Image sebuah modernitas adalah sebuah image vertikal yang profan. Yang modern selalu terlukis degan jelas, lurus, benderang serta mampu melintasi dimensi waktu dan ruang. Setidaknya inilah yang terekam dalam beberapa dasawarsa terakhir.
“Mampu” mungkin inilah kata kuncinya, sedang berderet di belakangnya bayangan manusia yang menangkap dengan ego. Aku adalah tahu. Barangkali, di sinilah letak persoalannya. Ketika subjek “aku yang tahu” disematkan pada tungkai tubuh yang tumbuh pada sejarah, terjadilah apa yang disebut sebagai “metafisika lubang intip”: subjek itu seakan-akan tersekap di menara tanah liat yang tertutup, dan ia memandang dunia dari sebuah lubang.
Terbatas memang. Ia tak terbuka untuk yang lain, demikian pula yang lain. Di sana tak ada yang saling silang, saling berbagi.
Berbagi adalah “memberi”. Di dalamnya, waktu tak terulangi. Tak ada pengharapan akan adanya pembalasan kelak. Ketika kita “memberi”, batas kepercayaan, solidaritas, dan waktu jelas tereliminasi. Malah waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak melingkar, malah lepas tak terhingga.
Tapi hidup kian ribut oleh manusia yang cemas. “Memberi” makin jadi laku yang sulit. Yang berkuasa adalah perdagangan: proses tukar-menukar yang mengharapkan laba.
Rahmat Tuhan tak dilihat lagi sebagai sesuatu yang memancar tak terhingga. Rahmat jadi sesuatu yang harus diperebutkan. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Tuhan akhirnya juga jadi proses pertukaran yang dikalkulasi. Manusia menyembah Tuhan dengan mesin hitung pahala yang dipegang dengan was-was: jangan-jangan Tuhan selalu kekurangan. Jika itu yang terjadi, alangkah jauh telah melangkah dari panggilan sejati.
Jika sedang kau takar talentamu hari ini, beranjaklah dari lubang intip menara tanah liat keegoan itu dan ulurkan tangan untuk berbagi. Mungkin perlu belajar seperti Abraham di dataran tinggi Moria, ia tak tahu apa faedah perbuatannya bagi dirinya sendiri atau bagi Tuhan, tapi di saat ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh ego, mengatasi rasa takut akan “dunia yang profan”. Do ut Des!
“Mampu” mungkin inilah kata kuncinya, sedang berderet di belakangnya bayangan manusia yang menangkap dengan ego. Aku adalah tahu. Barangkali, di sinilah letak persoalannya. Ketika subjek “aku yang tahu” disematkan pada tungkai tubuh yang tumbuh pada sejarah, terjadilah apa yang disebut sebagai “metafisika lubang intip”: subjek itu seakan-akan tersekap di menara tanah liat yang tertutup, dan ia memandang dunia dari sebuah lubang.
Terbatas memang. Ia tak terbuka untuk yang lain, demikian pula yang lain. Di sana tak ada yang saling silang, saling berbagi.
Berbagi adalah “memberi”. Di dalamnya, waktu tak terulangi. Tak ada pengharapan akan adanya pembalasan kelak. Ketika kita “memberi”, batas kepercayaan, solidaritas, dan waktu jelas tereliminasi. Malah waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak melingkar, malah lepas tak terhingga.
Tapi hidup kian ribut oleh manusia yang cemas. “Memberi” makin jadi laku yang sulit. Yang berkuasa adalah perdagangan: proses tukar-menukar yang mengharapkan laba.
Rahmat Tuhan tak dilihat lagi sebagai sesuatu yang memancar tak terhingga. Rahmat jadi sesuatu yang harus diperebutkan. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Tuhan akhirnya juga jadi proses pertukaran yang dikalkulasi. Manusia menyembah Tuhan dengan mesin hitung pahala yang dipegang dengan was-was: jangan-jangan Tuhan selalu kekurangan. Jika itu yang terjadi, alangkah jauh telah melangkah dari panggilan sejati.
Jika sedang kau takar talentamu hari ini, beranjaklah dari lubang intip menara tanah liat keegoan itu dan ulurkan tangan untuk berbagi. Mungkin perlu belajar seperti Abraham di dataran tinggi Moria, ia tak tahu apa faedah perbuatannya bagi dirinya sendiri atau bagi Tuhan, tapi di saat ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh ego, mengatasi rasa takut akan “dunia yang profan”. Do ut Des!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar