Minggu, 22 Februari 2009

Kontemplasi


Aku berdiri di pojok sebuah toko buku, dengan buku berisi gambar pariwisata di Jepang berada di gengamanku.
Di suatu lembar, tergambar pohon sakura yang mekar pekat dengan latar patung Budha yang maha besar. Di tangga menuju patung itu berjejar biksu dalam kekhusukan yg dalam.
Aku membayangkan mereka berdiri ditengah hutan dan kesunyian, patung dan puing, kabut dan hujan.
Bukankah suatu hal yang menakjubkan? Tidakkah mereka tengah bersatu dengan waktu yang tak gampang diukur yang dihamparkan ke khalayak ramai? Suatu waktu yang dalam, yang ekstasis, yang maha dasyat. Sebab ketika saat itu sang subjek raib, tak lagi berdaulat.
Hidup ini tak ada yang permanen, tak ada subjek yang sama. Eksitensi hidup selalu mengalir, selalu mengulang hal yang sama; kelahiran, kematian, tapi tak akan ada moment yang lahir dan terjadi kembali.
Mungkin mereka yang komtemplatif akan tersenyum; memandang hutan adalah sebuah kesunyian yang dalam, patung adalah puing, dan hujan seperti kabut.

Nasi Lemak Seringgit Lima Puluh Sen


Kisah ini terjadi di suatu pagi yang bangun terlalu dini, di jantung kota Kuala Lumpur yang mulai berdegup tepatnya di seberang menara kembar Petronas yang berdiri dengan mata setengah terpejam.
Mobil van dengan pintu setengah terbuka memang mudah ditemui disepanjang jalan ini. Memanfaatkan donat tiga biji seharga seringgit dan nase lemak seharga dua sen pun cukup menjerat nafsu eksekutif muda yang bekerja di kawasan itu. Mereka tak memiliki ijin dagang, apalagi bayar pajak, sebab itu jam operasi cukup singkat, dan apabila ada pihak berwajib mereka Cuma perlu menutup pintu van dan cabut.

“Nase lemak, nase lemak, seringgit lima puluh sen sahaja..”
Kalimat yang biasa terdengar ketika melewati mobil dengan pintu setengah terbuka itu. Tapi suara dibalik mobil ini terdengar tak asing ..
“Nase lemak, nak beli nase lemak dek? ..” berbahasa Melayu berlogat Jawa.

“Mbak asal Jawa ya?” tanyaku.
“Aduh piye toh mas, wong saya ini orang Melayu sini kok. Swerrr deh” jawab penjual setengah kaget setengah kikuk tak mampu menyembunyikan logat Jawa yang medog itu.

“Oh. Oh Oke..” setengah kaget..
“Nak tapao nase lemak satu sahaja, tak payah pake plastik beg. Itu sambal sikit sahaja, boleh kan?”

“Seringgit lima puluh sen..”

“Ma kaseh..”

Bahasa memang bolong, tapi keringkihan bahasa menyimpan indentitas yang kuat. Mungkin tak perlu bagi mbak ataupun makcik itu berkata lantang: Aku orang Jawa atau Aku orang Kelantan, tapi ia sudah berkata dengan sandi yang tak termanai itu.
Aku melahap dengan senyum, satu pertanyaan pun terkembang:
“Ini nase lemak atau nasi uduk?”

Peradaban dan Kebiadaban


Pembunuhan adalah materialisme yang menipu diri dan ganas. Ia meletakan jasmani sebagai suatu dasar yang harus dihancurkan, yang tanpa disadari pada saat yang bersamaan ia memuskahkan sesuatu yang berarti, yang beragam, yang hakiki dan yang berharga dari sebuah jasmani.
Kakek saya dibunuh oleh penjajah Jepang yang menduduki kota kami, ditahun yang bersamaan dengan kelahiran ayahandaku. Ayahku memang tak pernah tahu bagaimana wajah dan suara kakek, kecuali memandangnya dari selembar foto hitam putih yang pernah digantungkan di dinding ruang keluarga.

Dari nenekku, aku mendengar bahwa banyak laki-laki yang menentang dan dianggap membahayakan penjajah akan dihilangkan. Mereka akan dijemput dengan truk besar dan dibawa ke kawasan Mandor – Kalimantan Barat, dan sesampainya di lokasi, tawanan akan dipaksa menggali lubang yang besar dan dalam. Setelahnya, tawanan akan berdiri berjejar di tepi lubang itu, dan butiran timah panas menerobos raga mereka tanpa ampun.

Sore itu..
Tawanan itu paham, bahwa ia menggali kubur bagi mereka sendiri.
Istri dan anak-anak yang ditinggalkan juga paham, bahwa moment mereka dijemput oleh penjajah adalah momen terakhir mereka beratap muka, mengingat nama..
Dan barangkali serdadu pun tahu, bahwa ia menjalankan anarki, memusnahkan jasmani sebagai pembuktian kekalahan mendalam terhadap martabat hakiki manusia.
Tentu saja, kisah peradaban selalu terselip kisah kebiadaban, selalu ada darah anyir yang membasahi bumi pertiwi.

SMU


Keabadian dan ketiadaan berbaur dengan tinta yang ditorehkan pada kertas polos pada saat ulangan berlangsung. Saat itu tiap pribadi menuliskan masa depannya sekaligus merayakan keabadian persahabatannya.
Terlepas dari angka yang dicoretkan dengan tinta dari tangan sang guru, pelajar itu telah belajar satu hal tentang memiliki, tentang berbagi, tentang menerima, tentang memberi.
Mungkin bagi mereka yang paham, dibalik seragam, NEM dan STTB, dan iuran bulanan, lembaga pendidikan tak hanya mengajarkan sebuah angka – tapi sebuah cinta yang menari.

**special thanks to Inneke for provide an amazing memorable picture.

Tukang Becak


Aku adalah tukang becak. Aku tahu benar jalan mana yang aman untuk ku lalui, aku paham benar jalan pintas mana yang bisa kulalui hingga tujuan lebih cepat dituju.
Tapi kejadian pagi itu telah merubah hidupku.
Seorang calon penumpang berdiri di tepi jalan dan melambaikan tanganNya padaku. Setelah ku sangupi untuk menghantarNya, ia segera naik dan becakpun kembali ku kayuh. Awalnya Ia kami mengobrol biasa, tentang nasib para tukang becak, tentang pekerjaan sehari-hari dan sebagainya.

“Boleh Saya kayuh becakmu ini?” tiba-tiba saja kalimat ini terlontar dariNya.

Memang membingungkan, tapi itulah yang terjadi. Aku si penarik becak jadi penumpang dan Ia yang sebenarnya penumpang malah menjadi penarik becak. Ia yang kini mengendalikan becak itu. Akupun menjadi lebih lega karena kini aku hanya duduk dan melihat ke kiri dan kanan.
Awalnya memang menyenangkan, tapi kemudian Ia membawa ku ke jarang berbatu tajam dan curam.
“Woi Bang! Jangan lewat jalan yang ini, bahaya! Puter balik! Puter balik! Mending loe lewat jalan yang sebelah noh” teriakku kaget.
“Tenanglah, ada Gue ini” jawabNya.
Dan benar saja, sekalipun takut dan capek terantuk-antuk dalam becak, toh pada akhirnya kami bisa melewatinya.

Bosan pun menjangkit.
“Woi Bang! Loe mao nganterin gue kemana sech! Bisa-bisa seharian gue cuma nganterin elo, kagak ada duit masuk donk?” aku mulai cemas dan bingung.
“Tenanglah, ada Gue ini” jawabNya.
Lalu ia membawaku melewati orang-orang yang memberiku keperlukan yang kubutuhkan. Becakku penuh.
“Nanti kalau ketemu orang di jalan dan ia butuh barang-barang ini, berikan kepada mereka. Jika tidak becak ini terlalu berat” kataNya.
Dan memang itu yang terjadi, aku bertemu orang-orang yang membutuhkan, dan ku mencoba berbagi dengan barang yang ku dapat. Ada senang yang terpercik, ada riang yang merembes.
Dan aku pun lagi memikirkan kebutuhanku.

Sore itu, di tepi sungai, ketika mentari mulai padam, aku makhum bahwa Penumpang tadi sebetulnya telah mengubah hidupku, telah mengubah cara pandangku.

Sabtu, 07 Februari 2009

Seed of Faith



The smallest seed of faith is better than the largest fruit of happiness.
أصغر البذور الإيمان خير من الفاكهة أكبر من السعادة.

(Hendry David Thoreau)

Heaven is on Earth



Dance as though no one is watching you.
Love as though you have never been hurt before.
Sing as though no one can hear you.
Live as though heaven is on earth.

地球上的天堂