Jumat, 22 Februari 2008

Paskah: Pengorbanan yang Terlupa

Hidup yang dibentangkan dalam harap adalah hidup yang menjelma dalam iman. Tapi bukan iman kepada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini adalah iman dalam kekurangan dan dalam butiran enigma yang tak henti-hentinya tertakar, dalam sabar dan sederhana, karna Tuhan adalah Tuhan yang Maha Besar – Allah yang transenden, yang tak dapat merasuk dalam jiwa manusia yang ringkih sekalipun penuh.
Harapan yang dulu menjelma menjadi Ishak, kini menyapa Abraham – ayahnya. Di Moria – bukit hening itu, Abraham menyerahkan kembali anaknya kepada Sang Pemutar Hidup. Dalam hening pekat, ia berkontemplasi. Namun, ada kekuatan menyembul, yang menghalau tanya: pada saat ini aku harus memilih yang satu, yang kucintai untuk memberi persembahan kepada yang lain yang juga kucintai, untuk dipersembahkan.
Harapan yang sama, melampaui dimensi waktu dan tempat kembali hadir. Di Kalvari – di Bukit Tengkorak itu, pekik cela lautan manusia terdengar sesayup kemudian tenggelam dalam hening bening batinNya. Kekuatan yang dialami Abraham kini menyapa kembali. Kekuatan menghalau ragu: bisakah Aku menerima TubuhKu diluluhlantakan dan dikorbankan? Mana yang harus Aku korbankan? Yang rapuh dan tak baka sebab akan hilang tiap saat, atau kepada yang kekal dan kuasa sebab aku akan hidup selama-lamanya di sana?
Bagaimanapun, berkorban dimulai dengan rasa getar, ada rasa cinta kasih dan ngeri, perpaduan antara amor dan horror. Keputusan Abraham mengorbankan anaknya, dan Kristus mengorbankan diriNya bukan berarti hilang lenyapnya cinta, eligi pengorbanan itu semakin paripurna karna cinta itu utuh. Pengorbanan itu tak lain adalah rekontruksi kekuatan harapan, suatu bentuk eliminasi keegoisan paradigma. Di sana, bayang-bayang Allah yang terajut abstrak menjadi nyata.
Paskah - Pessah. Momen itu kembali berulang. Menyadarkan kita dari keterpesonaan penyelamatan. Dibalik takjub takzim mendalam atas pengorbanan yang maha dasyat itu, Paskah kembali menghentakkan aksioma iman dalam aksi. Paskah kehilangan makna, tak lebih dari seogok historia manis, ketika manusia hanya memahat ego dalam nubari, tak lagi ruang untuk membagi dan berkorban.


Tidak ada komentar: