Ada yang lebih luas daripada sebuah samudra, yaitu cakrawala; dan ada yang lebih luas daripada sebuah cakrawala, yaitu sebuah ruang dalam jiwa. Kerap kali ruang jiwa terisi oleh dogma, ideologi, agama, atau paradigma sendiri hingga tak menyisakan ruang lagi bagi kemanusiaan dan belaskasihan.
Sungguh pedih menyimak perjalanan sebuah peradaban yang mengabarkan tentang kebengisan dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya demi suatu tatanan ideologi, paradigma, agama, kedudukan, solidaritas kelompok atau apapun yang ia yakini teguh dan membuatnya nyaman. Bisakah Anda bayangkan seorang pria menenteng kepala sesamanya yang ia penggal dengan bangga lantas menancapkannya dalam sebuah tiang besi dalam suatu konflik etnis yang terjadi di Kalimantan? Bisakah Anda membayangkan seseorang yang bangga ketika ia berhasil meledakan bom ketika sesamanya sedang tertunduk dalam doa sewaktu kerusuhan di Ibukota? Atau bisakah Anda membayangkan tempat ibadah yang hari ini masih berdiri lantas besok menjadi tiang arang dan hamparan abu? Penembakan para demonstran damai yang berjuang demi perbaikan, penyiksaan di kamp tahanan, suara para aktivis yang dibungkam, peniadaan hak dasar dan sederet panjang catatan kelam peradaban kemanusiaan.
Pada hakekatnya, manusia bukanlah makhluk yang bengis. Ia menjadi bengis ketika ia tidak bahagia, atau ia menganut sebuah ideologi. Bukankah suatu ideologi melawan ideologi yang lainnya? Bukankah sebuah sistem beradu dengan sistem yang lainnya? Dan agama yang satupun ikut serta melawan agama yang lain. Sedang manusia itu sendiri terhimpit diantara idelogi, sistem dan agama itu sendiri.
Barangkali orang-orang yang menyalibkan Nabi Isa bukan orang yang jahat bengis. Mungkin saja orang-orang itu dalam kehidupan mereka pribadi adalah sebagai ayah yang penyayang bagi istri dan anak-anaknya, atau seorang suami yang menaruh perhatian besar pada keluarganya. Mereka menjadi bengis ketika mempertahankan sistem, ideologi, atau agama.
Jika seandainya orang-orang yang beragama itu sedikit mendengarkan suara hati yang menggema perlahan dalam jiwanya dibanding ideologi yang kaku, maka sejatinya tak akan pernah ada pembantaian dan pembakaran bagi pengikut bidaah, tak perlu ada jutaan jiwa hilang lenyap ketika dilangsungkannya perang yang dianggap suci karena membela agama.Agama ibarat instrumen yang mengusahakan kita untuk melihat cahaya surgawi, karena agama membawa kita masuk dalam samudra yang amat luas. Tapi hati-hatilah! Berusahalah melihat, tetapi jangan sampai mati tenggelam.
Sungguh pedih menyimak perjalanan sebuah peradaban yang mengabarkan tentang kebengisan dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya demi suatu tatanan ideologi, paradigma, agama, kedudukan, solidaritas kelompok atau apapun yang ia yakini teguh dan membuatnya nyaman. Bisakah Anda bayangkan seorang pria menenteng kepala sesamanya yang ia penggal dengan bangga lantas menancapkannya dalam sebuah tiang besi dalam suatu konflik etnis yang terjadi di Kalimantan? Bisakah Anda membayangkan seseorang yang bangga ketika ia berhasil meledakan bom ketika sesamanya sedang tertunduk dalam doa sewaktu kerusuhan di Ibukota? Atau bisakah Anda membayangkan tempat ibadah yang hari ini masih berdiri lantas besok menjadi tiang arang dan hamparan abu? Penembakan para demonstran damai yang berjuang demi perbaikan, penyiksaan di kamp tahanan, suara para aktivis yang dibungkam, peniadaan hak dasar dan sederet panjang catatan kelam peradaban kemanusiaan.
Pada hakekatnya, manusia bukanlah makhluk yang bengis. Ia menjadi bengis ketika ia tidak bahagia, atau ia menganut sebuah ideologi. Bukankah suatu ideologi melawan ideologi yang lainnya? Bukankah sebuah sistem beradu dengan sistem yang lainnya? Dan agama yang satupun ikut serta melawan agama yang lain. Sedang manusia itu sendiri terhimpit diantara idelogi, sistem dan agama itu sendiri.
Barangkali orang-orang yang menyalibkan Nabi Isa bukan orang yang jahat bengis. Mungkin saja orang-orang itu dalam kehidupan mereka pribadi adalah sebagai ayah yang penyayang bagi istri dan anak-anaknya, atau seorang suami yang menaruh perhatian besar pada keluarganya. Mereka menjadi bengis ketika mempertahankan sistem, ideologi, atau agama.
Jika seandainya orang-orang yang beragama itu sedikit mendengarkan suara hati yang menggema perlahan dalam jiwanya dibanding ideologi yang kaku, maka sejatinya tak akan pernah ada pembantaian dan pembakaran bagi pengikut bidaah, tak perlu ada jutaan jiwa hilang lenyap ketika dilangsungkannya perang yang dianggap suci karena membela agama.Agama ibarat instrumen yang mengusahakan kita untuk melihat cahaya surgawi, karena agama membawa kita masuk dalam samudra yang amat luas. Tapi hati-hatilah! Berusahalah melihat, tetapi jangan sampai mati tenggelam.
1 komentar:
Selalu dalam kata-katamu Bro. Keren heheheheh. Menurut pendapat pribadiku memang kita harus meniru Nabi Isa yang memang "tidak beragama" dan tentunya hidup-Nya di dunia ini yang harus kita teladani. Dengan begitu dunia akan damai. hohohoho selalu bermimpi ya Bec...
Posting Komentar