Sabtu, 17 Januari 2009

A Cup of Life


For everything there is a season,
And a time for every matter under heaven:
A time to be born, and a time to die;
A time to plant, and a time to pluck up what is planted;
A time to kill, and a time to heal;
A time to break down, and a time to build up;
A time to weep, and a time to laugh;
A time to mourn, and a time to dance;
A time to throw away stones, and a time to gather stones together;
A time to embrace, And a time to refrain from embracing;
A time to seek, and a time to lose;
A time to keep, and a time to throw away;
A time to tear, and a time to sew;
A time to keep silence, and a time to speak;
A time to love, and a time to hate,
A time for war, and a time for peace.

All Men are Created Equal


“All men are created equal; that they are endowed by their Creator with certain unalienable right; that among these are life, liberty, and the persuit of happiness”
(Thomas Jefferson – Declaration of Independence)

人は皆平等に作成されます

Presiden Abraham Lincoln menutup usia karena timah panas ketika ia berusaha menghapus berbudakan dan mengupayakan perdamaian Perang Sipil Amerika - 1865.
John Lennon ditembak penggemarnya sendiri, karena mengkritik peran AS dalam Perang Vietnam – 1980.
Michael Luther King Jr ditembak ketika ia berdiri di Balkon Lorraine Motel guna memperjuangkan hak pekerja kebersihan kulit hitam di Memphis, Tennessee – 1968.

Perjalanan sebuah peradaban kemanusiaan adalah perjalan yang lelah dengan wajah yang sendu. Selalu ada energi yang mendorong ke arah yang lebih baik, tapi selalu ada manusia yang dikorbankan pada waktu yang bersamaan.
Peradaban yang gilang gemilang tak pernah akan ada tanpa ruang yang menakutan, penuh benci dan aniaya, tanpa pengakuan dan kematian yang begitu dekat dengan kehidupan.
Atau barangkali kita pun makhum bahwa ketika orang menggugat untuk peradaban yang lebih baik, selalu ada timah panas yang menerjang jiwa.

Fear none of those things which thou shalt suffer: be thou faithful unto death, and I will give thee a crown of life!

Home of Love - 充满爱的家


Pekerjaan orang kuat,
Mencintai itu keputusan
Di rumahku ada surga,
Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kehilangan lain dalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah.

Dengan tinta pekat, Chairil Anwar mengoreskan kata-kata ini di tahun 1943. Ia menulis tentang rumahnya yang disebut sebagai taman. Taman hati. Taman yang memberi hidup. Sempit memang tapi cinta membuatya merasa lapang dalam dadanya.
Bagi Chairil jelas bahwa rahasia jiwa yang diciptakan cinta: membuatnya mampu bertahan memikul beban hidup, melintasi aral kehidupan, melampaui gelombang peristiwa, sambil tetap merasa nyaman dan teduh. Cinta menciptakan kenyamanan yang bekerja menyerap semua emosi negatif masuk ke dalam serat-serat jiwa melalui himpitan peristiwa kehidupan. Luka-luka emosi yang kita alami di sepanjang jalan kehidupan ini hanya mungkin dirawat di sana: dalam rumah cinta.
Di sisi yang lain, tampaknya ada yang terselip. Suatu kata “keputusan”. Barangkali kata ini yang menjadi kunci dari karya tulisannya itu. Bukankah momen itu hanya akan terjadi ketika manusia berani ‘memutuskan’ untuk mencintai?
Dan konsekuensi dari mencintai adalah memberi.

Mary Carolyn Davies menulis dengan gejolak emosi yang manis tapi ampuh:
“Sederhana saja. Karena hakikat cinta selamanya hanya satu: memberi. Pemberian jiwa itu menghidupkan kekuatan kebajikan yang sering tertidur dalam jiwa manusia. Seperti pohon: pada mulanya ia menyerap matahari dan air, untuk kemudian mengeluarkan semua kebajikan yang ada dalam dirinya …”

Jumat, 16 Januari 2009

Hauff Guk~


Tok ..tok ..tok ... bunyi sms masuk di handphone ku.
“Sayang sudah maam siang? Di sini hujan terus nih. Beberapa tempat malah sudah banjir. Oh ya tadi ada lelaki berteduh di depan rumah. Dia kehujanan. Kasian deh”

Kubalas singkat;
“Sudah maam nasi lemak tadi. Jika blom maam, maam dulu gih, tar maag lagi. Di sini cuaca cerah Yank. Hati2 dengan orang baru”
Lima menit kemudian sms masuk lagi;
“Sudah maam kok Yang walau cuma nyemil biskuit. Malah ada biskuit yang ku bagi ke lelaki di depan rumah. Kasian kayaknya kelaparan dan kedinginan”

Kubalas lagi;
U r Little angel. But promise me, stelah hujan reda suruh lelaki itu pergi ya”
Tiga menit sms masuk;
“oke Yank. Jangan cemburu gitu donk”

Keesokan hari,
Ku iseng sms; “Pagi. Lagi apa Yank? Semoga harimu cerah”
Dibalas, “Hi sayank. Lagi nonton tv. Walau langit di luar jendela mendung, di dalam sini cerah sih. Yank, lelaki yang kemarin datang lagi”

Jengkel. Tak hujan kok datang lagi.
Ku balas; “lha gak hujan gak badai napa tuh cowok datang mulu. Ngapain dia di luar rumah?”
Dibales: “Kasian Yank, kayaknya dia gak punya rumah. Jadi ku suruh dia masuk. Sekarang kami nonton bareng. Gak kenapa2 kan Yank?”

What?!! Nonton bareng??
Ku balas: “Suruh dia keluar sekarang!!! Kau tak tahu bahaya ibukota??!!”
“Tapi dia lembut dan tak membahayakan kok. Yank pasti suka kalo liat dia”

What?!! Membujuk aku suka ama lelaki yang entah dari mana dan mendapat paspor masuk rumah dan nonton bersama??

ku putuskan untuk bicara langsung,
“hallo yank ...” suara dari seberang.
“emm, operin HP ini ke lelaki itu, aku mao bicara”
“ha? Bagaimana bisa? Dia pemalu dan ..”
“Operin!!..” bentakku sebelum kekasihku menyelesaikan kalimatnya.

Hening ... tampaknya kekasihku shock, belum pernah aku membentak dirinya.
“Baiklah ..”
“Aku tak peduli siapa kamu! Tak peduli alasanmu! Keluar kamu dari rumah kekasihku! Sekarang!!” bentakku meradang.

.. hening ..
Gukk ... Guk ..”

Rupanya lelaki itu tak lebih dari seekor anjing jantan.
Aku tertipu.

Kamis, 08 Januari 2009

Pinch of Destiny


Tanggal 20 Agustus 1902, Kartini muda menggoreskan pena diatas kertas, demikian yang ditulisnya: “Di mana kebahagiaan sejati? Tak jauh, tapi sukar menemukan jalan ke sana, kita tak bisa berangkat dengan trem, dengan kuda dan perahu, dan tak ada emas yang dapat membayar bea perjalanan itu. Jalan itu susah ditemukan, dan kita harus membayar ongkosnya dengan air mata dan darah di jantung serta meditasi. Di mana jalan itu? Dia ada dalam diri kita sendiri ...”
Ada yang klise dalam paragraf itu, tapi bagi Kartini, Tuhan bukanlah jalan lempang dan terang yang dibangun oleh akal budi melulu. Jalan itu tak henti-hentinya harus dicari kembali oleh masing-masing diri. Dalam perspektif ini, Tuhan bukanlah hanya keniscayaan dari dorongan etis, Sang Otoritas Moral, yang menjadi acuan nilai-nilai universal. Tuhan adalah pengalaman batin yang unik bagi setiap saat, setiap tempat, dan setiap manusia.
Pengalaman batin yang luar biasa ini kerap disebut: the individual pinch of
destiny.

Di akhir hidupnya, ia menulis demikian:
“Sebuah kerja harus dilakukan, seraya Tuhan sudah rapi tersimpan dalam iman, sebuah iman yang dapat dipergunakan bagai sebuah peta ...”

The City of God


Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa takut dan kasih yang mendalam, perpaduan antara amor dan horror. Tapi yang kini terlihat adalah suatu sejarah yang menyebabkan agama berakhir dengan rapi: design dan bangunan.
Berabad-abad kita tak lagi menemukan dan mengungkapkan Tuhan yang senyap. Dihadapkan kita terbujur mesjid yang agung, gereja yang gigantris, kenisah yang megah, patung Budha dari emas yang terbaring, pagoda dengan pucuk berkilau – dan umat berdesak, makhum dan kikuk.
Tampaknya pengalaman akan Allah dinyatakan dalam monumen yang kukuh – yang mungkin sebetulnya adalah sebuah fantasi akan yang kekal.
Di atas sana, mungkin Ia memandang dengan prihatin dan tersenyum renyah.

Tahtagata


Boris Paternak, novelis kebangsaan Rusia menulis; “kerap orang tak bisa menikmati hari karena penuh cemas, bagi mereka membuka jendela terasa seperti membuka nadi.” Padahal seperti kata bob Dylan dalam syairnya: you dont always need a weatherman to know which way the wind blows, kita tak membutuhkan juru cuaca untuk menentukan ke arah mana angin berhembus.

Sang Sidharta Budha Gautama memiliki banyak nama. Salah satunya, Tathagata – sebuah nama yang memiliki makna ganda. Tath-agata: datanglah dan Tatha-gata: pergilah. Kita diajak tak terpaku dan melekat pada masa lalu dan berupaya menangkap hari ini demi yang akan datang. Atau seperti kata Santo Martinus Biberach, “saya datang tapi tak tahu dari mana, saya pergi tapi saya tak tahu kemana”. Baginya, ia menikmati hidup sekarang tak terjerat dari nostalgia masa lalu dan mimpi masa depan.
Mungkin benarlah kata penulis dalam Wedhatama, memahami hidup karena menjalani hidup.

What has happened before will happen again. What has been done before will be done again. There is nothing new under sun shine.

Shepherd of Soul


Even if I go through the deepest darkness, I will not be afraid, for You are with me. Your shepherd's rod and staff protect me.
You are my shepherd; I have everything I need...

Raja Daud meninggalkan kalimat diatas sebagai keteguhan imannya. Berabad-abad kemudian, kalimat tersebut tetaplah menyimpan daya yang luar biasa, setidaknya kalimat ini pula disebutkan dengan gelisah oleh Anne Boleyn - ratu yang membuat Ratu Catherina Aragon terusir dari istana dan mengakibatkan Inggris terpisah dari Roma - sebelum dieksekusi mati oleh Raja Henry dan disebutkan oleh mereka yang mencari ketenangan.

Barangkali yang menjadikan kata-kata itu berdaya luar biasa itu tak lain adalah sikap pasrah yang mendalam, suatu sikap percaya yang paripurna, suatu penyerahan yang total yang termaktub dalamnya.
Jika itu yang terjadi, maka tak pernah akan muncul pertanyaan: Mengapa ini yang harus terjadi? Mengapa harus aku yang mengalami? Mengapa Kau menuntunku ke sini? Mengapa masalah tiada henti?
Yang ada hanyalah sebuah perayaan jiwa atas semua yang terjadi tanpa mempertanyakan mengapa harus terjadi. Akhirnya, hanya credo inilah yang termadah:

“God, I know You are complete control of my life and You have got me exactly where You want me to be. Thus, I am going to stay filled with faith”
Be it unto me according to Thy word..

Meaning of Time


Waktu adalah ongkos!
Begitulah kini orang sering berkata dengan setengah mengeluh, tapi pasti. Kecepatan pun semakin menentukan. Sementara tanda ruang seperti batas tempat dan negara menjadi terabaikan. Di pasar uang, dana-dana dapat di transfer hanya dengan seketika, ruang menjadi ringkih, tak lagi mempunyai arti.

Tapi waktu seperti inikah yang membebaskan kita? Ia semakin berkuasa. Ia memang membawa semacam rasa pongah ke dalam diri kita, karena kita sendiri yang memberinya daya yang ampuh.
Tapi kemerdekaan lantas berubah makna. Kemerdekaan kita adalah kemerdekaan dengan mata yang cemas setiap bangun pagi.
Sedang waktu tak pernah mati.

My life is like the evening shadows; I am like dry grass
(psalm 102:12)

See then Believe It


"Look at the sky and try to count the stars; you will have as many descendants as that."
(Genesis 15:5)

Pandanglah langit, dan cobalah menghitung bintang-bintang; engkau akan mempunyai keturunan sebanyak bintang-bintang itu. Inilah perjanjian yang agung. Perjanjian antara Tuhan dengan Abraham yang pada masa itu berusia 100 tahun dan tak memiliki keturunan. Abraham yang ringkih boleh saja tertawa sinis dan bertanya, bagaimana mungkin dirinya yang kakek-kakek dan istrinya – Sara - yang berumur 90 tahun masih berharap sebuah keturunan? Tapi bagi yang Kekal, perkataanNya adalah abadi.
Fenomena selanjutnya bisa ditebak, Abraham dibawa keluar dari kediamannya dan disuruh menghitung milyaran bintang yang gemerlap di langit malam. Melihat dan percaya! Inilah agenda agung sang pencipta. Ia hendak menunjukan kepada Abraham untuk melihat dan menjadi yakin.
Momen yang berabad-abad lalu adalah momen yang berputar kembali. Bukankah ketika kita mengubah cara pandang kita, kita akan terkagum-kagum dengan suatu penyelenggaraan illahi itu?

Est autem fides credere quod nondum vides; cuius fidei merces est videre quod credis
Faith is to believe what you do not see; the reward of this faith is to see what you believe.


Once Upon a Time in Saint John


“Holy, holy, holy!
The LORD Almighty is holy! His glory fills the world."

Kalimat yang pernah membuncah dan terekam oleh Yesaya terdengar kembali dari dalam Katedral Saint John. Kata serupa yang seperti mabuk itu ditulis kembali oleh Allen Ginsberg “Everything is holy, everybody is holy, holy! holy!”

Sebuah kalimat yang berbahaya. Jika semua hal adalah kudus, maka kudus itu ada di pojok ruangan, di balik sapu lidi yang pejal, di dalam cerek perak milik si mbok, di dalam botol susu, di lipatan surat kabar harian, dan barangkali ada di ujung pelangi di sudut bumi.
Jika semua orang adalah kudus, maka orang yang paling licik dan jahat, koruptor tengik, musuh yang berwajah malaikat, dan mungkin juga penjaja tubuh komersil di pojok remang malam juga termasuk dalam deretan para kudus.
Gunawan Muhamad menulis: “Jika semua adalah suci, yang lain bukan mukjijat lagi”
Tapi barangkali kalimat diatas adalah kalimat yang magis. Bukankah jika semua hal adalah suci, maka hal yang pantas dilakukan untuknya adalah yang suci – semata-mata dilakukan hanya untuk yang Tersuci, sekalipun dalam keringkihan ragawi?

Sanctus, sanctus, sanctus Dominus Deus!
“Suci, suci, suci Allah Kang Mahakwasa. Salumahé bumi kebak kaluhurané.”