Samuel Butler, seorang penulis Inggris pernah menggoreskan kata-kata ini dalam buku hariannya: “Hidup bukanlah suatu ilmu pengetahuan pasti, melainkan suatu seni”.
Bukan tanpa dasar Butler yang hidup diakhir tahun delapan belasan itu menuliskan kalimat tersebut. Ia menuliskannya sebagai refleksi panjang atas hidupnya sendiri. Ia yang sudah lama makan asam garam di dunia ‘kuli tinta’ setuju bahwa jalan hidup ini tak selamanya bertabur bunga mawar tapi hidup ini malah terkadang jalan hidup menjadi kecil dan penuh onak duri, tak selamanya sebuah hidup bak cerita dongeng yang gemerlap tapi tak jarang hidup ini penuh dengan adegan kelam, didera sakit, dicemooh oleh kegagalan, dan sebagainya. Roda kehidupan akan terus berputar, kadang diatas, kadang dibawah.
Hidup tak hanya terdiri dari terang, tetapi juga terselubung gelap. Dan justru dalam gelap itu manusia belajar mengetahui indahnya terang. Hidup tak selamanya penuh cinta dan damai, tetapi juga terkadang terselip konflik dan kesalahan. Dan justru dalam konflik dan kesalahan itu manusia belajar menghargai kedamaian, penerimaan, dan kasih. Hidup bukanlah cerita panjang tentang kesuksesan, terkadang tak jarang banyak kerikil kegagalan. Dan justru dalam kegagalan, manusia belajar menghargai usaha dan ketekunan untuk mencapai kesuksesan.
Hidup bukanlah ilmu pasti, ia tetap sebagai sebagai misteri, sebab tak pernah ada yang bisa menentukan masa depan. Seperti kata orang bijak bahwa manusia hanya merencana dan berusaha, selanjutnya Tuhanlah yang bekerja. Bagaimana manusia menjalankan hidup ini dalam situasi secemerlang dan sekelam apapun yang ia hadapi adalah sebuah “seni” dimata Butler. Sebuah seni bagaimana melihat hidup ini dan merasa nyaman di gelanggang yang digeluti setiap waktu, yaitu hidup, walau sepekat apapun itu.
Kita tentu boleh menganggukan kepala tanda setuju, boleh juga menggelengkan kepala tanda ketidaksetujuan kita terhadap pernyataan sebuah pernyataan singkat Butler diatas. Bahkan kita juga boleh berkata “No Comment”.
Kelak jika kita laksana roda di bagian bawah, disaat kita merasa disesaki dengan berbagai masalah dan beban hidup, disaat kita dicemooh kegagalan dan menjadi ‘lumpuh’ dalam hidup ini, saat itu kiranya kita masih ingat Injil ini, Yesus yang tergerak hatiNya untuk menyembuhkan seorang lumpuh karena imannya. Saat seperti itu kiranya kita masih mempunyai secuil iman untuk datang kepada Yesus dan membawa segala ‘kelumpuhan’ kita.
Imanlah yang mendongkrak semangat kita untuk tetap mampu berdiri tegar. Bukankah ribuan mukjijat tak akan pernah terjadi tanpa sebongkah iman yang terpatri dalam nubari?Manusia sejatinya harus ‘kuat’, sebab manusia yang tak pernah bisa menjadi ‘kuat’ dalam situasi ‘kelam’ itu akan terkikis dari kegembiraan dan akhirnya terhempas dari prosesi kehidupan itu sendiri.
Bukan tanpa dasar Butler yang hidup diakhir tahun delapan belasan itu menuliskan kalimat tersebut. Ia menuliskannya sebagai refleksi panjang atas hidupnya sendiri. Ia yang sudah lama makan asam garam di dunia ‘kuli tinta’ setuju bahwa jalan hidup ini tak selamanya bertabur bunga mawar tapi hidup ini malah terkadang jalan hidup menjadi kecil dan penuh onak duri, tak selamanya sebuah hidup bak cerita dongeng yang gemerlap tapi tak jarang hidup ini penuh dengan adegan kelam, didera sakit, dicemooh oleh kegagalan, dan sebagainya. Roda kehidupan akan terus berputar, kadang diatas, kadang dibawah.
Hidup tak hanya terdiri dari terang, tetapi juga terselubung gelap. Dan justru dalam gelap itu manusia belajar mengetahui indahnya terang. Hidup tak selamanya penuh cinta dan damai, tetapi juga terkadang terselip konflik dan kesalahan. Dan justru dalam konflik dan kesalahan itu manusia belajar menghargai kedamaian, penerimaan, dan kasih. Hidup bukanlah cerita panjang tentang kesuksesan, terkadang tak jarang banyak kerikil kegagalan. Dan justru dalam kegagalan, manusia belajar menghargai usaha dan ketekunan untuk mencapai kesuksesan.
Hidup bukanlah ilmu pasti, ia tetap sebagai sebagai misteri, sebab tak pernah ada yang bisa menentukan masa depan. Seperti kata orang bijak bahwa manusia hanya merencana dan berusaha, selanjutnya Tuhanlah yang bekerja. Bagaimana manusia menjalankan hidup ini dalam situasi secemerlang dan sekelam apapun yang ia hadapi adalah sebuah “seni” dimata Butler. Sebuah seni bagaimana melihat hidup ini dan merasa nyaman di gelanggang yang digeluti setiap waktu, yaitu hidup, walau sepekat apapun itu.
Kita tentu boleh menganggukan kepala tanda setuju, boleh juga menggelengkan kepala tanda ketidaksetujuan kita terhadap pernyataan sebuah pernyataan singkat Butler diatas. Bahkan kita juga boleh berkata “No Comment”.
Kelak jika kita laksana roda di bagian bawah, disaat kita merasa disesaki dengan berbagai masalah dan beban hidup, disaat kita dicemooh kegagalan dan menjadi ‘lumpuh’ dalam hidup ini, saat itu kiranya kita masih ingat Injil ini, Yesus yang tergerak hatiNya untuk menyembuhkan seorang lumpuh karena imannya. Saat seperti itu kiranya kita masih mempunyai secuil iman untuk datang kepada Yesus dan membawa segala ‘kelumpuhan’ kita.
Imanlah yang mendongkrak semangat kita untuk tetap mampu berdiri tegar. Bukankah ribuan mukjijat tak akan pernah terjadi tanpa sebongkah iman yang terpatri dalam nubari?Manusia sejatinya harus ‘kuat’, sebab manusia yang tak pernah bisa menjadi ‘kuat’ dalam situasi ‘kelam’ itu akan terkikis dari kegembiraan dan akhirnya terhempas dari prosesi kehidupan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar