Jumat, 17 Desember 2010

Angel Without Wings




Angels we have heard on high
Sweetly singing o'er the plains,
And the mountains in reply
Echoing their joyous strains.
Gloria in excelsis Deo..


Sesaat aku menatap hujan sore bulan Desember yang meninggalkan titik-titik air bening di kaca jendela, sedang lagu Angels we have heard on high mengalir sendu lewat headset yang terpasang di telingaku. Sebuah momen yang cukup sederhana yang cukup membuatku teringat dengan sebuah kata: Angel. Selanjutnya, sekali lagi setelah beberapa kali aku membiarkan melankoli menggelembung dan akhirnya pecah dalam lamunan sesaat.
Ketika aku masih kecil, aku beranggapan bahwa malaikat itu bersayap, seorang perempuan dengan senyum manis dan memiliki tongkat ajaib, bercahaya dan memakai pakaian putih bersinar serta ada bintang-bintang di kepalanya. Setidak-tidaknya sosoknya sama seperti yang aku lihat pada kartu-kartu natal, gantungan-gantungan di pohon natal, atau kostum para malaikat dalam adegan kelahiran Kristus yang kerap dipentaskan di gereja pada malam natal.
Namun, tampaknya ada yang harus kuubah dalam paradigmaku. Barangkali Tuhan menciptakan para malaikat berupa manusia-manusia yang hidup disekitar kita, yang selalu memberi kebaikannya, yang senantiasa bergesek dalam kehidupan sehari-hari. Mereka barangkali tidak bersayap, tapi dalam tangan hangat yang selalu menggengam kala kita membutuhkannya. Mereka juga tidak dalam cahaya, tapi dalam kesahajaan yang menentramkan. Dan kini, aku percaya bahwa ada malaikat-malaikat di sekitarku.

Aku teringat pada seorang perempuan sederhana yang kuat, yang menemani kami dari kecil dan mengajari kami tentang kasih sederhana yang kuat.
Dia adalah penganut agama Budha yang taat. Setiap malam, sebelum beristirahat, ia akan mengenakan jubah kuning dan tenggelam dalam dunianya sendiri, bergumam sendiri dengan bahasa yang tak aku mengerti. Beberapa kali aku bertanya dalam batinku, bagaimana mungkin Tuhan mendengarnya dalam gumaman yang tidak jelas dan tidak karuan itu. Namun ketika melihat wajahnya dalam doa, aku tahu bahwa ia bahkan lebih dekat dengan Sang Keabadian itu melebihi orang-orang terpelajar yang pernah aku temui.

Dia mencintai satwa. Suatu ketika ia memungut seekor kucing betina berbulu kuning yang terlantar di jalan, lantas di pelihara di rumah. Hari-hari berikutnya kucing itu kerap mampir ke rumah sekedar untuk santap siang atau malam, beristirahat sejenak di halaman rumah, atau bermanja sesaat bersama majikannya. Ketika kucing ini ditabrak kan patah kakinya, ia dibalut dengan sederhana dan teliti. Lalu, sampai suatu ketika kucing ini tidak pernah datang lagi.
“Kucing yang baik. Ia tidak mau menyusahkan kita untuk mengurusi kematiannya. Dia pasti pergi ke suatu tempat dan mati..” katanya suatu ketika ia menunggu kucing datang, dan kami tahu bahwa kucing itu tak lagi pernah datang.

Dia adalah orang yang bisa diandalkan ketika kami kehilangan ide dalam prakarya. Ia pernah membantuku membuat bunga mawar dari kertas krep kuning ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika aku tak punya ide untuk ketrampilan bebas. Kontan, guruku mengerutkan dahinya dan memandangku penuh curiga ketika bunga itu aku kumpulkan untuk mendapatkan nilai.

Dia adalah perempuan yang pencerita dan pendengar yang baik. Ketika aku kecil, ia bercerita tentang kisah dewa dewi dan negeri peri, tentang masa mudanya, tentang pohon dan hutan, tentang biji pohon karet yang licin yang sering aku pakai untuk bermain gundu, tentang kakek dan nenek, tentang babi-babi yang pernah diternakan, tentang bintang berekor, tentang sungai Kapuas dan ikan-ikan kecil, tentang barongsai dan ritual menyeberang dibawah badan naga yang diarak, tentang kembang api warna warni, dan segala hal.
Dia adalah perempuan yang sederhana dan hemat. Pakaiannya tak lebih dari sebuah lemari pakaian di kamar tidurnya. Ia menyimpan dengan rapi beberapa kain-kain peninggalan dari nenek. Beberapa lembar foto dalam sebuah album yang sudah menguning, beberapa perhiasan yang memudar dalam sebuah kotak plastik, sebuah buku kecil berisi resep membuat kue, sebuah tas tangan, sepasang sepatu, dan beberapa barang lain. Semuanya muat dalam satu lemari kayu, yang aku tahu isinya setelah ia - tanteku tiada.

Hampir tiga tahun aku tak pernah lagi melihatnya, kecuali dalam mimpi yang hilang lenyap ketika terbangun dari tidur.
Aku tidak pernah bertanya alasannya kenapa ia tidak menikah dan memilih tinggal bersama kami, namun yang aku tahu bahwa ia mempunyai cinta universal yang ia bagikan kepada kami, setiap keponakannya yang sudah dianggap sebagai anak-anaknya sendiri.

Sebuah cicin logam mulia sederhana melingkar di jari tengah tanganku, darinya. Mengingatkanku betapa sederhananya dan mulianya mengasihi, simbol sebuah energi kasih yang tanpa berawal dan juga tanpa berakhir.

Sayup-sayup aku dengar lagi lagu natal itu ..
Gloria in excelsis Deo … Gloria in excelsis Deo …Kemuliaan kepada Allah ditempat yang maha tinggi.
Aku yakin, ia telah menggabungkan suarakan dalam suara paduan para malaikat di Surga..
Gloria in excelsis Deo … Gloria in excelsis Deo …

Tidak ada komentar: