Personel band legendaris Queen – Freddy Mercury yang bernama asli Farrokh Bulsara, akhirnya mengaku kepada publik setelah lima tahun divonis positif HIV. Kepada publik ia berkata, “Bagaimanapun, sudah tiba waktunya bagi teman-teman dan fans saya dimanapun untuk mengetahui kebenaran. Saya berharap semua orang akan bergabung dengan dokter dan semua pihak untuk menanggulangi penyakit yang mengerikan ini”. Dua puluh empat jam setelah pernyataan itu dilontarkan, ia menghadap Sang Khalik akibat infeksi oportunstik, di Kensington, London, 23 November 1991 silam. Penyanyi kondang sekaligus gitaris dan pencipta lagu itu pergi diusia yang muda – 45 tahun, dengan harapan bahwa semua orang akan peduli pada persoalan HIV/ AIDS.
Sejak pertama kali ditemukan di Conpenhagen tahun 1979, AIDS telah mengubah dunia. Sekurangnya 20 juta jiwa meninggal dunia dan 40 juta lain terinfksi. AIDS telah menjadi salah satu penyebab utama kematian bagi manusia dengan rentang usia 15-59 tahun. Dengan demikian, AIDS menjadi beban besar dan epidemi yang membalikan peradaban dan perkembangan sejarah manusia.
Data resmi yang dilaporkan Departemen Kesehatan RI, sampai tahun 2006 kemarin sekurangnya mencatat 8.194 kasus. Angka ini mengalami kenaikan 2,3 lipat dari tahun 2005 sebesar 3.513 kasus. Sesungguhnya tak kurang dari 110.000 jiwa di Persada Nusantara ini yang terjangkit AIDS. Dan angka tersebut menjadikan Indonesia berada di urutan ke 47 dari 163 negara yang terbanyak penderita HIV/AIDS. Negara yang berada di urutan pertama adalah Afrika Selatan sebanyak 5,5 juta orang dan India 5,2 juta jiwa orang. Selain itu, Departement RI juga mengeluarkan statistik terdapat 3,61 per 100.000 penduduk di Tanah Air ini terjangkit penyakit AIDS dengan rasio pembandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 5,12 : 1. proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal dunia adalah 22,83%.
Dalam Negeri ini, Kalimantan Barat (4 dari 100.000 orang terjangkit AIDS) menduduki posisi keempat dari 32 propinsi setelah Papua, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau. Sementara Bali, Irian Jaya Barat dan Maluku menyusul dibelakang.
Stigma Sosial dan Diskriminasi
Beberapa saat lalu, aktivis kesehatan Margaret Marabe menuturkan bahwa ia menyaksikan para penderita AIDS dikubur dalam keadaan hidup oleh anggota keluarganya di wilayah Tari, Southern Highlands, Papua Nugini, dengan dalih takut terjangkit penyakit mematikan tersebut. Sekalipun pengakuan Marabe belum terbukti benar tetapi sungguh mengundang keprihatinan yang mendalam.
Awal tahun ini, manajemen Fujiwa Manokwari dikecam telah melakukan diskriminasi dengan menolak kehadiran orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di kamar hotel mereka yang nota bene sudah check in dan sudah di konfirmasikan sebelumnya. Sementara itu Ester Wanda, direktur dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mencermati masalah HIV/AIDS di Papua (3.377 ODHA, yang sebagian besar disebabkan oleh hubungan seksual) menuturkan bahwa masyarakat masih memberikan stigma buruk kepada ODHA dan cenderung mendiskriminasikan mereka. Diskriminasi semakin tampak ketika pemerintah daerah DPRD menggondok Rancangan Peraturan Daerah propinsi tentang Pembangunan Kesehatan di Papua yang berisi rencana memasang alat diteksi seperti mikrochip pada tubuh penderita untuk memantau penyebaran dan aktivitas yang dilakukan oleh si penderita.
Stigma sosial tak lain seumpama cap, suatu penilaian yang dijatuhkan kepada seseorang atau sekolompok yang dianggap tercela. Tak bisa disangkal stigma sosial berhubungan kuat dengan kekuasaan dan dominasi di masyarakat yang berpuncak pada aklamasi penilaian tersebut dan berlanjut pada beberapa kelompok yang kurang dihargai, dikucilkan oleh kelompok superior. Stigma sosial berujung pada diskriminasi dan mendorong lahirnya pelangaran HAM, yang dalam hal ini adalah ODHA. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV/AIDS dengan menghambat usaha pencegahan, perawatan, pemelihara kebisuan dan penyangkalan tentang HIV/AIDS.
Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga utuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Beberapa contoh diatas adalah beberapa gambaran dari sikap diskriminatif, sebuah tindakan yang merupakan suatu bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia.
Tema Hari AIDS sedunia 2007: Kepemimpinan
Tema Hari AIDS Sedunia telah ditentukan oleh Kampanye AIDS Sedunia sejak tahun 1997, dan hingga kini terus berkembangkan oleh komite yang terdiri dari jaringan-jaringan AIDS global. Global Streering Committee AIDS menggoreskan tema ‘Kepemimpinan’ dalam pertemuannya yang kelima di Jenewa tanggal 8-9 Februari 2007. Tujuan yan ingin dicapai dati Kampanye Hari AIDS adalah memastikan para pemimpin dan pembuat keputusan untuk menepati janji-janji mereka untuk AIDS.
Ketika epidemi itu muncul hingga saat ini, pengalaman dengan jelas memperlihatkan bahwa banyak individu yang yang penuh komitmen melibatkan diri dan dengan kegigihan menghadapai tantangan dan hambatan. Mereka memiliki motivasi, aksi, inovasi dan visi kedepan. Pemimpin yang diusung oleh tema kali ini bukanlah pemimpin yang kerap kali duduk di posisi tinggi. Tapi kepemimpinan yang diusung adalah kepemimpinan individual yang dengan dirinya memberikan contoh dan mendorong sesamanya melibatkan diri dalam memerangi epidemi yang ganas tersebut, kepemimpinan yang ditampilkan dalam setiap tingkat – dalam keluarga, dalam masyarakat, bangsa-bangsa dan secara internasional.
Tema ini diharapkan mampu menumbuhkan kuncup inspirasi dan melahirkan embrio pejuang-pejuang baru dalam berbagai kelompok, jaringan baik di tingkat nasional, maupun di tingkat internasional.
Mantan presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela yang juga pejuang hak asasi kebijakan Apartheid di Afrika, mengumumkan akan menyenggarakan konser internasional untuk memperingati hari AIDS sedunia di Johannesgurg pada tanggal 1 Desember 2007 dengan tujuan menyadarkan semua orang bahwa ancaman HIV/AIDS menjadi momok yang menakutkan di dunia terutama di benua hitam itu. Setahun lalu, ketika memperingati hari AIDS sedunia, mantan sekjen PBB, Kofi A. Annan, mengatakan, “Selama saya mempunyai tenaga, saya memegang teguh janji bahwa hanya pada hari ini, tahun ini, atau tahun depan, setiap hari dalam hidup ini adalah perang sampai epidemi ini terkalahkan”.
Sadar bahwa kita hidup dunia yang sama, bertumbuh dengan harapan yang sama yaitu epidemi ini akan berakhir. Bagaimanapun, dunia ini menanti komitmen Anda.
Sejak pertama kali ditemukan di Conpenhagen tahun 1979, AIDS telah mengubah dunia. Sekurangnya 20 juta jiwa meninggal dunia dan 40 juta lain terinfksi. AIDS telah menjadi salah satu penyebab utama kematian bagi manusia dengan rentang usia 15-59 tahun. Dengan demikian, AIDS menjadi beban besar dan epidemi yang membalikan peradaban dan perkembangan sejarah manusia.
Data resmi yang dilaporkan Departemen Kesehatan RI, sampai tahun 2006 kemarin sekurangnya mencatat 8.194 kasus. Angka ini mengalami kenaikan 2,3 lipat dari tahun 2005 sebesar 3.513 kasus. Sesungguhnya tak kurang dari 110.000 jiwa di Persada Nusantara ini yang terjangkit AIDS. Dan angka tersebut menjadikan Indonesia berada di urutan ke 47 dari 163 negara yang terbanyak penderita HIV/AIDS. Negara yang berada di urutan pertama adalah Afrika Selatan sebanyak 5,5 juta orang dan India 5,2 juta jiwa orang. Selain itu, Departement RI juga mengeluarkan statistik terdapat 3,61 per 100.000 penduduk di Tanah Air ini terjangkit penyakit AIDS dengan rasio pembandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 5,12 : 1. proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal dunia adalah 22,83%.
Dalam Negeri ini, Kalimantan Barat (4 dari 100.000 orang terjangkit AIDS) menduduki posisi keempat dari 32 propinsi setelah Papua, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau. Sementara Bali, Irian Jaya Barat dan Maluku menyusul dibelakang.
Stigma Sosial dan Diskriminasi
Beberapa saat lalu, aktivis kesehatan Margaret Marabe menuturkan bahwa ia menyaksikan para penderita AIDS dikubur dalam keadaan hidup oleh anggota keluarganya di wilayah Tari, Southern Highlands, Papua Nugini, dengan dalih takut terjangkit penyakit mematikan tersebut. Sekalipun pengakuan Marabe belum terbukti benar tetapi sungguh mengundang keprihatinan yang mendalam.
Awal tahun ini, manajemen Fujiwa Manokwari dikecam telah melakukan diskriminasi dengan menolak kehadiran orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di kamar hotel mereka yang nota bene sudah check in dan sudah di konfirmasikan sebelumnya. Sementara itu Ester Wanda, direktur dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mencermati masalah HIV/AIDS di Papua (3.377 ODHA, yang sebagian besar disebabkan oleh hubungan seksual) menuturkan bahwa masyarakat masih memberikan stigma buruk kepada ODHA dan cenderung mendiskriminasikan mereka. Diskriminasi semakin tampak ketika pemerintah daerah DPRD menggondok Rancangan Peraturan Daerah propinsi tentang Pembangunan Kesehatan di Papua yang berisi rencana memasang alat diteksi seperti mikrochip pada tubuh penderita untuk memantau penyebaran dan aktivitas yang dilakukan oleh si penderita.
Stigma sosial tak lain seumpama cap, suatu penilaian yang dijatuhkan kepada seseorang atau sekolompok yang dianggap tercela. Tak bisa disangkal stigma sosial berhubungan kuat dengan kekuasaan dan dominasi di masyarakat yang berpuncak pada aklamasi penilaian tersebut dan berlanjut pada beberapa kelompok yang kurang dihargai, dikucilkan oleh kelompok superior. Stigma sosial berujung pada diskriminasi dan mendorong lahirnya pelangaran HAM, yang dalam hal ini adalah ODHA. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV/AIDS dengan menghambat usaha pencegahan, perawatan, pemelihara kebisuan dan penyangkalan tentang HIV/AIDS.
Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga utuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Beberapa contoh diatas adalah beberapa gambaran dari sikap diskriminatif, sebuah tindakan yang merupakan suatu bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia.
Tema Hari AIDS sedunia 2007: Kepemimpinan
Tema Hari AIDS Sedunia telah ditentukan oleh Kampanye AIDS Sedunia sejak tahun 1997, dan hingga kini terus berkembangkan oleh komite yang terdiri dari jaringan-jaringan AIDS global. Global Streering Committee AIDS menggoreskan tema ‘Kepemimpinan’ dalam pertemuannya yang kelima di Jenewa tanggal 8-9 Februari 2007. Tujuan yan ingin dicapai dati Kampanye Hari AIDS adalah memastikan para pemimpin dan pembuat keputusan untuk menepati janji-janji mereka untuk AIDS.
Ketika epidemi itu muncul hingga saat ini, pengalaman dengan jelas memperlihatkan bahwa banyak individu yang yang penuh komitmen melibatkan diri dan dengan kegigihan menghadapai tantangan dan hambatan. Mereka memiliki motivasi, aksi, inovasi dan visi kedepan. Pemimpin yang diusung oleh tema kali ini bukanlah pemimpin yang kerap kali duduk di posisi tinggi. Tapi kepemimpinan yang diusung adalah kepemimpinan individual yang dengan dirinya memberikan contoh dan mendorong sesamanya melibatkan diri dalam memerangi epidemi yang ganas tersebut, kepemimpinan yang ditampilkan dalam setiap tingkat – dalam keluarga, dalam masyarakat, bangsa-bangsa dan secara internasional.
Tema ini diharapkan mampu menumbuhkan kuncup inspirasi dan melahirkan embrio pejuang-pejuang baru dalam berbagai kelompok, jaringan baik di tingkat nasional, maupun di tingkat internasional.
Mantan presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela yang juga pejuang hak asasi kebijakan Apartheid di Afrika, mengumumkan akan menyenggarakan konser internasional untuk memperingati hari AIDS sedunia di Johannesgurg pada tanggal 1 Desember 2007 dengan tujuan menyadarkan semua orang bahwa ancaman HIV/AIDS menjadi momok yang menakutkan di dunia terutama di benua hitam itu. Setahun lalu, ketika memperingati hari AIDS sedunia, mantan sekjen PBB, Kofi A. Annan, mengatakan, “Selama saya mempunyai tenaga, saya memegang teguh janji bahwa hanya pada hari ini, tahun ini, atau tahun depan, setiap hari dalam hidup ini adalah perang sampai epidemi ini terkalahkan”.
Sadar bahwa kita hidup dunia yang sama, bertumbuh dengan harapan yang sama yaitu epidemi ini akan berakhir. Bagaimanapun, dunia ini menanti komitmen Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar