Rabu, 22 Juni 2011

Narasi Dibalik Sepiring Pecel Lele



“Bang, nambah nasi lagi ya, sambelnya yang banyak..”

Suara seorang bujang, sebut saya namanya Ateng – sekalipun nama pada kartu identitasnya adalah Budi Hanyoko terdengar kencang dan saling silang dengan suara gemericik minyak goreng, suara sendok garpu yang saling padu, suara nyanyian parau pengamen jalanan dengan musik seadanya, suara senda gurau orang-orang, serta suara knalpot dan klakson kendaraan bermotor yang lalu lalang. Ateng saat itu rupanya sedang menikmati sepiring nasi pecel lele di sebuah tenda tepi jalan yang letaknya memang hanya sepelemparan batu dari Gereja Katedral St. Yosef Pontianak, bersama dengan teman-temannya sesama aktifis kaum muda.
Ateng yang bertubuh tambun itu memang penikmat makan, terlebih makan pecel lele di dalam tenda tepi jalan itu. Ketika dulu dirinya terdaftar sebagai mahasiswa pada sebuah sekolah tinggi swasta Katolik yang tidak seberapa jauh dari lokasi tersebut, ia bisa menyantap pecel lele di tempat ini sampai tiga kali seminggu dan tidak jarang ia pesan dua porsi sekali makan. Memang, pecel lele tepi jalan yang berstempel merek “Lamongan” itu selalu ramai pembeli. “Ikannya segar dan murah!” demikian alasannya ketika ia ditanya soal kefanatikannya pada pecel lele. Satu porsi pecel lele dan segelas es teh hanya seharga sekitar belasan ribu, itupun lele sudah dikasih dua ekor. Apabila lelenya agak kecil, penjual kerap menambahkan seekor lagi. Inilah pasalnya kenapa Ateng dan teman-teman muda begitu betah makan di bawah tenda tepi jalan tersebut.
Ateng dan teman-temannya adalah sebagian kecil dari sebuah pola kebiasaan penduduk Pontianak yang suka makan malam diluar rumah, atau sekejar berkeliling mencari panganan dan cemilan. Itulah pasalnya sektor ekonomi yang bergerak dikala malam hari adalah sektor informal yang sebagian besar didominasi oleh sektor kuliner yang berdegup dinamis, bergerak dengan cepat. Aneka restoran dengan berbagai menu, kedai, tenda-tenda dan gerobak dorong seperti pedagang martabak, shiomai, pisang goreng berlapis srikaya, cha kwee tiaw, chai kwe, kue kia theng, nasi cap chay, minuman lidah buaya, aneka panganan lainnya sampai pada warung kopi. Warung kopi ini juga yang berkembang dan menjamur dan menjadi tempat favorit, disinilah segala lapisan masyarakat kerap bertemu, meminum secangkir kopi. Dan bagi penonton sepak bola, warung kopi menjadi surga tersendiri karena mereka menonton permainan sepak bola lewat layar lebar dan LCD.
Barangkali tidak ada alasan untuk melewatkan wisata kuliner apabila kita menginjakkan kaki di Kota Khatulistiwa ini.

Zoom Out: Budidaya Ikan Lele di Kalimantan Barat
Ateng dan teman-temannya mengaku kaget bukan kepalang ketika membaca berita hari Kamis tanggal 17 Maret 2011 silam. Pasalnya berita yang dibaca oleh dirinya adalah tentang sejumlah 525 ekor lele jumbo illegal asal Malaysia dimusnahkan oleh Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementrian Kelautan dan Perikanan. Ratusan lele illegal tersebut yang masuk melalui Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, terditeksi mengandung berbagai penyakit yang berbahaya. Dari hasil pemeriksaan beberapa sampel lele dalam kondisi hidup itu terjangkit penyakit berbahaya berupa bakteri Edwardsiella tarda. Akhirnya, Lele illegal berupa induk, calon induk, maupun ikan konsumsi itu dimusnahkan dengan cara dibakar.
Kepala BKIPM Syamsul Ma’arif menuturkan bahwa ikan lele illegal itu sudah mulai masuk secara periodik, sejak tanggal 14 Februari, 25 Februari dan 13 Maret yang lalu. Impor lele ditengarai masih marak, mulai dari indukan sampai ikan dewasa yang siap di konsumsi. Pemicunya adalah harga lele lokal yang cenderung mahal dan sulit untuk didapat. Harga lele dari Malaysia berkisar Rp.8.000 per kilogram sampai dengan Rp. 15.000 per kilogram. Sedangkan harga lele di Kalimantan Barat mencapai Rp. 20.000 hingga Rp. 25.000. Perbedaan harga inilah yang menjadi pemicu produk lele asal Malaysia mengalir ke Indonesia lewat perbatasan Kalimantan Barat.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat Gatot Rudiyono menuturkan, kebutuhan konsumsi ikan lele di Kalimantan Barat terus meningkat, terutama dengan semakin digemarinya masakan pecel lele. Sementara produksi masih jauh dari optimal karena minimnya ketersediaan indukan dan benih ikan lele.
Tahun 2011 ini, produksi lele di Kalimantan Barat ditargetkan sebesar 35.000 ton sehingga dibutuhkan benih sebanyak 50 juta ekor. Namun, kapasitas benih yang tersedia baru 10 juta ekor. Untuk menaikan produksi, Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat mendorong balai-balai perikanan dan usaha pembenihan rakyat. Dimulai dari tahun ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat telah membagikan terpal dan benih lele kepada kelompok tani di kabupaten yang membutuhkan. Bulan Januari silam, sedang dikumpulkan kelompok tani yang beranggota tujuh hingga sepuluh orang.
Menurut Gatot, program budidaya lele dengan terpal ini diperuntukan bagi kabupaten di Kalimantan Barat seperti Sanggau, Sintang, Melawi, Ketapang, dan Kayong. Nantinya kelompok tani mendaftarkan diri kepada pihak kabupaten. Kemudian kabupaten menyampaikannya kepada DKP. Diharapkan program ini bisa sharing dengan pemerintah kabupaten. “Kabupaten juga bisa melaksanakannya. Khusus di Kota Pontianak lebih kepada program pemasaran karena di daerah tersebut konsumsi ikan cukup tinggi,” ungkap Gatot. Para petani ikan tak hanya mendapat terpal dan benih lele, mereka juga akan mendapatkan pelatihan tentang cara budidaya. Diharapkan mereka bisa memanfaatkan dan mengembangkan usahanya.
DKP sengaja memilih ikan lele dikarenakan kelangsungan hidupnya sangat tinggi. Pemeliharaannya juga cukup mudah. Pertumbuhannya juga berlangsung cepat, sehingga 2,5 bulan sudah bisa dipanen. Selain itu, ternak ikan lele memiliki peluang yang sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai salah satu alternatif mata pencaharian dan usaha masyarakat pedesaan di Kalimantan Barat. Hal tersebut sangat memungkinkan untuk dilakukan karena pada umumnya masyarakat yang tinggal di pedesaan memiliki halaman pekarangan sekitar rumah yang rata-rata cukup luas. Apabila halaman pekarangan di sekitar rumah masyarakat yang tinggal di pedesaan dimanfaatkan untuk usaha budidaya ikan lele dalam terpal atau bagi masyarakat pedesaan yang memiliki halaman pekarangan dengan lintasaan air sungai, dapat menggunakan jaring tancap untuk budidaya ikan lele, maka peningkatan gizi dan pendapatan masyarakat akan dapat meningkat dengan cepat.
Asupan gizi yang berasal dari protein hewani ikan cukup tinggi dan mengandung kandungan omega tiga untuk mencerdaskan manusia. Seperti yang menjadi harapan dan tekat Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Kalimantan Barat Ir. Gatot Rudiyono untuk terus mendorong peningkatan gizi dan kesejahteraan masyarakat melalui usaha perikanan budidaya karena sangat mudah untuk dilakukan, gampang cara perawatannya, stok benih ikan lele tersedia dengan cukup di UPTD. UPIS Anjungan , tenaga pendampingan teknis budidaya ikan siaga setiap saat serta apabila usaha budidaya ikan masyarakat mengalami wabah hama penyakit ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat sudah memiliki Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan yang siap melayani masyarakat pembudidaya ikan setiap saat.
Kerja keras itu mulai perlahan-lahan membuahkan hasil. Dalam beberapa bulan terakhir ini, usaha budidaya ikan lele dalam terpal sudah berkembang pesat di Desa Sengkubang, Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Pengembangan budidaya ikan lele dalam terpal ini dimotori oleh Kepala Desa setempat dengan pendampingan teknis dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pontianak serta tingkat Provinsi. Produksi ikan lele dalam terpal di desa Sengkuban ini bisa mencapai 2000 kilogram per bulan dan terserap habis di pasar lokal di daerah setempat. Harga pembuatan kolam terpal tidak terlalu mahal, dengan ukuran tiga kali empat meter adalah Rp. 150.000 dengan daya tahan mencapai dua tahun. Agar budidaya ikan lele ini menguntungkan maka sebaiknya pembudidaya menebar benih ikan lele minimal lima ribu ekor per sekali tebar, jumlah yang lebih besar tentunya akan semakin meningkatkan tingkat persentase keuntungan pula. Menurut Kepala Desa setempat dalam sekali panen maka biaya pembuatan kolam sudah terbayar.
Selain itu, dari sisi pemerintah pusat yang dalam hal ini adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan menaruh perhatian yang besar akan jumlah ikan yang beredar di wilayah Indonsia, hal ini ditunjukan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2010 tentang Pengendalian Mutu dan Hasil Perikanan yang masuk ke wilayah Republik Indonesia. Namun dalam peraturan tersebut memiliki kekurangan berupa tidak tercantumnya jenis ikan yang boleh diimpor dari luar negeri. Akibatnya berbagai jenis ikan-ikan yang bisa diproduksi sendiri dalam negeri juga diimpor dari luar, seperti ikan lele dan ikan kembung yang dijual dengan harga yang murah. "Contohnya ikan kembung impor dari China hanya Rp 5.000 per kilogram, sedangkan ikan kembung lokal bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram" kata Abdul Halim, seorang Koordinator Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).
Sebetulnya, kasus penyelundupan ikan lele di Entikong, Kalimantan Barat bukanlah suatu hal yang pertama. Kasus impor ikan illegal juga ditemukan antara lain di Pelabuhan Belawan Medan, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, Pelabuhan Tajung Perak Surabaya, serta Bandara Internasional Soekarno Hatta Jakarta. Jumlah penahanan ikan impor illegal oleh KKP pada 2011 hingga akhir Maret cukup fantastis, setidaknya telah bertambah hingga mencapai sekitar 7.660 ton.
Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan menemukan lima belas kontainer berisi ikan impor illegal dalam inspeksi mendadak di Pelabuhan Tanjung Priok, Maret lalu. Fadel juga menegaskan, tidak boleh impor sembarang ikan dan pemerintah hanya mengizinkan impor ikan khusus seperti salmon dan kamachi yang dimakan orang asing sebagai bahan baku restoran. Ketentuan izin impor perikanan bertujuan untuk pengen¬dalian impor ikan karena selama ini muncul indikasi banyak ikan beku yang diimpor untuk tujuan perdagangan dan konsumsi sehingga merusak pasar produk perikanan dalam negeri.

Bonum Communae; Panggilan Menuju Kesejahteraan Bersama
Sehubungan dengan Hari Pangan Sedunia (HPS), Kisah ikan Lele diatas barangkali adalah sebuah percikan inspirasi kecil dari segitu banyak hal yang bisa kita upayakan dan lakukan sebagai bagian dari pembangunan dan pengembangan sumber pangan menuju pada kedaulatan pangan itu sendiri. Kedaulatan pangan menurut Food and Agriculture Organization (FAO) adalah hak untuk untuk memiliki pangan secara terartur, permanen dan bisa mendapatkannya secara bebas, baik secara cuma-cuma maupun membeli dengan jumlah dan mutu yang mencukupi, serta cocok dengan tradisi-tradisi kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya. Menjamin pemenuhan hak rakyat untuk menjalani hidup yang bebas dari rasa takut dan bermartabat, baik secara fisik maupun mental, secara individual maupun secara kolektif.
Kedaulatan pangan sejatinya tidak lain adalah sebuah kebebasan dan kedaulatan rakyat serta komoditasnya dalam dan mewujudkan hak untuk mendapatkan dan memproduksi pangan sendiri. Ketersediaan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam hal inilah, produsen memiliki keduduka strategis dalam ketahanan pangan. Karena itu konsep ketahanan pangan berkembang pada upaya mewujudkan kedau¬latan pangan yaitu keberdayaan produsen atas hidup dan keman¬diriannya.
Gerakan pangan tersebut mendorong kesadaran paradigma kita untuk meng¬upayakan sebuah gerakan kehidupan dengan pangan sebagai investasi yang menghidupi. Memba¬ngun, mengembangkan, dan memelihara sumber-sumber pangan bukanlah semata-mata berbicara secara teknis, namun lebih dari itu, yaitu dari sisi spiritualitas dan moralitas yang membangun kesadaran akan pentingnya memelihara sebuah keutuhan ciptaan Allah. Dengan demikian segala upaya manusia untuk membangun kehidupan pangan sejatinya berpuncak pada terwujudnya kesejahteraan bersama (Bonum Communae).