Semesta ini menyimpan keajaiban yang absolut. Ia bahkan memiliki semacam sistem kontrol penyeimbang yang memungkinkan Bumi ini memiliki lingkungan yang sesuai bagi makhluk yang berdiam diatasnya. Bumi pada dasarnya dapat menyembuhkan dirinya sendiri dengan dengan semua organ yang dimilikinya (tanah, hutan, samudra, atmosfir). Hipotesis yang telah menjadi teori Gaia dikenalkan oleh James Lovelock tiga dasawarsa silam dan dipandang serius dalam Deklarasi Amsterdam tahun 2001.
Namun, Semesta ini pula mengandung hukum baku tresendental, sebuah hukum yang belum tentu dapat ditangkap oleh intelegentia manusia. Inilah akibatnya jika manusia menggeruk perut bumi demi perutnya sendiri, Bumi ini dengan bijak akan memurnikannya sendiri. Manusia dapat berbuat apa saja terhadap Bumi ini, namun secara a fortiori Bumi ini juga bisa berbuat hal yang sama.
Nah, ketika bencana demi bencana berkunjung silih berganti, maka ada yang salah dengan sikap manusia terhadap alam semesta ini. Pertanyaan yang terbersit mungkin apakah yang salah? Apa pula yang harus saya lakukan?
Kitab Suci dibuka dengan kata-kata yang luar biasa meriah ini: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej 1:1). Pengakuan iman Kristen mengambil kata-kata ini sebagai credo akan Allah, Bapa yang Maha Kuasa, Pencipta langit dan bumi, segala yang kelihatan maupun segala sesuatu yang tak kelihatan. Kalimat ini pula menorehkan secara tajam bahwa Allah sendiri yang menciptakan alam semesta secara bebas, langsung dan tanpa bantuan apapun. Sehingga segala ciptaanNya, termasuk manusia tidak mempunyai kekuasaan tanpa batas untuk meniadakan atau menghilangkan sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah, Sang Pemilik Semesta.
Selanjutnya, Allah berfirman: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:26-28).
Kalimat diatas mempunyai beberapa benang merah yang penting. Pertama, manusia adalah gambaran Allah, citra Allah. Dari segala ciptaanNya yang kelihatan, hanya manusia itu “mampu mengenal dan mencintai Penciptanya” (Gaudium et Spes 12.3) hanya dialah yang dipanggil, supaya dalam pengertian cinta mengambil bagian dalam kehidupan Allah (GS 24.3). Manusia diciptakan untuk tujuan ini, dan itulah dasar utama bagi martabatnya. Kedua, manusia ditugasi untuk menjaga alam raya sebagai salah satu cara pengabdian kepada Pencipta. “Engkau menjadikan manusia seturut gambaranMu, Engkau menyerahkan kepadanya tugas mengenai alam raya, agar dengan demikian dapat mengabdi kepadaMu, satu-satunya Pencipta” (bdk. Doa Syukur Agung IV).
Hubungan baik manusia dan Allah terbukti bahwa Allah menempatkan manusia dalam ‘kebun’. Ia hidup didalamnya “utuk mengusahakan dan memelihara” taman itu (Kej 2:15). Tentulah kerjaan ini bukanlah kerja paksa, melainkan kerjasama dengan Allah demi penyempurnaan ciptaanNya.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang luar biasa istimewa. Manusia dianugrahi oleh Tuhan bumi ini beserta dengan isinya untuk dimiliki dan dan digunakan. “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej 2:15). Jelaslah bahwa setiap manusia tanpa kecuali memiliki anugrah untuk memiliki bumi, mengusahakan alam ini dan beserta isinya, namun berbarengan dengan itu masing-masing memikul tanggung jawab yang sama dalam memelihara dan melestarikan alam ini. Manusia diijinkan memanfaatkan alam untuk kebutuhkannya tapi manusia sama sekali tidak berhak untuk berbuat anarki terhadap alam, dengan merusaknya.
Mungkin ini adalah salah satu langkah kecil/ framework yang bisa kita gunakan (dikemukakan oleh Christian Environmentalists) untuk semakin menghormati alam:
1. Kesadaran (melihat, identifikasi, menamakan, alokasi)
2. Apresiasi (mentoleransi, menghormati, memberi nilai, menghargai)
3. Pelayanan (menggunakan, memulihkan, melayani, menjaga, mempercayakan)
St. Bonaventura mengikuti pengalaman St. Fransiskus megembangkan suatu teologi yang disebut Sakramentalitas Ciptaan, yakni, jejak-jejak Kristus dalam dunia ciptaan. Dunia dihuni oleh yang kudus. Semua makhluk ciptaan adalah suatu tanda dan pewahyuan Pencipta yang meninggalkan jejak-Nya di mana-mana. Merusak dengan sengaja ciptaan berarti merusak gambar Kristus yang hadir dalam segenap ciptaan. Kristus menderita tidak saja ketika manusia mengabaikan hak-haknya dan dieksploitasi tetapi juga ketika laut, sungai dan hutan dirusakkan. Ketika ciptaan diakui sebagai sakramen, yang menyatakan dan membawa kita kepada Allah, maka relasi kita dengan orang lain juga ditantang untuk beralih dari dominasi dan kuasa ke rasa hormat dan takzim.
Dokumen Kepausan yang secara khusus berbicara tentang lingkungan dan masalah-masalah pembangunan berjudul, “Berdamai dengan Allah Pencipta, berdamai dengan segenap ciptaan” (1 Januari 1990) menegaskan bahwa setiap orang Kristen mesti menyadari bahwa tugas mereka terhadap alam dan ciptaan merupakan bagian esensial dari iman mereka (no.15).
Allah sang pemilik dunia tidak saja mendesak kita untuk memperhatikan keadilan sosial, yakni relasi yang baik antara masyarakat, tetapi juga keadilan ekologis, yang berarti relasi yang baik antara manusia dengan ciptaan lainnya dan dengan bumi sendiri. Sekarang ciptaan diakui sebagai satu komunitas makhluk ciptaan dalam kaitan relasi dengan yang lain dan dengan Allah Tritunggal. Keutuhan ciptaan adalah bagian esensial dari semua tradisi iman dan merupakan hal penting karena dengannya dialog, kerja sama dan saling pengertian dapat dibangun.Menjaga lingkungan hidup berarti ajakan untuk memperhatikan semua ciptaan dan untuk menjamin kegiatan manusia, sambil mengolah alam, manusia tidak merusak keseimbangan dinamika yang ada di antara semua makhluk hidup yang bergantung pada tanah, udara dan air bagi keberadaannya. Isyu lingkungan hidup telah menjadi inti pemikiran sosial, politik dan ekonomi karena degradasi yang seringkali menyebabkan penderitaan kelompok miskin dari masyarakat. Resiko akibat perubahan iklim dan bertambahnya bencana alam mendorong untuk mempersoalkan kembali keyakinan masyarakat modern. Berkembangnya gap antara kaya dan miskin tidak boleh membuat orang acuh tak acuh dan mencegah penggunaan berlebihan sumber-sumber alam dan mencegah percepatan hilangnya spesies-spesies (Cardinal Fracis Xavier Nguyen Van Thuan, Presiden Dewan Pontifikal untuk Keadilan dan Perdamaian).
Namun, Semesta ini pula mengandung hukum baku tresendental, sebuah hukum yang belum tentu dapat ditangkap oleh intelegentia manusia. Inilah akibatnya jika manusia menggeruk perut bumi demi perutnya sendiri, Bumi ini dengan bijak akan memurnikannya sendiri. Manusia dapat berbuat apa saja terhadap Bumi ini, namun secara a fortiori Bumi ini juga bisa berbuat hal yang sama.
Nah, ketika bencana demi bencana berkunjung silih berganti, maka ada yang salah dengan sikap manusia terhadap alam semesta ini. Pertanyaan yang terbersit mungkin apakah yang salah? Apa pula yang harus saya lakukan?
Kitab Suci dibuka dengan kata-kata yang luar biasa meriah ini: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej 1:1). Pengakuan iman Kristen mengambil kata-kata ini sebagai credo akan Allah, Bapa yang Maha Kuasa, Pencipta langit dan bumi, segala yang kelihatan maupun segala sesuatu yang tak kelihatan. Kalimat ini pula menorehkan secara tajam bahwa Allah sendiri yang menciptakan alam semesta secara bebas, langsung dan tanpa bantuan apapun. Sehingga segala ciptaanNya, termasuk manusia tidak mempunyai kekuasaan tanpa batas untuk meniadakan atau menghilangkan sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah, Sang Pemilik Semesta.
Selanjutnya, Allah berfirman: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:26-28).
Kalimat diatas mempunyai beberapa benang merah yang penting. Pertama, manusia adalah gambaran Allah, citra Allah. Dari segala ciptaanNya yang kelihatan, hanya manusia itu “mampu mengenal dan mencintai Penciptanya” (Gaudium et Spes 12.3) hanya dialah yang dipanggil, supaya dalam pengertian cinta mengambil bagian dalam kehidupan Allah (GS 24.3). Manusia diciptakan untuk tujuan ini, dan itulah dasar utama bagi martabatnya. Kedua, manusia ditugasi untuk menjaga alam raya sebagai salah satu cara pengabdian kepada Pencipta. “Engkau menjadikan manusia seturut gambaranMu, Engkau menyerahkan kepadanya tugas mengenai alam raya, agar dengan demikian dapat mengabdi kepadaMu, satu-satunya Pencipta” (bdk. Doa Syukur Agung IV).
Hubungan baik manusia dan Allah terbukti bahwa Allah menempatkan manusia dalam ‘kebun’. Ia hidup didalamnya “utuk mengusahakan dan memelihara” taman itu (Kej 2:15). Tentulah kerjaan ini bukanlah kerja paksa, melainkan kerjasama dengan Allah demi penyempurnaan ciptaanNya.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang luar biasa istimewa. Manusia dianugrahi oleh Tuhan bumi ini beserta dengan isinya untuk dimiliki dan dan digunakan. “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej 2:15). Jelaslah bahwa setiap manusia tanpa kecuali memiliki anugrah untuk memiliki bumi, mengusahakan alam ini dan beserta isinya, namun berbarengan dengan itu masing-masing memikul tanggung jawab yang sama dalam memelihara dan melestarikan alam ini. Manusia diijinkan memanfaatkan alam untuk kebutuhkannya tapi manusia sama sekali tidak berhak untuk berbuat anarki terhadap alam, dengan merusaknya.
Mungkin ini adalah salah satu langkah kecil/ framework yang bisa kita gunakan (dikemukakan oleh Christian Environmentalists) untuk semakin menghormati alam:
1. Kesadaran (melihat, identifikasi, menamakan, alokasi)
2. Apresiasi (mentoleransi, menghormati, memberi nilai, menghargai)
3. Pelayanan (menggunakan, memulihkan, melayani, menjaga, mempercayakan)
St. Bonaventura mengikuti pengalaman St. Fransiskus megembangkan suatu teologi yang disebut Sakramentalitas Ciptaan, yakni, jejak-jejak Kristus dalam dunia ciptaan. Dunia dihuni oleh yang kudus. Semua makhluk ciptaan adalah suatu tanda dan pewahyuan Pencipta yang meninggalkan jejak-Nya di mana-mana. Merusak dengan sengaja ciptaan berarti merusak gambar Kristus yang hadir dalam segenap ciptaan. Kristus menderita tidak saja ketika manusia mengabaikan hak-haknya dan dieksploitasi tetapi juga ketika laut, sungai dan hutan dirusakkan. Ketika ciptaan diakui sebagai sakramen, yang menyatakan dan membawa kita kepada Allah, maka relasi kita dengan orang lain juga ditantang untuk beralih dari dominasi dan kuasa ke rasa hormat dan takzim.
Dokumen Kepausan yang secara khusus berbicara tentang lingkungan dan masalah-masalah pembangunan berjudul, “Berdamai dengan Allah Pencipta, berdamai dengan segenap ciptaan” (1 Januari 1990) menegaskan bahwa setiap orang Kristen mesti menyadari bahwa tugas mereka terhadap alam dan ciptaan merupakan bagian esensial dari iman mereka (no.15).
Allah sang pemilik dunia tidak saja mendesak kita untuk memperhatikan keadilan sosial, yakni relasi yang baik antara masyarakat, tetapi juga keadilan ekologis, yang berarti relasi yang baik antara manusia dengan ciptaan lainnya dan dengan bumi sendiri. Sekarang ciptaan diakui sebagai satu komunitas makhluk ciptaan dalam kaitan relasi dengan yang lain dan dengan Allah Tritunggal. Keutuhan ciptaan adalah bagian esensial dari semua tradisi iman dan merupakan hal penting karena dengannya dialog, kerja sama dan saling pengertian dapat dibangun.Menjaga lingkungan hidup berarti ajakan untuk memperhatikan semua ciptaan dan untuk menjamin kegiatan manusia, sambil mengolah alam, manusia tidak merusak keseimbangan dinamika yang ada di antara semua makhluk hidup yang bergantung pada tanah, udara dan air bagi keberadaannya. Isyu lingkungan hidup telah menjadi inti pemikiran sosial, politik dan ekonomi karena degradasi yang seringkali menyebabkan penderitaan kelompok miskin dari masyarakat. Resiko akibat perubahan iklim dan bertambahnya bencana alam mendorong untuk mempersoalkan kembali keyakinan masyarakat modern. Berkembangnya gap antara kaya dan miskin tidak boleh membuat orang acuh tak acuh dan mencegah penggunaan berlebihan sumber-sumber alam dan mencegah percepatan hilangnya spesies-spesies (Cardinal Fracis Xavier Nguyen Van Thuan, Presiden Dewan Pontifikal untuk Keadilan dan Perdamaian).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar