Tanggal 20 Agustus 1902, Kartini muda menggoreskan pena diatas kertas, demikian yang ditulisnya: “Di mana kebahagiaan sejati? Tak jauh, tapi sukar menemukan jalan ke sana, kita tak bisa berangkat dengan trem, dengan kuda dan perahu, dan tak ada emas yang dapat membayar bea perjalanan itu. Jalan itu susah ditemukan, dan kita harus membayar ongkosnya dengan air mata dan darah di jantung serta meditasi. Di mana jalan itu? Dia ada dalam diri kita sendiri ...”
Ada yang klise dalam paragraf itu, tapi bagi Kartini, Tuhan bukanlah jalan lempang dan terang yang dibangun oleh akal budi melulu. Jalan itu tak henti-hentinya harus dicari kembali oleh masing-masing diri. Dalam perspektif ini, Tuhan bukanlah hanya keniscayaan dari dorongan etis, Sang Otoritas Moral, yang menjadi acuan nilai-nilai universal. Tuhan adalah pengalaman batin yang unik bagi setiap saat, setiap tempat, dan setiap manusia.
Pengalaman batin yang luar biasa ini kerap disebut: the individual pinch of destiny.
“Sebuah kerja harus dilakukan, seraya Tuhan sudah rapi tersimpan dalam iman, sebuah iman yang dapat dipergunakan bagai sebuah peta ...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar