“Manusia itu egosentris; ia berpikir bahwa “diri” adalah “aku”,
lalu membedakan dirinya dari orang lain,
dan membedakan dirinya dengan orang lain, sehingga ia sengsara.
Sebenarnya, manusia adalah satu dari unsur-unsur keagungan alam.”
-Zen-
Suatu sore, saya dan beberapa teman mengerjakan tugas thesis di hall kampus yang berada dibilangan Senayan. Tentunya saya lebih suka memanjakan mata dibanding mengerutkan otak untuk membahas topik yang berat dan membuat gamang. Di antara suara celoteh teman-teman, mata ini memandang menembus dinding kaca. Di sana ada sebuah mall besar. Sebuah ruang yang besar dengan penyejuk ruangan yang nyaman. Listrik yang menghasilkan cahaya yang tak pernah padam. Warna-warni iklan dan gambar merona di setiap sudut. Di sepanjang lorong terpampang etalase bermeter-meter. Busaha dan boga saling silang menawar pikat.
Beberapa tahun lalu, kawasan ini tak pernah segemerlap sore ini. Rupanya zaman telah berubah dan kita pun turut berubah. Tempora motantur et nos mutamur in illis. Ya di setiap sudut di dunia ini juga berubah. Kenikmatan dan keparahan.
Saya menggeleng dan teman yang lain mereka-reka asal jawab ketika dosen bertanya tentang jumlah listrik yang diperlukan untuk menyalakan mesin penggoreng kentang dan Coca-Cola di Jepang. “Jumlahnya lebih besar dari pasokan listrik yang tersedia di Bangladesh”. Ha? Kami melongo, gamang. Antara percaya dan tidak dengan data yang disebutkan.
Betapa timpangnya negeri ini, betapa timpangnya dunia ini. Seandainya saya bisa menghitung jumlah listrik yang dihabiskan di mall di Jakarta, mungkin saya akan bisa menakar betapa timpangnya pasokan listrik di kabupaten pendalaman kalimantan dan papua. Jika pemadaman listrik di Jakarta sudah menuai protes, maka protes pemadaman listrik di Flores, Irian, Kalimantan dan beberapa daerah lain sudah banal.
Betapa timpangnya negeri ini, betapa timpangnya dunia ini. Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan kalangan miskin, tapi bumi yang dikuras adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi yang satu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa saja – termasuk mereka yang tak pernah minum Coca-Cola dalam mall, di sudut miskin di Kalimantan, Papua atau Bangladesh, orang-orang yang justru tak ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.
Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi ada pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan air laut yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutub mencair. Orang India, yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5 kW, akan mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang rata-rata menghabisi 11,4 kW.
Ketidakadilan dan ketimpangan dunia, adalah ketidakadilan dan ketimpangan yang melanda antar generasi pula. Mereka yang kini berumur di atas 50 tahun pasti telah lama menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali mereka tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami mereka yang kini berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi C02 yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika, Kanada, Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi anak cucu kita? Mungkin pada saat itu oksigen untuk bernafas sudah dikomersilkan.
Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. Dan istilah lebih layak adalah sesuatu yang kini dipertontonkan oleh mereka yang golongan ekonomi menengah keatas. Kini, satu miliar orang China dan satu miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin juga baju Polo Ralph Lauren dan parium Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak, benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang Cina dan India berangsur-angsur mencapai tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang selama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit kotor dan bumi retak.
Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan bumi ini bukanlah tempat yang nyaman lagi untuk dihuni.
Humanisme Berawal dari Diri
Planet bumi tak ubahnya semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Semua berputar dalam satu spiral yang sempurna. Namun, ketika sekelompok manusia mulai menginvestasikan kekayaan alam menjadi miliknya, disana keutuhan ciptaan terganggu, dan selalu ada manusia lain yang menjadi korban dari proses tersebut. Dunia yang bulat ini menjadi dunia yang terlipat. Kejadian di sudut yang lain akan berimbas ke sudut yang lain. Bumi yang kaya ini mampu memberi semua yang dibutuhkan manusia, tapi Bumi tak cukup kaya untuk memberi semua kebutuhkan seseorang. "The earth has enough for everyone's need, but not for anyone's greed" Mahatma Gandhi pernah mengucapkannya.
Menjadi humanis tak hanya terjadi ketika kita mau peduli kepada sesama dan lingkungan sebagai satu kesatuan ekosistem dimana kita berada, tapi terjun langsung dalam aksi nyata, dimulai dari lingkungan yang paling dekat dengan kita, dengan kemampuan yang ada. Bukankah dengan penghematan pemakaian energi, air, dan listrik adalah salah satu yang sederhana yang bisa dimulai dari pribadi? Setiap orang dipanggil turun dari altar keegoisan dan membagikan diri demi kemanusiaan itu sendiri. Bukankah kita menapakan kaki di Bumi yang sama dan menghirup udara dibawah lengkung cakrawala yang sama?
Sesayup ku dengar Josh Groban dalam The Prayer: “Kami rindu suatu dunia tanpa kekerasan, dunia dengan keadilan dan pengharapan, rindu agar setiap orang bersalaman dengan sesamanya tanpa perdamaian dan persaudaraan”. – sebuah wajah bumi yang hangat oleh persaudaraan, suatu harapan akan adanya musim semi bagi kemanusiaan.
Dan temanku membuyarkan lamunan di sore itu.
“Hoi, lu kerjain ye bab tiga .. lusa mesti kelar!”
“Waks!”
Sogmono un mondo, senza piú violenza,
un mondo di guitizia et di speranza, Ognuno dia la mano, al suo vicino, simbolo di pace et di fraternita..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar