Dengan tidak sengaja saya menemukan kata “paidea” dalam sebuah buku yang kubaca, yang dalam bahasa Yunani berarti pemuda. Mungkin kata ini pula yang membentuk kata “pendagogis” yang menjadi nama dari kelompok kepemudaan di beberapa paroki di Jakarta. Konon, orang Yunani memandang bahwa kaum muda adalah pemasok negara yang utama.
Dan memang itulah sejatinya kaum muda. Ia adalah sebuah garda depan masyarakat dan agen-agen perubahan budaya atau gaya hidup masyarakat yang paling efektif. Selain itu, kaum muda adalah wajah masa depan Gereja (Apalagi, wajah Asia adalah wajah kaum muda: 60% orang Asia berusia 30 tahun kebawah). Dunia membutuhkan gairah orang muda sebab antusiasme kaum muda membuat dunia lebih berdegup lebih dinamis dan penuh semangat menjawab panggilan Tuhan. Beranjak dari fenomena ini, sangat menarik apabila menemukan sebuah korelasi antara budaya kaum muda dengan agama sebagai konteks sekularisasi. Sekularisasi menggambarkan sebuah proses kultural di mana pemikiran, praktek agama kehilangan signifikansi sosialnya. Berkat penemuan iptek, sekularisasi menjadi sebuah proses penemuan jati diri dunia: “global village” itu otonom tapi tetap berkorelasi dengan Sang Pencipta (bdk. Gaudium et Spes, art. 36). Namun, dengan rendah hati kita juga mengakui bahwa penemuan itu menjadi embrio lahirnya sekularisme: suatu ideologi tertutup yang memutlakkan otonomi hal-hal duniawi tanpa keterbukaan kepada yang Illahi.
Quo Vadis Kaum Muda?
Maka, ketika dunia kita berlari dengan kencang tanpa kendali pasti, ketika anonimitas (orang tidak lagi saling mengenal) dan mobilitas (begitu cepatnya orang orang berpindah tempat) begitu pekat dan erat, sebagian besar masyarakat bergumul di tengah lalu lintas modernitas yang penuh kebisingan dan kekejaman, kaum muda juga mengalami situasi tercabut dari akar, serta terpencar, lepas dari ikatan teritorial yang tetap dan aman. Bahkan, mungkin dapat dikatakan bahwa sosok kaum muda kerap linglung mencari potret wajahnya sendiri.
Keprihatinan ini tertuang pada sebuah rekomendasi pada Temu Kaum Muda 2002 di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ada delapan masalah yang kini dihadapi oleh kaum muda: (1) masalah yang semakin kompleks (tauran, narkoba, sex bebas, film porno), (2) kecendrungan membuat kelompok eksklusif (penjelajah mal, penggemar film, playboy club), (3) hilang keceriaan, sikap kritis, spontan dan kreatif, (4) kehilangan ketajaman dalam berpikir (sulit diajak berpikir/ simplitis), (5) kesalahan pendidikan formal: konformis, suka keseragaman, tidak terbuka, tidak jujur, cuek dan apatis pada soal kemanusiaan, (6) hidup dalam dua kutub: budaya modern/ hedonis dan budaya tradisi feodal (gereja dan sekolah), (7) punya mimpi semu akan masa depan: kerja ringan tapi hasil banyak, generasi instan, (8) kegamangan menatap masa depan: tidak tahan banting.
Komunitas Basis a la Kaum Muda
Berdasarkan survei Pusat Penelitian Atmajaya – Jakarta, secara de facto kaum muda tidak krasan dalam kelompok besar dengan penanganan massal. Mereka membutuhkan kelompok kecil yang lebih menyediakan keakraban dan kekompakan. Kaum muda senang dengan variasi, dengan segala kreativitas yang membuncah, mereka mudah jenuh dengan kegiatan yang rutin dan monoton. Bagi mereka kegiatan menjadi kurang menarik kalau terlalu formal dan penuh dengan pengarahan moral.
Bersama kaum muda, kita tentu dapat memulai komunitas basis, dari kelompok yang kecil dimana keakraban tidak melulu ditemukan dalam week-end atau rapat organisasi, tapi lebih banyak ditemukan dalam acara informal seperti nongkrong bareng, diskusi, ngumpul bareng dan acara sederhana lainnya. Di Yogyakarta, sebelah utara keraton terdapat sebuah komunitas Tikar Pandan. Diatas tikar inilah kaum muda interfidei (lintas agama) berkumpul, baraktifitas, berdiskusi, berdoa, bernyanyi, bercerita. Iman terasa menyatu, lebih erat dari sekat- sekat primordial dan sekterian.
Muncul juga berbagai komunitas basis lainnya, seperti Biro Komunikasi Pelajar Katolik, Forum Kontak Pelajar Katolik, dan sebuah paroki di Jakarta Barat muncul sebuah komunitas yang bernama Socrates. Mengikuti misa bersama. Menonton film bersama, membahasnya dan mendiskusikannya, membedah buku dan aktualisasi dalam keseharian. Tak melulu di sebuah ruangan di gedung serba guna paroki, tapi sesekali mereka ngumpul bareng di Starbuck sambil menyeruput secangkir cappuccino, atau di kafe di mana biasa mereka hang out.
Dalam komunitas basis inilah Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda begitu menggema. Gereja menitikberatkan pengembangan katolisitas pada dua hal: Kehidupan iman dan kehidupan menggereja. Disinilah kaum muda diharapkan dapat menggumuli hidup sehari-hari sebagai perwujudan iman-pertemuan dengan Allah, perjumpaan dengan sesama sebagai aktualisasi diri. Ia pun terlibat dalam berbagai kegiatan tugas-tugas Gereja: koinonia/ persekutuan, kyrigma/ pewartaan, liturgia/ ibadat, diakonia/ pelayanan, dan martyria/ kesaksian.
Epilog: Sebuah Pekerjaan Rumah
Memang harus diakui bahwa filosofi hidup orang muda itu singkat, tapi maknyus, nancep, dan dalem! Nampaknya slogan-slogan iklan lebih menarik untuk mereka ikuti, seperti: “Kutahu yang kumau”, “Free Yourself”, “Cuek is the Best” atau barangkali “emangnye aye fikirin!” Di jalan-jalan umum, layar kaca di rumah, selebaran yang ditempel, dengan mudah kita menemukan sebuah kata iklan: Bukan Basa-Basi. Orang muda tak suka banyak teori bijak “basa-basi” yang kerap di jumpai dalam ajaran agama. “Ini tidak boleh, itu tidak boleh... but why not?” Kaum muda butuh jawaban yang kongkrit sebagai bukti.
Kadang muncul sebuah pertanyaan yang menggelitik: apakah kaum muda menganggap keselamatan yang ditawarkan oleh agama selama ini adalah sebuah dongeng yang meninabobokan? Situasi khas postmodern ini membuat mereka lebih berani berpikir dan menangkap tanda-tanda dalam panca indra mereka. Dan tantangan bagi kita: beranikah kita menawarkan keselamatan yang paripurna kepada kaum muda berikut dengan berbagai pergualatan eksitensial mereka tanpa harus mengubah arus mereka?
Jika kehidupan ini adalah sebuah organisasi, maka kaum muda adalah sebuah organisme yang hidup dan terus ber-‘phanta rei’ (berkembang), mereka memang harus diperhatikan agar tidak amburadul, mbrudul dan mandul. Disinilah kita ditantang untuk proaktif menemukan peluang dan praktek solidaritas universal dalam dunia sekuler.Memang, banyak opini, pendapat, ulasan, tulisan yang dapat kita kemukakan sebagai dasar untuk menyentuh keprihatinan kaum muda kita yang saecula saeculorum. Tapi barangkali ada satu pertanyaan yang jauh lebih mendasar: apakah selama ini kita juga berbicara dengan kaum muda?
Dan memang itulah sejatinya kaum muda. Ia adalah sebuah garda depan masyarakat dan agen-agen perubahan budaya atau gaya hidup masyarakat yang paling efektif. Selain itu, kaum muda adalah wajah masa depan Gereja (Apalagi, wajah Asia adalah wajah kaum muda: 60% orang Asia berusia 30 tahun kebawah). Dunia membutuhkan gairah orang muda sebab antusiasme kaum muda membuat dunia lebih berdegup lebih dinamis dan penuh semangat menjawab panggilan Tuhan. Beranjak dari fenomena ini, sangat menarik apabila menemukan sebuah korelasi antara budaya kaum muda dengan agama sebagai konteks sekularisasi. Sekularisasi menggambarkan sebuah proses kultural di mana pemikiran, praktek agama kehilangan signifikansi sosialnya. Berkat penemuan iptek, sekularisasi menjadi sebuah proses penemuan jati diri dunia: “global village” itu otonom tapi tetap berkorelasi dengan Sang Pencipta (bdk. Gaudium et Spes, art. 36). Namun, dengan rendah hati kita juga mengakui bahwa penemuan itu menjadi embrio lahirnya sekularisme: suatu ideologi tertutup yang memutlakkan otonomi hal-hal duniawi tanpa keterbukaan kepada yang Illahi.
Quo Vadis Kaum Muda?
Maka, ketika dunia kita berlari dengan kencang tanpa kendali pasti, ketika anonimitas (orang tidak lagi saling mengenal) dan mobilitas (begitu cepatnya orang orang berpindah tempat) begitu pekat dan erat, sebagian besar masyarakat bergumul di tengah lalu lintas modernitas yang penuh kebisingan dan kekejaman, kaum muda juga mengalami situasi tercabut dari akar, serta terpencar, lepas dari ikatan teritorial yang tetap dan aman. Bahkan, mungkin dapat dikatakan bahwa sosok kaum muda kerap linglung mencari potret wajahnya sendiri.
Keprihatinan ini tertuang pada sebuah rekomendasi pada Temu Kaum Muda 2002 di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ada delapan masalah yang kini dihadapi oleh kaum muda: (1) masalah yang semakin kompleks (tauran, narkoba, sex bebas, film porno), (2) kecendrungan membuat kelompok eksklusif (penjelajah mal, penggemar film, playboy club), (3) hilang keceriaan, sikap kritis, spontan dan kreatif, (4) kehilangan ketajaman dalam berpikir (sulit diajak berpikir/ simplitis), (5) kesalahan pendidikan formal: konformis, suka keseragaman, tidak terbuka, tidak jujur, cuek dan apatis pada soal kemanusiaan, (6) hidup dalam dua kutub: budaya modern/ hedonis dan budaya tradisi feodal (gereja dan sekolah), (7) punya mimpi semu akan masa depan: kerja ringan tapi hasil banyak, generasi instan, (8) kegamangan menatap masa depan: tidak tahan banting.
Komunitas Basis a la Kaum Muda
Berdasarkan survei Pusat Penelitian Atmajaya – Jakarta, secara de facto kaum muda tidak krasan dalam kelompok besar dengan penanganan massal. Mereka membutuhkan kelompok kecil yang lebih menyediakan keakraban dan kekompakan. Kaum muda senang dengan variasi, dengan segala kreativitas yang membuncah, mereka mudah jenuh dengan kegiatan yang rutin dan monoton. Bagi mereka kegiatan menjadi kurang menarik kalau terlalu formal dan penuh dengan pengarahan moral.
Bersama kaum muda, kita tentu dapat memulai komunitas basis, dari kelompok yang kecil dimana keakraban tidak melulu ditemukan dalam week-end atau rapat organisasi, tapi lebih banyak ditemukan dalam acara informal seperti nongkrong bareng, diskusi, ngumpul bareng dan acara sederhana lainnya. Di Yogyakarta, sebelah utara keraton terdapat sebuah komunitas Tikar Pandan. Diatas tikar inilah kaum muda interfidei (lintas agama) berkumpul, baraktifitas, berdiskusi, berdoa, bernyanyi, bercerita. Iman terasa menyatu, lebih erat dari sekat- sekat primordial dan sekterian.
Muncul juga berbagai komunitas basis lainnya, seperti Biro Komunikasi Pelajar Katolik, Forum Kontak Pelajar Katolik, dan sebuah paroki di Jakarta Barat muncul sebuah komunitas yang bernama Socrates. Mengikuti misa bersama. Menonton film bersama, membahasnya dan mendiskusikannya, membedah buku dan aktualisasi dalam keseharian. Tak melulu di sebuah ruangan di gedung serba guna paroki, tapi sesekali mereka ngumpul bareng di Starbuck sambil menyeruput secangkir cappuccino, atau di kafe di mana biasa mereka hang out.
Dalam komunitas basis inilah Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda begitu menggema. Gereja menitikberatkan pengembangan katolisitas pada dua hal: Kehidupan iman dan kehidupan menggereja. Disinilah kaum muda diharapkan dapat menggumuli hidup sehari-hari sebagai perwujudan iman-pertemuan dengan Allah, perjumpaan dengan sesama sebagai aktualisasi diri. Ia pun terlibat dalam berbagai kegiatan tugas-tugas Gereja: koinonia/ persekutuan, kyrigma/ pewartaan, liturgia/ ibadat, diakonia/ pelayanan, dan martyria/ kesaksian.
Epilog: Sebuah Pekerjaan Rumah
Memang harus diakui bahwa filosofi hidup orang muda itu singkat, tapi maknyus, nancep, dan dalem! Nampaknya slogan-slogan iklan lebih menarik untuk mereka ikuti, seperti: “Kutahu yang kumau”, “Free Yourself”, “Cuek is the Best” atau barangkali “emangnye aye fikirin!” Di jalan-jalan umum, layar kaca di rumah, selebaran yang ditempel, dengan mudah kita menemukan sebuah kata iklan: Bukan Basa-Basi. Orang muda tak suka banyak teori bijak “basa-basi” yang kerap di jumpai dalam ajaran agama. “Ini tidak boleh, itu tidak boleh... but why not?” Kaum muda butuh jawaban yang kongkrit sebagai bukti.
Kadang muncul sebuah pertanyaan yang menggelitik: apakah kaum muda menganggap keselamatan yang ditawarkan oleh agama selama ini adalah sebuah dongeng yang meninabobokan? Situasi khas postmodern ini membuat mereka lebih berani berpikir dan menangkap tanda-tanda dalam panca indra mereka. Dan tantangan bagi kita: beranikah kita menawarkan keselamatan yang paripurna kepada kaum muda berikut dengan berbagai pergualatan eksitensial mereka tanpa harus mengubah arus mereka?
Jika kehidupan ini adalah sebuah organisasi, maka kaum muda adalah sebuah organisme yang hidup dan terus ber-‘phanta rei’ (berkembang), mereka memang harus diperhatikan agar tidak amburadul, mbrudul dan mandul. Disinilah kita ditantang untuk proaktif menemukan peluang dan praktek solidaritas universal dalam dunia sekuler.Memang, banyak opini, pendapat, ulasan, tulisan yang dapat kita kemukakan sebagai dasar untuk menyentuh keprihatinan kaum muda kita yang saecula saeculorum. Tapi barangkali ada satu pertanyaan yang jauh lebih mendasar: apakah selama ini kita juga berbicara dengan kaum muda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar