Minggu, 22 Februari 2009

Nasi Lemak Seringgit Lima Puluh Sen


Kisah ini terjadi di suatu pagi yang bangun terlalu dini, di jantung kota Kuala Lumpur yang mulai berdegup tepatnya di seberang menara kembar Petronas yang berdiri dengan mata setengah terpejam.
Mobil van dengan pintu setengah terbuka memang mudah ditemui disepanjang jalan ini. Memanfaatkan donat tiga biji seharga seringgit dan nase lemak seharga dua sen pun cukup menjerat nafsu eksekutif muda yang bekerja di kawasan itu. Mereka tak memiliki ijin dagang, apalagi bayar pajak, sebab itu jam operasi cukup singkat, dan apabila ada pihak berwajib mereka Cuma perlu menutup pintu van dan cabut.

“Nase lemak, nase lemak, seringgit lima puluh sen sahaja..”
Kalimat yang biasa terdengar ketika melewati mobil dengan pintu setengah terbuka itu. Tapi suara dibalik mobil ini terdengar tak asing ..
“Nase lemak, nak beli nase lemak dek? ..” berbahasa Melayu berlogat Jawa.

“Mbak asal Jawa ya?” tanyaku.
“Aduh piye toh mas, wong saya ini orang Melayu sini kok. Swerrr deh” jawab penjual setengah kaget setengah kikuk tak mampu menyembunyikan logat Jawa yang medog itu.

“Oh. Oh Oke..” setengah kaget..
“Nak tapao nase lemak satu sahaja, tak payah pake plastik beg. Itu sambal sikit sahaja, boleh kan?”

“Seringgit lima puluh sen..”

“Ma kaseh..”

Bahasa memang bolong, tapi keringkihan bahasa menyimpan indentitas yang kuat. Mungkin tak perlu bagi mbak ataupun makcik itu berkata lantang: Aku orang Jawa atau Aku orang Kelantan, tapi ia sudah berkata dengan sandi yang tak termanai itu.
Aku melahap dengan senyum, satu pertanyaan pun terkembang:
“Ini nase lemak atau nasi uduk?”

Tidak ada komentar: