Sabtu, 24 Oktober 2009
Jumat, 23 Oktober 2009
Rajam
Ini adalah sebuah adegan dalam sebuah cuplikan kitab suci yang berupa deret aksara:
Yesus hanya membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jari-jarinya di tanah. Dan ketika ”pemimpin Yahudi itu terus-menerus bertanya,” demikian menurut Yohanes, Yesus pun berdiri. Ia berkata, ”Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Yesus membungkuk lagi dan menulis di tanah.
Dan kita pun tahu kahir dari sepenggal adegan di pagi pucat di depan pelataran Bait Allah itu:
Suasana mendadak senyap. Tak ada yang bertindak. Tak seorang pun siap melemparkan batu, memulai rajam itu. Bahkan ”satu demi satu orang-orang itu pergi, didahului oleh yang tertua.” Akhirnya di sana tinggal Yesus dan perempuan yang dituduh pezina itu, kepada siapa ia berkata: ”Aku pun tak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Tak ada satupun dari kita yang pernah tahu apa yang dituliskan oleh Yesus di atas tanah berpasir itu. Barangkali itu sebuah isyarat bahwa tak ada yang bisa di kekalkan, selalu ada elemen yang tidak tetap sekalipun dibentuk diatas bumi ini, memang akan selalu melintas makna, tapi ada yang niscaya berubah atau hilang dari makna itu.
Di pelataran Bait itu, Yesus memang tampak tak menampik ketentuan Taurat. Ia tak meniadakan sanksi rajam itu. Tapi secara radikal ia ubah hukum jadi sebuah unsur dalam pengalaman, jadi satu bagian dari hidup orang per orang di sebuah saat di sebuah tempat. Hukum tak lagi dituliskan untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ketika Yesus berbicara ”barangsiapa di antara kamu yang tak berdosa”, hukum serta-merta bersentuhan dengan ”siapa”, bukan ”apa”—dengan jiwa, hasrat, ingatan tiap orang yang hadir di pelataran Bait di pagi itu.
Di pelataran itu Yesus membungkuk, membisu, hanya mengguratkan jarinya.
Ketika ia berdiri, ia berkata ke arah orang banyak. Suara yang teduh tenang; “..yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu..”
Dan khalayak pun undur diri, satu per satu.
Domba yang Hilang
Mata senja masih buta
pagi yang kusebut telat atau buram mataku
Akankah Kau datang seperti lembut telapak tangan
yang tertulis indah dengan tinta abadi di dasar hati
Dengan kasut Kau mencariku
menapak terjal berbatu berdarah-darah
melepas pandang sendu ke semua lelah
Lirih berkata aku anak domba yang hilang
rerumputan gersang yang memang tak panjang
aku tak bertanya apakah aku terpandang olehMu
tapi sedikit tanda apakah Engkau yang mencariku
Kadang buluku tak seputih salju
jarang mengembik seperti ibu
juga tak bertanduk seperti bapakku
Jika mentari memaksaku berpesta di padang
aku berkeliling saja
Rumput mana yang akan kukunyah
Hingga tertinggal di setapak resah
Sisip tanya
aku akan mencari domba hilang dari hatiku
di pesisir sungai bening
saat langit cerah dan burung-burung berkicau lincah
Mungkin dedaunan berkata jujur
Pada Sebuah Nama
Nama ternyata tak hanya jadi penanda. Nama bukan hanya dibuat dan dikonstruksi. Ia juga mengkonstruksi. Nama mengukuhkan sebuah identitas.
Tapi nama tak seluruhnya lahir dari niat membuat konsep. Orang tak cuma menyebut nama dengan sebuah definisi. Nama bukan indeks yang abstrak.
Label itu jadi nama, ketika yang menyandangnya hidup, bergerak, menampakkan emosi, berperilaku manusia. Nama menyarankan adanya personifikasi, seperti ia menghadirkan sebuah imaji di kepala kita, menimbulkan semangat atau rasa gentar, gugup atau harap harap cemas.
Itulah kenapa aku memberi nama motorku, Benedict!
Sabda Rumput
Sebab aku hijau
dan sabdaku terang menjauhi nyanyian cintamu
di tepi bukit
sebab kau terlalu kabut
terlalu kebut
maka aku merekat angin dan angin,
angan dan angan
semua bintang memasang lampu
semua bulan menjadi ratu
pilihanmu hanya tanah?
o langit gembala langit bahana
kepada birumu aku menyembah
kepada birumu aku menyembah
Langganan:
Postingan (Atom)