Selasa, 30 November 2010

Pelangi di Bumi Khatulistiwa



Ngangau ka Petara Aki, Petara Ini.
Agi ga aku minta gerai, minta nyamai,
Minta gayu, minta guru!


Aku memanggil Engkau ya Allah nenek moyang kami.
Aku mohon kesehatan dan kedamaian,
panjang umur dan kebijaksanaan


Barangkali Indonesia sudah mulai berangsur-angsur melupakan peristiwa kerusuhan antar etnis yang terjadi lebih dari satu dasawarsa lalu di Sambas, Kalimantan Barat, medio Februari 1999. Namun tidak demikian dengan Marsuah, seorang perempuan berumur separuh baya tersebut masih merekam jelas peristiwa tersebut dalam benaknya.
Marsuah memang berhasil selamat dan bertahan hidup, walaupun peristiwa tersebut telah merenggut delapan anggota keluarganya termasuk Niram, suaminya, yang menjadi korban keganasan dari manusia yang kehilangan akal sehat. Dalam pelarian ia harus membesarkan anak-anaknya, memilih menjanda dan terus bertahan sebagai single parent pasca konflik sosial tersebut.
Marsuah sebetulnya adalah seorang petani biasa, yang kesehariannya berkebun, dan merawat sapi tetangga. Ia sekeluarga tinggal di Desa Sengawang, Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas, sebelum peristiwa itu datang dan menyisipkan sebuah kehilangan dan ruang yang kosong dalam dirinya. Ia bahkan tidak tahu menahu kenapa konflik personal yang kecil itu kemudian bergolak menjadi sebuah konflik etnis yang besar. Yang ia ketahui adalah bahwa ketika ia memilih melarikan diri bersama kelima anaknya dan bersembunyi di hutan, momen itu adalah sekaligus perjumpaan terakhir dengan keluarga dan saudaranya.
Pasca kerusuhan, Marsuah bekerja apa saja untuk menghidupi anak-anaknya. Mulai dari kerja upahan, mengangkut papa, pipa air, hingga mencari rumput untuk makanan sapi. Semua yang dilakukannya agar anak-anaknya bisa tumbuh dewasa.
Marsuah memang bukan seorang diri, Ia mengungsi atau terpaksa melarikan diri dari rumahnya bersama pengungsi lainnya yang berjumlah 53.948 jiwa atau 9.913 kepala keluarga (KK). Lebih dari satu tahun mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian dengan fasilitas yang sangat terbatas. Pemerintah kemudian melakukan relokasi ke Tebang Kacang. Sebuah desa yang jaraknya sekitar 35 kilometer ke arah tenggara dari Kota Pontianak. Desa Tebang Kacang masuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Kubu Raya resmi jadi kabupaten pada 2007 hasil pemekaran dari Kabupaten Pontianak. Program relokasi ini menelan biaya sekitar dua setengah milyar rupiah.
Marsuah juga memperoleh satu unit rumah untuk memulai kehidupan barunya. Rumahnya sangat sederhana. Tak ada peralatan mewah. Bahkan cenderung kosong. Hanya beberapa kursi saja. Namun rumah beratap seng yang terbangun dari papan itu bersih. Sudah hampir sepuluh tahun Marsuah tinggal di Tebang Kacang.

Zoom Out: Masalah Konflik Antar Etnis
Narasi Marsuah diatas adalah salah satu dari ratusan ribu catatan suram kisah korban yang berhasil hidup dari sebuah peristiwa kekerasan yang bernama konflik antar etnis.
Memang benar bahwa tidak ada suatu masyarakat dimanapun di dunia ini yang tidak mengalami konflik. Konflik yang dialami oleh warga masyarakat dalam kehidupan sosialnya, perbedaannya hanyalah terletak pada intensitasnya dan cakupan wilayahnya saja. Ada konflik yang berupa persaingan dan pertentangan yang biasa saja, yang melibatkan warga masyarakat dalam jumlah yang relatif kecil, akan tetapi ada juga konflik yang melibatkan masyarakat dalam jumlah yang besar.
Konflik antar etnis di Kalimantan Barat tahun 1999 tentunya bukan konflik pertama kali yang terjadi. Hal ini menjadi salah satu ketertarikan beberapa penulis untuk berupaya merekam jejak-jejak konflik yang pernah terjadi di Bumi Khatulistiwa itu. Sebut saja Arafat yang mencatat bahwa sejak tahun 1933 sampai dengan 1997, telah terjadi setidaknya 10 kali konflik dengan kekerasan. Sementara Alqadrie menyatakan, bahwa sejak 1962 sampai dengan 1999, telah terjadi setidaknya 11 kali. Lain lagi dengan Petebang mencatat bahwa sejak tahun 1952 sampai dengan tahun 1999, telah terjadi sebanyak 12 kali.
Ketiga sumber diatas memang mencatat frekwensi konflik yang berbeda, walaupun demikian setidaknya mereka menggambarkan fenomena sekaligus fakta yang sama bahwa konflik terjadi relatif sering dan selalu berulang. Dalam kurun waktu 50 sampai dengan 60 tahun terakhir, telah terjadi 10 sampai dengan 12 kali konflik. Hal ini berarti bahwa dalam rentang waktu 4 – 5 tahun, rata-rata telah terjadi sekali konflik.
Dari sekian banyak konflik antar etnis di Kalimantan Barat, konflik antara etnis Dayak dengan Madura lah yang paling mencekam dan menakutkan, karena selalu memakan korban yang sangat banyak dan meninggalkan kesan traumatik bagi semua pihak. Konflik itu diikuti dengan tindak kekerasan yang melampaui batas nilai kemanusian berupa pembakaran rumah dan harta milik, pengusiran dari tempat tinggal, bahkan pemenggalan kepala korban. Konflik yang lain seperti antara etnis Melayu dengan Madura tidak sekeras konflik tersebut. Kehidupan dan karya manusia yang telah dibangun sekian lama lenyap sekejap karena dilahap api, dirusak dan dihancurkan oleh massa yang terbawa amukan emosional. Sementara itu konflik etnis Dayak dengan Cina, Melayu dengan Cina dan Melayu dengan Dayak cenderung berbau politik.
Harus diakui, korban konflik antar etnis di daerah ini tidak hanya mencakup kerugian dalam bidang materi, tetapi terutama meninggalkan trauma psikologis yang sulit terhapus dalam kurun waktu singkat. Mereka yang kehilangan anggota keluarga akan tetap menyimpan luka batin yang memprihatinkan masa depan mereka. Seringkali dendam kesumat melilit hidup mereka. Manusia terkubur dalam liang kebencian dan permusuhan yang merugikan hidup persaudaraan.

Sangat mudahnya kedua etnis (Dayak dan Madura) ini melakukan pertikaian yang melibatkan etnis ini, ada kaitannya dengan kebiasaan tradisional yang sering dilakukan oleh kedua etnis ini sejak zaman nenek moyang mereka sampai sekarang masih melekat, yaitu kebiasaan mengayau pada etnis Dayak dan kebiasaan carok pada etnis Madura. Kebiasaan tradisional pada kedua etnis ini memang tidak tampak lagi dalam bentuk aslinya di dalam praktek tetapi pada hakekatnya kebiasaan ini masih mempengaruhi secara psikologis sikap dan tindakan kedua etnis ini dalam menghadapi kompetisi sosial.
Penelitian ilmiah pernah dilakukan untuk melihat lebih jelas mengenai nilai-nilai yang dianut oleh masing-masing etnis tersebut. Perbedaan nilai yang dianut oleh suatu etnis kerapkali bergesek dan mampu memicu timbulnya suatu konflik. Hasil dari penelitian itu diluar dugaan. Keempat nilai teratas yang dianut oleh ketiga etnis: Dayak, Melayu, dan Dayak ternyata sama. Keempat nilai diurut dari yang paling atas adalah: Konformitas, Keamanan, Baik Kepada Orang lain dan Universalisme. Keempat nilai tersebut adalah nilai yang boleh jadi jauh dari tindak kekerasan, namun menjadi suatu alat picu untuk meledaknya suatu tindak kekerasan.
Konformitas sosial yang merupakan nilai teratas adalah proses dimana tingkah laku seseorang terpengaruh atau dipengaruhi oleh orang lain di dalam suatu kelompok. Kebersamaan dalam suatu etnis sedemikian erat sehingga suatu hal yang menimpa seseorang dari etnis tersebut menjadi perhatian dari orang lain dalam etnis bersangkutan. Nilai kedua adalah keamanan, dimana nilai ini menjadi pegangan kuat etnis tersebut. Hal ini menjadi jelas, ketika seseorang dalam etnis tersebut merasa terancam keamanannya, hal ini merupakan ancaman bagi suatu etnis tersebut. Kerap hal ini yang menjadi pemicu ledaknya suatu konflik yang bersifat massal. Perbuatan yang bersifat individual kerap menjadi faktor utama merebaknya suatu konflik yang bersifat kolosal.
Berikut adalah sekurang-kurangnya tiga alasan munculnya konflik:
• Akumulasi kejengkelan individual dan sosial etnis Dayak dan Melayu terhadap perilaku sejumlah orang Madura yang tinggal dan bekerja di Kabupaten Sambas. Kejengkelan ini muncul karena perilaku dan tindakan sewenang-wenang beberapa individu Madura terhadap harta benda milik orang lain (tanah, kebun, ternak dan keamanan hidup orang lain);
• Ketidakadilan sosial dalam menerapkan hukum positif. Pihak-pihak yang menjadi korban tindak kekerasan orang Madura merasa tidak mengalami keadilan dari pihak penegak hukum positif. Hal ini antara lain disebabkan oleh keterlambatan penanganan kasus; serta penanganan masalah yang tidak tuntas dan tidak menjamin keadilan yang diharapkan masyarakat. Akibatnya, masyarakat menjadi ‘penegak hukum dan keadilan’.
• Solidaritas etnisitas yang tinggi dari kalangan mereka yang menjadi korban tindak kriminal orang Madura. Masyarakat lokal (Dayak dan Melayu) memiliki solidaritas yang tinggi dalam menghadapi tindakan-tindakan yang menjengkelkan dan merugikan masyarakat.

Dari Konflik Menuju Rekonsiliasi
Kisah konflik antar etnis tidak lain adalah salah satu noda yang berserak diatas sebuah kain yang bernama kemanusiaan. Konflik antar etnis yang terjadi selalu menyadarkan kita akan sebuah ringkihnya persaudaraan yang dibangun, sekaligus mendorong kita kearah pembaharuan dengan menciptakan sebuah hubungan dengan atmosfir persaudaraan sejati.
Anak tangga pertama menuju rekonsiliasi adalah langkah-langkah konkret yang bisa mencegah terjadinya konflik antar etnis di Kalimantan sangat perlu disusun secara sistematis dan terus menerus. Sekurangnya ada tiga langkah yang dapat ditempuh pada tahap pencegahan konflik antar etnis terlebih setelah melihat penyebab yang disampaikan diatas:
• Penanganan konflik individual dengan cepat, tepat dan tegas, supaya konflik individual tidak merambat menjadi konflik sosial.
• Penegakan hukum positif seadil-adilnya dalam masyarakat, tanpa pandang suku bangsa, bahasa dan latar belakang budaya.
• Kontrol sosial yang ketat dari pihak keamanan dan pemerintah dalam keadaan hidup sosial sekarang sambil memberikan sangsi hukum yang tegas.

Selain itu, sangat diperlukan sikap dasar mau belajar, memahami, dan mendalami kekayaan kebudayaan orang lain. Ketertutupan dalam kebudayaan sendiri hanya akan mempertebal dinding pemisah antar golongan. Sudah saatnya setiap individu bersikap terbuka dan mau menerima kebudayaan orang lain, agar tiap warga masyarakat bisa saling memperkaya. Pandangan primordialisme yang menggiring manusia ke dalam lembah ketertutupan dan kepicikan perlu segera direvisi dan direformasi. Sikap menganggap diri memiliki kebudayaan yang superior perlu selalu diwaspadai sehingga tidak merusak tatanan hidup sosial. Nilai-nilai positif dari budaya orang lain harus kita timba dan pelihara demi kepentingan dan kemajuan bersama.

Keadaan sosial akan senantiasa mengundang manusia untuk segera memperbaiki dan membangun kembali peradaban manusia yang tercabik-cabik oleh kekejaman anak-anak manusia yang bertindak di luar kesadaran akan keharusan untuk berbuat baik; yang selanjutnya adalah untuk mewujudkan sebuah persaudaraan sejati, suatu inti dari eksitensi kemanusiaan itu sendiri. Keadaan sosial ini akan terperbaiki, antara lain, dengan membangkitkan kembali dan menghidupi ethics of relationship yang dari hari ke hari mulai luput dari perhatian manusia.
Lunturnya peran etika dalam hidup sosial, telah dan akan melahirkan kehidupan sosial yang tidak memiliki tujuan karena masyarakat tidak sanggup menegakkan nilai-nilai dasar yang mutlak ditanamkan dalam masyarakat sipil yang amat majemuk.
Kelima jenis etika: etika kepedulian, etika solidaritas, etika tanggung jawab, etika dialog dan etika holistik menggarisbawahi suatu kesetiakawanan sosial sebagai anggota masyarakat yang sedang membenahi diri. Kerja sama antar etnis dan antar pribadi sama sekali tidak bisa dilalaikan, sebab tiap anggota masyarakat kita saling terkait dan saling tergantung. Konflik-konflik dapat diatasi, antara lain, dengan menjadikan diri sendiri sebagai saudara bagi yang lain. Paradigma baru ini adalah pembentukan suatu persaudaraan sejati yang saling melengkapi dan menyempurnakan.
Tentunya untuk menciptakan hubungan yang baik itu tidak hanya bersifat sepihak, tetapi mengaitkan dan mempertautkan pihak-pihak lain dalam hidup sosial; suatu pemberian diri untuk menciptakan sebuah peradaban yang lebih baik, yang mengedepankan persaudaraan sejati. Etika ini menjadi suatu kebutuhan mendesak dalam masyarakat majemuk yang ingin maju dan berkembang bersama prinsip utama TRUE (Trust, Respect, Understanding, and Empathy), kepercayaan, rasa menghormati, mau mengerti, dan rasa peduli.

Harmonisasi: Paradigma Persaudaraan Sejati
No man is an island. Tidak ada individu yang mampu hidup terisolir dari yang lain. Hubungan antara seorang individu dengan sesamanya adalah jantung hidup manusia sebagai makhluk sosial yang terus berdegup. Pengaruh sosial ini memang tidak pernah terelakan dan akan senantiasa bergesek dalam eksitensial hidup manusia. Kemanusiaan seseorang hanya bisa dialami dalam hubungan dengan sesama. Tiada pertumbuhan, kebahagiaan, dan perwujudan diri, tanpa keterlibatan pihak luar. Dimensi kejujuran dan saling keterbukaan dalam hubungannya dengan sesama amat diperlukan dalam proses memper¬tahankan mutu hubungan antar manusia. Dimensi ini bisa menumbuhkan kebaikan, keutamaan, dan kesejahteraan bersama.

Perbedaan warna kulit, bahasa, agama, peradaban, kebudayaan, status sosial seharusnya menjadi sumber nilai dan unsur hakiki pembentukan masyarakat. Perbedaan merupakan kenyataan sosial yang menuntut toleransi dalam hidup bersama. Perbedaan tidak lagi dipandang sebagai sumber konflik, tetapi sebagai energi yang dapat disalurkan untuk membangun, memperbaiki, dan melengkapi keadaan hidup sosial.
Persaudaraan sejatinya akan terwujud penuh makna dan kaya warna ketika masing-masing individu memberikan dirinya sendiri.**

Kepustakaan

Arkanudin, Dr. M,Si.
2010 Menelusuri Akar Konflik Antar Etnik Khususnya Dayak Dengan Madura di Kalimantan Barat.
http://arkandien.blogspot.com/2010/06/menelusuri-akar-konflik-antar-etnik.html. Diakses pada tanggal 11 November 2010.

Chang, William.
2001 Dari Konflik Menuju Persaudaraan Sejati di Kalimantan.

Lamria, Maria.
2010 Analisa Penyebab Terjadinya Konflik Horisontal di Kalimantan Barat.
http://www.pdf-searcher.com/ANALISA-PENYEBAB-TERJADINYA-KONFLIK-HORIZONTAL-DI-KALIMANTAN-BARAT.html. Diakses pada tanggal 9 November 2010.

Pontianak Post.
2009 24 Agustus.

Sarwono, Sarlito Wirawan.
2007 Dari Stereotip Etnis ke Konflik Etnis

Artikel ini diikut sertakan dalam Buku Rampai XXI KWI 2011.

Tidak ada komentar: