Senin, 20 Desember 2010

Bebek



Temanku berkata kepadaku:
“Kamu tidak cukup gila untuk dimasukan ke rumah sakit jiwa! Tapi kamu juga tak cukup waras untuk dimasukan ke seminari! ...”

Kataku kepada temanku:
“Suatu ketika sebutir telur bebek dierami oleh seekor induk ayam. Lantas telur ini menetas dan keluarlah bebek kecil itu. Awalnya ia mempelajari apa yang dilakukan oleh induk ayam itu, cara berkotek, cara berjalan, cara mematuk tanah mencari cacing, sampai suatu ketika mereka berjalan di tepian kolam. Bebek kecil itu lantas terjun berenang di kolam tanpa menghiraukan sang induk ayam berkotek-kotek kebingungan..
Temanku, saya sudah terjun ke samudra yang asing bagimu dan saya betah di sana. Tentunya engkau tidak dapat mencela diriku bila engkau memilih berdiri di tepi kolam saja, bukan?”

Sabtu, 18 Desember 2010

December



Petit papa Noël
Quand tu descendras du ciel
Avec des jouets par milliers
N'oublie pas mon petit soulier.

Santa Claus kecil, ketika engkau datang dari langit,
Dengan ribuan mainan bersamamu,
Jangan lupa untuk meninggalkan sebuah mainan di kaus kakiku.

Desember adalah suatu momen menunggu. Malam akan selalu berlalu, lalu kalender dirobek dan diganti yang baru. Desember melesat dengan cepat, dan pada diri hari kita akan dicegat sebuah pertanyaan: apa yang akan datang? Siapa yang akan datang? Apa yang yang baru? Bagaimana yang baru?
Empat minggu sebelum hari Natal, yang beragama Kristen menamakannya sebuah momen advent. Advent diambil dari bahasa Latin yang berarti kedatangan, suatu ketibaan, yang penting dan luar biasa. Namun apa yang ditunggu kedatangannya adalah sesuatu yang abstrak, entah itu sebuah mukjijat, entah itu sebuah yang mustahil, atau barangkali sebuah bencana. Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi..
Namun dibalik itu, Desember adalah sebuah momen harap. Dibalik pohon natal plastik berdebu, diantara kerlip lampu natal, diantara tanda “sale” di shopping center, diantara kartu, sms, dan bbm natal, ada sebuah harap yang dilambungkan. Harap yang dibangun pada sebuah penyerahan, bukan pada sebuah iman yang patah. Sebuah harap bahwa Sang Suci merasuk pada hidup yang temporal.
Kita semua tahu, bahwa ketika Sang Suci hadir dan hidup yang temporal, ada keajaiban dan mukjijat dalam hal yang paling sepele, dalam hal yang paling nadir sekalipun. Semua benda dan hal menjadi sebuah kata “Engkau”.
Desember adalah sebuah bulan tanpa patah harap.

A Birthday



Lagu akan dinyanyikan diiringi tepuk tangan, lantas diakhiri dengan tawa dan kemudian hening.
Lilin akan dinyalakan, membakar angka umur yang ditancapkan pada mentega, berkerlap kerlip sejenak, lalu setelah sebuah harapan diucapka lantas ia ditiup.
Lalu prosesi ulang tahun itu selesai…

Ada kalanya kesendirian menjadi ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia penciptaan waktu.
Keheningan mengapungkan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulangi manisnya keberhasilan dan indahnya kegagalan. Hening selalu membuat kita berkaca – suka atau tidak pada hasilnya.

Dalam hening, sebuah doa menjadi penghangat jiwa, sebuah kalori yang tak pernah habis dicerna oleh usus. Sebuah doa menjadi lilin tanpa sumbu yang menerangi jalan setapak ketika dunia menjadi terlelap dan gelap.
Alangkah bahagianya, sesungguhnya kita mampu berulang tahun setiap hari.

*10950 hari sudah kujalani.

Jumat, 17 Desember 2010

Angel Without Wings




Angels we have heard on high
Sweetly singing o'er the plains,
And the mountains in reply
Echoing their joyous strains.
Gloria in excelsis Deo..


Sesaat aku menatap hujan sore bulan Desember yang meninggalkan titik-titik air bening di kaca jendela, sedang lagu Angels we have heard on high mengalir sendu lewat headset yang terpasang di telingaku. Sebuah momen yang cukup sederhana yang cukup membuatku teringat dengan sebuah kata: Angel. Selanjutnya, sekali lagi setelah beberapa kali aku membiarkan melankoli menggelembung dan akhirnya pecah dalam lamunan sesaat.
Ketika aku masih kecil, aku beranggapan bahwa malaikat itu bersayap, seorang perempuan dengan senyum manis dan memiliki tongkat ajaib, bercahaya dan memakai pakaian putih bersinar serta ada bintang-bintang di kepalanya. Setidak-tidaknya sosoknya sama seperti yang aku lihat pada kartu-kartu natal, gantungan-gantungan di pohon natal, atau kostum para malaikat dalam adegan kelahiran Kristus yang kerap dipentaskan di gereja pada malam natal.
Namun, tampaknya ada yang harus kuubah dalam paradigmaku. Barangkali Tuhan menciptakan para malaikat berupa manusia-manusia yang hidup disekitar kita, yang selalu memberi kebaikannya, yang senantiasa bergesek dalam kehidupan sehari-hari. Mereka barangkali tidak bersayap, tapi dalam tangan hangat yang selalu menggengam kala kita membutuhkannya. Mereka juga tidak dalam cahaya, tapi dalam kesahajaan yang menentramkan. Dan kini, aku percaya bahwa ada malaikat-malaikat di sekitarku.

Aku teringat pada seorang perempuan sederhana yang kuat, yang menemani kami dari kecil dan mengajari kami tentang kasih sederhana yang kuat.
Dia adalah penganut agama Budha yang taat. Setiap malam, sebelum beristirahat, ia akan mengenakan jubah kuning dan tenggelam dalam dunianya sendiri, bergumam sendiri dengan bahasa yang tak aku mengerti. Beberapa kali aku bertanya dalam batinku, bagaimana mungkin Tuhan mendengarnya dalam gumaman yang tidak jelas dan tidak karuan itu. Namun ketika melihat wajahnya dalam doa, aku tahu bahwa ia bahkan lebih dekat dengan Sang Keabadian itu melebihi orang-orang terpelajar yang pernah aku temui.

Dia mencintai satwa. Suatu ketika ia memungut seekor kucing betina berbulu kuning yang terlantar di jalan, lantas di pelihara di rumah. Hari-hari berikutnya kucing itu kerap mampir ke rumah sekedar untuk santap siang atau malam, beristirahat sejenak di halaman rumah, atau bermanja sesaat bersama majikannya. Ketika kucing ini ditabrak kan patah kakinya, ia dibalut dengan sederhana dan teliti. Lalu, sampai suatu ketika kucing ini tidak pernah datang lagi.
“Kucing yang baik. Ia tidak mau menyusahkan kita untuk mengurusi kematiannya. Dia pasti pergi ke suatu tempat dan mati..” katanya suatu ketika ia menunggu kucing datang, dan kami tahu bahwa kucing itu tak lagi pernah datang.

Dia adalah orang yang bisa diandalkan ketika kami kehilangan ide dalam prakarya. Ia pernah membantuku membuat bunga mawar dari kertas krep kuning ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika aku tak punya ide untuk ketrampilan bebas. Kontan, guruku mengerutkan dahinya dan memandangku penuh curiga ketika bunga itu aku kumpulkan untuk mendapatkan nilai.

Dia adalah perempuan yang pencerita dan pendengar yang baik. Ketika aku kecil, ia bercerita tentang kisah dewa dewi dan negeri peri, tentang masa mudanya, tentang pohon dan hutan, tentang biji pohon karet yang licin yang sering aku pakai untuk bermain gundu, tentang kakek dan nenek, tentang babi-babi yang pernah diternakan, tentang bintang berekor, tentang sungai Kapuas dan ikan-ikan kecil, tentang barongsai dan ritual menyeberang dibawah badan naga yang diarak, tentang kembang api warna warni, dan segala hal.
Dia adalah perempuan yang sederhana dan hemat. Pakaiannya tak lebih dari sebuah lemari pakaian di kamar tidurnya. Ia menyimpan dengan rapi beberapa kain-kain peninggalan dari nenek. Beberapa lembar foto dalam sebuah album yang sudah menguning, beberapa perhiasan yang memudar dalam sebuah kotak plastik, sebuah buku kecil berisi resep membuat kue, sebuah tas tangan, sepasang sepatu, dan beberapa barang lain. Semuanya muat dalam satu lemari kayu, yang aku tahu isinya setelah ia - tanteku tiada.

Hampir tiga tahun aku tak pernah lagi melihatnya, kecuali dalam mimpi yang hilang lenyap ketika terbangun dari tidur.
Aku tidak pernah bertanya alasannya kenapa ia tidak menikah dan memilih tinggal bersama kami, namun yang aku tahu bahwa ia mempunyai cinta universal yang ia bagikan kepada kami, setiap keponakannya yang sudah dianggap sebagai anak-anaknya sendiri.

Sebuah cicin logam mulia sederhana melingkar di jari tengah tanganku, darinya. Mengingatkanku betapa sederhananya dan mulianya mengasihi, simbol sebuah energi kasih yang tanpa berawal dan juga tanpa berakhir.

Sayup-sayup aku dengar lagi lagu natal itu ..
Gloria in excelsis Deo … Gloria in excelsis Deo …Kemuliaan kepada Allah ditempat yang maha tinggi.
Aku yakin, ia telah menggabungkan suarakan dalam suara paduan para malaikat di Surga..
Gloria in excelsis Deo … Gloria in excelsis Deo …

Selasa, 30 November 2010

Pelangi di Bumi Khatulistiwa



Ngangau ka Petara Aki, Petara Ini.
Agi ga aku minta gerai, minta nyamai,
Minta gayu, minta guru!


Aku memanggil Engkau ya Allah nenek moyang kami.
Aku mohon kesehatan dan kedamaian,
panjang umur dan kebijaksanaan


Barangkali Indonesia sudah mulai berangsur-angsur melupakan peristiwa kerusuhan antar etnis yang terjadi lebih dari satu dasawarsa lalu di Sambas, Kalimantan Barat, medio Februari 1999. Namun tidak demikian dengan Marsuah, seorang perempuan berumur separuh baya tersebut masih merekam jelas peristiwa tersebut dalam benaknya.
Marsuah memang berhasil selamat dan bertahan hidup, walaupun peristiwa tersebut telah merenggut delapan anggota keluarganya termasuk Niram, suaminya, yang menjadi korban keganasan dari manusia yang kehilangan akal sehat. Dalam pelarian ia harus membesarkan anak-anaknya, memilih menjanda dan terus bertahan sebagai single parent pasca konflik sosial tersebut.
Marsuah sebetulnya adalah seorang petani biasa, yang kesehariannya berkebun, dan merawat sapi tetangga. Ia sekeluarga tinggal di Desa Sengawang, Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas, sebelum peristiwa itu datang dan menyisipkan sebuah kehilangan dan ruang yang kosong dalam dirinya. Ia bahkan tidak tahu menahu kenapa konflik personal yang kecil itu kemudian bergolak menjadi sebuah konflik etnis yang besar. Yang ia ketahui adalah bahwa ketika ia memilih melarikan diri bersama kelima anaknya dan bersembunyi di hutan, momen itu adalah sekaligus perjumpaan terakhir dengan keluarga dan saudaranya.
Pasca kerusuhan, Marsuah bekerja apa saja untuk menghidupi anak-anaknya. Mulai dari kerja upahan, mengangkut papa, pipa air, hingga mencari rumput untuk makanan sapi. Semua yang dilakukannya agar anak-anaknya bisa tumbuh dewasa.
Marsuah memang bukan seorang diri, Ia mengungsi atau terpaksa melarikan diri dari rumahnya bersama pengungsi lainnya yang berjumlah 53.948 jiwa atau 9.913 kepala keluarga (KK). Lebih dari satu tahun mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian dengan fasilitas yang sangat terbatas. Pemerintah kemudian melakukan relokasi ke Tebang Kacang. Sebuah desa yang jaraknya sekitar 35 kilometer ke arah tenggara dari Kota Pontianak. Desa Tebang Kacang masuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Kubu Raya resmi jadi kabupaten pada 2007 hasil pemekaran dari Kabupaten Pontianak. Program relokasi ini menelan biaya sekitar dua setengah milyar rupiah.
Marsuah juga memperoleh satu unit rumah untuk memulai kehidupan barunya. Rumahnya sangat sederhana. Tak ada peralatan mewah. Bahkan cenderung kosong. Hanya beberapa kursi saja. Namun rumah beratap seng yang terbangun dari papan itu bersih. Sudah hampir sepuluh tahun Marsuah tinggal di Tebang Kacang.

Zoom Out: Masalah Konflik Antar Etnis
Narasi Marsuah diatas adalah salah satu dari ratusan ribu catatan suram kisah korban yang berhasil hidup dari sebuah peristiwa kekerasan yang bernama konflik antar etnis.
Memang benar bahwa tidak ada suatu masyarakat dimanapun di dunia ini yang tidak mengalami konflik. Konflik yang dialami oleh warga masyarakat dalam kehidupan sosialnya, perbedaannya hanyalah terletak pada intensitasnya dan cakupan wilayahnya saja. Ada konflik yang berupa persaingan dan pertentangan yang biasa saja, yang melibatkan warga masyarakat dalam jumlah yang relatif kecil, akan tetapi ada juga konflik yang melibatkan masyarakat dalam jumlah yang besar.
Konflik antar etnis di Kalimantan Barat tahun 1999 tentunya bukan konflik pertama kali yang terjadi. Hal ini menjadi salah satu ketertarikan beberapa penulis untuk berupaya merekam jejak-jejak konflik yang pernah terjadi di Bumi Khatulistiwa itu. Sebut saja Arafat yang mencatat bahwa sejak tahun 1933 sampai dengan 1997, telah terjadi setidaknya 10 kali konflik dengan kekerasan. Sementara Alqadrie menyatakan, bahwa sejak 1962 sampai dengan 1999, telah terjadi setidaknya 11 kali. Lain lagi dengan Petebang mencatat bahwa sejak tahun 1952 sampai dengan tahun 1999, telah terjadi sebanyak 12 kali.
Ketiga sumber diatas memang mencatat frekwensi konflik yang berbeda, walaupun demikian setidaknya mereka menggambarkan fenomena sekaligus fakta yang sama bahwa konflik terjadi relatif sering dan selalu berulang. Dalam kurun waktu 50 sampai dengan 60 tahun terakhir, telah terjadi 10 sampai dengan 12 kali konflik. Hal ini berarti bahwa dalam rentang waktu 4 – 5 tahun, rata-rata telah terjadi sekali konflik.
Dari sekian banyak konflik antar etnis di Kalimantan Barat, konflik antara etnis Dayak dengan Madura lah yang paling mencekam dan menakutkan, karena selalu memakan korban yang sangat banyak dan meninggalkan kesan traumatik bagi semua pihak. Konflik itu diikuti dengan tindak kekerasan yang melampaui batas nilai kemanusian berupa pembakaran rumah dan harta milik, pengusiran dari tempat tinggal, bahkan pemenggalan kepala korban. Konflik yang lain seperti antara etnis Melayu dengan Madura tidak sekeras konflik tersebut. Kehidupan dan karya manusia yang telah dibangun sekian lama lenyap sekejap karena dilahap api, dirusak dan dihancurkan oleh massa yang terbawa amukan emosional. Sementara itu konflik etnis Dayak dengan Cina, Melayu dengan Cina dan Melayu dengan Dayak cenderung berbau politik.
Harus diakui, korban konflik antar etnis di daerah ini tidak hanya mencakup kerugian dalam bidang materi, tetapi terutama meninggalkan trauma psikologis yang sulit terhapus dalam kurun waktu singkat. Mereka yang kehilangan anggota keluarga akan tetap menyimpan luka batin yang memprihatinkan masa depan mereka. Seringkali dendam kesumat melilit hidup mereka. Manusia terkubur dalam liang kebencian dan permusuhan yang merugikan hidup persaudaraan.

Sangat mudahnya kedua etnis (Dayak dan Madura) ini melakukan pertikaian yang melibatkan etnis ini, ada kaitannya dengan kebiasaan tradisional yang sering dilakukan oleh kedua etnis ini sejak zaman nenek moyang mereka sampai sekarang masih melekat, yaitu kebiasaan mengayau pada etnis Dayak dan kebiasaan carok pada etnis Madura. Kebiasaan tradisional pada kedua etnis ini memang tidak tampak lagi dalam bentuk aslinya di dalam praktek tetapi pada hakekatnya kebiasaan ini masih mempengaruhi secara psikologis sikap dan tindakan kedua etnis ini dalam menghadapi kompetisi sosial.
Penelitian ilmiah pernah dilakukan untuk melihat lebih jelas mengenai nilai-nilai yang dianut oleh masing-masing etnis tersebut. Perbedaan nilai yang dianut oleh suatu etnis kerapkali bergesek dan mampu memicu timbulnya suatu konflik. Hasil dari penelitian itu diluar dugaan. Keempat nilai teratas yang dianut oleh ketiga etnis: Dayak, Melayu, dan Dayak ternyata sama. Keempat nilai diurut dari yang paling atas adalah: Konformitas, Keamanan, Baik Kepada Orang lain dan Universalisme. Keempat nilai tersebut adalah nilai yang boleh jadi jauh dari tindak kekerasan, namun menjadi suatu alat picu untuk meledaknya suatu tindak kekerasan.
Konformitas sosial yang merupakan nilai teratas adalah proses dimana tingkah laku seseorang terpengaruh atau dipengaruhi oleh orang lain di dalam suatu kelompok. Kebersamaan dalam suatu etnis sedemikian erat sehingga suatu hal yang menimpa seseorang dari etnis tersebut menjadi perhatian dari orang lain dalam etnis bersangkutan. Nilai kedua adalah keamanan, dimana nilai ini menjadi pegangan kuat etnis tersebut. Hal ini menjadi jelas, ketika seseorang dalam etnis tersebut merasa terancam keamanannya, hal ini merupakan ancaman bagi suatu etnis tersebut. Kerap hal ini yang menjadi pemicu ledaknya suatu konflik yang bersifat massal. Perbuatan yang bersifat individual kerap menjadi faktor utama merebaknya suatu konflik yang bersifat kolosal.
Berikut adalah sekurang-kurangnya tiga alasan munculnya konflik:
• Akumulasi kejengkelan individual dan sosial etnis Dayak dan Melayu terhadap perilaku sejumlah orang Madura yang tinggal dan bekerja di Kabupaten Sambas. Kejengkelan ini muncul karena perilaku dan tindakan sewenang-wenang beberapa individu Madura terhadap harta benda milik orang lain (tanah, kebun, ternak dan keamanan hidup orang lain);
• Ketidakadilan sosial dalam menerapkan hukum positif. Pihak-pihak yang menjadi korban tindak kekerasan orang Madura merasa tidak mengalami keadilan dari pihak penegak hukum positif. Hal ini antara lain disebabkan oleh keterlambatan penanganan kasus; serta penanganan masalah yang tidak tuntas dan tidak menjamin keadilan yang diharapkan masyarakat. Akibatnya, masyarakat menjadi ‘penegak hukum dan keadilan’.
• Solidaritas etnisitas yang tinggi dari kalangan mereka yang menjadi korban tindak kriminal orang Madura. Masyarakat lokal (Dayak dan Melayu) memiliki solidaritas yang tinggi dalam menghadapi tindakan-tindakan yang menjengkelkan dan merugikan masyarakat.

Dari Konflik Menuju Rekonsiliasi
Kisah konflik antar etnis tidak lain adalah salah satu noda yang berserak diatas sebuah kain yang bernama kemanusiaan. Konflik antar etnis yang terjadi selalu menyadarkan kita akan sebuah ringkihnya persaudaraan yang dibangun, sekaligus mendorong kita kearah pembaharuan dengan menciptakan sebuah hubungan dengan atmosfir persaudaraan sejati.
Anak tangga pertama menuju rekonsiliasi adalah langkah-langkah konkret yang bisa mencegah terjadinya konflik antar etnis di Kalimantan sangat perlu disusun secara sistematis dan terus menerus. Sekurangnya ada tiga langkah yang dapat ditempuh pada tahap pencegahan konflik antar etnis terlebih setelah melihat penyebab yang disampaikan diatas:
• Penanganan konflik individual dengan cepat, tepat dan tegas, supaya konflik individual tidak merambat menjadi konflik sosial.
• Penegakan hukum positif seadil-adilnya dalam masyarakat, tanpa pandang suku bangsa, bahasa dan latar belakang budaya.
• Kontrol sosial yang ketat dari pihak keamanan dan pemerintah dalam keadaan hidup sosial sekarang sambil memberikan sangsi hukum yang tegas.

Selain itu, sangat diperlukan sikap dasar mau belajar, memahami, dan mendalami kekayaan kebudayaan orang lain. Ketertutupan dalam kebudayaan sendiri hanya akan mempertebal dinding pemisah antar golongan. Sudah saatnya setiap individu bersikap terbuka dan mau menerima kebudayaan orang lain, agar tiap warga masyarakat bisa saling memperkaya. Pandangan primordialisme yang menggiring manusia ke dalam lembah ketertutupan dan kepicikan perlu segera direvisi dan direformasi. Sikap menganggap diri memiliki kebudayaan yang superior perlu selalu diwaspadai sehingga tidak merusak tatanan hidup sosial. Nilai-nilai positif dari budaya orang lain harus kita timba dan pelihara demi kepentingan dan kemajuan bersama.

Keadaan sosial akan senantiasa mengundang manusia untuk segera memperbaiki dan membangun kembali peradaban manusia yang tercabik-cabik oleh kekejaman anak-anak manusia yang bertindak di luar kesadaran akan keharusan untuk berbuat baik; yang selanjutnya adalah untuk mewujudkan sebuah persaudaraan sejati, suatu inti dari eksitensi kemanusiaan itu sendiri. Keadaan sosial ini akan terperbaiki, antara lain, dengan membangkitkan kembali dan menghidupi ethics of relationship yang dari hari ke hari mulai luput dari perhatian manusia.
Lunturnya peran etika dalam hidup sosial, telah dan akan melahirkan kehidupan sosial yang tidak memiliki tujuan karena masyarakat tidak sanggup menegakkan nilai-nilai dasar yang mutlak ditanamkan dalam masyarakat sipil yang amat majemuk.
Kelima jenis etika: etika kepedulian, etika solidaritas, etika tanggung jawab, etika dialog dan etika holistik menggarisbawahi suatu kesetiakawanan sosial sebagai anggota masyarakat yang sedang membenahi diri. Kerja sama antar etnis dan antar pribadi sama sekali tidak bisa dilalaikan, sebab tiap anggota masyarakat kita saling terkait dan saling tergantung. Konflik-konflik dapat diatasi, antara lain, dengan menjadikan diri sendiri sebagai saudara bagi yang lain. Paradigma baru ini adalah pembentukan suatu persaudaraan sejati yang saling melengkapi dan menyempurnakan.
Tentunya untuk menciptakan hubungan yang baik itu tidak hanya bersifat sepihak, tetapi mengaitkan dan mempertautkan pihak-pihak lain dalam hidup sosial; suatu pemberian diri untuk menciptakan sebuah peradaban yang lebih baik, yang mengedepankan persaudaraan sejati. Etika ini menjadi suatu kebutuhan mendesak dalam masyarakat majemuk yang ingin maju dan berkembang bersama prinsip utama TRUE (Trust, Respect, Understanding, and Empathy), kepercayaan, rasa menghormati, mau mengerti, dan rasa peduli.

Harmonisasi: Paradigma Persaudaraan Sejati
No man is an island. Tidak ada individu yang mampu hidup terisolir dari yang lain. Hubungan antara seorang individu dengan sesamanya adalah jantung hidup manusia sebagai makhluk sosial yang terus berdegup. Pengaruh sosial ini memang tidak pernah terelakan dan akan senantiasa bergesek dalam eksitensial hidup manusia. Kemanusiaan seseorang hanya bisa dialami dalam hubungan dengan sesama. Tiada pertumbuhan, kebahagiaan, dan perwujudan diri, tanpa keterlibatan pihak luar. Dimensi kejujuran dan saling keterbukaan dalam hubungannya dengan sesama amat diperlukan dalam proses memper¬tahankan mutu hubungan antar manusia. Dimensi ini bisa menumbuhkan kebaikan, keutamaan, dan kesejahteraan bersama.

Perbedaan warna kulit, bahasa, agama, peradaban, kebudayaan, status sosial seharusnya menjadi sumber nilai dan unsur hakiki pembentukan masyarakat. Perbedaan merupakan kenyataan sosial yang menuntut toleransi dalam hidup bersama. Perbedaan tidak lagi dipandang sebagai sumber konflik, tetapi sebagai energi yang dapat disalurkan untuk membangun, memperbaiki, dan melengkapi keadaan hidup sosial.
Persaudaraan sejatinya akan terwujud penuh makna dan kaya warna ketika masing-masing individu memberikan dirinya sendiri.**

Kepustakaan

Arkanudin, Dr. M,Si.
2010 Menelusuri Akar Konflik Antar Etnik Khususnya Dayak Dengan Madura di Kalimantan Barat.
http://arkandien.blogspot.com/2010/06/menelusuri-akar-konflik-antar-etnik.html. Diakses pada tanggal 11 November 2010.

Chang, William.
2001 Dari Konflik Menuju Persaudaraan Sejati di Kalimantan.

Lamria, Maria.
2010 Analisa Penyebab Terjadinya Konflik Horisontal di Kalimantan Barat.
http://www.pdf-searcher.com/ANALISA-PENYEBAB-TERJADINYA-KONFLIK-HORIZONTAL-DI-KALIMANTAN-BARAT.html. Diakses pada tanggal 9 November 2010.

Pontianak Post.
2009 24 Agustus.

Sarwono, Sarlito Wirawan.
2007 Dari Stereotip Etnis ke Konflik Etnis

Artikel ini diikut sertakan dalam Buku Rampai XXI KWI 2011.

Rabu, 20 Oktober 2010

祈祷



Doa adalah sebuah kata yang menggelembung.
Terkadang doa tak langsung membuat semua masalah yang dihadapi selesai, tapi doa membuat kita kuat untuk untuk menyelesaikannya. Terkadang doa tidak selalu menyembuhkan, tapi doa menumbuhkan harapan untuk terus hidup. Terkadang doa tidak mengubah situasi yang sedang dihadapi, tapi doa membuat mindset atau pola pikir kita menjadi sebegitu berbeda ..

Jumat, 17 September 2010

Rose and Thorn



To have the rose, you must accept the thorns...
Memiliki mawar berarti juga menerima duri. Barangkali demikian dengan cinta, jangan mencintai jika tak ingin terluka. Namun, ada yang yang ironis memang; bahwa ketika masuk dalam cinta yang luas dan paripurna, luka menjadi sebuah pengalaman batin yang menguatkan..

Kamis, 16 September 2010

God's Dice



Barangkali tidak ada yang kebetulan. Semua perjumpaan, setiap moment dalam hidup adalah serpihan kecil dalam satu tatanan mozaik yang besar. Sedang Tuhan menatanya sedemikian baik. Yakinlah Tuhan tidak bermain dadu di atas hidup makhluk ciptaanNya...

Am I Happy?



Jika engkau dihadapkan pada pertanyaan: Mana yang lebih menjanjikan kebahagiaan; menikah atau melajang? Barangkali tidak ada jawaban mutlak. Bukankah ada pasangan atau tidak ada pasangan, tidak menghambat kita untuk meraih kebahagiaan? Dan sebuah kebahagiaan tidak diindikasi dari sepotong status. Namun kerap, kebahagiaan selalu menjadi sempurna ketika ia dilambungkan dan dibagikan.

Menikah adalah status yang berarti ada "pagar", mau keluar pagar boleh? Selalu ada jawaban boleh, asalkan maaf, keluar ‘pagar’ tidak berarti selingkuh.
Menjomblo artinya jiwa yang bebas bertualang, tetapi ingat bahwa bebas berpetualang tidak selalu berarti bebas ‘merumput’.. karena manusia tak makan rumput!


*) Thanks Tiono & Felly for provide pic.

Anatman dan Anitya



Buddha tidak hanya mengajarkan dukkha dalam kehidupan, Ia juga mengajarkan anatman dan anitya; ia menunjukkan bahwa tidak ada subjek yang sama, tidak ada yang permanen. Hidup adalah sebuah arus eksitensi yang selalu lahir dan kembali, tapi tiap-tiap kali berbeda. Tiap-tiap satu momen kelahiran tak ingat akan kelahiran sebelumnya, juga tak akan tahu kelahiran kelak..

Karena segala sesuatu tidak kekal dan selalu berubah, kita tidak perlu merasa sedih dan down menghadapi semua kesulitan.. segala yang datang - dihadapi, yang pergi - jangan dicari; yang belum datang - jangan dinanti...


*) thanks to Bu Swie Phie for contribute.

Jumat, 03 September 2010

A Journey: Karimun Jawa




Karimun Jawa. Kata ini telah menginfeksi kami jauh-jauh hari sebelum kami menginjakkan kaki di pulau sejauh kurang lebih 550 kilometer dari ibu kota. Dibutuhkan kurang lebih 15 jam untuk menjangkau pulau Karimun Jawa, salah satu dari 22 pulau besar yang terletak dalam gugusan pulau yang teduh dan tersembunyi di Laut Jawa tersebut. Luas daratan Karimun Jawa tak lebih dari 1.500ha, sedang sekelilingnya adalah biru bening yang mempesona seluas 11.000ha. Takjub takjim mengembang sedang lidah tak lagi banyak berkomentar. Memang, segala yang indah hanya mampu ditangkap panca indra sedang lidah dan otak tak lagi mampu berkosakata.

Karimun Jawa. Pagi dan sore di pulau ini adalah pesona pagi dan sore pertama di dunia. Ada warna yang padat dan peja, bertumpuk dan berserakan. Dan langit adalah kanvas besar yang dasyat. Merah, jingga kembara, lembayung, kuning, biru bertumpuk dan pecah di layar datar yang maha raya.
Gradasi biru laut memudar seiring landai ke tepian pantai, pasir putih dan bertemu dengan kehijauan flora. Tercatat tak kurang dari 400 spesies biota laut dimana sebagian besar adalah ikan hias, termasuk cagar alam, penangkaran hiu jinak, dan penangkaran penyu hijau.

Karimun jawa, barangkali adalah sebuah pulau – tentu saja. Namun, perjalanan, aroma garam dalam air laut, warna warni yang berpendar, semilir angin dibawah pohon kelapa, siluet kapal petani dibalik mentari merah senja, haram ikan bakar menu makan siang, dan tidur di kereta .. adalah sebuah mozaik yang unik dalam sebuah penziarahan, sebuah petualangan.
Barangkali petualangan adalah sebuah candu. Jangan pernah memulai sebuah petualangan ketika tak mampu untuk melepaskan diri dan berjalan bersamanya menuju sanctuary itu ...

http://www.youtube.com/watch?v=ABatidnGC54

Jumat, 27 Agustus 2010

Flip Coin



If you are stuck between two option, just flip a coin in the air .. It works, not because it solves problems, BUT while the coin is in the air, u will know what your heart is really hoping for …

Senin, 09 Agustus 2010

Karena Aku Berbeda!




Mereka menertawaiku karena aku berbeda, tapi aku menertawai mereka karena mereka semua sama saja...

Di padang gurun yang serba sama, janganlah menjadi sebutir pasir. Sebab walaupun engkau nyaman karena dihimpit oleh rekanmu yang serba sama dan bela rasa. Yakinlah tak ada yang menangis pilu ketika kau terbang dan hilang. Yakinlah mereka juga tak peduli ketika kau lenyap dan tak lagi ada.

Di padang gurun yang serba sama, jangan pula menjadi sebatang kaktus. Sebab walau hijau warna mu dan tampak berbeda dengan pasir, tahukah bahwa ada banyak yang tetap sama denganmu. Kaktus ada dimana-mana, tak ada yang rindu ketika kau mengering, layu dan mati tak berjejak.

Barangkali di padang gurun yang serba sama itu, menjadi salju adalah pilihan yang terbaik. Menjadi putih dan menjadi sebegitu berbeda menjadi inspirasi bagi setiap jengkal gurun, bahwa kau ada, pernah ada sekalipun kau telah hilang.

Di dunia yang profan dan penuh warna, tak ada rasa lagi ketika kita mempertahankan keseragaman yang monoton.
Karena sejatinya kita masing-masing sebegitu berbeda …
Karena aku berbeda!

Secangkir Kopi




Hidup itu seperti segelas kopi dengan sedikit gula. Pahit, Gelap…tapi banyak yang suka.
(Mbah Jiwo. Malang. 2009)

Kepada manusia yang sedang meracik, menakar, atau kepada manusia yang menghisap dalam-dalam aroma secangkir kopi, sesungguhnya tak sedang bekerja dalam berdimensi tempat. Mereka juga sedang bekerja dalam dimensi waktu, dan tanpa ia sadari telah menorehkan makna tanpa aksara.

Dengan segelas kopi, aku menyadari bahwa setiap kata yang berkelebat dalam ruang kepalaku adalah makna. Setiap pertanyaan yang selalu tidak puas untuk dijawab, adalah sebuah kesempatan untuk memberikan ruang kesadaran kepadaku untuk berulang berpikir, melihat dan merasa. Dengan terus berulang aku berpikir, melihat dan merasa, aku menyadari bahwa sesungguhnya segala adalah ada.
Ada eksitensi melankoli yang mengembang dan terserak, ada kebersamaan yang tumpang tindih, dan ada romansa yang tak mengenal genetik, ada hangat relialitas yang hadir dan menyapa.

Barangkali bagi seorang penikmat, ia akan menemukan dunia dalam secangkir kopi. Selalu.


*) untuk SwiePhie, dan semua sahabat penikmat kopi .. :)

Jumat, 09 Juli 2010

Sex



"Ceritakanlah padaku, Teman. Apa yang kau ketahui tentang sex?"

"Sex? oh! barangkali bagi yang mengetahuinya, adalah sesuatu yang Illahi.."

"Tapi, bukankah semua mengetahui?"

"oh belum tentu, Kawan. Seekor katak yang duduk nangkring di samping bunga tidak mengetahui bahwa madu bunga dicari oleh lebah .."

Bangau



Seekor induk bangau hidup bersama dengan anak-anak yang masih kecil di suatu daerah yang kemudian didera kemarau berkepanjangan.
Kemarau itu menghilangkan segala sumber di daerah tersebut, mengakibatkan induk bangau dan anak-anaknya terancam mati kehausan. Induk bangau lantas mematuk dadanya sendiri hingga darah keluar membasahi dadanya. Anak-anak bangau akhirnya tetap bertahan.
Namun, induk bangau mati kehilangan darah.

Terlepas nyata atau imaji cerita diatas, bagaimanapun Kasih selalu mendominasi.

Kasih. Barangkali kata ini terlalu sering, terlalu cembung atau malah terlalu menggelembung dalam setiap narasi. Bagaimanapun itu, ia senantiasa bergetar dan menyentuh, bahkan dalam sebuah narasi yang pernah ku dengar.
Induk bangau: sebuah pengorbanan penuh.

Selasa, 29 Juni 2010

Love



Suatu ketika kau bertanya kepada Tuhan,
"Tuhan, seberapa besar Engkau mencintai aku?"

dan Ia menjawab:
"sebesar ini .."
lalu Ia merentangkan tanganNya
dan wafat bagiku ...

Kamis, 24 Juni 2010

Humanis



“Saya percaya bahwa pada dasarnya manusia itu baik”

Anna Frank meresapkan dalam-dalam makna dibalik aksara yang ia torehkan dalam deretan panjang tulisannya. Kata-kata ini sedemikian mengembang dengan dasyat dan mengharu biru pada abad ke 20, sekalipun ia beserta keluarganya ditangkap oleh Nazi dan di masukan ke dalam kamp konsentrasi di Bergen-Belsen pada akhir musim dingin di penghujung tahun 1945 – tempat di mana ia mati.

Tapi kata yang penuh pengharapan itu tak sepenuhnya benar, bukan karena manusia “pada dasarnya jahat”. Kita bahka tidak mampu merumuskan “pada dasarnya”. Menjadi pahlawan atau bahkan menjadi penjahat bukanlah sebuah esensi yang hakiki dari seorang manusia. Barangkali yang tepat adalah, “berlaku pahlawanan” atau “berlaku kejahatan”. Sebab kedua hal tersebut sering datang dalam moment yang berbeda dan saling tumpang tindih.

Dua hal tersebut, tampak keterbatasan manusia dan juga kelebihannya.
Di tengah Alam Semesta yang raya ini, ia hanya satu diantara milyaran noktah, ia begitu bebas dan tentunya tak pernah mampu mengerti semuanya. Namun ia tetap bisa jika ia mau, menciptakan sesuatu yang baik bagi sesamanya.

Listen to the Nature



Dengar. Dengarkan burung berkicau
Angin yang bertiup di sela pepohonan
Air yang menggelora.
Lihat pohon, daun jatuh, dan bunga
Seperti pertama kali.

Engkau mungkin akan tiba-tiba bersentuhan
Dengan kenyataan, dengan sebuah taman Firdaus
Dari mana kita setelah jatuh dari kekanak-kanakan,
Dikucilkan karena pengetahuan.

Di saat itu barangkali kita berada dalam kurnia
Dimana tiada lagi pengetahuan ..

Sabtu, 19 Juni 2010

Miracle



Barangkali ketika Musa melemparkan tongkatnya ke Laut Merah, mukjijat yang diharapkan belum datang. Hanya ketika orang pertama menceburkan diri ke dalam laut, gelombang menyisih, dan air membelah diri menberikan jalan kering kepada orang Yahudi .. Mukjijat barangkali terjadi ketika iman dan usaha nyata berkolaborasi ..

Rabu, 16 Juni 2010

A Price of Silent


… Di setiap masa nampaknya selalu ada saat yang tak mudah untuk berbicara, tapi tidak gampang untuk diam. Kita tidak tahu pasti bagaimana persisnya kata-kata akan diberi harga, dan apakah sebuah isyarat akan sampai, atau sebuah pendapat dan sebuah pengakuan atas sebuah persetubuhan atau perzinahan. Di luar pintu, pada saat seperti ini, hanya ada mendung, atau hujan., atau kebisuan, mungkin ketidakacuhan. Semuanya berjalan, berputar, menari ke gerbang surgawi …

Freedom


Dalam salah satu bagian novel Dostoyewski yang terkenal, Karamazov Bersaudara, ada satu cerita fantasi: Yesus datang kembali ke Spanyol ketika rezim Inkuisisi mengusut kehidupan beragama setiap orang dan menghukum siapa saja bila tampak menyeleweng dari jalan yang benar. Hampir tiap hari ada orang yang dibakar hidup-hidup. Yesus bersedih. Tetapi Sang Inkuisitor Agung malah menangkap Juru Selamat itu dan memberi argumen: ingatlah, manusia pada dasarnya tak bisa diberi kepercayaan untuk merdeka dan memilih jalannya sendiri.
Tetapi sejauh mana sebenarnya para pembesar agama bisa mengubah manusia—seraya mengabaikan kemerdekaan? Di awal tahun 1542 Calvin menguasai dan mengatur Jenewa sebagai sebuah ”negara Kristen”, dengan Alkitab sebagai sumber hukum dan para pendeta sebagai penafsirnya. Selama 25 tahun eksperimen ini berjalan. Tetapi kini, apa sisanya? Jenewa jadi sebuah kota di mana bank-bank beroperasi, memungut bunga juga dari uang simpanan yang mungkin saja tak halal. Dan di tahun 2000 ini kita semakin tahu: nama Tuhan tak bisa dipergunakan terus-menerus untuk memberi tera kepada kekuasaan manusia. Tiap premis yang mutlak pada akhirnya dibatalkan. Ada selalu yang akan mencari sebuah tempat yang masih membiarkan tanda tanya tetap hidup dan kerendahan hati memegang peran.
Barangkali kemerdekaan dimulai dengan hal kecil yang tak boleh dilakukan, dan hal kecil itu jadi perkara yang amat penting. Hal kecil, masalah besar: mungkin tak ada ukuran terhadap sesuatu yang ditiadakan dari sebuah ruang dalam diri kita yang paling dalam, paling privat, di mana kekuasaan dan kekuatan apa pun tak akan mampu menyentuh—meskipun kita ketakutan.
Kemerdekaan hadir sepenuhnya ketika ketakutan itu tak ada.

Sabtu, 12 Juni 2010

Space


“But the most exciting, challenging and significant relationship of all is the one you have with yourself. And if you can find someone to love, well, that's just fabulous.”(Sex and the City)

Mencintai dan dicintai. Adakah yang lebih indah dari itu?
Namun barangkali cinta adan jarak bukanlah suatu hal yang terlalu menggelembung, sebab keduanya begitu pekat dan erat. Bukankah seindah apa pun huruf ditulis, apakah ia ada makna apabila tidak ada jarak? Atau apakah ia mampu dimengerti jika tak ada sebuah spasi?
Bukankah kita baru bisa bergerak ketika ada ruang? Dan saling menyayang apabila ada jarak? Nafas akan menjadi lega dengan sepasang paru-paru yang dibagi. Dan darah mampu mengalir dengan keras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Cinta dan jiwa tidak lah dibelah, tetapi memberi makna bersua dengan jiwa lain yang bergandangan dan berjalan searah.
Barangkali bijak jika tak mengeliminasi seseorang dengan mengatasnamakan kasih sayang.

Mari, peganglah tanganku, tapi jangan terlalu erat. Karena aku ini berjalan seiring, bukan digiring!

Dan kalimat yang pernah ku baca itu kembali mengembang bersama denting piano “Come and Get Your Love” Chuck Montana.

Jumat, 26 Februari 2010

Salibkan Dia! Salibkan Dia!



Seorang anak laki-laki dipilih mewakili organisasi dalam sebuah drama penyaliban Yesus. Seperti biasanya, pada hari Jumat Agung, sebuah kelompok kepemudaan diminta untuk mementaskan Passio. Dalam darama ini, anak kecil tersebut berperan sebagai kerumunan manusia. Selama seminggu anak kecil mengharapkan bahwa penampilannya akan sangat mempesona bersama dengan para seniornya dan ditatap oleh ribuan umat.
Satu jam sebelum mereka mementaskan Passio, anak-anak kecil itu dipanggil dan diberi instruksi. Sutradara menunjuk kepada 12 orang yang memakai serban ungu dan berkata, “Itulah pemimpinmu. Lakukan apa yang mereka perintahkan, dan berteriaklah persis seperti mereka.”
Beberapa menit kemudian, anak-anak termasuk anak kecil tadi sudah berada di ruang altar yang sengaja disiapkan untuk mementaskan drama tersebut. Di salah satu sudut berdirilah Yesus. Disebelah-Nya berdiri Pilatus. Lalu anak kecil tadi enceritakan apa yang terjadi:
“Bebaskan Barabas! Bebaskan Barabas!” orang-orang mulai berteriak, dan aku berteriak bersama mereka.
“Apa yang harus ku lakukan?” teriak suara dari balkon, “dengan Yesus yang menyebut diri-Nya Kristus?”
“Salibkan Dia! Salibkan Dia!” teriakan-teriakan itu semakin keras. Bersahut-sahutan. Aku pun ikut meneriakan kata-kata jahat itu. Aku secara sadar meneriakannya, aku mendengar teriakanku sendiri.
Tiba-tiba aku merasa dingin, aku bergetar dalam nubari tanpa bisa dihentikan. Aku tidak tahu kapan aku mulai menangis. Namun air mataku mengalir dengan deras membasahi wajahku dan aku mengaduh dalam pilu, “Jangan, jangan, jangan!!”

Minggu, 21 Februari 2010

Cinta: tangan Tuhan di bahu



Tidak ada kejutan yang lebih ajaib daripada mengetahui bahwa diam-diam kita dicintai; hal itu seperti merasakan tangan Tuhan di bahu kita..

(Bernadet; status sebuah jejaring facebook)

Selasa, 02 Februari 2010

Faith is Lantern



Iman bukanlah sebuah benteng, melainkan sebuah lentera.
Benteng adalah sebuah konstruksi di sebuah wilayah. Benteng kukuh dan tertutup, bahkan dilengkapi senjata, untuk menangkis apa saja yang lain yang diwaspadai. Bangunan itu berdiri karena sebuah asumsi, juga kecemasan: akan ada musuh yang menyerbu atau pecundang yang menyusup.

Iman bagaimanapun bukanlah sebuah benteng, melainkan sebuah obor. Sang penziarah membawanya dalam perjalanan menjelajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal. Iman sebagai suluh adalah iman seorang yang tak takut menemui yang berbeda dan tak terduga. Terkadang nyala obor itu redup atau bergoyang, tapi ia tak pernah padam.
Bila padam, ia menandai perjalanan yang telah berhenti.

Saya dan Romo Mangun berbeda agama, tapi satu iman,” kata Gus Dur suatu kali.
Menandai ia paham benar akan makna sebuah iman ..

Prayer is not Asking



Prayer is not asking. It is a longing of the soul.
It is daily admission of one's weakness. It is better in prayer to have a heart without words than words without a heart.


Ketika masih kecil, aku anak yang saleh, tekun berdoa dan aktif melakukan kebaktian.
Pada suatu malam, aku berjaga bersama seorang pastor dalam retret yang diadakan sekolahku.
Tiap teman-temanku yang ada di ruangan itu menjadi mengantuk dan satu per satu dari mereka tertunduk dan tertidur.
Maka aku berkata kepada pastor yang ada di sebelahku:
“Dari teman-temanku ini tidak ada yang membuka matanya, atau mengangkat kepalanya untuk berdoa barang sejenak. Seperti orang mati saja mereka.”
Pastor muda itu menatapku dan menjawab lembut:
“Anakku, saya lebih suka kamu tertidur dan tidak berdoa daripada mengumpat.”

Kerapkali membenarkan diri sangatlah membahayakan bagi seseorang yang ingin masuk dalam relung hidup yang semakin saleh.
Barangkali sama berbahayanya jika berdoa dengan kata-kata tetapi tanpa ada hati.
Tanpa makna ..

Prayer to have heart without words.
Barangkali kata itu menggelembung, namun ada sahaja yang tak bisa disembunyikan.

Tahu dan Memaknai



Tidak pernah orang menjadi mabuk karena mengetahui arti kata "anggur", dan barangkali tak pernah ada orang memahami makna cinta hanya karena ia bisa mengeja kata CINTA ..

Kekuatan



Iman bukanlah sebuah hasrat, tetapi sebuah keinginan.
Jika hasrat adalah sesuatu yang harus dipenuhi, maka keinginan adalah sebuah kekuatan.
Bukankah imah adalah sebongkah kekuatan? ..

Menjadi Diri Sendiri



Barangkali benar bahwa:
Tidak ada yang sungguh-sungguh dapat kita miliki. Bahkan diri ini adalah milik sang pemberi.
Yang dapat kita lakukan hanyalah 'menjadi'...
Menjadi pasir, menjadi buih, menjadi sebuah titik.
Menjadi cerek kopi, menjadi paragraph,
Menjadi seekor bekicot,
Menjadi diri sendiri …

Langkah Tunggal



Sebuah perjalanan yang panjang selalu dimulai dari satu langkah tunggal.

Kau dan Aku


Teruntuk engkau;

teruslah melenggang pada alurmu; tidak; tak usah perdulikan liku di jalanku
pun andai hujan masih memeluk hingga gigil menenggelamkanku dalam sepi, kau tak perlu tau itu
bukankah badai di penghujung senja lebih indah di matamu?

dan aku;

lentera yang kusembunyikan di sudut bayang-bayang kenangan hampir habis sumbu
pijarnya tak sekilau dahulu; ketika senja masih memukau dengan bias warna tanpa ragu
entah; dimana mentari sembunyikan wajahmu dari kalbu
hingga kemegahan cintamu tak lagi menawar beribu kepingan rindu

engkau dan aku;
tak kan jadi satu, hingga habis waktu..