Yesus mengintip dibalik kaca sebuah rumah. DilihatNya sebuah kotak listrik berlayar datar sedang menyala. Di depannya terlihat sebuah keluarga sedang asik menonton. Rupanya kotak listrik berlayar datar itu sedang menampilkan seorang pemuka agama sedang berkhotbah. Setelah itu khotbahnya dihentikan dan diselingi dengan berbagai iklan. Dari obat batuk, obat panu, obat sakit perut, sabun colek pembersih sekaligus pewangi, sampai aneka bumbu dapur.
Yesus menjadi bingung. Dahulu Ia berkhotbah di bukit dan semua orang datang dan mendengarkan. Tak ada iklan, tak ada promosi. Kini, sekalipun orang datang ke gereja, berdesak dan main booking tempat duduk, belum tentu mendengar yang dikhotbahkan. Kalaupun mendengar, kata-kata itu akan hilang lenyap bersama lagu penutup yang dilantunkan.
Dahulu Yesus naik pitam dan mengusir pedagang burung merpati, kambing, dan mengobrak-abrik meja penukar uang di pelataran bait Allah. Tapi sekali lagi, itu dulu, kini Bait Allah dan pasar menjadi satu, di layar pipih itu semuanya lengkap tersaji dan tentu saja semuanya lebih apik dan rapi. Ada juga penjual kambing dan burung, tapi tak lagi berbau tak sedap. Ada juga bisnis penukar duit tapi terselubung dan lebih berbinar. Tak perlu berdesakan, sebab pasar ini masuk menyusup ke dalam ruang keluarga tanpa perlu permisi. Tak perlu juga bersitegang teriak, sebab pasar ini unik dengan volume suara yang bisa dinaikturunkan. Di depan layar kaca itu sebuah bujuk rayu dan transaksi terjadi tanpa pernah ada lagi pertemuan penjual dan pembeli.
Disadari atau tidak, teknologi sudah lebih penting dari hidup itu sendiri. Bahkan Injil dan kata-kata memotivasi bersaing dengan teks lain yang tak dibutuhkanpun bisa Anda dapatkan setiap pagi dalam bentuk SMS ke handphone pribadi. Adakah teknologi menggugah nubari untuk lebih membuka diri, lebih peduli dan membagi? Atau jangan-jangan teknologi hanya mempersempit dan mengeksklusifkan diri, terasing di lingkungan sendiri. Manusia yang menjadi arsitek dari perkembangan teknologi sekaligus menjadi korban teknologi, korban dari peradaban itu sendiri. Saat itu, mungkin perlu gereja berpindah ke pasar dan setiap pribadi menyediakan diri menjadi altar, dimana ruang untuk solidaritas dan pemikiran dipersembahkan kepada satu humanisasi yang tak pernah berhenti, kepada Sang Penyelenggara hidup yang penuh misteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar