Jumat, 29 Februari 2008

Carpe Diem

Di setiap pagi, ketika Matahari merona angkasa
Ketika setiap makhluk membuka mata menatap dunia.

Setiap rusa mempersiapkan diri dan harus berlari.
Ia harus berlari lebih cepat dari harimau yang tercepat.
Sebab jika tidak, maka ia akan dimangsa oleh pemangsa.
Dan berakhirlah harinya..

Sedang dipojok lain,
Setiap harimau mempersiapkan diri untuk berlari.
Ia harus berlari lebih cepat dari rusa yang paling lemah.
Sebab jika tidak, maka ia tak akan mendapat makanan hari itu.
Dan berakhirlah pula harinya ..

Tak penting menjadi rusa atau menjadi harimau,
Yang penting adalah:
Ketika fajar mulai bercahaya
Kau hanya perlu mempersiapkan harimu
Tangkaplah hari ini,
Berlari diantara impianmu

Carpe diem ..

Kamis, 28 Februari 2008

Metropolis Humanis

Manusia itu egosentris; ia berpikir bahwa “diri” adalah “aku”,
lalu membedakan dirinya dari orang lain,
dan membedakan dirinya dengan orang lain, sehingga ia sengsara.
Sebenarnya, manusia adalah satu dari unsur-unsur keagungan alam
.”
-Zen-

Suatu sore, saya dan beberapa teman mengerjakan tugas thesis di hall kampus yang berada dibilangan Senayan. Tentunya saya lebih suka memanjakan mata dibanding mengerutkan otak untuk membahas topik yang berat dan membuat gamang. Di antara suara celoteh teman-teman, mata ini memandang menembus dinding kaca. Di sana ada sebuah mall besar. Sebuah ruang yang besar dengan penyejuk ruangan yang nyaman. Listrik yang menghasilkan cahaya yang tak pernah padam. Warna-warni iklan dan gambar merona di setiap sudut. Di sepanjang lorong terpampang etalase bermeter-meter. Busaha dan boga saling silang menawar pikat.
Beberapa tahun lalu, kawasan ini tak pernah segemerlap sore ini. Rupanya zaman telah berubah dan kita pun turut berubah. Tempora motantur et nos mutamur in illis. Ya di setiap sudut di dunia ini juga berubah. Kenikmatan dan keparahan.
Saya menggeleng dan teman yang lain mereka-reka asal jawab ketika dosen bertanya tentang jumlah listrik yang diperlukan untuk menyalakan mesin penggoreng kentang dan Coca-Cola di Jepang. “Jumlahnya lebih besar dari pasokan listrik yang tersedia di Bangladesh”. Ha? Kami melongo, gamang. Antara percaya dan tidak dengan data yang disebutkan.
Betapa timpangnya negeri ini, betapa timpangnya dunia ini. Seandainya saya bisa menghitung jumlah listrik yang dihabiskan di mall di Jakarta, mungkin saya akan bisa menakar betapa timpangnya pasokan listrik di kabupaten pendalaman kalimantan dan papua. Jika pemadaman listrik di Jakarta sudah menuai protes, maka protes pemadaman listrik di Flores, Irian, Kalimantan dan beberapa daerah lain sudah banal.
Betapa timpangnya negeri ini, betapa timpangnya dunia ini. Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan kalangan miskin, tapi bumi yang dikuras adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi yang satu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa saja – termasuk mereka yang tak pernah minum Coca-Cola dalam mall, di sudut miskin di Kalimantan, Papua atau Bangladesh, orang-orang yang justru tak ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.
Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi ada pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan air laut yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutub mencair. Orang India, yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5 kW, akan mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang rata-rata menghabisi 11,4 kW.
Ketidakadilan dan ketimpangan dunia, adalah ketidakadilan dan ketimpangan yang melanda antar generasi pula. Mereka yang kini berumur di atas 50 tahun pasti telah lama menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali mereka tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami mereka yang kini berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi C02 yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika, Kanada, Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi anak cucu kita? Mungkin pada saat itu oksigen untuk bernafas sudah dikomersilkan.
Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. Dan istilah lebih layak adalah sesuatu yang kini dipertontonkan oleh mereka yang golongan ekonomi menengah keatas. Kini, satu miliar orang China dan satu miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin juga baju Polo Ralph Lauren dan parium Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak, benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang Cina dan India berangsur-angsur mencapai tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang selama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit kotor dan bumi retak.
Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan bumi ini bukanlah tempat yang nyaman lagi untuk dihuni.

Humanisme Berawal dari Diri
Planet bumi tak ubahnya semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Semua berputar dalam satu spiral yang sempurna. Namun, ketika sekelompok manusia mulai menginvestasikan kekayaan alam menjadi miliknya, disana keutuhan ciptaan terganggu, dan selalu ada manusia lain yang menjadi korban dari proses tersebut. Dunia yang bulat ini menjadi dunia yang terlipat. Kejadian di sudut yang lain akan berimbas ke sudut yang lain. Bumi yang kaya ini mampu memberi semua yang dibutuhkan manusia, tapi Bumi tak cukup kaya untuk memberi semua kebutuhkan seseorang. "The earth has enough for everyone's need, but not for anyone's greed" Mahatma Gandhi pernah mengucapkannya.
Menjadi humanis tak hanya terjadi ketika kita mau peduli kepada sesama dan lingkungan sebagai satu kesatuan ekosistem dimana kita berada, tapi terjun langsung dalam aksi nyata, dimulai dari lingkungan yang paling dekat dengan kita, dengan kemampuan yang ada. Bukankah dengan penghematan pemakaian energi, air, dan listrik adalah salah satu yang sederhana yang bisa dimulai dari pribadi? Setiap orang dipanggil turun dari altar keegoisan dan membagikan diri demi kemanusiaan itu sendiri. Bukankah kita menapakan kaki di Bumi yang sama dan menghirup udara dibawah lengkung cakrawala yang sama?

Sesayup ku dengar Josh Groban dalam The Prayer: “Kami rindu suatu dunia tanpa kekerasan, dunia dengan keadilan dan pengharapan, rindu agar setiap orang bersalaman dengan sesamanya tanpa perdamaian dan persaudaraan”. – sebuah wajah bumi yang hangat oleh persaudaraan, suatu harapan akan adanya musim semi bagi kemanusiaan.

Dan temanku membuyarkan lamunan di sore itu.
“Hoi, lu kerjain ye bab tiga .. lusa mesti kelar!”
Waks!”

Sogmono un mondo, senza piú violenza,
un mondo di guitizia et di speranza, Ognuno dia la mano, al suo vicino, simbolo di pace et di fraternita..

Selasa, 26 Februari 2008

Altar di Pasar

Yesus mengintip dibalik kaca sebuah rumah. DilihatNya sebuah kotak listrik berlayar datar sedang menyala. Di depannya terlihat sebuah keluarga sedang asik menonton. Rupanya kotak listrik berlayar datar itu sedang menampilkan seorang pemuka agama sedang berkhotbah. Setelah itu khotbahnya dihentikan dan diselingi dengan berbagai iklan. Dari obat batuk, obat panu, obat sakit perut, sabun colek pembersih sekaligus pewangi, sampai aneka bumbu dapur.
Yesus menjadi bingung. Dahulu Ia berkhotbah di bukit dan semua orang datang dan mendengarkan. Tak ada iklan, tak ada promosi. Kini, sekalipun orang datang ke gereja, berdesak dan main booking tempat duduk, belum tentu mendengar yang dikhotbahkan. Kalaupun mendengar, kata-kata itu akan hilang lenyap bersama lagu penutup yang dilantunkan.
Dahulu Yesus naik pitam dan mengusir pedagang burung merpati, kambing, dan mengobrak-abrik meja penukar uang di pelataran bait Allah. Tapi sekali lagi, itu dulu, kini Bait Allah dan pasar menjadi satu, di layar pipih itu semuanya lengkap tersaji dan tentu saja semuanya lebih apik dan rapi. Ada juga penjual kambing dan burung, tapi tak lagi berbau tak sedap. Ada juga bisnis penukar duit tapi terselubung dan lebih berbinar. Tak perlu berdesakan, sebab pasar ini masuk menyusup ke dalam ruang keluarga tanpa perlu permisi. Tak perlu juga bersitegang teriak, sebab pasar ini unik dengan volume suara yang bisa dinaikturunkan. Di depan layar kaca itu sebuah bujuk rayu dan transaksi terjadi tanpa pernah ada lagi pertemuan penjual dan pembeli.
Disadari atau tidak, teknologi sudah lebih penting dari hidup itu sendiri. Bahkan Injil dan kata-kata memotivasi bersaing dengan teks lain yang tak dibutuhkanpun bisa Anda dapatkan setiap pagi dalam bentuk SMS ke handphone pribadi. Adakah teknologi menggugah nubari untuk lebih membuka diri, lebih peduli dan membagi? Atau jangan-jangan teknologi hanya mempersempit dan mengeksklusifkan diri, terasing di lingkungan sendiri. Manusia yang menjadi arsitek dari perkembangan teknologi sekaligus menjadi korban teknologi, korban dari peradaban itu sendiri. Saat itu, mungkin perlu gereja berpindah ke pasar dan setiap pribadi menyediakan diri menjadi altar, dimana ruang untuk solidaritas dan pemikiran dipersembahkan kepada satu humanisasi yang tak pernah berhenti, kepada Sang Penyelenggara hidup yang penuh misteri.

Jumat, 22 Februari 2008

Paskah: Pengorbanan yang Terlupa

Hidup yang dibentangkan dalam harap adalah hidup yang menjelma dalam iman. Tapi bukan iman kepada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini adalah iman dalam kekurangan dan dalam butiran enigma yang tak henti-hentinya tertakar, dalam sabar dan sederhana, karna Tuhan adalah Tuhan yang Maha Besar – Allah yang transenden, yang tak dapat merasuk dalam jiwa manusia yang ringkih sekalipun penuh.
Harapan yang dulu menjelma menjadi Ishak, kini menyapa Abraham – ayahnya. Di Moria – bukit hening itu, Abraham menyerahkan kembali anaknya kepada Sang Pemutar Hidup. Dalam hening pekat, ia berkontemplasi. Namun, ada kekuatan menyembul, yang menghalau tanya: pada saat ini aku harus memilih yang satu, yang kucintai untuk memberi persembahan kepada yang lain yang juga kucintai, untuk dipersembahkan.
Harapan yang sama, melampaui dimensi waktu dan tempat kembali hadir. Di Kalvari – di Bukit Tengkorak itu, pekik cela lautan manusia terdengar sesayup kemudian tenggelam dalam hening bening batinNya. Kekuatan yang dialami Abraham kini menyapa kembali. Kekuatan menghalau ragu: bisakah Aku menerima TubuhKu diluluhlantakan dan dikorbankan? Mana yang harus Aku korbankan? Yang rapuh dan tak baka sebab akan hilang tiap saat, atau kepada yang kekal dan kuasa sebab aku akan hidup selama-lamanya di sana?
Bagaimanapun, berkorban dimulai dengan rasa getar, ada rasa cinta kasih dan ngeri, perpaduan antara amor dan horror. Keputusan Abraham mengorbankan anaknya, dan Kristus mengorbankan diriNya bukan berarti hilang lenyapnya cinta, eligi pengorbanan itu semakin paripurna karna cinta itu utuh. Pengorbanan itu tak lain adalah rekontruksi kekuatan harapan, suatu bentuk eliminasi keegoisan paradigma. Di sana, bayang-bayang Allah yang terajut abstrak menjadi nyata.
Paskah - Pessah. Momen itu kembali berulang. Menyadarkan kita dari keterpesonaan penyelamatan. Dibalik takjub takzim mendalam atas pengorbanan yang maha dasyat itu, Paskah kembali menghentakkan aksioma iman dalam aksi. Paskah kehilangan makna, tak lebih dari seogok historia manis, ketika manusia hanya memahat ego dalam nubari, tak lagi ruang untuk membagi dan berkorban.


Kamis, 14 Februari 2008

Maria Bunda


Ave Maria gratia plena,

Maria yang lemah lembut itu kini menjelma dalam wajah Maria-Maria zaman kini.

Maria, penjual pecel.
Maria, penjual jamu.
Maria, single parent.
Maria, yang sedang kuliah.
Maria, yang tak lagi mampu belanja.
Maria, yang menjual tubuhnya.
Maria, yang keriput.

Mencintai Maria bunda, adalah mencintai kehidupan,
dan berkata 'ya' atas rencana besar Illahi..

Communio


Komuni. Communion. Communio.

Perkumpulan, kesatuan, persekutuan, membagi diri.
Tampaknya, dalam rupa roti tawar tak berragi itulah Tuhan menjelma.

Tampaknya pula, dalam monstrans hati tiap insan, Tubuh itu di takthakan ..
Tampaknya perlu kerendahan hati mendalam untuk menyambut Tubuh.

Tampaknya pula perlu keheningan mendalam untuk mengerti kebersatuan dengan sang Illahi itu.

Tapi rupanya tak semua sadar.selalu ada saja yang lupa bahwa ada Allah dalam monstran hatinya - dan ia berusaha menjadi Tuhan atas sesamanya ..

Selasa, 05 Februari 2008

Resonansi Cinta Kasih


Bulan Februari menjelang, dan Dunia beramai-ramai menantikan Hari Valentine yang dirayakan setiap tangal 14. Di Indonesia, orang pun beramai-ramai menyambut gembira hari cinta kasih ini sekalipun tanpa pernah tahu mengapa harus merayakannya.
Sekalipun banyak menuai pro dan kontra, antara setuju dan tidak, Hari Valentine tetap memiliki pesonanya sendiri. Setidaknya Valentine menyisakan sebuah ruang mendengar sejenak indahnya resonansi akibat garputala cinta yang berbunyi.

Santo Perajut Cinta dalam Kegetiran
Tak ada yang pernah tahu bagaimana asal mula Hari Valentine ini berawal. banyak orang yang menghubungkan perayaan Valentine dengan Santo Valentinus, seorang imam Katolik yang menentang peraturan Kaisar Claudius II. Kaisar tersebut mengeluarkan perintah bahwa semua laki-laki yang belum menikah hendaknya menjadi tentara atau prajurit ketimbang hidup berkeluarga. Imam Valentinus bukannya tunduk pada aturan kaisar tersebut, ia malah menikahkan secara diam-diam pasangan muda-mudi di Roma bersama rekannya Santo Marius. Alhasil hidupnya berakhir di tangan algojo kaisar pada tahun 269. Lambat laun, Paus Gelasius pada tahun 496 menetapkan tanggal 14 Februari sebagai tanggal peringatan akan Santo Valentinus.
Namun, ada cerita lain bahwa Valentinus adalah seorang uskup di Terni (dekat Roma) yang hidup pada abad ke-4, ia suka membebaskan tawanan dari dalam penjara. Rupanya kebaikan hatinya membuat kaisar berang dan hidupnya berakhir keji di penjara.
Kisah kedua Valentine atau Valentinus tak sampai disitu. Sebab ada cerita ketiga, yaitu seorang pemuda yang dipenjara. Konon, ia jatuh cinta pada anak sipir penjara. Entah karena cinta atau iba, gadis ini selalu mengunjungi Valentinus. Menjelang kematiannya, Valentinus menulis sepucuk surat yang hangat dan indah dengan tulisan, “form your Valentine”. Kelak kata inilah yang sangat populer dan ditiru jutaan pasangan kekasih.
Rupanya, cerita tentang Pastor Valentinus (atau Santo Valentinus) versi Gereja Katolik sendiri ternyata sedikit membingungkan, karena ada yang menyatakan bahwa Valentinus adalah nama yang dipakai oleh tiga orang, yang kesemuanya adalah martir dan hidup antara abad ke-3 dan ke-4. Pesta nama ketiganya pun sama, yakni pada 14 Februari. Sebetulnya ada keraguan bahwa terdapat tiga orang bernama Valentinus, sebab ada pihak yang menengarai bahwa setidaknya dua di antara Valentinus itu adalah orang yang sama. Bahkan, ada yang menyatakan bahwa ketiganya adalah orang yang sama.

Valentine, Hangatnya Sebuah Legenda
Pertengahan Februari selalu membuka babak baru, dimana pucuk hijau dedaunan akan bermunculan tanpa berakhirnya musim dingin yang beku. Burung-burung dan hewan akan kembali bercengkrama setelah perjalanan dan istirahat panjang. Saat itu alam bersemi. Fenomena yang indah ini ditangkap oleh masyarakat Romawi kuno dengan merayakan hari yang dipersembahkan kepada Juno. Ia adalah ratu para dewa dewi Romawi. Rakyat Romawi juga menyebutnya sebagai dewi pernikahan. Di hari berikutnya, 15 Februari dimulailah perayaan 'Feast of Lupercalia'. Festival ini sendiri didedikasikan kepada dewa pertanian Roma, Faunus, juga kepada para pendiri Roma, Romulus dan Remus.
Pada masa itu, kehidupan belum seperti sekarang ini, para gadis dilarang berhubungan dengan para pria. Pada malam menjelang festival Lupercalia berlangsung, nama-nama para gadis ditulis di selembar kertas dan kemudian dimasukkan ke dalam gelas kaca. Nantinya para pria harus mengambil satu kertas yang berisikan nama seorang gadis yang akan menjadi teman kencannya di festival itu. Tak jarang, praktik kontak jodoh ini diakhiri dengan pernikahan.
Ketika Gereja Katolik mulai menyebarkan ajaran agama, termasuk memerangi ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan iman Katolik. Termasuk tradisi kontak jodoh melalui sistem lotere pun dinyatakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kristiani serta dianggap melanggar hukum. Adalah Paus Gelasius yang menggantikan festival kafir itu dengan perayaan Santo Valentinus, sebuah simbol Cinta Kasih yang manis.
Tapi bagaimanapun juga, Gereja tak mampu mengontrol semua legenda dan kepercayaan yang ajaib yang begitu pribadi dan rahasia. Misalnya, ada kepercayaan memetik sekuntum bungan dandelion yang tengah mengembang dan meniup putik-putik pada bunga tersebut, lalu hitunglah putik yang tersisa. Itu adalah jumlah anak yang akan anda miliki setelah menikah. Atau jika memotong sebuah apel pada tengahnya dan menghitung jumlah biji di dalamnya, ini juga bisa menunjukkan jumlah anak yang akan anda miliki setelah menikah. Atau keyakinan lain, bahwa meletakkan selembar daun salam di bawah bantal pada malam Hari Valentine, akan menuntun orang untuk melihat jodohnya melalui mimpi.

Valentine, tetaplah menjadi fenomena menarik. Sekalipun terselubung dengan misteri dan ketidakpastian tetapi bila dikaitkan dengan legenda-lengenda cinta kasih selalu memperdengarkan resonansi cinta kasih yang lembut. Kita semakin bertanya apakah zaman kini begitu kehilangan figur sang cinta kasih, simpati dan empati mendalam, serta seorang pejuang sejati sampai harus ada satu hari yang khusus dimana kita mencurahkan cinta kasih secara mati-matian? Tapi jika cinta kasih itu hanya sebatas antrean di toko untuk membeli boneka, kartu dengan kata-kata indah, coklat manis dan permen cantik perlambang cinta, mungkin harus bercermin. Mungkin kita tak lebih dari korban dari sebuah nilai ekonomis yang bernama cinta.

Simbiosis Mutualisma


Doaku:

Ya Tuhan ingatlah akan aku
Sebagaimana aku ingat akan Engkau.

Engkau tahu bahwa aku mencintaiMu

dan sebagaimana aku tau, Kau mencintaiku.
Bahwa aku membutuhkan Engkau
Sebagaimana Engkau membutuhkan aku.
Jika tidak ada Engkau, kepada siapa aku harus berdoa?
Dan jika tak ada aku, siapakah yang akan berdoa padaMu?

Sakramentalis Ciptaan


Semesta ini menyimpan keajaiban yang absolut. Ia bahkan memiliki semacam sistem kontrol penyeimbang yang memungkinkan Bumi ini memiliki lingkungan yang sesuai bagi makhluk yang berdiam diatasnya. Bumi pada dasarnya dapat menyembuhkan dirinya sendiri dengan dengan semua organ yang dimilikinya (tanah, hutan, samudra, atmosfir). Hipotesis yang telah menjadi teori Gaia dikenalkan oleh James Lovelock tiga dasawarsa silam dan dipandang serius dalam Deklarasi Amsterdam tahun 2001.
Namun, Semesta ini pula mengandung hukum baku tresendental, sebuah hukum yang belum tentu dapat ditangkap oleh intelegentia manusia. Inilah akibatnya jika manusia menggeruk perut bumi demi perutnya sendiri, Bumi ini dengan bijak akan memurnikannya sendiri. Manusia dapat berbuat apa saja terhadap Bumi ini, namun secara a fortiori Bumi ini juga bisa berbuat hal yang sama.
Nah, ketika bencana demi bencana berkunjung silih berganti, maka ada yang salah dengan sikap manusia terhadap alam semesta ini. Pertanyaan yang terbersit mungkin apakah yang salah? Apa pula yang harus saya lakukan?

Kitab Suci dibuka dengan kata-kata yang luar biasa meriah ini: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej 1:1). Pengakuan iman Kristen mengambil kata-kata ini sebagai credo akan Allah, Bapa yang Maha Kuasa, Pencipta langit dan bumi, segala yang kelihatan maupun segala sesuatu yang tak kelihatan. Kalimat ini pula menorehkan secara tajam bahwa Allah sendiri yang menciptakan alam semesta secara bebas, langsung dan tanpa bantuan apapun. Sehingga segala ciptaanNya, termasuk manusia tidak mempunyai kekuasaan tanpa batas untuk meniadakan atau menghilangkan sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah, Sang Pemilik Semesta.
Selanjutnya, Allah berfirman: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:26-28).
Kalimat diatas mempunyai beberapa benang merah yang penting. Pertama, manusia adalah gambaran Allah, citra Allah. Dari segala ciptaanNya yang kelihatan, hanya manusia itu “mampu mengenal dan mencintai Penciptanya” (Gaudium et Spes 12.3) hanya dialah yang dipanggil, supaya dalam pengertian cinta mengambil bagian dalam kehidupan Allah (GS 24.3). Manusia diciptakan untuk tujuan ini, dan itulah dasar utama bagi martabatnya. Kedua, manusia ditugasi untuk menjaga alam raya sebagai salah satu cara pengabdian kepada Pencipta. “Engkau menjadikan manusia seturut gambaranMu, Engkau menyerahkan kepadanya tugas mengenai alam raya, agar dengan demikian dapat mengabdi kepadaMu, satu-satunya Pencipta” (bdk. Doa Syukur Agung IV).
Hubungan baik manusia dan Allah terbukti bahwa Allah menempatkan manusia dalam ‘kebun’. Ia hidup didalamnya “utuk mengusahakan dan memelihara” taman itu (Kej 2:15). Tentulah kerjaan ini bukanlah kerja paksa, melainkan kerjasama dengan Allah demi penyempurnaan ciptaanNya.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang luar biasa istimewa. Manusia dianugrahi oleh Tuhan bumi ini beserta dengan isinya untuk dimiliki dan dan digunakan. “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej 2:15). Jelaslah bahwa setiap manusia tanpa kecuali memiliki anugrah untuk memiliki bumi, mengusahakan alam ini dan beserta isinya, namun berbarengan dengan itu masing-masing memikul tanggung jawab yang sama dalam memelihara dan melestarikan alam ini. Manusia diijinkan memanfaatkan alam untuk kebutuhkannya tapi manusia sama sekali tidak berhak untuk berbuat anarki terhadap alam, dengan merusaknya.
Mungkin ini adalah salah satu langkah kecil/ framework yang bisa kita gunakan (dikemukakan oleh Christian Environmentalists) untuk semakin menghormati alam:
1. Kesadaran (melihat, identifikasi, menamakan, alokasi)
2. Apresiasi (mentoleransi, menghormati, memberi nilai, menghargai)
3. Pelayanan (menggunakan, memulihkan, melayani, menjaga, mempercayakan)
St. Bonaventura mengikuti pengalaman St. Fransiskus megembangkan suatu teologi yang disebut Sakramentalitas Ciptaan, yakni, jejak-jejak Kristus dalam dunia ciptaan. Dunia dihuni oleh yang kudus. Semua makhluk ciptaan adalah suatu tanda dan pewahyuan Pencipta yang meninggalkan jejak-Nya di mana-mana. Merusak dengan sengaja ciptaan berarti merusak gambar Kristus yang hadir dalam segenap ciptaan. Kristus menderita tidak saja ketika manusia mengabaikan hak-haknya dan dieksploitasi tetapi juga ketika laut, sungai dan hutan dirusakkan. Ketika ciptaan diakui sebagai sakramen, yang menyatakan dan membawa kita kepada Allah, maka relasi kita dengan orang lain juga ditantang untuk beralih dari dominasi dan kuasa ke rasa hormat dan takzim.
Dokumen Kepausan yang secara khusus berbicara tentang lingkungan dan masalah-masalah pembangunan berjudul, “Berdamai dengan Allah Pencipta, berdamai dengan segenap ciptaan” (1 Januari 1990) menegaskan bahwa setiap orang Kristen mesti menyadari bahwa tugas mereka terhadap alam dan ciptaan merupakan bagian esensial dari iman mereka (no.15).
Allah sang pemilik dunia tidak saja mendesak kita untuk memperhatikan keadilan sosial, yakni relasi yang baik antara masyarakat, tetapi juga keadilan ekologis, yang berarti relasi yang baik antara manusia dengan ciptaan lainnya dan dengan bumi sendiri. Sekarang ciptaan diakui sebagai satu komunitas makhluk ciptaan dalam kaitan relasi dengan yang lain dan dengan Allah Tritunggal. Keutuhan ciptaan adalah bagian esensial dari semua tradisi iman dan merupakan hal penting karena dengannya dialog, kerja sama dan saling pengertian dapat dibangun.Menjaga lingkungan hidup berarti ajakan untuk memperhatikan semua ciptaan dan untuk menjamin kegiatan manusia, sambil mengolah alam, manusia tidak merusak keseimbangan dinamika yang ada di antara semua makhluk hidup yang bergantung pada tanah, udara dan air bagi keberadaannya. Isyu lingkungan hidup telah menjadi inti pemikiran sosial, politik dan ekonomi karena degradasi yang seringkali menyebabkan penderitaan kelompok miskin dari masyarakat. Resiko akibat perubahan iklim dan bertambahnya bencana alam mendorong untuk mempersoalkan kembali keyakinan masyarakat modern. Berkembangnya gap antara kaya dan miskin tidak boleh membuat orang acuh tak acuh dan mencegah penggunaan berlebihan sumber-sumber alam dan mencegah percepatan hilangnya spesies-spesies (Cardinal Fracis Xavier Nguyen Van Thuan, Presiden Dewan Pontifikal untuk Keadilan dan Perdamaian).

Jumat, 01 Februari 2008

Lilin Kecil


Atas nama gelap semesta,
Purnama merona di angkasa
Atas nama malam,
Bintang gemerlap di cakrawala


Di sudut bumi,
Lilin itu berbinar bercahaya
Bukan atas nama siapa dan apa.
Ia hanya bangga menjadi pelita
Saat bulan tak lagi merona angkasa
Saat bintang tak lagi gemerlap di cakrawala

Tapi ..
Lilin meredup
Bukan semata-mata karena angin bersahaja
Ia hanya tak sanggup
Menerima kerdip api yang membara dalam dirinya
Di pojok malam.