Mungkin kita akan tersenyum simpul dengan cerita ini, tapi hal ini sungguh pernah terjadi. Kepada Romo yang setelah memimpin ibadat di suatu lingkungan, seorang pemuda bertanya: “Mo, gini Mo, Gereja senantiasa membuka diri kepada budaya setempat tuh. Misalnye, ada misa adat etnis Jawa, etnis Batak sampe ada yang etnis China tuh. Nah kenape semua diganti aja Mo. Misal nih ye perumpamaan Pokok Anggur Kehidupan. Kan kite tau sama tau Mo kalo tanaman anggur tuh jarang Nusantara, kenapa gak sekalian diganti dengan pokok rambutan, duren, atau pokok singkong. Kan lebih membumi Mo?”
Romo yang tersentak kaget juga memberi jawaban yang bikin kaget, “Hare gene baru bicara inkulturasi dalam Gereja? Bisa aja diganti semua, misal perumpamaan Akulah Roti Kehidupan diganti dengan Akulah Gudeg Yogya, atau Nasi Padang Kehidupan, atau Soto (dari) Kudus Kehidupan, atau Bakmi Bangka dan sederet menu lain. Mau seperti itu? Ya gak bisa begitu toh”
Kepada pemuda yang cekikikan dan beberapa ibu yang melotot, Romo lalu melanjutkan ceritanya.
Ia pernah dikirim kabar dari rekannya yang ditugaskan dipendalaman. Disana rupanya umat tak pernah melihat atau mengimajinasikan domba, sehingga seruan Anak Domba Allah diganti menjadi Anak Babi Allah. Disini kita mengganggap babi adalah binatang yang malas dan kotor, tapi disana babi dianggap seperti harta yang tak ternilai. Jadi kalo ada pemuda yang jatuh cinta, ia merayu pujaan hati dengan; cantik benar kau bagai babi.
Kali ini giliran beberapa ibu cekikikan dan pemuda tadi menjadi melotot. Romo lalu meneruskan. Kisah tadi memang ada. Tapi itu bukan inspirasi kita untuk mengubah simbol gandum dan anggur dalam Tubuh dan Darah Tuhan. Tanaman anggur yang merambat itu butuh perawatan dan pemangkasan yang ekstra lebih bila dibandingkan tanaman lain. Minuman anggur diperas dari ratusan butir anggur. Dan roti terbuat dari ratusan bulir gandum. Kitalah bulir-bulir gandum dan ranting-ranting anggur yang berkembang. Kita diproses dan disatukan dalam satu persaudaraan yang besar, Gereja.
Roti dan anggur menjadi simbol keberadaan, pengorbanan dan kekuatan Tuhan. Bagi yang beriman, lewat sekeping roti benar-benar menjadi daging, mengalirlah segala rahmat Ilahi. Dialah santapan para penziarah. Para kudus bahkan menimba kekuatan lewat sakramen ekaristi yang mulia itu.Tuhan hakekatnya ada dimana-mana. Ia ada didalam api tapi Ia bukanlah api. Ia ada dalam badai, tapi Ia bukanlah badai. Ia dalam wajah sesama, tapi Ia bukan sesama. Ia ada dalam nasi, tapi Ia bukan nasi itu. Ia adalam secangkir teh hanget, tapi Ia bukanlah teh hanget.
Romo yang tersentak kaget juga memberi jawaban yang bikin kaget, “Hare gene baru bicara inkulturasi dalam Gereja? Bisa aja diganti semua, misal perumpamaan Akulah Roti Kehidupan diganti dengan Akulah Gudeg Yogya, atau Nasi Padang Kehidupan, atau Soto (dari) Kudus Kehidupan, atau Bakmi Bangka dan sederet menu lain. Mau seperti itu? Ya gak bisa begitu toh”
Kepada pemuda yang cekikikan dan beberapa ibu yang melotot, Romo lalu melanjutkan ceritanya.
Ia pernah dikirim kabar dari rekannya yang ditugaskan dipendalaman. Disana rupanya umat tak pernah melihat atau mengimajinasikan domba, sehingga seruan Anak Domba Allah diganti menjadi Anak Babi Allah. Disini kita mengganggap babi adalah binatang yang malas dan kotor, tapi disana babi dianggap seperti harta yang tak ternilai. Jadi kalo ada pemuda yang jatuh cinta, ia merayu pujaan hati dengan; cantik benar kau bagai babi.
Kali ini giliran beberapa ibu cekikikan dan pemuda tadi menjadi melotot. Romo lalu meneruskan. Kisah tadi memang ada. Tapi itu bukan inspirasi kita untuk mengubah simbol gandum dan anggur dalam Tubuh dan Darah Tuhan. Tanaman anggur yang merambat itu butuh perawatan dan pemangkasan yang ekstra lebih bila dibandingkan tanaman lain. Minuman anggur diperas dari ratusan butir anggur. Dan roti terbuat dari ratusan bulir gandum. Kitalah bulir-bulir gandum dan ranting-ranting anggur yang berkembang. Kita diproses dan disatukan dalam satu persaudaraan yang besar, Gereja.
Roti dan anggur menjadi simbol keberadaan, pengorbanan dan kekuatan Tuhan. Bagi yang beriman, lewat sekeping roti benar-benar menjadi daging, mengalirlah segala rahmat Ilahi. Dialah santapan para penziarah. Para kudus bahkan menimba kekuatan lewat sakramen ekaristi yang mulia itu.Tuhan hakekatnya ada dimana-mana. Ia ada didalam api tapi Ia bukanlah api. Ia ada dalam badai, tapi Ia bukanlah badai. Ia dalam wajah sesama, tapi Ia bukan sesama. Ia ada dalam nasi, tapi Ia bukan nasi itu. Ia adalam secangkir teh hanget, tapi Ia bukanlah teh hanget.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar