Rabu, 24 Oktober 2007

Indahnya Maut


My Savior comes and walks with me,
And sweet communion here have we;
He gently leads me by the land,
For this Heaven’s borderland.
My Heaven, my home forevermore!

Edgar Page dalam A Little Bit of Heaven mengajariku tentang maut. Banyak sekali artikel, puisi, kata-kata indah yang menggambarkan kematian. Tetapi seindah apapun itu, aku tidak pernah dapat mengeliminasi sikap takut dan gentar bila berhadapan dengan sosok yang bernama Maut.

Ku sadari, bersiap-siap untuk meninggal tidak dapat dilakukan hanya dalam menit-menit atau hari-hari terakhir hidup di atas ranjang menunggu maut menjemput atau sejak dokter memvonis mengidap penyakit yang tak tersembuhkan. sebagaimana hidup, persiapan itu berproses, setapak demi tapak sepanjang hidup ini. Rahner dalam bukunya On the Theology of Death menulis ‘Sikap berjaga-jaga, ingat akan Hal Terakhir, menantikan Tuhan, bersukacita karena Ia dekat, keluh kesah alam ciptaan menantikan penebusan, pemuliaan tubuh karena ini mungkin sudah mulai bahkan dalam hidup ni, memulai usaha perlahan-lahan mendekati cita-cita Firdaus, kebebasan dengan menjalani hidup laku tapa’.

Gita Sang Surya yang diciptakan oleh mistikus Fransiskus Asisi menjelang kematiannya mendidiku dalam memandang maut. Dalam kerapuhan raganya, ia mengidungkan, ‘Terpujilah Engkau Tuhanku atas saudari kami Maut jasmani, daripadanya tak ada orang yang bisa melepaskan diri. Berbahagia orang yang ditemukan ada dalam kehendakMu yang suci, sebab kematian kedua tak akan pernah menyentuhnya”.

Dalam keponggahan dan keringkihan hidup, kematian adalah prasasti yang memahat setiap lekak-lekuk jejak seorang penziarah. Kelak ketika Peri Maut berdiri di tepi ranjang kita, masihkah kita mampu berlari dan pergi? Atau kita terpesona memandang maut dan berkata: “Wahai Maut, tuliskanlah pada batu nisanku, disini terbaring seseorang yang menuliskan namanya di langit dengan huruf-huruf api”?

Tidak ada komentar: