“Berapa pohon yang kamu tebang hari ini?” ujar kolegaku. Dikomentari seperti itu saya bingung, “maksudnya apa ya?”. Teman saya menjawab, “Setiap kamu nge-print, maka berkuranglah pohon”. Oh, itu to maksudnya. Di waktu yang lain, dia komentar lagi tentang penggunaan tissue, “Waduh, si Anu itu udah menghabiskan berapa pohon selama ini?”. Saya menjawab sekenanya, “Sudah satu hutan kali, dia khan boros tissue, tiap hari tempat sampah didekatnya penuh tissue tuh”.
Demikianlah sekelumit cerita tentang pemakaian kertas dan tissue. Di kantor saya, pemakaian kertas termasuk boros. Pasalnya, aku dan teman-temanku lebih suka membaca file diatas kertas daripada membacanya di file asalnya. Jadi jika ada kiriman dokumen yang hendak di kerjakan, kami selalu cetak. Beruntung kalau aku ini bukan tipe orang yang suka nge-print e-books, karena aku yakin habis di print out pun tak memiliki waktu untuk membacanya.
Nah, menyoal kertas dan tissue, tengoklah sekotak tissue di meja makan kita atau di ruangan kita. Lalu jangan lupa pula melihat tumpukan kertas-kertas di meja belajar atau meja kerja kita. Tapi tak hanya sekedar dilihat, tapi juga di cermati. Pernahkah selama ini, kita tergelitik untuk bertanya darimana kertas dan tissue diolah? Pernahkah dalam benak ini mencoba untuk menghubungkan kertas dan tissue yang kita pakai sehari-hari dengan lingkungan hidup kita?
Mungkin tak banyak dari kita yang mengetahui bahwa dalam satu rim kertas HVS atau sekotak tissue, diperlukan minimal sebatang pohon untuk ditebang dan diolah. Sedang sebatang pohon butuh enam sampai delapan tahun untuk bisa siap ditebang dan diolah lagi (life time). Jika data tahun 2005, tingkat konsumsi kertas di Indonesia sebanyak 8,3 juta ton, maka bisa dibayangkan berapa ratus milyar pohon ditebang untuk menyokong permintaan pasar Indonesia. Wah! Kita tercengang, bukankah itu angka yang fantastis?
Selanjutnya, tulisan ini sama sekali tidak menguraikan esensi anarkisme manusia terhadap hutan. Tulisan ini hanyalah sebutir pasir di tepian gelanggang samudra pemerenungan, sebutir pasir yang dihempas untuk mengusik paradigma manusia terhadap alamnya. Suatu pola pikir yang bisa saja berkata “Buat apa aku peduli dengan lingkungan ku? Toh aku gak berhubungan dengan hutan? Tak ada gunanya”. Suatu pendapat yang acapkali berujar “Bukan urusan saya, itu urusan mereka!”, “lho? Aku masih sanggup beli kertas dan tissue kok. Suka-suka aku dong” dan sederet panjang litani pembelaan diri terhadap kerusakan lingkungan hidup. Tulisan ini beranjak dari keprihatinan mendalam akan kerusakan lingkungan. Getaran keprihatinan ini tidak merujuk pada kekerasan berpikir, namun lebih menggunakan pendekatan empati.
Zoom Out: My Green Garden
Tengoklah Bumi Persada yang berserakan di Khatulistiwa, hijau elok di biru samudra. Adalah kebanggaan tersendiri menjadi bagian dari Indonesia yang raya ini. Di dalam negeri ini, ia menyimpan 10 persen hutan tropis dunia yang masih tersisa. Dalam hutannya, Indonesia memiliki 12% dari jumlah binatang menyusui (mamalia), memiliki 16% spesies binatang amphibia dan reptilia. Ia menjadi pemilik dari 1.519 spesies burung dan memiliki 25% dari spesies ikan dunia. Bahkan sebagian diantaranya adalah endemik, hanya dapat ditemui di daerah tertentu di Bumi Persada ini.
Sayangnya, kebanggaan tersebut mengundang keprihatinan mendalam, sebab kekayaan alam, dan kesuburan tanahnya tak berbanding lurus dengan tanggung jawab yang diletakan di pundaknya. Keanekaragaman hayati dan biota tak lain hanya sebagai aksara pemanis didalam narasi besar berbangsa dan bernegara.
Kerusakan hutan dan lahan yang disebabkan berbagai aktivitas manusia seperti pertanian, perladangan, pembalakan ilegal dan kebakaran hutan yang terus berulang setiap tahun hampir satu dasawarsa terakhir. Hutan dibabat guna menyokong berbagai barang komoditi yang diolah dan siap dijual, termasuk komoditi kertas dan tissue, menyebabkan luas kawasan hutan semakin menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (World Resource Institute, 1997).
Sebagai illustrasi kecil, pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7% dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa oleh pohon tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya.
Laju kerusakan hutan di Indonesia pada periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode tahun 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. (Badan Planologi Dephut, 2003).
Dengan tingkat kelajuan deforestasi sebesar 3.8 juta hekter per tahun yang juga berarti Indonesia kehilangan luas hutan sebesar empat kali luas pulau Bali setiap tahunnya atau sebesar 300 kali luas lapangan sepak bola setiap jam. Jika angka itu dipertahankan apalagi ditingkatkan maka Indonesia tak lagi memiliki hutan dataran rendah di pulau Sumatera di tahun 2010 dan hutan dataran rendah di pulau Kalimantan di tahun 2020.
Memang benar bila tidak semua penebangan hujan adalah untuk memenuhi komoditi kertas dan pulp (bubur kertas), akan tetapi pengaruh kebutuhan manusia akan kertas terhadap hutan yang ditebang cukup signifikan. Pada saat ini, paling tidak terdapat lebih dari 450 jenis kertas untuk berbagai macam kebutuhan, mulai dari kardus, kertas tissue sampai dengan popok bayi.
Ketika pertama kali ditemukan, bahan baku pembuatan kertas berasal dari bahan baku non-kayu, sisa sayur mayur, seperti sutra, serat kapas, jaring ikan yang sudah tua, batang buah mulberry, rumput-rumputan, bambu, rotan, dan sebagainya. Sejalan dengan perkembangan industrialisasi dan kapitalisme, pada saat itu dirasakan perlu untuk membuat suatu industri yang berskala besar, tersentralisasi, dan padat modal. Namun kendala yang dihadapi saat itu adalah sulitnya mendapatkan bahan baku non-kayu tersebut dalam volume besar dan yang dapat diperoleh secara berkelanjutan. Sekitar tahun 1860-an dimulailah sejarah pembuatan kertas dari bahan baku kayu, dimana saat itu hutan-hutan tua yang ada menyediakan ‘tambang’ bahan baku yang memungkinkan produksi komersial berskala besar dan berkelanjutan dapat dilaksanakan. Oleh karenanya harga dapat ditekan sampai 85%. Sejak itulah kebutuhan akan kertas juga mulai meningkat, seperti yang berasal dari kebutuhan industri media massa cetak.
Saat ini 90% bahan baku pulp berasal dari kayu, yang mencakup angka sekitar 170 juta ton per tahun. Sebanyak 640 juta meter kubik dikonsumsi di dalam proses setiap tahunnya, atau hampir sekitar 13% dari total kayu yang digunakan di seluruh dunia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut tanpa harus menebang hutan alam, maka dibutuhkan sekitar 10 juta hektar hutan tanaman yang harus ditanami setiap tahunnya.
Sejalan dengan kenaikan tingkat penggunaan kertas, demikian pula halnya dengan kebutuhan. Pada tahun 1997, kebutuhan kertas global mencapai 299 juta ton, yaitu lebih dari 60 kali lipat kebutuhan kertas di tahun 1950. Pada tahun 2010 diperkirakan kebutuhan kertas global akan meningkat 32%. Penggunaan kertas berbanding lurus dengan tingkat pendapatan, dimana pada saat ini sebagian besar produksi dan konsumsi kertas terjadi di negara-negara industri. Tingkat konsumsi global rata-rata di tahun 1997 mencapai 51 kg/kapita/tahun. Di negara-negara berkembang, tingkat konsumsi rata-rata hanya 18 kg/kapita/tahun, sementara di negara-negara telah berkembang dan industri tingkat konsumsi mencapai 164 kg/kapita/tahun (di Amerika Serikat, tingkat konsumsi mencapai 335 kg/kapita/tahun, sementara di Afrika, rata-rata konsumsi hanya 6 kg/kapita/tahun). Menurut UNEP (United Nations Environment Program/Badan Lingkungan PBB) dibutuhkan setidaknya 30-40 kg kertas per tahun bagi setiap orang untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan dan komunikasi. Tingkat konsumsi kertas di Indonesia baru 25 kg/kapita. Bandingkan dengan Malaysia yang sumber daya alamnya terbatas, tetapi konsumsi kertasnya mencapai 106 kilogram per kapita, dan Singapura 180 kilogram per kapita.
Lalu bagaimana Indonesia mengambil andil dalam penyediaan kertas yang berakibat pembabatan hutan?
Pada akhir tahun 1980-an, industri pulp dan kertas mulai meluncur, yang juga dipercepat oleh subsidi pemerintah dalam jumlah besar. Subsidi yang paling nyata adalah pinjaman tidak berbunga dari Dana Reboisasi, sehingga biaya produksi menjadi yang terendah di dunia. Dari tahun 1988 hingga 2001, produksi pulp meningkat sepuluh kali lipat dari 606.000 kg ke 6,1 ton per tahun. Produksi kertas meningkat tujuh kali lipat dari 1,2 juta ke 8,3 juta ton per tahun pada masa yang sama. Pada tahun 2001, pulp dan kertas menjadi penghasil pendapatan terbesar dalam sektor kehutanan, mencapai 50% dari ekspor kehutanan negara.
Walaupun dipromosikan sebagai sarana pengembangan industri kehutanan yang berkelanjutan, sektor perkebunan yang berkembang dengan cepat telah merusak hutan-hutan alam Indonesia dan akses masyarakat lokal ke hutan. Dengan pertumbuhan industri pulp dan kertas yang sangat pesat, permintaan akan kayu yang efektif juga membubung tinggi dari 3 juta meter kubik pada tahun 1990 ke 30 juta meter kubik per tahun pada tahun 2002. Akan tetapi, mayoritas kayu ini diperoleh dari penebangan hutan alam, bukan dari hutan tanaman industri (HTI) atau perkebunan yang berkelanjutan. Dari tahun 1988-2000 hanya 10% dari 120 juta meter kubik kayu untuk pulp berasal dari HTI.
The Tower of Babel : What’s Wrong with Our Generation?
Pembabatan hutan untuk menghabiskan sumber daya alam di dalamnya (seperti penambangan batu bara, emas, biji besi, niekel dan sebagainya) dan diatasnya (keragaman flora dan fauna), pembakaran ladang dan hutan, penumpukan sampah, berkurangnya cadangan air bersih, banjir dan erosi, perubahan iklim, punahnya biodiversitas, kerusakan ekosistem, sampai pada isu pemanasan global adalah menara babel keegoisan manusia terhadap alam. Manusia mengeruk perut bumi, mengeksploitasi kekayaan yang tersimpan di dalam dan di atasnya, membuang sisa pembakaran, demi keuntungan pribadi dan lantas meninggalkan alam dalam keadaan sakit adalah keponggahan dan keringkihan mencermati kehidupan yang bersemi di Bumi ini. Manusia telah bertindak secara anarki terhadap alam, dan segala bencana yang muncul mewarnai peradaban manusia adalah efek domino dari sikap anarkisme manusia terhadap alam, habitatnya sendiri.
Cermatilah akibat dari hutan yang terus menerus dibabat guna memenuhi kubutuhan manusia itu sendiri:
1. Kerusakan Ekonomis
Berdasarkan pada perkiraan Prof. Dr. Herujono Hadisuprapto, MSc, mantan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, setiap hari kayu ilegal berbentuk balok yang diselundupkan dari Kalimantan Barat ke Serawak mencapai 10.000 m kubik. Kayu-kayu ini terbebas dari iuran resmi seperti dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, dan pajak ekspor. Diprediksi kerugian negara mencapai Rp. 5,35 milyar per hari, atau sekitar Rp 160,5 milyar perbulan. Maka sebenarnya sangat ironis jika kerugian ini dihubungkan dengan usaha mati-matian dari pemerintah Indonesia untuk mencari pinjaman dana dari IMF. Ketika pemerintah mengemis pada IMF dana senilai 400 juta $ AS, sebenarnya pemerintah kehilangan pendapatan atas pajak senilai 4 Milyar $ AS setiap tahunnya akibat penebangan hutan liar sejak 1998.
Kerugian akibat kerusakan ekologi yang jumlahnya jauh lebih besar meliputi kerugian akibat lepasnya karbon dari bahan organik kayu yang tumbang sebesar Rp 90.000 per hektar, kerugian hilangnya unsur hara tanah akibat tidak adanya tutupan hutan sebesar Rp 10,5 juta per hektar dan kerugian dari hilangnya fungsi pengurai limbah sebesar Rp 435.000 per hekter, disamping itu musnahnya fauna dan flora sebagi sumber plasma nutfah, Kerugian ekonomis yang ditimbulkan meliputi nilai kayu tegakan, sebesar Rp 3,3 juta per meter kubik dan nilai pakai lahan dan hutan disekitarnya tidak hilang dan tidak rusak sebesar Rp 32 juta per hektar.
Pengeluaran biaya untuk pemulihan kembali hutan tersebut ke kondisi semula diperkirakan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, meliputi biaya pengendalian erosi dan limpasan sebesar Rp 6 juta per hektar, pemulihan keanekaragaman hayati Rp 2,7 juta per hektar, pemulihan genetic Rp 410.000 per hektar, biaya pembentukan tanah Rp 1,5 juta per hektar, pengaturan tata air Rp 22,27 juta per hektar dan biaya penampungan air Rp 200.000 per hektar. Semua biaya ini dikalikan dengan indeks harga konsumen pada setiap tahun terjadinya perambahan hutan dimulai sejak terjadinya pengrusakan hutan tersebut dikali lagi dengan luas hutan yang rusak.
Ekonomi dan lingkungan bukanlah dialektis yang merupakan tesis dan anti-tesis. Keduanya, bahkan, merupakan dua elemen yang harus saling komplementer. Bukankah ketika pertimbangan ekonomi dipisahkan dengan pertimbangan lingkungan hidup, maka manusia sedang menyusun bencana bagi peradabannya sendiri?
2. Dampak kerusakan terhadap ekologi lingkungan
Penebangan hutan secara ilegal ini juga menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi hutan itu sendiri maupun lingkungan di sekelilingnya. Secara umum, dampak penebangan hutan menyebabkan: pertama, masalah pemanasan global; kedua, masalah degradasi tanah; dan ketiga, mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Masalah pemanasan global
Emisi karbon sampai dengan tahun 2000-an yang meningkat menjadi sekitar 6,5 miliar ton hanya dalam waktu setengah abad menyebabkan kenaikan suhu rata-rata dunia sekitar 0,13 derajat Celsius setiap dekade. Akibat lain dari perubahan iklim adalah terjadinya pencairan es di kutub yang menciutkan lautan es Artik seluas 2,7 persen per dekade, meningkatnya tinggi muka air laut 0,5 milimeter per tahun, dan badai yang sering kali kita rasakan.
Negara maju, khususnya Amerika Serikat, telah menyumbang 24% emisi global, diikuti China 14%, Rusia 6%, dan negara industri raksasa Jepang serta India menyumbang 5%. Meskipun tiga perempat (75%) dari emisi karbon disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi hutan terutama disebabkan oleh penebangan yang berlebihan, kebakaran hutan, dan perubahan fungsi lahan hutan tetap dianggap memperparah terjadinya emisi karbon dunia.
Para ahli memperkirakan bahwa dampak dari pemanasan global akan sangat meningkat bila kelestarian dan keutuhan hutan tidak dipelihara. Ada beberapa akibat yang akan muncul akibat pemanasan global ini, antara lain terjadinya perubahan iklim. Hal ini akan mempercepat penguapan air sehingga berpengaruh pada curah hujan dan distribusinya. Akibat selanjutnya adalah terjadinya banjir dan erosi di daerah-daerah tertentu.
Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan (Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003).
Masalah degradasi tanah
Penebangan hutan secara tak terkendali pasti juga menyebabkan degradasi tanah dan berkurangnya kesuburan tanah. Data dari Biro Pusat Statistik menyebutkan bahwa lahan produktif yang telah diolah di Indonesia sebanyak 17.665.000 hektar. Sebesar 70 % dari lahan itu adalah lahan kering. Sisanya adalah lahan basah. Akibat penebangan liar yang terjadi banyak lahan kering yang tidak digarap. Akibatnya erosi menjadi mudah terjadi dan tanah berkurang kesuburannya.
Masalah kepunahan keranekaragaman hayati
Masalah ini cukup mendapat perhatian penting saat ini. Berdasar penelitian para ahli, dikatakan bahwa jumlah spesies binatang atau spesies burung semakin berkurang, khususnya di Kalimantan Barat. Akibat penebangan hutan yang dilakukan terus menerus, banyak hewan yang menyingkir dan mencari habitat yang baru. Misalnya, harimau Kalimantan semakin terjepit karena tempat tinggalnya semakin sempit dan terus di babat. Bukan tidak mungkin bahwa tahun-tahun mendatang spesies harimau akan punah. Para ahli memperkirakan bahwa pada tahun 2015 dengan penggundulan hutan tropis di Kalimantan akan menyebabkan punahnya 4-8% spesies dan 17,35 % pada tahun 2040.
New Earth and Heaven
Tidakkah kita merasa bahwa Semesta ini menyimpan keajaiban yang absolut? Ia bahkan memiliki semacam sistem kontrol penyeimbang yang memungkinkan Bumi ini memiliki lingkungan yang sesuai bagi makhluk yang berdiam diatasnya. Bumi pada dasarnya dapat menyembuhkan dirinya sendiri dengan dengan semua organ yang dimilikinya (tanah, hutan, samudra, atmosfir). Hipotesis yang telah menjadi teori Gaia dikenalkan oleh James Lovelock tiga dasawarsa silam dan dipandang serius dalam Deklarasi Amsterdam tahun 2001.
Namun, Semesta ini pula mengandung hukum baku tresendental, sebuah hukum yang belum tentu dapat ditangkap oleh intelegentia manusia. Inilah akibatnya jika manusia menggeruk perut bumi demi perutnya sendiri, Bumi ini dengan bijak akan memurnikannya sendiri. Manusia dapat berbuat apa saja terhadap Bumi ini, namun secara a fortiori Bumi ini juga bisa berbuat hal yang sama.
Nah, ketika bencana demi bencana berkunjung silih berganti, maka ada yang salah dengan sikap manusia terhadap alam semesta ini. Pertanyaan yang terbersit mungkin apakah yang salah? Apa pula yang harus saya lakukan?
Dari pendekatan etika, menjelaskan bahwa alam memiliki fungsi sebagai penopang kehidupan. Untuk itu, lingkungan patut dihargai dan diperlakukan dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut etika lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi. Etika ini menekankan pemeliharaan alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri. Karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama. Etika lingkungan ini dibagi lagi menjadi beberapa macam menurut fokus perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme, zoosentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme.
Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut pandangan etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem. Perspektif ekologis juga menyiratkan pentingnya rekonstruksi drastis pada produksi dan konsumsi. Kita pun harus berhenti mengukur manusia dari efisiensi dan produktivitas mereka, tapi harus diperhatikan pula aspek kesehatan, keharmonisan, keindahan, keadilan, dan kesamaan (“Ecology for Beginners”, 1991).
Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :
1. Manusia adalah bagian dari alam
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang
3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang
Demikianlah sekelumit cerita tentang pemakaian kertas dan tissue. Di kantor saya, pemakaian kertas termasuk boros. Pasalnya, aku dan teman-temanku lebih suka membaca file diatas kertas daripada membacanya di file asalnya. Jadi jika ada kiriman dokumen yang hendak di kerjakan, kami selalu cetak. Beruntung kalau aku ini bukan tipe orang yang suka nge-print e-books, karena aku yakin habis di print out pun tak memiliki waktu untuk membacanya.
Nah, menyoal kertas dan tissue, tengoklah sekotak tissue di meja makan kita atau di ruangan kita. Lalu jangan lupa pula melihat tumpukan kertas-kertas di meja belajar atau meja kerja kita. Tapi tak hanya sekedar dilihat, tapi juga di cermati. Pernahkah selama ini, kita tergelitik untuk bertanya darimana kertas dan tissue diolah? Pernahkah dalam benak ini mencoba untuk menghubungkan kertas dan tissue yang kita pakai sehari-hari dengan lingkungan hidup kita?
Mungkin tak banyak dari kita yang mengetahui bahwa dalam satu rim kertas HVS atau sekotak tissue, diperlukan minimal sebatang pohon untuk ditebang dan diolah. Sedang sebatang pohon butuh enam sampai delapan tahun untuk bisa siap ditebang dan diolah lagi (life time). Jika data tahun 2005, tingkat konsumsi kertas di Indonesia sebanyak 8,3 juta ton, maka bisa dibayangkan berapa ratus milyar pohon ditebang untuk menyokong permintaan pasar Indonesia. Wah! Kita tercengang, bukankah itu angka yang fantastis?
Selanjutnya, tulisan ini sama sekali tidak menguraikan esensi anarkisme manusia terhadap hutan. Tulisan ini hanyalah sebutir pasir di tepian gelanggang samudra pemerenungan, sebutir pasir yang dihempas untuk mengusik paradigma manusia terhadap alamnya. Suatu pola pikir yang bisa saja berkata “Buat apa aku peduli dengan lingkungan ku? Toh aku gak berhubungan dengan hutan? Tak ada gunanya”. Suatu pendapat yang acapkali berujar “Bukan urusan saya, itu urusan mereka!”, “lho? Aku masih sanggup beli kertas dan tissue kok. Suka-suka aku dong” dan sederet panjang litani pembelaan diri terhadap kerusakan lingkungan hidup. Tulisan ini beranjak dari keprihatinan mendalam akan kerusakan lingkungan. Getaran keprihatinan ini tidak merujuk pada kekerasan berpikir, namun lebih menggunakan pendekatan empati.
Zoom Out: My Green Garden
Tengoklah Bumi Persada yang berserakan di Khatulistiwa, hijau elok di biru samudra. Adalah kebanggaan tersendiri menjadi bagian dari Indonesia yang raya ini. Di dalam negeri ini, ia menyimpan 10 persen hutan tropis dunia yang masih tersisa. Dalam hutannya, Indonesia memiliki 12% dari jumlah binatang menyusui (mamalia), memiliki 16% spesies binatang amphibia dan reptilia. Ia menjadi pemilik dari 1.519 spesies burung dan memiliki 25% dari spesies ikan dunia. Bahkan sebagian diantaranya adalah endemik, hanya dapat ditemui di daerah tertentu di Bumi Persada ini.
Sayangnya, kebanggaan tersebut mengundang keprihatinan mendalam, sebab kekayaan alam, dan kesuburan tanahnya tak berbanding lurus dengan tanggung jawab yang diletakan di pundaknya. Keanekaragaman hayati dan biota tak lain hanya sebagai aksara pemanis didalam narasi besar berbangsa dan bernegara.
Kerusakan hutan dan lahan yang disebabkan berbagai aktivitas manusia seperti pertanian, perladangan, pembalakan ilegal dan kebakaran hutan yang terus berulang setiap tahun hampir satu dasawarsa terakhir. Hutan dibabat guna menyokong berbagai barang komoditi yang diolah dan siap dijual, termasuk komoditi kertas dan tissue, menyebabkan luas kawasan hutan semakin menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (World Resource Institute, 1997).
Sebagai illustrasi kecil, pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7% dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa oleh pohon tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya.
Laju kerusakan hutan di Indonesia pada periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode tahun 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. (Badan Planologi Dephut, 2003).
Dengan tingkat kelajuan deforestasi sebesar 3.8 juta hekter per tahun yang juga berarti Indonesia kehilangan luas hutan sebesar empat kali luas pulau Bali setiap tahunnya atau sebesar 300 kali luas lapangan sepak bola setiap jam. Jika angka itu dipertahankan apalagi ditingkatkan maka Indonesia tak lagi memiliki hutan dataran rendah di pulau Sumatera di tahun 2010 dan hutan dataran rendah di pulau Kalimantan di tahun 2020.
Memang benar bila tidak semua penebangan hujan adalah untuk memenuhi komoditi kertas dan pulp (bubur kertas), akan tetapi pengaruh kebutuhan manusia akan kertas terhadap hutan yang ditebang cukup signifikan. Pada saat ini, paling tidak terdapat lebih dari 450 jenis kertas untuk berbagai macam kebutuhan, mulai dari kardus, kertas tissue sampai dengan popok bayi.
Ketika pertama kali ditemukan, bahan baku pembuatan kertas berasal dari bahan baku non-kayu, sisa sayur mayur, seperti sutra, serat kapas, jaring ikan yang sudah tua, batang buah mulberry, rumput-rumputan, bambu, rotan, dan sebagainya. Sejalan dengan perkembangan industrialisasi dan kapitalisme, pada saat itu dirasakan perlu untuk membuat suatu industri yang berskala besar, tersentralisasi, dan padat modal. Namun kendala yang dihadapi saat itu adalah sulitnya mendapatkan bahan baku non-kayu tersebut dalam volume besar dan yang dapat diperoleh secara berkelanjutan. Sekitar tahun 1860-an dimulailah sejarah pembuatan kertas dari bahan baku kayu, dimana saat itu hutan-hutan tua yang ada menyediakan ‘tambang’ bahan baku yang memungkinkan produksi komersial berskala besar dan berkelanjutan dapat dilaksanakan. Oleh karenanya harga dapat ditekan sampai 85%. Sejak itulah kebutuhan akan kertas juga mulai meningkat, seperti yang berasal dari kebutuhan industri media massa cetak.
Saat ini 90% bahan baku pulp berasal dari kayu, yang mencakup angka sekitar 170 juta ton per tahun. Sebanyak 640 juta meter kubik dikonsumsi di dalam proses setiap tahunnya, atau hampir sekitar 13% dari total kayu yang digunakan di seluruh dunia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut tanpa harus menebang hutan alam, maka dibutuhkan sekitar 10 juta hektar hutan tanaman yang harus ditanami setiap tahunnya.
Sejalan dengan kenaikan tingkat penggunaan kertas, demikian pula halnya dengan kebutuhan. Pada tahun 1997, kebutuhan kertas global mencapai 299 juta ton, yaitu lebih dari 60 kali lipat kebutuhan kertas di tahun 1950. Pada tahun 2010 diperkirakan kebutuhan kertas global akan meningkat 32%. Penggunaan kertas berbanding lurus dengan tingkat pendapatan, dimana pada saat ini sebagian besar produksi dan konsumsi kertas terjadi di negara-negara industri. Tingkat konsumsi global rata-rata di tahun 1997 mencapai 51 kg/kapita/tahun. Di negara-negara berkembang, tingkat konsumsi rata-rata hanya 18 kg/kapita/tahun, sementara di negara-negara telah berkembang dan industri tingkat konsumsi mencapai 164 kg/kapita/tahun (di Amerika Serikat, tingkat konsumsi mencapai 335 kg/kapita/tahun, sementara di Afrika, rata-rata konsumsi hanya 6 kg/kapita/tahun). Menurut UNEP (United Nations Environment Program/Badan Lingkungan PBB) dibutuhkan setidaknya 30-40 kg kertas per tahun bagi setiap orang untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan dan komunikasi. Tingkat konsumsi kertas di Indonesia baru 25 kg/kapita. Bandingkan dengan Malaysia yang sumber daya alamnya terbatas, tetapi konsumsi kertasnya mencapai 106 kilogram per kapita, dan Singapura 180 kilogram per kapita.
Lalu bagaimana Indonesia mengambil andil dalam penyediaan kertas yang berakibat pembabatan hutan?
Pada akhir tahun 1980-an, industri pulp dan kertas mulai meluncur, yang juga dipercepat oleh subsidi pemerintah dalam jumlah besar. Subsidi yang paling nyata adalah pinjaman tidak berbunga dari Dana Reboisasi, sehingga biaya produksi menjadi yang terendah di dunia. Dari tahun 1988 hingga 2001, produksi pulp meningkat sepuluh kali lipat dari 606.000 kg ke 6,1 ton per tahun. Produksi kertas meningkat tujuh kali lipat dari 1,2 juta ke 8,3 juta ton per tahun pada masa yang sama. Pada tahun 2001, pulp dan kertas menjadi penghasil pendapatan terbesar dalam sektor kehutanan, mencapai 50% dari ekspor kehutanan negara.
Walaupun dipromosikan sebagai sarana pengembangan industri kehutanan yang berkelanjutan, sektor perkebunan yang berkembang dengan cepat telah merusak hutan-hutan alam Indonesia dan akses masyarakat lokal ke hutan. Dengan pertumbuhan industri pulp dan kertas yang sangat pesat, permintaan akan kayu yang efektif juga membubung tinggi dari 3 juta meter kubik pada tahun 1990 ke 30 juta meter kubik per tahun pada tahun 2002. Akan tetapi, mayoritas kayu ini diperoleh dari penebangan hutan alam, bukan dari hutan tanaman industri (HTI) atau perkebunan yang berkelanjutan. Dari tahun 1988-2000 hanya 10% dari 120 juta meter kubik kayu untuk pulp berasal dari HTI.
The Tower of Babel : What’s Wrong with Our Generation?
Pembabatan hutan untuk menghabiskan sumber daya alam di dalamnya (seperti penambangan batu bara, emas, biji besi, niekel dan sebagainya) dan diatasnya (keragaman flora dan fauna), pembakaran ladang dan hutan, penumpukan sampah, berkurangnya cadangan air bersih, banjir dan erosi, perubahan iklim, punahnya biodiversitas, kerusakan ekosistem, sampai pada isu pemanasan global adalah menara babel keegoisan manusia terhadap alam. Manusia mengeruk perut bumi, mengeksploitasi kekayaan yang tersimpan di dalam dan di atasnya, membuang sisa pembakaran, demi keuntungan pribadi dan lantas meninggalkan alam dalam keadaan sakit adalah keponggahan dan keringkihan mencermati kehidupan yang bersemi di Bumi ini. Manusia telah bertindak secara anarki terhadap alam, dan segala bencana yang muncul mewarnai peradaban manusia adalah efek domino dari sikap anarkisme manusia terhadap alam, habitatnya sendiri.
Cermatilah akibat dari hutan yang terus menerus dibabat guna memenuhi kubutuhan manusia itu sendiri:
1. Kerusakan Ekonomis
Berdasarkan pada perkiraan Prof. Dr. Herujono Hadisuprapto, MSc, mantan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, setiap hari kayu ilegal berbentuk balok yang diselundupkan dari Kalimantan Barat ke Serawak mencapai 10.000 m kubik. Kayu-kayu ini terbebas dari iuran resmi seperti dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, dan pajak ekspor. Diprediksi kerugian negara mencapai Rp. 5,35 milyar per hari, atau sekitar Rp 160,5 milyar perbulan. Maka sebenarnya sangat ironis jika kerugian ini dihubungkan dengan usaha mati-matian dari pemerintah Indonesia untuk mencari pinjaman dana dari IMF. Ketika pemerintah mengemis pada IMF dana senilai 400 juta $ AS, sebenarnya pemerintah kehilangan pendapatan atas pajak senilai 4 Milyar $ AS setiap tahunnya akibat penebangan hutan liar sejak 1998.
Kerugian akibat kerusakan ekologi yang jumlahnya jauh lebih besar meliputi kerugian akibat lepasnya karbon dari bahan organik kayu yang tumbang sebesar Rp 90.000 per hektar, kerugian hilangnya unsur hara tanah akibat tidak adanya tutupan hutan sebesar Rp 10,5 juta per hektar dan kerugian dari hilangnya fungsi pengurai limbah sebesar Rp 435.000 per hekter, disamping itu musnahnya fauna dan flora sebagi sumber plasma nutfah, Kerugian ekonomis yang ditimbulkan meliputi nilai kayu tegakan, sebesar Rp 3,3 juta per meter kubik dan nilai pakai lahan dan hutan disekitarnya tidak hilang dan tidak rusak sebesar Rp 32 juta per hektar.
Pengeluaran biaya untuk pemulihan kembali hutan tersebut ke kondisi semula diperkirakan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, meliputi biaya pengendalian erosi dan limpasan sebesar Rp 6 juta per hektar, pemulihan keanekaragaman hayati Rp 2,7 juta per hektar, pemulihan genetic Rp 410.000 per hektar, biaya pembentukan tanah Rp 1,5 juta per hektar, pengaturan tata air Rp 22,27 juta per hektar dan biaya penampungan air Rp 200.000 per hektar. Semua biaya ini dikalikan dengan indeks harga konsumen pada setiap tahun terjadinya perambahan hutan dimulai sejak terjadinya pengrusakan hutan tersebut dikali lagi dengan luas hutan yang rusak.
Ekonomi dan lingkungan bukanlah dialektis yang merupakan tesis dan anti-tesis. Keduanya, bahkan, merupakan dua elemen yang harus saling komplementer. Bukankah ketika pertimbangan ekonomi dipisahkan dengan pertimbangan lingkungan hidup, maka manusia sedang menyusun bencana bagi peradabannya sendiri?
2. Dampak kerusakan terhadap ekologi lingkungan
Penebangan hutan secara ilegal ini juga menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi hutan itu sendiri maupun lingkungan di sekelilingnya. Secara umum, dampak penebangan hutan menyebabkan: pertama, masalah pemanasan global; kedua, masalah degradasi tanah; dan ketiga, mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Masalah pemanasan global
Emisi karbon sampai dengan tahun 2000-an yang meningkat menjadi sekitar 6,5 miliar ton hanya dalam waktu setengah abad menyebabkan kenaikan suhu rata-rata dunia sekitar 0,13 derajat Celsius setiap dekade. Akibat lain dari perubahan iklim adalah terjadinya pencairan es di kutub yang menciutkan lautan es Artik seluas 2,7 persen per dekade, meningkatnya tinggi muka air laut 0,5 milimeter per tahun, dan badai yang sering kali kita rasakan.
Negara maju, khususnya Amerika Serikat, telah menyumbang 24% emisi global, diikuti China 14%, Rusia 6%, dan negara industri raksasa Jepang serta India menyumbang 5%. Meskipun tiga perempat (75%) dari emisi karbon disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi hutan terutama disebabkan oleh penebangan yang berlebihan, kebakaran hutan, dan perubahan fungsi lahan hutan tetap dianggap memperparah terjadinya emisi karbon dunia.
Para ahli memperkirakan bahwa dampak dari pemanasan global akan sangat meningkat bila kelestarian dan keutuhan hutan tidak dipelihara. Ada beberapa akibat yang akan muncul akibat pemanasan global ini, antara lain terjadinya perubahan iklim. Hal ini akan mempercepat penguapan air sehingga berpengaruh pada curah hujan dan distribusinya. Akibat selanjutnya adalah terjadinya banjir dan erosi di daerah-daerah tertentu.
Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan (Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003).
Masalah degradasi tanah
Penebangan hutan secara tak terkendali pasti juga menyebabkan degradasi tanah dan berkurangnya kesuburan tanah. Data dari Biro Pusat Statistik menyebutkan bahwa lahan produktif yang telah diolah di Indonesia sebanyak 17.665.000 hektar. Sebesar 70 % dari lahan itu adalah lahan kering. Sisanya adalah lahan basah. Akibat penebangan liar yang terjadi banyak lahan kering yang tidak digarap. Akibatnya erosi menjadi mudah terjadi dan tanah berkurang kesuburannya.
Masalah kepunahan keranekaragaman hayati
Masalah ini cukup mendapat perhatian penting saat ini. Berdasar penelitian para ahli, dikatakan bahwa jumlah spesies binatang atau spesies burung semakin berkurang, khususnya di Kalimantan Barat. Akibat penebangan hutan yang dilakukan terus menerus, banyak hewan yang menyingkir dan mencari habitat yang baru. Misalnya, harimau Kalimantan semakin terjepit karena tempat tinggalnya semakin sempit dan terus di babat. Bukan tidak mungkin bahwa tahun-tahun mendatang spesies harimau akan punah. Para ahli memperkirakan bahwa pada tahun 2015 dengan penggundulan hutan tropis di Kalimantan akan menyebabkan punahnya 4-8% spesies dan 17,35 % pada tahun 2040.
New Earth and Heaven
Tidakkah kita merasa bahwa Semesta ini menyimpan keajaiban yang absolut? Ia bahkan memiliki semacam sistem kontrol penyeimbang yang memungkinkan Bumi ini memiliki lingkungan yang sesuai bagi makhluk yang berdiam diatasnya. Bumi pada dasarnya dapat menyembuhkan dirinya sendiri dengan dengan semua organ yang dimilikinya (tanah, hutan, samudra, atmosfir). Hipotesis yang telah menjadi teori Gaia dikenalkan oleh James Lovelock tiga dasawarsa silam dan dipandang serius dalam Deklarasi Amsterdam tahun 2001.
Namun, Semesta ini pula mengandung hukum baku tresendental, sebuah hukum yang belum tentu dapat ditangkap oleh intelegentia manusia. Inilah akibatnya jika manusia menggeruk perut bumi demi perutnya sendiri, Bumi ini dengan bijak akan memurnikannya sendiri. Manusia dapat berbuat apa saja terhadap Bumi ini, namun secara a fortiori Bumi ini juga bisa berbuat hal yang sama.
Nah, ketika bencana demi bencana berkunjung silih berganti, maka ada yang salah dengan sikap manusia terhadap alam semesta ini. Pertanyaan yang terbersit mungkin apakah yang salah? Apa pula yang harus saya lakukan?
Dari pendekatan etika, menjelaskan bahwa alam memiliki fungsi sebagai penopang kehidupan. Untuk itu, lingkungan patut dihargai dan diperlakukan dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut etika lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi. Etika ini menekankan pemeliharaan alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri. Karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama. Etika lingkungan ini dibagi lagi menjadi beberapa macam menurut fokus perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme, zoosentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme.
Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut pandangan etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem. Perspektif ekologis juga menyiratkan pentingnya rekonstruksi drastis pada produksi dan konsumsi. Kita pun harus berhenti mengukur manusia dari efisiensi dan produktivitas mereka, tapi harus diperhatikan pula aspek kesehatan, keharmonisan, keindahan, keadilan, dan kesamaan (“Ecology for Beginners”, 1991).
Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :
1. Manusia adalah bagian dari alam
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang
3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang
4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk
5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai
6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati
7. Menghargai dan memelihara tata alam
8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem
9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.
Kitab Suci dibuka dengan kata-kata yang luar biasa meriah ini: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej 1:1). Pengakuan iman Kristen mengambil kata-kata ini sebagai credo akan Allah, Bapa yang Maha Kuasa, Pencipta langit dan bumi, segala yang kelihatan maupun segala sesuatu yang tak kelihatan. Kalimat ini pula menorehkan secara tajam bahwa Allah sendiri yang menciptakan alam semesta secara bebas, langsung dan tanpa bantuan apapun. Sehingga segala ciptaanNya, termasuk manusia tidak mempunyai kekuasaan tanpa batas untuk meniadakan atau menghilangkan sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah, Sang Pemilik Semesta.
Selanjutnya, Allah berfirman: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:26-28).
Kalimat diatas mempunyai beberapa benang merah yang penting. Pertama, manusia adalah gambaran Allah, citra Allah. Dari segala ciptaanNya yang kelihatan, hanya manusia itu “mampu mengenal dan mencintai Penciptanya” (Gaudium et Spes 12.3) hanya dialah yang dipanggil, supaya dalam pengertian cinta mengambil bagian dalam kehidupan Allah (GS 24.3). manusia diciptakan untuk tujuan ini, dan itulah dasar utama bagi martabatnya. Kedua, manusia ditugasi untuk menjaga alam raya sebagai salah satu cara pengabdian kepada Pencipta. “Engkau menjadikan manusia seturut gambaranMu, Engkau menyerahkan kepadanya tugas mengenai alam raya, agar dengan demikian dapat mengabdi kepadaMu, satu-satunya Pencipta” (bdk. Doa Syukur Agung IV).
Hubungan baik manusia dan Allah terbukti bahwa Allah menempatkan manusia dalam ‘kebun’. Ia hidup didalamnya “utuk mengusahakan dan memelihara” taman itu (Kej 2:15). Tentulah kerjaan ini bukanlah kerja paksa, melainkan kerjasama dengan Allah demi penyempurnaan ciptaanNya.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang luar biasa istimewa. Manusia dianugrahi oleh Tuhan bumi ini beserta dengan isinya untuk dimiliki dan dan digunakan. “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej 2:15). Jelaslah bahwa setiap manusia tanpa kecuali memiliki anugrah untuk memiliki bumi, mengusahakan alam ini dan beserta isinya, namun berbarengan dengan itu masing-masing memikul tanggung jawab yang sama dalam memelihara dan melestarikan alam ini. Manusia diijinkan memanfaatkan alam untuk kebutuhkannya tapi manusia sama sekali tidak berhak untuk berbuat anarki terhadap alam, dengan merusaknya.
Mungkin ini adalah salah satu langkah kecil/ framework yang bisa kita gunakan (dikemukakan oleh Christian Environmentalists) untuk semakin menghormati alam:
1. Kesadaran (melihat, identifikasi, menamakan, alokasi)
2. Apresiasi (mentoleransi, menghormati, memberi nilai, menghargai)
3. Pelayanan (menggunakan, memulihkan, melayani, menjaga, mempercayakan)
St. Bonaventura mengikuti pengalaman St. Fransiskus megembangkan suatu teologi yang disebut Sakramentalitas Ciptaan, yakni, jejak-jejak Kristus dalam dunia ciptaan. Dunia dihuni oleh yang kudus. Semua makhluk ciptaan adalah suatu tanda dan pewahyuan Pencipta yang meninggalkan jejak-Nya di mana-mana (diafania). Merusak dengan sengaja ciptaan berarti merusak gambar Kristus yang hadir dalam segenap ciptaan. Kristus menderita tidak saja ketika manusia mengabaikan hak-haknya dan dieksploitasi tetapi juga ketika laut, sungai dan hutan dirusakkan. Ketika ciptaan diakui sebagai sakramen, yang menyatakan dan membawa kita kepada Allah, maka relasi kita dengan orang lain juga ditantang untuk beralih dari dominasi dan kuasa ke rasa hormat dan takzim.
Dokumen Kepausan yang secara khusus berbicara tentang lingkungan dan masalah-masalah pembangunan berjudul, “Berdamai dengan Allah Pencipta, berdamai dengan segenap ciptaan” (1 Januari 1990) menegaskan bahwa setiap orang Kristen mesti menyadari bahwa tugas mereka terhadap alam dan ciptaan merupakan bagian esensial dari iman mereka (no.15).
Allah sang pemilik dunia tidak saja mendesak kita untuk memperhatikan keadilan sosial, yakni relasi yang baik antara masyarakat, tetapi juga keadilan ekologis, yang berarti relasi yang baik antara manusia dengan ciptaan lainnya dan dengan bumi sendiri. Sekarang ciptaan diakui sebagai satu komunitas makhluk ciptaan dalam kaitan relasi dengan yang lain dan dengan Allah Tritunggal. Keutuhan ciptaan adalah bagian esensial dari semua tradisi iman dan merupakan hal penting karena dengannya dialog, kerja sama dan saling pengertian dapat dibangun.
Menjaga lingkungan hidup berarti ajakan untuk memperhatikan semua ciptaan dan untuk menjamin kegiatan manusia, sambil mengolah alam, manusia tidak merusak keseimbangan dinamika yang ada di antara semua makhluk hidup yang bergantung pada tanah, udara dan air bagi keberadaannya. Isyu lingkungan hidup telah menjadi inti pemikiran sosial, politik dan ekonomi karena degradasi yang seringkali menyebabkan penderitaan kelompok miskin dari masyarakat. Resiko akibat perubahan iklim dan bertambahnya bencana alam mendorong untuk mempersoalkan kembali keyakinan masyarakat modern. Berkembangnya gap antara kaya dan miskin tidak boleh membuat orang acuh tak acuh dan mencegah penggunaan berlebihan sumber-sumber alam dan mencegah percepatan hilangnya spesies-spesies (Cardinal Fracis Xavier Nguyen Van Thuan, Presiden Dewan Pontifikal untuk Keadilan dan Perdamaian).
Tengoklah kembali sekotak tissue di meja makan kita atau di ruangan kita. Lalu jangan lupa pula melihat tumpukan kertas-kertas di meja belajar atau meja kerja kita. Tapi tak hanya sekedar dilihat, tapi juga di cermati. Pernahkah selama ini, kita tergelitik untuk bertanya darimana kertas dan tissue diolah?
Produk seperti kertas, tissue, karton dan sebagainya merupakan barang yang kita gunakan sehari-hari. Saking terlalu sering digunakan, kita lupa bahwa barang-barang tersebut adalah turunan dari hasil hutan. Barang-barang tersebut dengan mudah kita dapatkan di pasar dan toko-toko dengan harga yang terjangkau membuat kita terlena untuk mengkonsumsi berlebihan alias boros. Bukankah dengan pemakaian yang boros, kita juga ikut menciptakan peluang untuk mempercepat pembabatan hutan?
Nah Saudara, berapa pohon yang telah ditebang hari ini?*
5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai
6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati
7. Menghargai dan memelihara tata alam
8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem
9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.
Kitab Suci dibuka dengan kata-kata yang luar biasa meriah ini: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej 1:1). Pengakuan iman Kristen mengambil kata-kata ini sebagai credo akan Allah, Bapa yang Maha Kuasa, Pencipta langit dan bumi, segala yang kelihatan maupun segala sesuatu yang tak kelihatan. Kalimat ini pula menorehkan secara tajam bahwa Allah sendiri yang menciptakan alam semesta secara bebas, langsung dan tanpa bantuan apapun. Sehingga segala ciptaanNya, termasuk manusia tidak mempunyai kekuasaan tanpa batas untuk meniadakan atau menghilangkan sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah, Sang Pemilik Semesta.
Selanjutnya, Allah berfirman: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:26-28).
Kalimat diatas mempunyai beberapa benang merah yang penting. Pertama, manusia adalah gambaran Allah, citra Allah. Dari segala ciptaanNya yang kelihatan, hanya manusia itu “mampu mengenal dan mencintai Penciptanya” (Gaudium et Spes 12.3) hanya dialah yang dipanggil, supaya dalam pengertian cinta mengambil bagian dalam kehidupan Allah (GS 24.3). manusia diciptakan untuk tujuan ini, dan itulah dasar utama bagi martabatnya. Kedua, manusia ditugasi untuk menjaga alam raya sebagai salah satu cara pengabdian kepada Pencipta. “Engkau menjadikan manusia seturut gambaranMu, Engkau menyerahkan kepadanya tugas mengenai alam raya, agar dengan demikian dapat mengabdi kepadaMu, satu-satunya Pencipta” (bdk. Doa Syukur Agung IV).
Hubungan baik manusia dan Allah terbukti bahwa Allah menempatkan manusia dalam ‘kebun’. Ia hidup didalamnya “utuk mengusahakan dan memelihara” taman itu (Kej 2:15). Tentulah kerjaan ini bukanlah kerja paksa, melainkan kerjasama dengan Allah demi penyempurnaan ciptaanNya.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang luar biasa istimewa. Manusia dianugrahi oleh Tuhan bumi ini beserta dengan isinya untuk dimiliki dan dan digunakan. “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej 2:15). Jelaslah bahwa setiap manusia tanpa kecuali memiliki anugrah untuk memiliki bumi, mengusahakan alam ini dan beserta isinya, namun berbarengan dengan itu masing-masing memikul tanggung jawab yang sama dalam memelihara dan melestarikan alam ini. Manusia diijinkan memanfaatkan alam untuk kebutuhkannya tapi manusia sama sekali tidak berhak untuk berbuat anarki terhadap alam, dengan merusaknya.
Mungkin ini adalah salah satu langkah kecil/ framework yang bisa kita gunakan (dikemukakan oleh Christian Environmentalists) untuk semakin menghormati alam:
1. Kesadaran (melihat, identifikasi, menamakan, alokasi)
2. Apresiasi (mentoleransi, menghormati, memberi nilai, menghargai)
3. Pelayanan (menggunakan, memulihkan, melayani, menjaga, mempercayakan)
St. Bonaventura mengikuti pengalaman St. Fransiskus megembangkan suatu teologi yang disebut Sakramentalitas Ciptaan, yakni, jejak-jejak Kristus dalam dunia ciptaan. Dunia dihuni oleh yang kudus. Semua makhluk ciptaan adalah suatu tanda dan pewahyuan Pencipta yang meninggalkan jejak-Nya di mana-mana (diafania). Merusak dengan sengaja ciptaan berarti merusak gambar Kristus yang hadir dalam segenap ciptaan. Kristus menderita tidak saja ketika manusia mengabaikan hak-haknya dan dieksploitasi tetapi juga ketika laut, sungai dan hutan dirusakkan. Ketika ciptaan diakui sebagai sakramen, yang menyatakan dan membawa kita kepada Allah, maka relasi kita dengan orang lain juga ditantang untuk beralih dari dominasi dan kuasa ke rasa hormat dan takzim.
Dokumen Kepausan yang secara khusus berbicara tentang lingkungan dan masalah-masalah pembangunan berjudul, “Berdamai dengan Allah Pencipta, berdamai dengan segenap ciptaan” (1 Januari 1990) menegaskan bahwa setiap orang Kristen mesti menyadari bahwa tugas mereka terhadap alam dan ciptaan merupakan bagian esensial dari iman mereka (no.15).
Allah sang pemilik dunia tidak saja mendesak kita untuk memperhatikan keadilan sosial, yakni relasi yang baik antara masyarakat, tetapi juga keadilan ekologis, yang berarti relasi yang baik antara manusia dengan ciptaan lainnya dan dengan bumi sendiri. Sekarang ciptaan diakui sebagai satu komunitas makhluk ciptaan dalam kaitan relasi dengan yang lain dan dengan Allah Tritunggal. Keutuhan ciptaan adalah bagian esensial dari semua tradisi iman dan merupakan hal penting karena dengannya dialog, kerja sama dan saling pengertian dapat dibangun.
Menjaga lingkungan hidup berarti ajakan untuk memperhatikan semua ciptaan dan untuk menjamin kegiatan manusia, sambil mengolah alam, manusia tidak merusak keseimbangan dinamika yang ada di antara semua makhluk hidup yang bergantung pada tanah, udara dan air bagi keberadaannya. Isyu lingkungan hidup telah menjadi inti pemikiran sosial, politik dan ekonomi karena degradasi yang seringkali menyebabkan penderitaan kelompok miskin dari masyarakat. Resiko akibat perubahan iklim dan bertambahnya bencana alam mendorong untuk mempersoalkan kembali keyakinan masyarakat modern. Berkembangnya gap antara kaya dan miskin tidak boleh membuat orang acuh tak acuh dan mencegah penggunaan berlebihan sumber-sumber alam dan mencegah percepatan hilangnya spesies-spesies (Cardinal Fracis Xavier Nguyen Van Thuan, Presiden Dewan Pontifikal untuk Keadilan dan Perdamaian).
Tengoklah kembali sekotak tissue di meja makan kita atau di ruangan kita. Lalu jangan lupa pula melihat tumpukan kertas-kertas di meja belajar atau meja kerja kita. Tapi tak hanya sekedar dilihat, tapi juga di cermati. Pernahkah selama ini, kita tergelitik untuk bertanya darimana kertas dan tissue diolah?
Produk seperti kertas, tissue, karton dan sebagainya merupakan barang yang kita gunakan sehari-hari. Saking terlalu sering digunakan, kita lupa bahwa barang-barang tersebut adalah turunan dari hasil hutan. Barang-barang tersebut dengan mudah kita dapatkan di pasar dan toko-toko dengan harga yang terjangkau membuat kita terlena untuk mengkonsumsi berlebihan alias boros. Bukankah dengan pemakaian yang boros, kita juga ikut menciptakan peluang untuk mempercepat pembabatan hutan?
Nah Saudara, berapa pohon yang telah ditebang hari ini?*
** artikel ini dimuat pada BBR XIV terbitan Sekretariat Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi, Keuskupan Agung Jakarta
1 komentar:
Saya memiliki skor kredit yang sangat rendah sehingga upaya saya untuk meminjam dari Bank ditolak. Saya merasa bangkrut sampai-sampai saya tidak mampu membeli tiga kali sehari, dan saya benar-benar bangkrut karena nama saya identik dengan kemiskinan. saya berhutang baik dari teman-teman saya dan juga dari rentenir hidup saya di bawah ancaman saya harus melarikan diri dari rumah dan saya membawa anak-anak saya untuk bertemu ibu mertua saya karena sifat ancaman yang saya terima dari mereka yang meminjamkan saya uang Jadi saya harus mencari cara cepat dan mendesak untuk membayar kembali uang itu dan juga memulai bisnis baru usaha pertama saya sangat mengerikan karena saya ditipu sebesar Rp5.390.020,00 saya harus pindah juga dua minggu kemudian saya kehilangan Rp300.500,00 kepada pemberi pinjaman yang curang jadi saya turun secara finansial dan emosional karena ini yang paling tidak saya harapkan sehingga seorang teman saya memberi tahu saya untuk menghubungi email ini: :( iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com) bahwa saya harus meminta jumlah berapa pun berharap agar Bunda Iskandar selalu menjadi kembali untuk memberikan bantuan keuangan kepada siapa pun yang membutuhkan sehingga saya meminta untuk jumlah Rp850.000.000,00 dalam waktu 24 jam cerita saya berubah untuk selamanya saya membayar semua hutang saya dan saya juga memiliki cukup uang untuk membiayai sendiri bisnis semua terima kasih kepada teman saya yang memperkenalkan saya kepada ibu khususnya dan juga kepada Ibu Iskandar pada umumnya untuk mengubah rasa malu saya menjadi terkenal
Atas perkenan: ISKANDAR LESTARI LOAN COMPANY
Email: (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)
Posting Komentar