Minggu, 02 November 2008

Kisah Bambu


Dalam sebuah kemarau panjang.
Pemilik kebun menghampiri bambu di sudut halaman.
“aku membutuhkanmu”
“dengan senang hati, tuan”
“aku akan menjadikanmu pengantara”
“apa yang bisa ku lakukan untuk itu?”
“aku akan memotongmu. Membersihkan daunmu. Membuang sendi-sendimu”
“tidak! Itu terlalu menyakitkan”
“jika kau tidak bersedia, maka lambat laun semua akan kering dan mati”
“tapi itu tidak adil. Kenapa harus aku?”
“sebab hanya engkau yang mampu. Maukah engkau melihat semua kering dan mati?”
“tentu saja tidak mau!”
“lalu? Bagaimana?”
“baiklah. Jadikan aku seturut kehendakmu”

Bambu tersebut dipotong, dibersihkan daun-daunnya, dibuang juga segala sekat dan sendinya. Lalu bambu tersebut diletakan diantara mata air dan lahan itu. Dan air yang mengalir melewatinya lambat laun membuat taman itu kembali segar. Hijau. Bestari.

Kita bisa memilih menjadi bambu dipojok tanah kering, atau menjadi bambu yang menjadi sarana? Konsekuensinya jelas bahwa menjadi sarana selalu ada yang ‘dipotong’ dan ‘dibersihkan’.

Tidak ada komentar: