Tubuh adalah misteri yang menyimpan sekelumit imajinasi. Jadi tak salah rasanya jika kita berimajinasi andai ada satu dari kita terpilih menjadi Uskup San Salvador 30 tahun silam. Apa bisa kita selantang itu meneriakan kebenaran? Atau apa kita seberani beliau merayakan misa di depan todongan pistol dan ditelanjangi di depan publik? Atau kita sekuat beliau ketika sebutir peluru menghunjam di dadanya ketika konsekrasi?
Dan sah-sah saja jika kita berimajinasi menjadi Bunda Teresa; apakah ada satu dari kita berani lantang berteriak, “Aku akan meninggalkan tempat ini kalau ibu, kakak, atau saudaramu ke sini dan merawat mereka yang hampir mati ini!”, ketika dipaksa warga sekampung untuk meninggalkan karya karitatif dan mendedikasikan penuh bagi gelandangan miskin dan kumuh yang memenuhi koridor-koridor kota.
Bisa saja kita menjawab ya atau tidak dengan mudah, karena memang kita tidak hidup di spiral waktu yang sama, juga tidak hidup dalam gelanggang permasalahan yang sama.
Walau Bunda Teresa tidak mengakhiri hidupnya dengan tetesan darah seperti yang dialami oleh Uskup Romero, rasanya tak bisa sangkal bahwa kesaksian yang diberikan oleh Bunda Teresa adalah kesaksian yang sama yang diberikan oleh Uskup Romero.
Kedua orang di atas melakukan hal heroik tersebut karena kesaksian akan Kerajaan Allah. Kesaksian akan Kerajaan Allah seperti ini memang paling sempurna diteladankan oleh Kristus. Tak sedikit pengikut Orang Gila ini mengalami nasib yang sama. Tapi agaknya tren kemartiran berdarah hanya terjadi di satu dua tempat di bumi ini. Hal ini bisa dimengerti karena kemartiran adalah soal kesaksian akan kebenaran, dan pencurahan darah adalah risiko dari kesaksian seperti itu.
Kristus mengingatkan kita kembali untuk senantiasa berjaga, bersaksi dan hidup dalam kebenaran, yang berbicara dengan jujur, yang menolak untung hasil pemerasan, yang mengebaskan tangannya supaya jangan menerima suap, yang menutup telinganya supaya jangan mendengarkan rencana penumpahan darah, yang menutup matanya supaya jangan melihat kejahatan.
Semakin kita berusaha untuk mengenal dan bersaksi tentang Ia, maka sejatinya kita sadar bahwa semakin dasyatlah misteri Allah bagi kita, semakin banyak hal yang tidak dapat kita mengerti, semakin sulit untuk mengenal Ia. Akan tetapi, semakin kita menyadari hal itu, mestinya kita makin terdorong untuk melirik Yesus Kristus yang menjadi wahyu sempurna bagi kita.Dan ketika kita ditanya untuk mengambil bagian dalam kemartiran tak berdarah dalam prosesi hidup ini, semoga jawabannya adalah siap.
Dan sah-sah saja jika kita berimajinasi menjadi Bunda Teresa; apakah ada satu dari kita berani lantang berteriak, “Aku akan meninggalkan tempat ini kalau ibu, kakak, atau saudaramu ke sini dan merawat mereka yang hampir mati ini!”, ketika dipaksa warga sekampung untuk meninggalkan karya karitatif dan mendedikasikan penuh bagi gelandangan miskin dan kumuh yang memenuhi koridor-koridor kota.
Bisa saja kita menjawab ya atau tidak dengan mudah, karena memang kita tidak hidup di spiral waktu yang sama, juga tidak hidup dalam gelanggang permasalahan yang sama.
Walau Bunda Teresa tidak mengakhiri hidupnya dengan tetesan darah seperti yang dialami oleh Uskup Romero, rasanya tak bisa sangkal bahwa kesaksian yang diberikan oleh Bunda Teresa adalah kesaksian yang sama yang diberikan oleh Uskup Romero.
Kedua orang di atas melakukan hal heroik tersebut karena kesaksian akan Kerajaan Allah. Kesaksian akan Kerajaan Allah seperti ini memang paling sempurna diteladankan oleh Kristus. Tak sedikit pengikut Orang Gila ini mengalami nasib yang sama. Tapi agaknya tren kemartiran berdarah hanya terjadi di satu dua tempat di bumi ini. Hal ini bisa dimengerti karena kemartiran adalah soal kesaksian akan kebenaran, dan pencurahan darah adalah risiko dari kesaksian seperti itu.
Kristus mengingatkan kita kembali untuk senantiasa berjaga, bersaksi dan hidup dalam kebenaran, yang berbicara dengan jujur, yang menolak untung hasil pemerasan, yang mengebaskan tangannya supaya jangan menerima suap, yang menutup telinganya supaya jangan mendengarkan rencana penumpahan darah, yang menutup matanya supaya jangan melihat kejahatan.
Semakin kita berusaha untuk mengenal dan bersaksi tentang Ia, maka sejatinya kita sadar bahwa semakin dasyatlah misteri Allah bagi kita, semakin banyak hal yang tidak dapat kita mengerti, semakin sulit untuk mengenal Ia. Akan tetapi, semakin kita menyadari hal itu, mestinya kita makin terdorong untuk melirik Yesus Kristus yang menjadi wahyu sempurna bagi kita.Dan ketika kita ditanya untuk mengambil bagian dalam kemartiran tak berdarah dalam prosesi hidup ini, semoga jawabannya adalah siap.
** artikel ini dimuat di Warta Minggu pekan Adventus 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar