumpul bareng dan acara sederhana lainnya. Di Yogyakarta, sebelah utara keraton terdapat sebuah komunitas Tikar Pandan. Diatas tikar inilah kaum muda interfidei (lintas agama) berkumpul, baraktifitas, berdiskusi, berdoa, bernyanyi, bercerita. Iman terasa menyatu, lebih erat dari sekat- sekat primordial dan sekterian.
Muncul juga berbagai komunitas basis lainnya, seperti Biro Komunikasi Pelajar Katolik, Forum Kontak Pelajar Katolik, dan sebuah paroki di Jakarta Barat muncul sebuah komunitas yang bernama Socrates. Mengikuti misa bersama. Menonton film bersama, membahasnya dan mendiskusikannya, membedah buku dan aktualisasi dalam keseharian. Tak melulu di sebuah ruangan di gedung serba guna paroki, tapi sesekali mereka ngumpul bareng di Starbuck sambil menyeruput secangkir cappuccino, atau di kafe di mana biasa mereka hang out.
Dalam komunitas basis inilah Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda begitu menggema. Gereja menitikberatkan pengembangan katolisitas pada dua hal: Kehidupan iman dan kehidupan menggereja. Disinilah kaum muda diharapkan dapat menggumuli hidup sehari-hari sebagai perwujudan iman-pertemuan dengan Allah, perjumpaan dengan sesama sebagai aktualisasi diri. Ia pun terlibat dalam berbagai kegiatan tugas-tugas Gereja: koinonia/ persekutuan, kyrigma/ pewartaan, liturgia/ ibadat, diakonia/ pelayanan, dan martyria/ kesaksian.

Epilog: Sebuah Pekerjaan Rumah
Memang harus diakui bahwa filosofi hidup orang muda itu singkat, tapi maknyus, nancep, dan dalem! Nampaknya slogan-slogan iklan lebih menarik untuk mereka ikuti, seperti: “Kutahu yang kumau”, “Free Yourself”, “Cuek is the Best” atau barangkali “emangnye aye fikirin!” Di jalan-jalan umum, layar kaca di rumah, selebaran yang ditempel, dengan mudah kita menemukan sebuah kata iklan: Bukan Basa-Basi. Orang muda tak suka banyak teori bijak “basa-basi” yang kerap di jumpai dalam ajaran agama. “Ini tidak boleh, itu tidak boleh... but why not?” Kaum muda butuh jawaban yang kongkrit sebagai bukti.
Kadang muncul sebuah pertanyaan yang menggelitik: apakah kaum muda menganggap keselamatan yang ditawarkan oleh agama selama ini adalah sebuah dongeng yang meninabobokan? Situasi khas postmodern ini membuat mereka lebih berani berpikir dan menangkap tanda-tanda dalam panca indra mereka. Dan tantangan bagi kita: beranikah kita menawarkan keselamatan yang paripurna kepada kaum muda berikut dengan berbagai pergualatan eksitensial mereka tanpa harus mengubah arus mereka?
Jika kehidupan ini adalah sebuah organisasi, maka kaum muda adalah sebuah organisme yang hidup dan terus ber-‘phanta rei’ (berkembang), mereka memang harus diperhatikan agar tidak amburadul, mbrudul dan mandul. Disinilah kita ditantang untuk proaktif menemukan peluang dan praktek solidaritas universal dalam dunia sekuler.Memang, banyak opini, pendapat, ulasan, tulisan yang dapat kita kemukakan sebagai dasar untuk menyentuh keprihatinan kaum muda kita yang saecula saeculorum. Tapi barangkali ada satu pertanyaan yang jauh lebih mendasar: apakah selama ini kita juga berbicara dengan kaum muda?

Bawa kami ke Bumi


Di ujung rangka baja ini
kami merasa sepi dan dingin
wahai engkau sang waktu
mampirlah dan bawalah kami
kembali ke Bumi menghirup wangi rumput