Aku tak peduli seberapa bermartabatnya manusia itu, aku tak akan pernah peduli dengan seberapa hebatnya mereka menata moral mereka. Yang aku peduli adalah perlakuan mereka terhadapku. Kucatat dalam serat-seratku, kupahat dalam lekuk sekujur tubuhku akan semua hal yang mereka perbuat padaku. Mereka mencampakkanku di pojok sudut kota yang kumuh. Mungkin tak satupun dari manusia itu ingat bahwa aku ada di pojokan sana. Mereka menutup matanya, tenggelam dalam ritual jahat yang mereka anggap suci. Lihat saja, ludah, keringat, debu, berbaur membentuk sediman di air hujan terserap dalam serat tubuhku. Lantas matahari dengan bijak dan lembut akan mengambilnya kembali lembab dalam uap sambil menjanjikan tempat yang hangat bagi fungi berpesta di tubuh ini. Yang aku tahu, mereka harus membayar lunas semua ini!
Aku tak pernah berdecak kagum pada segala yang diperbuat oleh manusia. Mereka adalah bangsa yang munafik dan jahat. Aku membenci manusia, membenci semua kemunafikan dan kejahatan yang mereka anggap sebagai suatu kebaikan. Suatu saat mereka dapat merajut kata-kata yang manis, licin dengan lidah menari-nari mengajak yang lain tenggelam dalam larutan makna bagai magma yang meletup-letup, tapi disaat lain dibibir yang sama keluar jerat yang membentangkan maut. Lidah yang sama, lidah yang mengeluarkan manis madu menjadi lidah sepahit empedu. Mulut yang sama, mulut yang berteriak hosana menjadi pekikan maut. Mereka mengoral, menjilat pada yang lebih berkuasa. Kata dengan ribuan makna jahat menjadi semakin sarat, menggema dari bibir yang manjemuk dibanding dengan sebuah suara yang hening bersemayam dalam hati yang terdalam.
Aku tak pernah mengubris akan segala sesuatu yang diberi manusia. Mereka memberi kepingan emas sebagai silih atas dosa, tapi dari tangan yang sama mereka merampas hak sesama yang kecil. Mereka boleh membelai dan menepuk pundak orang yang mereka suka, tapi dari tangan yang sama mereka menusukan belati yang membiaskan nyawa. Mereka boleh saja menipu dengan senyum dan raut wajah yang segar, tapi tak seorangpun tahu bahwa hatinya merancang yang keji terkecuali ia dan Tuhannya.
Aku tak pernah menaruh hormat pada sebuah hati yang tersembunyi dalam rongga dada tiap manusia. Hati yang sejatinya mengalunkan kebaikan kehilangan tuts untuk menggemakan kidung kemanusiaan. Hati yang sejatinya mencatat dan mengingatkan akan kemurnian hidup telah kehabisan tinta untuk tetap bisa menggoreskan makna sejati dalam kefanaan hidup.
Aku bahkan tak mampu menguraikan kuasa apa yang dimiliki manusia hingga ia berhak untuk mendorong sesamanya pada maut, memahkotahinya dengan duri kematian. Tak pernah bisa masuk ke dalam neuron otakku untuk bisa mencerna kekuasaan seperti apa yang dimiliki manusia hingga mereka memperbolehkan Tubuh yang terkoyak cambuk dan hancur itu memikul tubuhku yang dipundakNya.
Aku tak akan pernah mempuyai waktu yang cukup untuk menghitung setiap goresan dan lubang di tubuhnya yang hancur. Aku tak pernah paham alasan apa hingga Tubuh ini tak pernah berontak, diantara pekikan, makian. Tubuh sedemikian kuat diantara cambuk, luka, peluh, darah, dan air mata.
Aku bertanya, berteriak, meronta, memberontak.Aku mendengar jelas ketika paku menembus tangan dan kaki Sang Tubuh, menancapkannya pada tubuhku. Aku mendengar sesayup, ‘Kini, Aku menyatu dalam tubuhmu, darahKu meresap dalam ronggamu. Lihat! kita telah memenangkan mereka. Mereka menembus ragaKu tapi tidak jiwaKu..”
Aku tak pernah berdecak kagum pada segala yang diperbuat oleh manusia. Mereka adalah bangsa yang munafik dan jahat. Aku membenci manusia, membenci semua kemunafikan dan kejahatan yang mereka anggap sebagai suatu kebaikan. Suatu saat mereka dapat merajut kata-kata yang manis, licin dengan lidah menari-nari mengajak yang lain tenggelam dalam larutan makna bagai magma yang meletup-letup, tapi disaat lain dibibir yang sama keluar jerat yang membentangkan maut. Lidah yang sama, lidah yang mengeluarkan manis madu menjadi lidah sepahit empedu. Mulut yang sama, mulut yang berteriak hosana menjadi pekikan maut. Mereka mengoral, menjilat pada yang lebih berkuasa. Kata dengan ribuan makna jahat menjadi semakin sarat, menggema dari bibir yang manjemuk dibanding dengan sebuah suara yang hening bersemayam dalam hati yang terdalam.
Aku tak pernah mengubris akan segala sesuatu yang diberi manusia. Mereka memberi kepingan emas sebagai silih atas dosa, tapi dari tangan yang sama mereka merampas hak sesama yang kecil. Mereka boleh membelai dan menepuk pundak orang yang mereka suka, tapi dari tangan yang sama mereka menusukan belati yang membiaskan nyawa. Mereka boleh saja menipu dengan senyum dan raut wajah yang segar, tapi tak seorangpun tahu bahwa hatinya merancang yang keji terkecuali ia dan Tuhannya.
Aku tak pernah menaruh hormat pada sebuah hati yang tersembunyi dalam rongga dada tiap manusia. Hati yang sejatinya mengalunkan kebaikan kehilangan tuts untuk menggemakan kidung kemanusiaan. Hati yang sejatinya mencatat dan mengingatkan akan kemurnian hidup telah kehabisan tinta untuk tetap bisa menggoreskan makna sejati dalam kefanaan hidup.
Aku bahkan tak mampu menguraikan kuasa apa yang dimiliki manusia hingga ia berhak untuk mendorong sesamanya pada maut, memahkotahinya dengan duri kematian. Tak pernah bisa masuk ke dalam neuron otakku untuk bisa mencerna kekuasaan seperti apa yang dimiliki manusia hingga mereka memperbolehkan Tubuh yang terkoyak cambuk dan hancur itu memikul tubuhku yang dipundakNya.
Aku tak akan pernah mempuyai waktu yang cukup untuk menghitung setiap goresan dan lubang di tubuhnya yang hancur. Aku tak pernah paham alasan apa hingga Tubuh ini tak pernah berontak, diantara pekikan, makian. Tubuh sedemikian kuat diantara cambuk, luka, peluh, darah, dan air mata.
Aku bertanya, berteriak, meronta, memberontak.Aku mendengar jelas ketika paku menembus tangan dan kaki Sang Tubuh, menancapkannya pada tubuhku. Aku mendengar sesayup, ‘Kini, Aku menyatu dalam tubuhmu, darahKu meresap dalam ronggamu. Lihat! kita telah memenangkan mereka. Mereka menembus ragaKu tapi tidak jiwaKu..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar