Sabtu, 28 November 2009

Alexander VI


Cardinal Rodrigo Borgia memang tak dikenal luas. Tahun 1492 dalam usia 61 ia menjadi Paus mengambil nama Alexander. Upacara penobatannya meriah. Roma menyaksikan dengan penuh kegembiraan barisan panjang kuda putih, 700 pastor dan kardinal berpakaian warna warni, deretan ksatria dan pasukan panah, parade permadani dan lukisan.
Sayangnya Gereja sebegitu bobrok, zaman itu penuh dengan zinah, kuasa, uang, nepotisme, jual beli jabatan, perang, pembunuhan, moralitas campur baur, dan Alexander tak ambil pusing dengan hal itu.
Satu abad sebelum Paus Alexander ini di tabhiskan di Roma, di Nusantara ini, tepatnya di Majapahit dengan Raja Rajasanagara dengan segala kejayaannya. Ia menjadikan negaranya dalam keadaan tentram, adil damai, dan segala panen berlimpah ruah.
Namun, berabad-abad kemudian, disini dan di saat ini. Kembali kita berputar di pusaran segepok masalah yang sama ..
Barangkali grafik selalu fluktuatif dan kita tak pernah sebijak dan se-luar biasa bila dibandingkan dengan kisah-kisah masyur dahulu.

Yehonala


Tak ada yang mampu merintangi jalannya halilintar! barangkali juga tak ada yang mampu merintangi sebuah hasrat besar yang timbul dari sebuah hati. Mungkin di sana segala jalan ditebarkan termasuk korupsi yang licik itu.
Yehonala paham benar hasrat yang muncul dalam hatinya yang kecil.
Ia lahir dari keluarga yang sederhana sekalipun ayahnya seorang gubenur di suatu propinsi di kerajaan China abad awal 19. Mengawali kisahnya dengan sangat menyedihkan, menghantarkan peti mati ayahnya ke Beijing dengan menyewa jasa beberapa pengangkut peti mati. Karena kelamaan karena kurang biaya, berbulan-bulan peti terlantar itu sudah menebarkan bau dan berselimutkan lalat.
Nasib selalu bermain diantara manusia yang berani mengambil resiko. Bermodalkan keturunan Manchuria, ia ikut dalam kontes pemilihan permaisuri raja. Ia terpilih menjadi permaisuri tingkat empat dari Kaisar Hsien Feng.
Kisahnya tak sampai di klimaks tersebut, ia menyogok kasim dengan emas yang paling berharga hanya untuk bisa bermalam di kamar kaisar semalam.
Dan kisah pendek ini lah yang menjadikan dirinya sebagai ibu kaisar di kemudian hari. Ia menjadi janda di udia 26 dan ia menutup usia ketika lanjut usia, ia menghantarkan kekaisaran pada batas yg paling ujung. Ia menjadi ibu kaisar untuk beberapa kaisar, berperang melawan perang candu, meminimalisir kekuasaan dunia barat yang terus menggempur beberapa bagian China.
Kisahnya adalah sebuah kisah yang berani mendobrak tradisi. Selir kaisar yang isinya 3000 orang atau bahkan permaisuri dalam sejarah tak pernah mampu mendobrak tradisi kekaisaran. Zaman itu, perempuan adalah pajangan kering tanpa obsesi. Perempuan berlomba melahirkan keturunan Sang Naga tapi tanpa pernah tahu mengontrol sebuah negara yang besar. Perempuan hanya menyulam dan berdandan, tanpa pernah ada hasrat lagi untuk dunia politik dan sastra.
Sekali lagi, barangkali hasrat yang membuat Yehonala demikian hidup dalam kisah sekalipun waktu telah meninggalkannya ratusan tahun lamanya.

2012



Artikel ini tentulah bukan mempromosi film 2012, sebab tanpa di promosi di blog ini film yang diliris di Hollywood ini sudah laris seiring pop corn yang dijual sebagai cemilan. Ya, cemilan ketika kita melihat sebuah film kiamat.
2012 awalnya adalah sebuah angka, namun sejanak setelah itu merebak menjadi sebuah momentum. Sebab ada moment besar di balik angka tersebut; ada kematian massal, kehidupan dunia yang dalam hitungan saat lintang pukang, manusia kocar kasir, dan dunia hancur lebur.
Ada tsunami setinggi gunung Himalaya. Ada lubang menganga di bumi. Ada gunung menjadi datar. Ada api yang membuat horizon menjadi merah. Adegan tersebut hanya dalam pikiran manusia. Dan manusia membuat imaji menjadi nyata. Di atas layar lebar itu imaji tuah ruah dengan warna, dan berselang penuh suara.
Namun, bagaimanapun 2012 adalah imaji yang tertuang. Tak akan ada, dan mungkin tak akan pernah ada yang tau persis kapan moment itu akan ada dan tiada.
Barangkali sejam lagi, barangkali malam ini, mungkin besok, lusa, tahun depan, 5 tahun lagi, 10 tahun lagi .. 2012? 2020? 2200?
Barangkali yang lebih pasti, bahwa setiap makhluk hidup, tanpa ada kecuali, sedang perjalan menuju moment itu. Sebuah keabadian!

Sabtu, 24 Oktober 2009

Faith



Faith is the bird that feels the light
and sings when the dawn is still dark.

Jumat, 23 Oktober 2009

Rajam


Ini adalah sebuah adegan dalam sebuah cuplikan kitab suci yang berupa deret aksara:
Yesus hanya membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jari-jarinya di tanah. Dan ketika ”pemimpin Yahudi itu terus-menerus bertanya,” demikian menurut Yohanes, Yesus pun berdiri. Ia berkata, ”Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Yesus membungkuk lagi dan menulis di tanah.

Dan kita pun tahu kahir dari sepenggal adegan di pagi pucat di depan pelataran Bait Allah itu:
Suasana mendadak senyap. Tak ada yang bertindak. Tak seorang pun siap melemparkan batu, memulai rajam itu. Bahkan ”satu demi satu orang-orang itu pergi, didahului oleh yang tertua.” Akhirnya di sana tinggal Yesus dan perempuan yang dituduh pezina itu, kepada siapa ia berkata: ”Aku pun tak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

Tak ada satupun dari kita yang pernah tahu apa yang dituliskan oleh Yesus di atas tanah berpasir itu. Barangkali itu sebuah isyarat bahwa tak ada yang bisa di kekalkan, selalu ada elemen yang tidak tetap sekalipun dibentuk diatas bumi ini, memang akan selalu melintas makna, tapi ada yang niscaya berubah atau hilang dari makna itu.
Di pelataran Bait itu, Yesus memang tampak tak menampik ketentuan Taurat. Ia tak meniadakan sanksi rajam itu. Tapi secara radikal ia ubah hukum jadi sebuah unsur dalam pengalaman, jadi satu bagian dari hidup orang per orang di sebuah saat di sebuah tempat. Hukum tak lagi dituliskan untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ketika Yesus berbicara ”barangsiapa di antara kamu yang tak berdosa”, hukum serta-merta bersentuhan dengan ”siapa”, bukan ”apa”—dengan jiwa, hasrat, ingatan tiap orang yang hadir di pelataran Bait di pagi itu.

Di pelataran itu Yesus membungkuk, membisu, hanya mengguratkan jarinya.
Ketika ia berdiri, ia berkata ke arah orang banyak. Suara yang teduh tenang; “..yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu..”
Dan khalayak pun undur diri, satu per satu.

Domba yang Hilang



Mata senja masih buta
pagi yang kusebut telat atau buram mataku
Akankah Kau datang seperti lembut telapak tangan
yang tertulis indah dengan tinta abadi di dasar hati

Dengan kasut Kau mencariku
menapak terjal berbatu berdarah-darah
melepas pandang sendu ke semua lelah

Lirih berkata aku anak domba yang hilang
rerumputan gersang yang memang tak panjang
aku tak bertanya apakah aku terpandang olehMu
tapi sedikit tanda apakah Engkau yang mencariku

Kadang buluku tak seputih salju
jarang mengembik seperti ibu
juga tak bertanduk seperti bapakku

Jika mentari memaksaku berpesta di padang
aku berkeliling saja
Rumput mana yang akan kukunyah
Hingga tertinggal di setapak resah

Sisip tanya
aku akan mencari domba hilang dari hatiku
di pesisir sungai bening
saat langit cerah dan burung-burung berkicau lincah

Mungkin dedaunan berkata jujur

Pada Sebuah Nama



Nama ternyata tak hanya jadi penanda. Nama bukan hanya dibuat dan dikonstruksi. Ia juga mengkonstruksi. Nama mengukuhkan sebuah identitas.
Tapi nama tak seluruhnya lahir dari niat membuat konsep. Orang tak cuma menyebut nama dengan sebuah definisi. Nama bukan indeks yang abstrak.
Label itu jadi nama, ketika yang menyandangnya hidup, bergerak, menampakkan emosi, berperilaku manusia. Nama menyarankan adanya personifikasi, seperti ia menghadirkan sebuah imaji di kepala kita, menimbulkan semangat atau rasa gentar, gugup atau harap harap cemas.
Itulah kenapa aku memberi nama motorku, Benedict!

Sabda Rumput



Sebab aku hijau
dan sabdaku terang menjauhi nyanyian cintamu
di tepi bukit
sebab kau terlalu kabut
terlalu kebut
maka aku merekat angin dan angin,
angan dan angan

semua bintang memasang lampu
semua bulan menjadi ratu

pilihanmu hanya tanah?

o langit gembala langit bahana
kepada birumu aku menyembah
kepada birumu aku menyembah

Rabu, 02 September 2009

Apa Kabar Sahabat?



Aurora dan pelangi tak lagi berwarna-warni, kini memutih luntur seperti baju yang di rendam air
bercampur pemutih pakaian. Cakrawala tak lagi bercerita tentang dongeng pengantar sebelum tidur. Di sudut kaca jendela itu hanya ada semburat cahaya jingga gagah tertawa, yang berujar bening kepada tiap insan:
“apa kabar sahabat?”

kata-kata



Kata-kata dalam kepalaku, bermainlah di pucuk-pucuk daun teh, di sebaris-baris embun yang bertengger, memusingi wadah dan riak benak, bergulung-gulunglah bersama mega, riang rialah bersama rintik hujan.
Kerap yang damai itu buyar, yang tenteram itu hilang, yang senandung sudah usai, tapi hati masih menyimpan sepotong bulan untuk menyepuh lantai-lantai jiwa ini dengan hangat lembut.

Tanah Air



Barangkali kosakata tanah air bukanlah sebuah memoria dan harapan yang menyangkut raga: harum padi yang mengembang, rasa rempah yang menggetarkan lidah, suling gendang yang mendayu-dayu, peluh yang membasahi kemeja dan menguap bersama bayu, lagu ibu yang sejuk, batuk kakek, dan cerita-cerita kanak yang berjejak dalam kesadaran. Atau barangkali bukan juga harapan: rumah kelak akan dibangun, anak-anak akan beres bersekolah, karier akan dicapai, dan sebagainya.
Barangkali kosakata tanah air bukanlah sebuah geografi yang sederhana; sebuah tempat adalah bagian dari wilayah musuh atau wilayah diri. Tak ada yang lain.
Mungkin sebuah kosakata tanah air mempunyai definisi yang terlalu menggelembung: sebuah bagian dari sebuah ego, sepotong bagian dari hidup fana dan profan, di sebuah masa, di sebuah tempat, dan tak pernah bisa ditiadakan dengan hukum dan senjata!

Jahitkan Aku Bendera, Bu



Jahitkan aku bendera, bu
yang merahnya tak terlalu merah
karena bila aku berladang
lalu kain merah ternoda hitamnya tanah dari aritku
Jahitkan aku bendera, bu
yang putihnya tak terlalu putih
karena bila aku menukang
lalu kain putih ternoda legamnya paku yang aku palu

Atau barangkali perlukah aku menjadi tiangnya saja, bu
Hanya sekedar memastikan bahwa merah putihku berkibar?

Jumat, 31 Juli 2009

Cemas?


… anak adalah sumber kecemasan berabad-abad. Atau barangkali lebih tepat: anak adalah tempat seorang tua menggantungkan kecemasan-kecemasannya sendiri …

Indonesiaku


… barangkali mencintai tanah air, adalah merasa jadi bagian dari sebuah negeri, merasa terpaut dengan sebuah komunitas, merasa bahwa diri, identitas, nasib, terajut rapat.
Mencintai sebuah tanah air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, mencintai, berkarya dan terutama untuk mati..
adakah rasa itu sedemikian lekat dalamku?

Harap


Film Brazil Terry Gilliam, horor dan komedi saling silang, tindih menindih. Adegan dimulai dengan sebuah etalase dan iklan televisi yang menawarkan pipa penghangat ruang. Seorang perempuan lewat dan sejenak, sebelum sebuah bom meledak. Tapi tak ada jerit. Tak ada sirene.
Barangkali, kita belum menginjakan anak tangga menuju dunia komedi gelap karya Terry Gilliam, di mana horor dan yang sehari-hari membentuk sebuah dunia yang ganjil. Tapi agaknya para teroris akan mulai terbentur pada pertanyaan: apakah yang mereka lakukan sebenarnya—sebuah pertunjukan teror untuk teror? Sebuah pameran kepiawaian menghilangkan jejak, merancang operasi di tengah kesulitan, dan tak lebih dari itu?
Saya kira tak lebih dari itu. Dan ketika pertunjukan buas yang kehilangan tujuan itu berhadapan dengan sesuatu yang lebih berharga—sebuah harapan, kita tahu siapa yang akan menang. Sebuah harap untuk kedamaian.

Lapar vs Kenyang


… di dunia yang penuh sesak dan penuh orang lapar, seorang yang kekenyangan berarti merenggutkan nyawa yang lain …

Ayam dan Mentari


Apakah mentari terbit karena ayam telah berkokok? Ataukah ayam berkokok karena mentari telah terbit?
Bukankah kita semua tahu bahwa mentari selalu terbit ada atau tiadanya ayam berkokok?

Kamis, 25 Juni 2009

Di Depan Belukar


Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Siapa yang menuntut kepastian penuh dari sejarah akan mendustai diri sendiri. Selalu ada saat untuk bertindak dan memihak – juga ketika kita menolak untuk bertindak dan memihak.
Tapi pada saat yang sama juga ada saat untuk berdiri agak menjauh. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan penyesalan, tapi selamanya dengan kesetiaan: di dunia yang berdosa, pilihan kita bisa salah, tapi tugas tak henti-hentinya memanggil dan politik selamanya meminta. Kita mungkin gagal. Meski demikian, tetap ada yang berharga yang kita perkelahikan

Mungkin Belum Senja


Pada senja yang rapuh. lirih Kau bersuara:
Selamat datang senjaKu..
Aku terisak, sedikit dalam dan berkata:
padahal Kau bilang cita tak seperti senja, selalu redup dan temaram:
lalu, kenapa Kau menuju lingkar mentari merepih diri?
Pada bangku itu, aku teringat
Berdua merantai rembulan agar tak beringsut menjadi pagi
merajutnya menjadi mimpi dengan asa yang koyak
Pada coklat warna yang sama pula, aku terkenang
Sedikit masa yang kita punyai; luruhkan harap yang tergenang
Dan, aku di sini sekarang pada deret bangku yang sama
dalam katedral semestaMu..

Kamis, 21 Mei 2009

Peluh


Pada rentang benang yang kesekian,
tanahmu akan Kubasuh penuh seluruh
dengan peluh yang menjelma hujan.

Agar kau tahu
dalam setiap derai tangis yang pecah
masih ada AKU
yang berdiri di atas pejammu.

Rabu, 20 Mei 2009

Surat untuk Tuhan


Tuhan,
Apakah Engkau sudah menerima sebuah surat
yang telah kutitipkan lewat MalaikatMu?

dalam sujud mendalam,
aku merindukan balasanMu.

Mimpi


Kini kau tuang lagi
bejana mimpi pada suatu pagi
tumpah ruah, merembes dan memercik
pada embun segar termakna..

Lalu pada malam yang mana
kau menjelma menjadi takbir ilusi
saat remah bentang berserak tercecer
di hati bening hadir
nadir..

Agama: Tuhan dan setan


"Kenapa Engkau mengusir Setan dari surgaMu, Tuhan?"
"Sebab ia tidak mau bersujud kepada Adam, ciptaanKu"

"Kenapa kau tak mau bersujud kepada Adan, hei Setan?"
"Sebab aku tak mau bersujud kepada selain kepada Tuhanku"

lalu mulailah saat itu agama terbentuk ..
ada yang menyembah Tuhan,
ada pula yang memuji setan

Adam Hawa


Adakah kita lebih setia dari Adam?
Menyusul Hawa meninggalkan Firdaus menuju ke bumi,
Hanya karena tak mau sendirian di surga?

Adakah kita lebih birahi daripada Adam?
Yang tak bisa sendiri tanpa seorang perempuan,
walau itu berada di surga?

Lalu, adakah suara sebegitu indah dalam benak dan imanmu?
Bukankah Adam telah memilih meninggalkan surga,
Hanya untuk seorang Hawa?

Senin, 04 Mei 2009

Hujan


Aku selalu senang berjalan dibawah hujan,
sebab bersamanya ku sembunyikan air mataku.

Sabtu, 25 April 2009

Milikmulah April


Seperti kepak sayap burung terbang
Megah di selasar bintang,
Camar menjelajah riang
di ufuk lintang di barat menjelang.

Waktu berlabuh tenang; menunggumu ria di gerbang April.
Ku harap saat itu, ku tak temukan engkau sebagai jingga petang di kesumba raya, dalam tiap detik menit.
Yang duduk menatap membatu dalam cakrawala yang bertepi.
Sungguh, engkau pelukis, engkau penulis masa dan kisah.

Yang dengan noktah senyum berpendar, beredar.
Laksana beribu kunang, hingga malamku tak lagi gulita.
Dalamnya, ku temukan ada.


Selamat Ulang Tahun IS 26042009

Susu Ibu


"Katakan padaku, Guru. Unsur apakah yang paling mengendap dalam tubuhku ini?"
"Susu ibumu ..."

"Lalu?"
"Susu ibumu ..."

"lalu? unsur apa lagi?"
"Susu ibumu .."

"Cuma itu?"
"Setelah itu baru susu yang dibeli bapakmu".

Jumat, 03 April 2009

Death is Sitting by Your Side


Aku duduk di depan komputer dan mulai membuka facebook, memeriksa tiap email yang masuk, dan sekedar menyapa para sahabat via yahoo messenger. Paling tidak tiga menit berlalu.
Pada waktu yang bersamaan itu, pada wilayah statistik menuliskan: di bumi yang biru ini setidaknya ada 300 orang meningal dunia dan 620 menatap dunia untuk pertama kali. Jika aku menghabiskan tiga puluh menit di dengan aktivitasku depan komputer, di sekitarku telah menutup usia 3.000 orang dan telah 6.200 insan kecil menghirup pertama kali udara dunia ini.

Angka memang memberi makna. Lalu aku berpikir: bahwa aku telah mengambil bagian dari kelahiran dalam sepotong waktu di masa silam itu, dan waktu itu akan menghantarkan aku kembali dalam moment yang tak pernah aku tahu namun pasti.
Jika kematian adalah pasti, jangan-jangan aku terlalu takut untuk hidup dan mempersiapkan “hidup” itu sendiri – sekedar menghibur diri untuk mengelakan dari ketidakkekekalan itu sendiri.

Angka memang memberi makna, dan ku mulai memahami:
“Death is always sitting by your side so that, when you need to do something important, it will give you the strength and the courage that you need”

Prayer


Lord,
Protect our doubts, because doubt is a way of praying. It is doubt that makes us grow because it force us to look fearlessly of the many answer that exist to one question and in order for this to be possible.
Lord,
Protect our decision, because making decision is a way of praying. Give us the courage, after our doubt, to be able to choose between one road and another, may our YES always be YES, and our NO always be a NO, once we have chosen our road, may we never look back nor allow our soul to be eaten away by remorse and in order for this to be possible.
Lord,
Protect our actions, because action is a way of praying. May our daily bread be the result of the very best that we carry within us. May we, through work and action, share a little or the love we receive and in order for this to be possible.
Lord,
Protect our dream, because to dream is a way of praying. Make sure that, regardless of our age or our circumstances we are capable of keeping alight in our heart the scared flame of hope and perseverance and in order for this to be possible.
Lord,
Give us enthusiasm, because enthusiasm is a way f our praying. This is what bind us to the Heaven and to Earth, to grown ups, and to children; it is what tell us that our reaffirms to us that everything is possible, as long as we are totally committed to what we are doing and in order for this to be possible.
Lord,
Protect us because life is the only way we have of making manifest Your Miracle. May the earth continue to transform seed into wheat, may we continue to transform wheat into bread. Ad this is only possible if we have love, therefore do not leave us in solitude. Always give us Your company, and company us who have doubt, who act and dream and feel enthusiasm, and who live each day as if it were totally dedicated to Your glory.
Amen.

Pat Pong


Malam hari di Pat Pong Road di kawasan Silom – Bangkok adalah kawasan yang hidup dengan lorong-lorong yang penuh dengan suara dan cahaya. Dan tiap orang membawa ekspresinya yang berbeda. Ada yang acuh tak acuh, ada yang menatap tapi tak ada yag terkejut.
Disana, para pelacur - berjejar dengan wajah setengah gelisah dan senyum palsu - berderet. Bar, toko video, pizza, iklan bir, teater homoseksual, dan hotel sekedarnya berdesak dan saling silang.
Bangkok tidak mengutuk, mungkin kota ini tidak menutuk karena banyak kelasi dari berbagai bangsa singgah disini untuk sekedar berdiri ditengah pikuk malam, atau sekedar memenuhi nafsunya di bandar ini.

Tak jauh dari kawasan itu, berdiri sebuah candi Hua Lampong dan sebuah Gereja Christ Church. Lembaga pemerintahan dan agama tak mampu mengelakan warganya dari dosa dan tidak. Mungkin pada akhirnya kita setuju bahwa dunia “sekular” dan dunia “religius” selalu saling menyisip, saling tindih.
Sebuah dunia yang Suci hanya bisa dikeluhkan ketika kita membandingkannya dengan sebuah kota Tuhan.

Passio Iesu


Goethe: Kita tutupi dengan cadar penderitaan Kristus, semata-mata karena kita menghormatiNya sebegitu dalam ...
Kalimat ini mungkin ada benarnya, lukisan-lukisan sengsara Kristus selalu dilukiskan dengan enigmatik yang suram namun agung. Namun, Mel Gibson degan The Passion of The Christ menerobos pernyataan tersebut.

Tahun 2004, ia mencabik-cabik cadar itu – dengan menampilkan Golgota yang penuh dengan percikan darah, serpihan daging yang berceceran dimana-mana setelah Sang Tubuh dengan tiada henti dibawah sinar matahari. The Passion of Christ terlalu menggelembungkan yang dianggap relevan.
Barangkali film ini menunjukkan apa yang paling relevan dalam cerita Passio Iesu: bukan cinta kasih yang total dan mendalam, tapi siksa gemas dan tubuh yang hancur kesakitan.

Smile After Cry


Because it has lived its life intensely
The parched grass still attracts the gaze of passers-by
The flowers merely lower,
And they do this as well as they can.
The water lily, blooming unseen in the valley,
Does not need to explain itself to anyone;
It lives merely for beauty.
However, can not accept that ‘merely’

If tomatoes wanted to be melons,
They would look completely ridiculous.
I am always amazed
That so many people are concerned
With wanting to be what they are not
What’s the point of making yourself look ridiculous?

You don’t always have to pretend to be strong,
There’s no need to prove all the time that everything is going well,
You shouldn’t be concerned about what other people are thinking
Cry if you need to,
It’s good to cry out all your tears
Because only then will you be able to smile again
(Matsuo Aida)

Selasa, 24 Maret 2009

Silentio


ketika engkau dalam kandungan, engkau diam dan hening. kemudian engkau lahir dan bicara, bicara, bicara sampai hari engkau terbaring dalam kuburan. Saat itulah engkau akan diam dan hening lagi.

tangkaplah keheningan yang ada dalam kandungan, dan yang akan ada dalam kuburan, yang bahkan sekarang mendasari interval bunyi yang disebut hidup

keheningan itulah esensi dirimu yang paling dalam.

Dich zu lieben


Du kannst Gott hassen, du kannst Gott schimpfen.
Du kannst Gott tot schlagen, du kannst Gott verfluchen.
Aber Du kannst ihn nicht hindern, Dich zu suchen und Dich zu lieben!


(Anda dapat membenci Tuhan, Anda dapat memaki nista Tuhan. Anda dapat memukul Tuhan sampai mati, dan Anda dapat mengutuk Tuhan. tetapi Anda tidak dapat menghindarkan Ia untuk mencari dan mencintai Anda!)

Ada dan Tiada


Harapan hanya selangkah di depan dari rasa tahu manusia, atau jangan-jangan harap dimulai dari sikap yang tak mengeluh dan protes pada batas.
Makin manusia tahu tentang alam semesta yang raya ini, maka makin tampak mengecil lazuari biru ini dan manusia semakin tampak terpencil dan tersisih. Bumi ini seakan hanya titik biru yang cepat memudar dan hilang dengan cepat.
Tapi pada saat yang bersamaan, diantara ambang yang praktis terabaikan itu, ada dan tiada bukanlah suatu hal yan luar biasa. Hidup yang dirayakan terasa begitu dekat dengan horison “ada” dan garis “ketiadaan”
Di situ, iman termaktub dan harap terajut.

Yang Indah


Tiap pensil selalu menjadi isyarat bahwa ada yang lain dari sebuah kesempurnaan. Maka ia menulis puisi dan prosa, membawakan nyanyian, membentuk garis, merembeskan warna, mengundang Yang Indah singgah, walau Yang Indah itu bukan puisi, lagu, dan warna.

My Own Way


Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;

Then took the other, as just as fair
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that, the passing there
Had worn them really about the same,

And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.

I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
two roads diverged in a wood, and I --
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.

Minggu, 22 Februari 2009

Kontemplasi


Aku berdiri di pojok sebuah toko buku, dengan buku berisi gambar pariwisata di Jepang berada di gengamanku.
Di suatu lembar, tergambar pohon sakura yang mekar pekat dengan latar patung Budha yang maha besar. Di tangga menuju patung itu berjejar biksu dalam kekhusukan yg dalam.
Aku membayangkan mereka berdiri ditengah hutan dan kesunyian, patung dan puing, kabut dan hujan.
Bukankah suatu hal yang menakjubkan? Tidakkah mereka tengah bersatu dengan waktu yang tak gampang diukur yang dihamparkan ke khalayak ramai? Suatu waktu yang dalam, yang ekstasis, yang maha dasyat. Sebab ketika saat itu sang subjek raib, tak lagi berdaulat.
Hidup ini tak ada yang permanen, tak ada subjek yang sama. Eksitensi hidup selalu mengalir, selalu mengulang hal yang sama; kelahiran, kematian, tapi tak akan ada moment yang lahir dan terjadi kembali.
Mungkin mereka yang komtemplatif akan tersenyum; memandang hutan adalah sebuah kesunyian yang dalam, patung adalah puing, dan hujan seperti kabut.

Nasi Lemak Seringgit Lima Puluh Sen


Kisah ini terjadi di suatu pagi yang bangun terlalu dini, di jantung kota Kuala Lumpur yang mulai berdegup tepatnya di seberang menara kembar Petronas yang berdiri dengan mata setengah terpejam.
Mobil van dengan pintu setengah terbuka memang mudah ditemui disepanjang jalan ini. Memanfaatkan donat tiga biji seharga seringgit dan nase lemak seharga dua sen pun cukup menjerat nafsu eksekutif muda yang bekerja di kawasan itu. Mereka tak memiliki ijin dagang, apalagi bayar pajak, sebab itu jam operasi cukup singkat, dan apabila ada pihak berwajib mereka Cuma perlu menutup pintu van dan cabut.

“Nase lemak, nase lemak, seringgit lima puluh sen sahaja..”
Kalimat yang biasa terdengar ketika melewati mobil dengan pintu setengah terbuka itu. Tapi suara dibalik mobil ini terdengar tak asing ..
“Nase lemak, nak beli nase lemak dek? ..” berbahasa Melayu berlogat Jawa.

“Mbak asal Jawa ya?” tanyaku.
“Aduh piye toh mas, wong saya ini orang Melayu sini kok. Swerrr deh” jawab penjual setengah kaget setengah kikuk tak mampu menyembunyikan logat Jawa yang medog itu.

“Oh. Oh Oke..” setengah kaget..
“Nak tapao nase lemak satu sahaja, tak payah pake plastik beg. Itu sambal sikit sahaja, boleh kan?”

“Seringgit lima puluh sen..”

“Ma kaseh..”

Bahasa memang bolong, tapi keringkihan bahasa menyimpan indentitas yang kuat. Mungkin tak perlu bagi mbak ataupun makcik itu berkata lantang: Aku orang Jawa atau Aku orang Kelantan, tapi ia sudah berkata dengan sandi yang tak termanai itu.
Aku melahap dengan senyum, satu pertanyaan pun terkembang:
“Ini nase lemak atau nasi uduk?”

Peradaban dan Kebiadaban


Pembunuhan adalah materialisme yang menipu diri dan ganas. Ia meletakan jasmani sebagai suatu dasar yang harus dihancurkan, yang tanpa disadari pada saat yang bersamaan ia memuskahkan sesuatu yang berarti, yang beragam, yang hakiki dan yang berharga dari sebuah jasmani.
Kakek saya dibunuh oleh penjajah Jepang yang menduduki kota kami, ditahun yang bersamaan dengan kelahiran ayahandaku. Ayahku memang tak pernah tahu bagaimana wajah dan suara kakek, kecuali memandangnya dari selembar foto hitam putih yang pernah digantungkan di dinding ruang keluarga.

Dari nenekku, aku mendengar bahwa banyak laki-laki yang menentang dan dianggap membahayakan penjajah akan dihilangkan. Mereka akan dijemput dengan truk besar dan dibawa ke kawasan Mandor – Kalimantan Barat, dan sesampainya di lokasi, tawanan akan dipaksa menggali lubang yang besar dan dalam. Setelahnya, tawanan akan berdiri berjejar di tepi lubang itu, dan butiran timah panas menerobos raga mereka tanpa ampun.

Sore itu..
Tawanan itu paham, bahwa ia menggali kubur bagi mereka sendiri.
Istri dan anak-anak yang ditinggalkan juga paham, bahwa moment mereka dijemput oleh penjajah adalah momen terakhir mereka beratap muka, mengingat nama..
Dan barangkali serdadu pun tahu, bahwa ia menjalankan anarki, memusnahkan jasmani sebagai pembuktian kekalahan mendalam terhadap martabat hakiki manusia.
Tentu saja, kisah peradaban selalu terselip kisah kebiadaban, selalu ada darah anyir yang membasahi bumi pertiwi.

SMU


Keabadian dan ketiadaan berbaur dengan tinta yang ditorehkan pada kertas polos pada saat ulangan berlangsung. Saat itu tiap pribadi menuliskan masa depannya sekaligus merayakan keabadian persahabatannya.
Terlepas dari angka yang dicoretkan dengan tinta dari tangan sang guru, pelajar itu telah belajar satu hal tentang memiliki, tentang berbagi, tentang menerima, tentang memberi.
Mungkin bagi mereka yang paham, dibalik seragam, NEM dan STTB, dan iuran bulanan, lembaga pendidikan tak hanya mengajarkan sebuah angka – tapi sebuah cinta yang menari.

**special thanks to Inneke for provide an amazing memorable picture.

Tukang Becak


Aku adalah tukang becak. Aku tahu benar jalan mana yang aman untuk ku lalui, aku paham benar jalan pintas mana yang bisa kulalui hingga tujuan lebih cepat dituju.
Tapi kejadian pagi itu telah merubah hidupku.
Seorang calon penumpang berdiri di tepi jalan dan melambaikan tanganNya padaku. Setelah ku sangupi untuk menghantarNya, ia segera naik dan becakpun kembali ku kayuh. Awalnya Ia kami mengobrol biasa, tentang nasib para tukang becak, tentang pekerjaan sehari-hari dan sebagainya.

“Boleh Saya kayuh becakmu ini?” tiba-tiba saja kalimat ini terlontar dariNya.

Memang membingungkan, tapi itulah yang terjadi. Aku si penarik becak jadi penumpang dan Ia yang sebenarnya penumpang malah menjadi penarik becak. Ia yang kini mengendalikan becak itu. Akupun menjadi lebih lega karena kini aku hanya duduk dan melihat ke kiri dan kanan.
Awalnya memang menyenangkan, tapi kemudian Ia membawa ku ke jarang berbatu tajam dan curam.
“Woi Bang! Jangan lewat jalan yang ini, bahaya! Puter balik! Puter balik! Mending loe lewat jalan yang sebelah noh” teriakku kaget.
“Tenanglah, ada Gue ini” jawabNya.
Dan benar saja, sekalipun takut dan capek terantuk-antuk dalam becak, toh pada akhirnya kami bisa melewatinya.

Bosan pun menjangkit.
“Woi Bang! Loe mao nganterin gue kemana sech! Bisa-bisa seharian gue cuma nganterin elo, kagak ada duit masuk donk?” aku mulai cemas dan bingung.
“Tenanglah, ada Gue ini” jawabNya.
Lalu ia membawaku melewati orang-orang yang memberiku keperlukan yang kubutuhkan. Becakku penuh.
“Nanti kalau ketemu orang di jalan dan ia butuh barang-barang ini, berikan kepada mereka. Jika tidak becak ini terlalu berat” kataNya.
Dan memang itu yang terjadi, aku bertemu orang-orang yang membutuhkan, dan ku mencoba berbagi dengan barang yang ku dapat. Ada senang yang terpercik, ada riang yang merembes.
Dan aku pun lagi memikirkan kebutuhanku.

Sore itu, di tepi sungai, ketika mentari mulai padam, aku makhum bahwa Penumpang tadi sebetulnya telah mengubah hidupku, telah mengubah cara pandangku.

Sabtu, 07 Februari 2009

Seed of Faith



The smallest seed of faith is better than the largest fruit of happiness.
أصغر البذور الإيمان خير من الفاكهة أكبر من السعادة.

(Hendry David Thoreau)

Heaven is on Earth



Dance as though no one is watching you.
Love as though you have never been hurt before.
Sing as though no one can hear you.
Live as though heaven is on earth.

地球上的天堂

Sabtu, 17 Januari 2009

A Cup of Life


For everything there is a season,
And a time for every matter under heaven:
A time to be born, and a time to die;
A time to plant, and a time to pluck up what is planted;
A time to kill, and a time to heal;
A time to break down, and a time to build up;
A time to weep, and a time to laugh;
A time to mourn, and a time to dance;
A time to throw away stones, and a time to gather stones together;
A time to embrace, And a time to refrain from embracing;
A time to seek, and a time to lose;
A time to keep, and a time to throw away;
A time to tear, and a time to sew;
A time to keep silence, and a time to speak;
A time to love, and a time to hate,
A time for war, and a time for peace.

All Men are Created Equal


“All men are created equal; that they are endowed by their Creator with certain unalienable right; that among these are life, liberty, and the persuit of happiness”
(Thomas Jefferson – Declaration of Independence)

人は皆平等に作成されます

Presiden Abraham Lincoln menutup usia karena timah panas ketika ia berusaha menghapus berbudakan dan mengupayakan perdamaian Perang Sipil Amerika - 1865.
John Lennon ditembak penggemarnya sendiri, karena mengkritik peran AS dalam Perang Vietnam – 1980.
Michael Luther King Jr ditembak ketika ia berdiri di Balkon Lorraine Motel guna memperjuangkan hak pekerja kebersihan kulit hitam di Memphis, Tennessee – 1968.

Perjalanan sebuah peradaban kemanusiaan adalah perjalan yang lelah dengan wajah yang sendu. Selalu ada energi yang mendorong ke arah yang lebih baik, tapi selalu ada manusia yang dikorbankan pada waktu yang bersamaan.
Peradaban yang gilang gemilang tak pernah akan ada tanpa ruang yang menakutan, penuh benci dan aniaya, tanpa pengakuan dan kematian yang begitu dekat dengan kehidupan.
Atau barangkali kita pun makhum bahwa ketika orang menggugat untuk peradaban yang lebih baik, selalu ada timah panas yang menerjang jiwa.

Fear none of those things which thou shalt suffer: be thou faithful unto death, and I will give thee a crown of life!

Home of Love - 充满爱的家


Pekerjaan orang kuat,
Mencintai itu keputusan
Di rumahku ada surga,
Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kehilangan lain dalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah.

Dengan tinta pekat, Chairil Anwar mengoreskan kata-kata ini di tahun 1943. Ia menulis tentang rumahnya yang disebut sebagai taman. Taman hati. Taman yang memberi hidup. Sempit memang tapi cinta membuatya merasa lapang dalam dadanya.
Bagi Chairil jelas bahwa rahasia jiwa yang diciptakan cinta: membuatnya mampu bertahan memikul beban hidup, melintasi aral kehidupan, melampaui gelombang peristiwa, sambil tetap merasa nyaman dan teduh. Cinta menciptakan kenyamanan yang bekerja menyerap semua emosi negatif masuk ke dalam serat-serat jiwa melalui himpitan peristiwa kehidupan. Luka-luka emosi yang kita alami di sepanjang jalan kehidupan ini hanya mungkin dirawat di sana: dalam rumah cinta.
Di sisi yang lain, tampaknya ada yang terselip. Suatu kata “keputusan”. Barangkali kata ini yang menjadi kunci dari karya tulisannya itu. Bukankah momen itu hanya akan terjadi ketika manusia berani ‘memutuskan’ untuk mencintai?
Dan konsekuensi dari mencintai adalah memberi.

Mary Carolyn Davies menulis dengan gejolak emosi yang manis tapi ampuh:
“Sederhana saja. Karena hakikat cinta selamanya hanya satu: memberi. Pemberian jiwa itu menghidupkan kekuatan kebajikan yang sering tertidur dalam jiwa manusia. Seperti pohon: pada mulanya ia menyerap matahari dan air, untuk kemudian mengeluarkan semua kebajikan yang ada dalam dirinya …”

Jumat, 16 Januari 2009

Hauff Guk~


Tok ..tok ..tok ... bunyi sms masuk di handphone ku.
“Sayang sudah maam siang? Di sini hujan terus nih. Beberapa tempat malah sudah banjir. Oh ya tadi ada lelaki berteduh di depan rumah. Dia kehujanan. Kasian deh”

Kubalas singkat;
“Sudah maam nasi lemak tadi. Jika blom maam, maam dulu gih, tar maag lagi. Di sini cuaca cerah Yank. Hati2 dengan orang baru”
Lima menit kemudian sms masuk lagi;
“Sudah maam kok Yang walau cuma nyemil biskuit. Malah ada biskuit yang ku bagi ke lelaki di depan rumah. Kasian kayaknya kelaparan dan kedinginan”

Kubalas lagi;
U r Little angel. But promise me, stelah hujan reda suruh lelaki itu pergi ya”
Tiga menit sms masuk;
“oke Yank. Jangan cemburu gitu donk”

Keesokan hari,
Ku iseng sms; “Pagi. Lagi apa Yank? Semoga harimu cerah”
Dibalas, “Hi sayank. Lagi nonton tv. Walau langit di luar jendela mendung, di dalam sini cerah sih. Yank, lelaki yang kemarin datang lagi”

Jengkel. Tak hujan kok datang lagi.
Ku balas; “lha gak hujan gak badai napa tuh cowok datang mulu. Ngapain dia di luar rumah?”
Dibales: “Kasian Yank, kayaknya dia gak punya rumah. Jadi ku suruh dia masuk. Sekarang kami nonton bareng. Gak kenapa2 kan Yank?”

What?!! Nonton bareng??
Ku balas: “Suruh dia keluar sekarang!!! Kau tak tahu bahaya ibukota??!!”
“Tapi dia lembut dan tak membahayakan kok. Yank pasti suka kalo liat dia”

What?!! Membujuk aku suka ama lelaki yang entah dari mana dan mendapat paspor masuk rumah dan nonton bersama??

ku putuskan untuk bicara langsung,
“hallo yank ...” suara dari seberang.
“emm, operin HP ini ke lelaki itu, aku mao bicara”
“ha? Bagaimana bisa? Dia pemalu dan ..”
“Operin!!..” bentakku sebelum kekasihku menyelesaikan kalimatnya.

Hening ... tampaknya kekasihku shock, belum pernah aku membentak dirinya.
“Baiklah ..”
“Aku tak peduli siapa kamu! Tak peduli alasanmu! Keluar kamu dari rumah kekasihku! Sekarang!!” bentakku meradang.

.. hening ..
Gukk ... Guk ..”

Rupanya lelaki itu tak lebih dari seekor anjing jantan.
Aku tertipu.

Kamis, 08 Januari 2009

Pinch of Destiny


Tanggal 20 Agustus 1902, Kartini muda menggoreskan pena diatas kertas, demikian yang ditulisnya: “Di mana kebahagiaan sejati? Tak jauh, tapi sukar menemukan jalan ke sana, kita tak bisa berangkat dengan trem, dengan kuda dan perahu, dan tak ada emas yang dapat membayar bea perjalanan itu. Jalan itu susah ditemukan, dan kita harus membayar ongkosnya dengan air mata dan darah di jantung serta meditasi. Di mana jalan itu? Dia ada dalam diri kita sendiri ...”
Ada yang klise dalam paragraf itu, tapi bagi Kartini, Tuhan bukanlah jalan lempang dan terang yang dibangun oleh akal budi melulu. Jalan itu tak henti-hentinya harus dicari kembali oleh masing-masing diri. Dalam perspektif ini, Tuhan bukanlah hanya keniscayaan dari dorongan etis, Sang Otoritas Moral, yang menjadi acuan nilai-nilai universal. Tuhan adalah pengalaman batin yang unik bagi setiap saat, setiap tempat, dan setiap manusia.
Pengalaman batin yang luar biasa ini kerap disebut: the individual pinch of
destiny.

Di akhir hidupnya, ia menulis demikian:
“Sebuah kerja harus dilakukan, seraya Tuhan sudah rapi tersimpan dalam iman, sebuah iman yang dapat dipergunakan bagai sebuah peta ...”

The City of God


Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa takut dan kasih yang mendalam, perpaduan antara amor dan horror. Tapi yang kini terlihat adalah suatu sejarah yang menyebabkan agama berakhir dengan rapi: design dan bangunan.
Berabad-abad kita tak lagi menemukan dan mengungkapkan Tuhan yang senyap. Dihadapkan kita terbujur mesjid yang agung, gereja yang gigantris, kenisah yang megah, patung Budha dari emas yang terbaring, pagoda dengan pucuk berkilau – dan umat berdesak, makhum dan kikuk.
Tampaknya pengalaman akan Allah dinyatakan dalam monumen yang kukuh – yang mungkin sebetulnya adalah sebuah fantasi akan yang kekal.
Di atas sana, mungkin Ia memandang dengan prihatin dan tersenyum renyah.