
Rabu, 10 Desember 2008
Titik Nol

Walk with Me

Kubersandar sejenak di pagar kayu tepi jalan kecil itu.
Melihat balik jejak-jejak yang pernah kutapaki.
Ada rasanya yang hilang, yang tak pernah ku perhatikan selama ini.
Pohon mahoni di tepi, ilalang yang rendah hati,
Dengung serangga, desau bayu dan ricik air.
Nyanyian kecil sahabat.
Kulihat banyak tapak-tapak di jalan kecil itu.
Tentu ku tahu itu bukan milikku sendiri.
Dan ku yakin jika tanpa tapak-tapak itu,
Aku tak pernah sampai sejauh ini
Tak pernah sekuat ini
10220 tapak sudah ku jejakan di bumi ini.
Setidaknya biar ku pelajari makna yang ada
Dalam pijak-pijak di jalan ini
Sampai akhirku, sampai pada Kota yan baru.
Tulisan adalah Makna

Sabtu, 29 November 2008
Promise of Silence

Semuanya teka-teki …
Kesungguhan Bermain

Bermainlah dengan permainan, tapi jangan main-main
mainlah dengan sungguh-sungguh, tapi permainan jangan di persungguh.
kesungguhan permainan terletak dalam ketidak sungguhannya,
sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi.
bermainlah dengan eros, tapi jangan mau dipermainkan eros.
bermainlah dengan agon tapi jangan mau dipermainkan agon.
Minggu, 09 November 2008
Tuhan Lebih Tahu

Rahmat yang Sederhana
Diam
Diberi untuk Memberi

“Mampu” mungkin inilah kata kuncinya, sedang berderet di belakangnya bayangan manusia yang menangkap dengan ego. Aku adalah tahu. Barangkali, di sinilah letak persoalannya. Ketika subjek “aku yang tahu” disematkan pada tungkai tubuh yang tumbuh pada sejarah, terjadilah apa yang disebut sebagai “metafisika lubang intip”: subjek itu seakan-akan tersekap di menara tanah liat yang tertutup, dan ia memandang dunia dari sebuah lubang.
Terbatas memang. Ia tak terbuka untuk yang lain, demikian pula yang lain. Di sana tak ada yang saling silang, saling berbagi.
Berbagi adalah “memberi”. Di dalamnya, waktu tak terulangi. Tak ada pengharapan akan adanya pembalasan kelak. Ketika kita “memberi”, batas kepercayaan, solidaritas, dan waktu jelas tereliminasi. Malah waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak melingkar, malah lepas tak terhingga.
Tapi hidup kian ribut oleh manusia yang cemas. “Memberi” makin jadi laku yang sulit. Yang berkuasa adalah perdagangan: proses tukar-menukar yang mengharapkan laba.
Rahmat Tuhan tak dilihat lagi sebagai sesuatu yang memancar tak terhingga. Rahmat jadi sesuatu yang harus diperebutkan. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Tuhan akhirnya juga jadi proses pertukaran yang dikalkulasi. Manusia menyembah Tuhan dengan mesin hitung pahala yang dipegang dengan was-was: jangan-jangan Tuhan selalu kekurangan. Jika itu yang terjadi, alangkah jauh telah melangkah dari panggilan sejati.
Jika sedang kau takar talentamu hari ini, beranjaklah dari lubang intip menara tanah liat keegoan itu dan ulurkan tangan untuk berbagi. Mungkin perlu belajar seperti Abraham di dataran tinggi Moria, ia tak tahu apa faedah perbuatannya bagi dirinya sendiri atau bagi Tuhan, tapi di saat ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh ego, mengatasi rasa takut akan “dunia yang profan”. Do ut Des!
Langit yang Terpejam

Tapi Kejora masih selalu sama
Sudah kita kenali sepi itu
ketika cakrawala terpejam
dalam diam.
Senin, 03 November 2008
Minggu, 02 November 2008
Kebijaksanaan
Cukuplah Kau Bercahaya

“Mau dibawah kemanakah aku?”
“Oh, aku akan menjadikanmu cahaya terang yang amat besar.”
“Tapi, bagaimana mungkin? Aku hanya sebuah kerdip lilin kecil”
“engkau mungkin tak perlu tahu akan hal itu. Aku hanya ingin engkau tetap bercahaya. Itu sudah cukup.”
Lalu, lilin kecil dibawa keatas sebuah menara mercusuar.
Dengan api yang kecil, ia menyulutkan ke sebuah perapian yang besar. Lalu di depannya diletakan sebuah cermin cembung, sehingga cahayanya memantul bermil-mil jauhnya. Cahayanya kini memandu kapal-kapal yang berlabuh di sekitar dermaga.
Kita adalah lilin kecil dalam genggamanNya.
Mungkin tak perlu kita ketahui rencana agungNya,
Cukuplah kata ini, “Aku hanya ingin engkau tetap bercahaya”
Kisah Bambu

Pemilik kebun menghampiri bambu di sudut halaman.
“aku membutuhkanmu”
“dengan senang hati, tuan”
“aku akan menjadikanmu pengantara”
“apa yang bisa ku lakukan untuk itu?”
“aku akan memotongmu. Membersihkan daunmu. Membuang sendi-sendimu”
“tidak! Itu terlalu menyakitkan”
“jika kau tidak bersedia, maka lambat laun semua akan kering dan mati”
“tapi itu tidak adil. Kenapa harus aku?”
“sebab hanya engkau yang mampu. Maukah engkau melihat semua kering dan mati?”
“tentu saja tidak mau!”
“lalu? Bagaimana?”
“baiklah. Jadikan aku seturut kehendakmu”
Bambu tersebut dipotong, dibersihkan daun-daunnya, dibuang juga segala sekat dan sendinya. Lalu bambu tersebut diletakan diantara mata air dan lahan itu. Dan air yang mengalir melewatinya lambat laun membuat taman itu kembali segar. Hijau. Bestari.
Kita bisa memilih menjadi bambu dipojok tanah kering, atau menjadi bambu yang menjadi sarana? Konsekuensinya jelas bahwa menjadi sarana selalu ada yang ‘dipotong’ dan ‘dibersihkan’.
Sebuah Ruang Untuk Kaum Muda

Dan memang itulah sejatinya kaum muda. Ia adalah sebuah garda depan masyarakat dan agen-agen perubahan budaya atau gaya hidup masyarakat yang paling efektif. Selain itu, kaum muda adalah wajah masa depan Gereja (Apalagi, wajah Asia adalah wajah kaum muda: 60% orang Asia berusia 30 tahun kebawah). Dunia membutuhkan gairah orang muda sebab antusiasme kaum muda membuat dunia lebih berdegup lebih dinamis dan penuh semangat menjawab panggilan Tuhan. Beranjak dari fenomena ini, sangat menarik apabila menemukan sebuah korelasi antara budaya kaum muda dengan agama sebagai konteks sekularisasi. Sekularisasi menggambarkan sebuah proses kultural di mana pemikiran, praktek agama kehilangan signifikansi sosialnya. Berkat penemuan iptek, sekularisasi menjadi sebuah proses penemuan jati diri dunia: “global village” itu otonom tapi tetap berkorelasi dengan Sang Pencipta (bdk. Gaudium et Spes, art. 36). Namun, dengan rendah hati kita juga mengakui bahwa penemuan itu menjadi embrio lahirnya sekularisme: suatu ideologi tertutup yang memutlakkan otonomi hal-hal duniawi tanpa keterbukaan kepada yang Illahi.
Quo Vadis Kaum Muda?
Maka, ketika dunia kita berlari dengan kencang tanpa kendali pasti, ketika anonimitas (orang tidak lagi saling mengenal) dan mobilitas (begitu cepatnya orang orang berpindah tempat) begitu pekat dan erat, sebagian besar masyarakat bergumul di tengah lalu lintas modernitas yang penuh kebisingan dan kekejaman, kaum muda juga mengalami situasi tercabut dari akar, serta terpencar, lepas dari ikatan teritorial yang tetap dan aman. Bahkan, mungkin dapat dikatakan bahwa sosok kaum muda kerap linglung mencari potret wajahnya sendiri.
Keprihatinan ini tertuang pada sebuah rekomendasi pada Temu Kaum Muda 2002 di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ada delapan masalah yang kini dihadapi oleh kaum muda: (1) masalah yang semakin kompleks (tauran, narkoba, sex bebas, film porno), (2) kecendrungan membuat kelompok eksklusif (penjelajah mal, penggemar film, playboy club), (3) hilang keceriaan, sikap kritis, spontan dan kreatif, (4) kehilangan ketajaman dalam berpikir (sulit diajak berpikir/ simplitis), (5) kesalahan pendidikan formal: konformis, suka keseragaman, tidak terbuka, tidak jujur, cuek dan apatis pada soal kemanusiaan, (6) hidup dalam dua kutub: budaya modern/ hedonis dan budaya tradisi feodal (gereja dan sekolah), (7) punya mimpi semu akan masa depan: kerja ringan tapi hasil banyak, generasi instan, (8) kegamangan menatap masa depan: tidak tahan banting.
Komunitas Basis a la Kaum Muda
Berdasarkan survei Pusat Penelitian Atmajaya – Jakarta, secara de facto kaum muda tidak krasan dalam kelompok besar dengan penanganan massal. Mereka membutuhkan kelompok kecil yang lebih menyediakan keakraban dan kekompakan. Kaum muda senang dengan variasi, dengan segala kreativitas yang membuncah, mereka mudah jenuh dengan kegiatan yang rutin dan monoton. Bagi mereka kegiatan menjadi kurang menarik kalau terlalu formal dan penuh dengan pengarahan moral.
Bersama kaum muda, kita tentu dapat memulai komunitas basis, dari kelompok yang kecil dimana keakraban tidak melulu ditemukan dalam week-end atau rapat organisasi, tapi lebih banyak ditemukan dalam acara informal seperti nongkrong bareng, diskusi, ngumpul bareng dan acara sederhana lainnya. Di Yogyakarta, sebelah utara keraton terdapat sebuah komunitas Tikar Pandan. Diatas tikar inilah kaum muda interfidei (lintas agama) berkumpul, baraktifitas, berdiskusi, berdoa, bernyanyi, bercerita. Iman terasa menyatu, lebih erat dari sekat- sekat primordial dan sekterian.
Muncul juga berbagai komunitas basis lainnya, seperti Biro Komunikasi Pelajar Katolik, Forum Kontak Pelajar Katolik, dan sebuah paroki di Jakarta Barat muncul sebuah komunitas yang bernama Socrates. Mengikuti misa bersama. Menonton film bersama, membahasnya dan mendiskusikannya, membedah buku dan aktualisasi dalam keseharian. Tak melulu di sebuah ruangan di gedung serba guna paroki, tapi sesekali mereka ngumpul bareng di Starbuck sambil menyeruput secangkir cappuccino, atau di kafe di mana biasa mereka hang out.
Dalam komunitas basis inilah Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda begitu menggema. Gereja menitikberatkan pengembangan katolisitas pada dua hal: Kehidupan iman dan kehidupan menggereja. Disinilah kaum muda diharapkan dapat menggumuli hidup sehari-hari sebagai perwujudan iman-pertemuan dengan Allah, perjumpaan dengan sesama sebagai aktualisasi diri. Ia pun terlibat dalam berbagai kegiatan tugas-tugas Gereja: koinonia/ persekutuan, kyrigma/ pewartaan, liturgia/ ibadat, diakonia/ pelayanan, dan martyria/ kesaksian.
Epilog: Sebuah Pekerjaan Rumah
Memang harus diakui bahwa filosofi hidup orang muda itu singkat, tapi maknyus, nancep, dan dalem! Nampaknya slogan-slogan iklan lebih menarik untuk mereka ikuti, seperti: “Kutahu yang kumau”, “Free Yourself”, “Cuek is the Best” atau barangkali “emangnye aye fikirin!” Di jalan-jalan umum, layar kaca di rumah, selebaran yang ditempel, dengan mudah kita menemukan sebuah kata iklan: Bukan Basa-Basi. Orang muda tak suka banyak teori bijak “basa-basi” yang kerap di jumpai dalam ajaran agama. “Ini tidak boleh, itu tidak boleh... but why not?” Kaum muda butuh jawaban yang kongkrit sebagai bukti.
Kadang muncul sebuah pertanyaan yang menggelitik: apakah kaum muda menganggap keselamatan yang ditawarkan oleh agama selama ini adalah sebuah dongeng yang meninabobokan? Situasi khas postmodern ini membuat mereka lebih berani berpikir dan menangkap tanda-tanda dalam panca indra mereka. Dan tantangan bagi kita: beranikah kita menawarkan keselamatan yang paripurna kepada kaum muda berikut dengan berbagai pergualatan eksitensial mereka tanpa harus mengubah arus mereka?
Jika kehidupan ini adalah sebuah organisasi, maka kaum muda adalah sebuah organisme yang hidup dan terus ber-‘phanta rei’ (berkembang), mereka memang harus diperhatikan agar tidak amburadul, mbrudul dan mandul. Disinilah kita ditantang untuk proaktif menemukan peluang dan praktek solidaritas universal dalam dunia sekuler.Memang, banyak opini, pendapat, ulasan, tulisan yang dapat kita kemukakan sebagai dasar untuk menyentuh keprihatinan kaum muda kita yang saecula saeculorum. Tapi barangkali ada satu pertanyaan yang jauh lebih mendasar: apakah selama ini kita juga berbicara dengan kaum muda?
Senin, 22 September 2008
Kapitalisme

Ya, konsumsi adalah menghabisi! membuat ludus!
Tapi, terlepas dari statusnya yang unik dan tunggal, ia selalu bisa dipertukarkan dengan sesuatu yang tak selalu tampak. Dalam agama, ia disebut "rahmat Tuhan"; dalam kapitalisme ia disebut "harga" yang tentunya ditentukan oleh "the invisible hand"
Hidup adalah Mencari

Barangkali Timothy McVeigh akan selalu ingat kejadian 19 April 1995 sampai akhirnya ia dihukum mati. dengan 2.000 kilogram campuran pupuk amonium nitrat dan bahan bakar diesel, yang ia taruh sebuah truk sewaan, ia meledakan sebuah bangunan besar di kota Oklahomo. Gedung itu tempat pemerintah federal berkantor untuk urusan kesejahteraan sosial dan badan pengawasan tembakau, alkohol dan senjata api. Suara menggelegar dan bagian depan bangunan itu hancur. 168 orang mati sebagian adalah anak-anak, 500 lebih luka-luka.
McVeigh yakin tindakannya benar, ia bersikukuh membela tuhan dengan tindakannya. Mungkin, dalam hal ini ia tak pernah sendiri. Dan kita semua tahu kelanjutkan dari kisah membela agama yang berujung pada pertumpahan darah. Juergensmeyer - penulis Terror in the Mind of God menyimpulkan bahwa agama memang selalu mengandung imajinasi yang membuat pelbagai nilai menjadi mutlak. sementara itu agama membenarkan kekerasan, dan kekerasan memperkukuh agama.
Yang agaknya diabaikan oleh para "laskar" itu adalah bahwa moral selalu menjadi manusia lebih baik menuju Sang Cahaya tanpa harus mendekatinya. bukankah hidup menjadi berarti bukan karena ingin mencapai, tetapi karena ingin mencari?
Tuhan dan Kata

Tampaknya, tak hanya ada satu makna yang terkandung dalam kata "Tuhan". bahkan sejak berkembangnya struktur bahasa, kita semakin sadar betapa tidak stabilnya makna kata.
Maka, setiap kali "Tuhan" kita sebut, sebetulnya kita tidak menyebut-Nya. Saya ingat sebuah kalimat yang pernah dikatakan oleh teman saya yang ia kutip dari sebuah sutra: "Budha bukan Budha dan oleh sebab itu ia Budha". Bagi saya, ini berarti ketika kita sadar bahwa "Tuhan" atau "Budha" yang kita acu dalam kata sebenarnya tak terwakili oleh kata itu.
dan aku semakin yakin bahwa "Tuhan" tak akan pernah terwakilkan oleh satu aksara, apapun itu!
Minggu, 17 Agustus 2008
Bangsa

Seorang DPR berkunjung ke sebuah sekolah dasar dimana dulu ia menuntut ilmu, dan ia diijinkan berbicara dengan anak-anak di salah satu kelas.
Ia maju menulis kata "TRAGEDI" dengan kapur di papan tulis.
"anak-anak, apakah kalian tahu arti dari kata tragedi?" tanyanya.
Seoarang anak yang tambun menjawab dengan percaya diri:
"Seorang kakek terjatuh dari pohon kelapa ketika ia hendak memetik buah kelapa untuk cucunya"
Bapak DPR menggeleng, "Bukan. Itu namanya kecelakaan"
Anak lain mengajungkan jarinya dan menjawab:
"Sekelompok atlet menginap di wisma dan tiba-tiba tsunami dan menewaskan semuanya"
Bapak itu kembali menggeleng, "Bukan. Itu namanya bukan kehilangan besar bagi bangsa"
Akhirnya anak lain menjawab:
"Ketika sekelompok besar bapak anggota DPR naik helikopter dan diatas sana helikopter goyang sehingga semua anggota DPR itu jatuh ke jurang"
Bapak itu bingung dan bertanya kembali, "kenapa kau sebut itu tragedi nak?"
anak itu menjawab:
"Sebab, itu bukan kecelakaan, dan juga bukan kehilangan besar bagi bangsa, pak"
Kamis, 07 Agustus 2008
Tuhan Mestikah Ada?

Di Jerman pada abad ke-13, seorang pengkhotbah Ordo Dominikan, Meister Eckhart, berdoa dengan menyebut Gotthes (Tuhan) dan Gottheit (Maha Tuhan). yang pertama adalah "pengertian" tentang Tuhan, sebuah konsep. sedangkan pengertian yang kedua adalah sesuatu yang tak terjangkau oleh konsep, sesuatu yang tak tertakar. Maka, si Eckhart berdoa demikian: "aku mohon .. agar aku dijauhkan dari Gotthes"
Tahun 1329, Paus Yohanes XXII menuduhnya 'bidaah'. Eckhart diadili dan ditemukan mati sebelum vonis dijatuhkan pada dirinya.
Menurutku, Tuhan bukanlah hasil keinginan kita. Tuhan tak benar-benar harus ada, bahkan Ia mengatasi ruang yang bernama 'ada'. Ia mampu tanpa Ada. Ia datang dalam kemerdekaan karena kasihNya.
Iman & Sarang

Iman selamanya akan ditorehkan sebagai jejak-jejak ketabahan. Tapi iman juga dibaca sebagai antagonisme. Kita bahkan bisa menampik bahwa bagi sebagian orang, imannya kepada Sang Maha Agung itu memberikan dirinya daya yang luar biasa dan sulur inspirasi yang tak pernah terhenti. Tapi, kita juga tak mampu menyanggah bahwa keyakinan abstrak itu juga membuat sebagian menghalalkan penindasan, membangkitkan kekerasan, dan menumpahkan darah.
Aku termenung. Sekali lagi aku dengar suara jengkrik, serangga yang mudah terinjak itu. Aku ingat semut yang mudah diusir, nyamuk yang dengan mudah dimusnahkan, laba-laba yang mudah diterjang, burung-burung yang mudah dihalau. Tapi mereka memiliki ruang yang privat. Entah liang, entah gua, entah sarang, yang selalu mengandung rahasia terdalam. Bagian dari desain Tuhan yang menakjubkan.
Selasa, 29 Juli 2008
Bebas!

Alasan

Lalu, apakah ada alasan tentang keberadaan Tuhan? Para mistikus menjawabnya “tidak”. Sebab Tuhan yang hanya terkukung dalam alasan adalah Tuhan yang hidup dalam paradigma, Tuhan yang tertangkap dalam angan dan imajinasi manusia – gambaranNya.
Mungkin itulah sebabnya, Nietzsche hanya percaya kepada Tuhan yang menari.
Senin, 28 Juli 2008
Waktu: Cermin yang Menggelembung

Waktu adalah cermin. Di dalamnya, setiap masa yang berlalu, akan saya lihat: guratan umur yang semakin nyata. keriput yang semakin banyak. pori-pori kulit membesar. rambut memutih dan rontok.
Dan ketika waktu dibaca sebagai angka: dalam setiap masa yang berlalu kita tahu jangka waktu hidup yang sama tak akan tercapai lagi. ujung jalan sudah tampak. dalam masa itulah masa depan jadi lebih tentu: hidup akan berakhir. Saya tidak akan menyaksikan batang muda yang ditanam tumbuh menjadi pohon-pohon tinggi dan rimbun, seperti deretan pokok asam dan mahoni di tepi jalan raya di masa kecil saya. saya tidak akan merasakan jalan0jalan tidak macet, polusi udara kurang karena bensin tak lagi dipakai, bulan tak lagi kusam ketika malam purnama, dan mneyaksikan yang lebih manusiawi di rumah sakit umum, di penjara, di kakilima, di museum dan teater yang dikunjungi. Ya, akan banyak hal yang takan pernah ku alami kembali.
Waktu yang "copot dari sendirinya" memang terasa mencemaskan. tapi rasa cemas itu tak melumpuhkan manusia. Dalam waktu, manusia seakan-akan terlontar. Ia mengalami kebebasan dari hukum sebab akibat, tetapi dengan itu ia masuk dalam momen "kejadian". seperti nada dalam harmoni, "kejadian" tak berlangsung dalam waktu yang sudah disusun; ia justru membuka waktunya sendiri. Bahkan pada akhirnya, "kejadian" atau "penciptaan" tak bisa selamanya berada dalam harmoni. Hidup adalah cakupan harmonis ke dalam sebuah susuanan yang macam-macam nada, termasuk yang sumbang atau, "sebuah polifoni yang terserak".
Dream of Peace!

Tuhan dan pembuhan: Mengapa itu semua terjadi, tak hanya dikalangan Kristen dan Islam, tetapi juga di kalangan Yahudi, Hindu, Sikh, dan Buddha? Penulis Terror in the Mind of God juga menyimpulkan bahwa agama memang selalu mengandung imajinasi yang membuat pelbagai nilai jadi mutlak; agama dengan itu juga memproyeksikan "perang kosmis". Sementara itu, agama sering membenarkan kekerasan, dan kekerasan memperkukuhkan agama, yang dalam kehidupan berpolitik, memberikan mercusuar ke arah tatanan moral.
Di sebuah gambar kuno lain saya lihat deretan tubuh orang Protestan yang dibakar sampai mati oleh Ratu Mary yang Katolik di Inggris pada pertengahan abad ke-16. Sejarah memang mencatat, ratusan termasuk Uskup Agung Canterbury, dipanggang hidup-hidup. Orang Katolik punya catatan lain: di sebuah terbitan Belgia tahun 1587 tampak orang Protestan memancung bayi-bayi, merobek perut dan menarik usus para korban. Juga Amangkurat I di Mataram abad ke-17 yang membabat ribuan ulama hanay dalam 30 menit.
mungkin karena manusia akhirnya sadar dan ngeri, bahwa aniaya itu akan mengenai siapa saja, selama Yang Mahasempurna sipakai untuk mnegukur hidup yang ada dalam badan yang tidak sempurna. Maka berangsur-angsur Tuhan yang menakutkan ditinggalkan, dan manusia berpihak kepada sosok yang terpentang di tiang siksa.
dan kita pun memulai perlawanan, dengan memekik atau diam. kita kembalikan kekuasaan atas tubuh sebagai pertempuran yang terus menerus dan yang menang, juga atas nama Tuhan, tak sepenuhnya menang.
Manusia hakekatnya adalah manusia, bukan babi panggang!
Where are You?

God where are you?
When I call on Your name
When the anxiety fills my heart
So many thing to blame
The road rough and hard
God where are you?
When things going unpleasant
When hope disappear
Still I am Your servant
Your answer I need to hear
God where are you?
When tears falling on my face
When chill and trembling I feel
Tomorrow will I receive another Grace
All the best finally fulfilled
God where are you?
When desperately I need you
When I lost and go astray
Looking for something I don’t even know
Recall the love I’ve betrayed
God where are you?
When I miss the way we had before
When love and peace come everyday
All these things I am asking for
Hold me until your very day
Minggu, 06 Juli 2008
Kata yang Melompat
Embun untuk Sahabat
Ibu

Keheningan yang tak pernah menyimpan kenangan lain,
Selain aku!
Berkenan menggoreskannya dalam-dalam!
Selasa, 24 Juni 2008
Si Ular
Kota Pesolek

Hujan menjatuhkan ujungnya yang tajam, kerap dan dingin. Sementara lampu-lampu jalanan berdiri sendiri tanpa sapa – seberkas cahaya yang kuyup dalam remang malam. Sedang angin mengaum sesekali. Kita mendengarnya dalam celah lorong yang dibentuk oleh bangunan tinggi.
Pejalan kaki berjalan kaki dengan cepat, malam semakin larut, dan jalanan menjadi semakin datar. Mobil dan sepeda motor sesekali melaju terpaksa, bagian dari kepekatan dan kesunyian malam yang tak diharapkan.
Kota-kota ini tak terbiasa dengan malam. Namun benarkah demikian. Sekali lagi kota-kota ini adalah kota remaja yang pesolek, dan berdandankan niat yang pura-pura. Kota adalah sebuah etalase besar, dimana ada sesuatu yang dipajang, dan selalu ada saja yang disingkirkan seperti najis. Kaum gelandangan merapat ke pojok, penjaga malam yang mengutuk diri, para pelacur yang mencari mangsa tapi mesti hati-hati.
Disebelah poster besar sebuah produk terkemuka di kota itu, ada seorang gadis.
Yang mungkin sama dalam cerita Andersen. Bocah lapar yang menanggung beku, yang menyalakan sebatang demi sebatang korek api, sampai habis. Kita pun tahu ia akan hilang, berpendar dalam partikel tak tampak. Dan kita pun tak peduli, bahkan tak tahu ia telah mati.
Sanctissima, Ora Pro Nobis

Emak tabah memutar bulir-bulir kenarinya bersama kata-kata mistik yang tak pernah ku pahami. Ia menjalani takdirnya. Tapi ku tahu pasti, untukkulah kata-kata yang keluar seiring biji yang ranum itu tak lain adalah aksara yang senantiasa bergesek
Waktu Tak Pernah Mati

Tuhan dalam Mangkok

lalu?
Minggu, 15 Juni 2008
Cahaya
Sabtu, 14 Juni 2008
Gemuruh Guruh

Gemuruh di langit tak mampu terekam oleh indra penglihatan. Ia hanya mampu di dengar. Oleh karena itu, manusia tak dapat menariknya dalam patokan fokus. Cahaya mentari dan semarak bianglala memberi kita pengenalan akan ruang. Tapi gemuruh memberi ruangan lain, yang menggelegar tanpa pernah tau muncul di titik mana. Sesuatu yang tak terkendali, yang muncul serentak dari segala arah. Makin lama, suaranya makin hilang. Makin lama - kata ini membentuk dimensi waktu.
Dan kita tahu, Gemuruh berjalan dalam dimensi ruang dan waktu. Mungkin gemuruh datang dari kedalaman waktu. Bagian dari keabadian waktu.
Senin, 09 Juni 2008
Tuhan Menyapa

Dan perihal”‘panggilan” itu, salahkah bila Yang Terkudus tak melulu hadir dalam hening sunyi tanpa bunyi? Bukanlah Ia juga bergetar dalam resonansi yang kerap kali tertangkap oleh kornea mata. Dan kita semua sadar memiliki indera penglihatan selain pendengaran?
Mata memang menyimpan daya yang ampuh. Butiran momen tersusun pejal dalam pigmen yang merekah. Pandangan melahiran rupa, sedang rupa menerobos masuk dalam wacana, mengatasi konsep, rumus, nalar dan membuncah keluar dalam satu aksi yang tak selalu dimengerti.
Matius sangat jeli bermain aksara. Ia menulis prolog Injil minggu ini: “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka ..”. Belas kasian! tampaknya sikap ini yang meluntur seiring deting sang waktu. slide momen itu pula yang terekam dalam mata Sang Terkudus, dan membuncah keluar dalam aksi panggilan dan pengutusan.
Mungkin “panggilan” bukan kata yang menggelembung. “Terpanggil” berarti terpesona kepada yang-beda, menyentuh apa yang terbatas dalam diri sendiri pada saat bersua dengan yang-lain, dan sadar bahwa bahasa tak bisa menangkap apa yang ada dalam diriku dan yang-lain itu.
Mungkin seperti Abraham di Moriah: para rasul tak tahu apa faedah panggilan dan pengutusan bagi dirinya sendiri atau bagi Tuhan, tapi di saat ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh Rakus, mengatasi rasa takut akan hilang di ”dunia yang profan”. Pada titik itulah, Roh Tuhan berdaya optimal.
Kini, beribu tahun, tak jarang hubungan manusia dengan Tuhan tak ubahnya proses pertukaran yang dikalkulasi. Manusia menyembah Tuhan dengan mesin hitung pahala yang dipegang dengan was-was: jangan-jangan Tuhan selalu kekurangan. Orang pun berlomba melipatgandakan ibadat dan amal demi pahala. Jika itu yang terjadi, alangkah jauh telah melangkah dari sebuah kata awal yang sederhana: “oleh belas kasihan ..”
Panggilan terajut nyata dalam lembaran iman, sedang iman tak lain adalah anak tangga menuju Tuhan. Di mana setiap anak tangganya tersusun dari bongkahan rasa gelisah mencari, kegalauan ingin menemukan dan juga niat untuk merombak.
Jumat, 06 Juni 2008
Agama Tak Ber-Tuhan

Lalu sepeda tak lagi berantai,
Kereta tak lagi mesti berkuda,
Banyak hukum dirombak dan tak lagi dipaksakan,
Alat memasak pun tak lagi memakai api
Rokok tak lagi bernikotin,
Lalu semangka tak lagi berbiji,
Pemandangan hijau tak akan lagi dihalangi alang-alang
Mahasiswa tak lagi perlu memakai jas almamater
Baja tak lagi berkarat,
Lapangan sepak bola tak lagi berumput
Dan,
Agama baru pun tak lagi bertuhan ..
Kamis, 05 Juni 2008
Persepsi
Apple for God

Orang itu kemudian memakan tiga buah apel pertama, tiga apel berikutnya dia tukarkan dengan tempat tinggal. Tiga apel berikutnya ia belikan pakaian.
Lalu kemudian ia memandang apel ke sepuluh. Tampaknya apel itu jauh lebh ranum dan lebih segar dari sembilan apel yang pernah ia terima. Dia sendiri tahu persis bahwa apel kesepuluh itu harus dipersembahkan kepada Tuhan sebagai ungkapan terima kasih. Tapi pikirnya bahwa Tuhan pasti memiliki semua apel di dunia ini, dan apel kesepuluh ini sangat istimewa.
Lalu orang tersebut memakan apel kesepuluh itu, dan mempersembahkan biji apel kesepuluh itu untuk Tuhan..
Ah, tampaknya aku lebih besar dari Tuhan
Dan Tuhan mesti menurut ..
Lebih Sempurna

Mereka mulai membuka percakapan;
“Matanya tidak alamiah”
“Sayapnya tidak seimbang dengan kepalanya”
“Bulunya tidak diatur dengan rapi”
“Ah! Kakinya masih bisa dibikin lebih bagus lagi”
Ketika mereka sedang meluncurkan semua kritik itu, burung itu tiba-tiba mengedipkan matanya dan terbang meninggalkan mereka.
Kerapkali, kita mencoba lebih baik dari Sang Pencipta!
Selasa, 03 Juni 2008
Blue Ocean of Life

Saya tidak tahu bagaimana dunia memandang saya, namun saya memandang diri saya sendiri tak lain dari seorang bocah yang sedang bermain-main di pantai, dan kadang-kadang mengalihkan perhatian saya untuk mencari coral yang lebih halus, atau kulit kerang yang lebih indah daripada biasanya. Sedang di depan saya terbentang lautan kebenaran yang tak terselami.
Sir Isaac newton, ahli matematika kelahiran Inggris, sepanjang hidupnya merasa dirinya tak pernah menyelam dalam laut biru kebenaran itu. Ia hanya menganggap diri hanya bermain di sepanjang horison pertemuan lautan dan darat, di hamparan panjang pasir.
Manusia adalah makhluk yang bermain. Ia bermain dengan waktu, nasib, waktu, spekulasi, dan bermain dengan ego dan imaji. Celakanya, sebagian tak pernah tahu ada samudra kebenaran yang terhampar. Ia begitu sibuk dengan dirinya tanpa pernah tahu dan tahu-tahu ia terkubur oleh pasir yang ia bangun sendiri.
Sebagian begitu senang, tapi akhirnya tengelam!
Homo Viator

Sungguhkan demikian proses tawar menawar itu?
St. Bernadette dalam secarik pesannya, In the footsteps of St. Bernadette:
“Bila kamu datang berziarah, janganlah sepert turis, tapi berlakulah sungguh sebagai penziarah – homo viator, mulailah sebuah perjalanan, yakni masuklah dalam sebuah perjalanan dan lepaskanlah pelbagai kesenangan serta lemparkanlah dirimu dalam ketidaktahuan mengikuti Yesus..”
Ziarah tak lain adalah sebuah upaya yang tak pernah lepas dari suatu pencarian hati akan kehendak Yang Maha Suci yang memutar Spiral Keajaiban – lalu dengan senantiasa melemparkan diri dalam pelukanNya tanpa syarat, tanpa ada lagi keinginan yang perlu diutarakan.
Sanctify Me

Soul of Christ, sanctify me
Body of Christ, save me
Blood of Christ, inebriate me
Water from the side of Christ, wash me
Passion of Christ, strengthen me
O good jesus, hear me
Within Thy wounds hide me
Permit me not to be separated from Thee
From the wicked foe, defend me
At the hour of my death call me
And bid me come to Thee
That with Thy saints I may praise Thee
For ever and ever. Amen
(St. Ignatius of Loyola)
Rabu, 21 Mei 2008
Enigma

Jumat, 16 Mei 2008
Mamat
"Mak", Mamat mencolek paha ibunya yang sedang tertidur dengan kakinya.
"Mmm.." emak menyahut sekenanya.
"Bosan" ujar Mamat.
"Maen sana",ujar emak yang masih terkantuk - kantuk menunggui dagangannya yang tak laku - laku sejak pagi tadi.
Mamat diam saja.
"Mak", kali ini sedikit keras.
Apa sih lu?", emak agak marah.
"Aku bosan", Mamat mengulang lagi.
"Ya sudah maen sana", emak mulai marah tapi tetap berbaring dan berjuang melawan kantuk.
Aaah! Mamat merasa tak puas dengan perhatian emak dan kali ini lebih keras mencolek paha emak dengan kakinya.
Emak bangun lalu memukul Mamat dengan gagang kipas pengusir lalat yang sedari tadi berkeliling di atas kue dagangannya.
"Kurang ajar!", Mamat berhasil menghindar dari pukulan emak kemudian berlalu pergi sambil teriak..."Wek! Gak kena Wek!", kepada emak.
"Anak setan!", emak tak kalah kencang meneriakinya.
Mamat yang hidup di pinggir pasar yang terletak di daerah Jakarta Barat adalah salah satu dari sekian banyak gambaran anak Indonesia yang hidup dijalanan ibu kota yang keras dan liar.