Kamis, 29 November 2007

Bulan


Manusia lebih mudah mengingat siapa yang telah mendekati Tuhan dengan berdiri di atas permukaan bulan ketimbang mengingat siapa yang pertama kali memandang bulan. Bulan pudar ujung meruncing berpendar bersama gemerlap bintang riang ria di atap kenisah semesta. Berkilau. Meredup. Menyapa.
Memandang bulan, pernahkah terbersit sebuah tanya, adakah yang melihat manusia dari bulan, dari bintang, dari jagat yang raya? Jikalau ada, sungguh bahagialah manusia yang terekam jejak peradabannya. Peradaban yang menjalin, berpilin dan memutar spiral kehidupan. Sama halnya dengan bulan dan bintang, berotasi, bergerak dengan roda dan rantai dasyat yang tak terlihat yang di kendalikan oleh Yang Tak Bisa Disamai itu.
Lumrah memang memandang bulan merembes cahaya beserta jagat semesta pekat. Tapi kejadian kerusuhan etnis 1998 di Kalimantan Barat membuat penduduk lebih suka mencari aman nyaman dalam rumah dibanding memandang alam terbuka. Manusia sejenak lupa. Di bawah bentangan cakrawala, dibawah bulan merona meruncing, dibawah hingar bingar gemerlap bintang, manusia dengan idealis merobek kemanusiaannya sendiri. Di atas, semua organ bersatu dalam harmoni mendalam; di bawah, manusia berserakan dalam kepingan arogansi yang terpatri.

Selasa, 27 November 2007

MendengarkanMu


Konon, Santo Fransiskus Asisi belajar kebijaksanaan dari Tuhan sendiri. Tuhan mengajarkan jejak-jejak semesta dan segala kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya kepada Fransiskus seperti seorang guru kepada muridnya. Sebegitu intim dan akrab, hingga jika seluruh Kitab Suci dimusnahkan, Fransiskus masih mampu menangkap segala denyut keillahian dalam jagat yang maha raya.

Sayangnya, aku tidaklah seberuntung Fransiskus Asisi. banyak orang disekelilingku yang berupaya mendidikku, berupaya menanamkan konsep keillahian itu padaku. mereka berkata: aku mengatakan ini kepadamu dari Allah. Barangsiapa mendengar aku juga mendengar Tuhan sendiri. mereka berkata-kata, bermain dengan aksara, memaparkan ideologi tentunya menempelkan namaMu disana. Mereka berupaya menyesakkanku dengan dogma, ajaran, peraturan, hingga tak aku tak punya ruang lagi untuk mendengar suaraMu sendiri.

Tapi, aku tak bisa menyalahkan mereka. Aku harusnya yang di persalahkan. aku tidak cukup kuat untuk membungkam mereka, tak cukup kuat menghalau kebisingan suara itu, tak cukup kuat untuk bertahan, hingga aku mampu mendengarkanMu yang melengkung dalam hening dan bening.

Kamis, 15 November 2007

Kapal


Kapal yang aman selalu berada di dermaga.

tapi bukan untuk itu kapal dibuat.


Manusia selalu aman berada di zona yang nyaman.

tapi bukan untuk itu manusia dicipta.

Senin, 12 November 2007

Epidemi AIDS: Satu Dunia Satu Harapan


Personel band legendaris Queen – Freddy Mercury yang bernama asli Farrokh Bulsara, akhirnya mengaku kepada publik setelah lima tahun divonis positif HIV. Kepada publik ia berkata, “Bagaimanapun, sudah tiba waktunya bagi teman-teman dan fans saya dimanapun untuk mengetahui kebenaran. Saya berharap semua orang akan bergabung dengan dokter dan semua pihak untuk menanggulangi penyakit yang mengerikan ini”. Dua puluh empat jam setelah pernyataan itu dilontarkan, ia menghadap Sang Khalik akibat infeksi oportunstik, di Kensington, London, 23 November 1991 silam. Penyanyi kondang sekaligus gitaris dan pencipta lagu itu pergi diusia yang muda – 45 tahun, dengan harapan bahwa semua orang akan peduli pada persoalan HIV/ AIDS.
Sejak pertama kali ditemukan di Conpenhagen tahun 1979, AIDS telah mengubah dunia. Sekurangnya 20 juta jiwa meninggal dunia dan 40 juta lain terinfksi. AIDS telah menjadi salah satu penyebab utama kematian bagi manusia dengan rentang usia 15-59 tahun. Dengan demikian, AIDS menjadi beban besar dan epidemi yang membalikan peradaban dan perkembangan sejarah manusia.
Data resmi yang dilaporkan Departemen Kesehatan RI, sampai tahun 2006 kemarin sekurangnya mencatat 8.194 kasus. Angka ini mengalami kenaikan 2,3 lipat dari tahun 2005 sebesar 3.513 kasus. Sesungguhnya tak kurang dari 110.000 jiwa di Persada Nusantara ini yang terjangkit AIDS. Dan angka tersebut menjadikan Indonesia berada di urutan ke 47 dari 163 negara yang terbanyak penderita HIV/AIDS. Negara yang berada di urutan pertama adalah Afrika Selatan sebanyak 5,5 juta orang dan India 5,2 juta jiwa orang. Selain itu, Departement RI juga mengeluarkan statistik terdapat 3,61 per 100.000 penduduk di Tanah Air ini terjangkit penyakit AIDS dengan rasio pembandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 5,12 : 1. proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal dunia adalah 22,83%.
Dalam Negeri ini, Kalimantan Barat (4 dari 100.000 orang terjangkit AIDS) menduduki posisi keempat dari 32 propinsi setelah Papua, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau. Sementara Bali, Irian Jaya Barat dan Maluku menyusul dibelakang.

Stigma Sosial dan Diskriminasi
Beberapa saat lalu, aktivis kesehatan Margaret Marabe menuturkan bahwa ia menyaksikan para penderita AIDS dikubur dalam keadaan hidup oleh anggota keluarganya di wilayah Tari, Southern Highlands, Papua Nugini, dengan dalih takut terjangkit penyakit mematikan tersebut. Sekalipun pengakuan Marabe belum terbukti benar tetapi sungguh mengundang keprihatinan yang mendalam.
Awal tahun ini, manajemen Fujiwa Manokwari dikecam telah melakukan diskriminasi dengan menolak kehadiran orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di kamar hotel mereka yang nota bene sudah check in dan sudah di konfirmasikan sebelumnya. Sementara itu Ester Wanda, direktur dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mencermati masalah HIV/AIDS di Papua (3.377 ODHA, yang sebagian besar disebabkan oleh hubungan seksual) menuturkan bahwa masyarakat masih memberikan stigma buruk kepada ODHA dan cenderung mendiskriminasikan mereka. Diskriminasi semakin tampak ketika pemerintah daerah DPRD menggondok Rancangan Peraturan Daerah propinsi tentang Pembangunan Kesehatan di Papua yang berisi rencana memasang alat diteksi seperti mikrochip pada tubuh penderita untuk memantau penyebaran dan aktivitas yang dilakukan oleh si penderita.
Stigma sosial tak lain seumpama cap, suatu penilaian yang dijatuhkan kepada seseorang atau sekolompok yang dianggap tercela. Tak bisa disangkal stigma sosial berhubungan kuat dengan kekuasaan dan dominasi di masyarakat yang berpuncak pada aklamasi penilaian tersebut dan berlanjut pada beberapa kelompok yang kurang dihargai, dikucilkan oleh kelompok superior. Stigma sosial berujung pada diskriminasi dan mendorong lahirnya pelangaran HAM, yang dalam hal ini adalah ODHA. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV/AIDS dengan menghambat usaha pencegahan, perawatan, pemelihara kebisuan dan penyangkalan tentang HIV/AIDS.
Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga utuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Beberapa contoh diatas adalah beberapa gambaran dari sikap diskriminatif, sebuah tindakan yang merupakan suatu bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia.

Tema Hari AIDS sedunia 2007: Kepemimpinan
Tema Hari AIDS Sedunia telah ditentukan oleh Kampanye AIDS Sedunia sejak tahun 1997, dan hingga kini terus berkembangkan oleh komite yang terdiri dari jaringan-jaringan AIDS global. Global Streering Committee AIDS menggoreskan tema ‘Kepemimpinan’ dalam pertemuannya yang kelima di Jenewa tanggal 8-9 Februari 2007. Tujuan yan ingin dicapai dati Kampanye Hari AIDS adalah memastikan para pemimpin dan pembuat keputusan untuk menepati janji-janji mereka untuk AIDS.
Ketika epidemi itu muncul hingga saat ini, pengalaman dengan jelas memperlihatkan bahwa banyak individu yang yang penuh komitmen melibatkan diri dan dengan kegigihan menghadapai tantangan dan hambatan. Mereka memiliki motivasi, aksi, inovasi dan visi kedepan. Pemimpin yang diusung oleh tema kali ini bukanlah pemimpin yang kerap kali duduk di posisi tinggi. Tapi kepemimpinan yang diusung adalah kepemimpinan individual yang dengan dirinya memberikan contoh dan mendorong sesamanya melibatkan diri dalam memerangi epidemi yang ganas tersebut, kepemimpinan yang ditampilkan dalam setiap tingkat – dalam keluarga, dalam masyarakat, bangsa-bangsa dan secara internasional.
Tema ini diharapkan mampu menumbuhkan kuncup inspirasi dan melahirkan embrio pejuang-pejuang baru dalam berbagai kelompok, jaringan baik di tingkat nasional, maupun di tingkat internasional.
Mantan presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela yang juga pejuang hak asasi kebijakan Apartheid di Afrika, mengumumkan akan menyenggarakan konser internasional untuk memperingati hari AIDS sedunia di Johannesgurg pada tanggal 1 Desember 2007 dengan tujuan menyadarkan semua orang bahwa ancaman HIV/AIDS menjadi momok yang menakutkan di dunia terutama di benua hitam itu. Setahun lalu, ketika memperingati hari AIDS sedunia, mantan sekjen PBB, Kofi A. Annan, mengatakan, “Selama saya mempunyai tenaga, saya memegang teguh janji bahwa hanya pada hari ini, tahun ini, atau tahun depan, setiap hari dalam hidup ini adalah perang sampai epidemi ini terkalahkan”.
Sadar bahwa kita hidup dunia yang sama, bertumbuh dengan harapan yang sama yaitu epidemi ini akan berakhir. Bagaimanapun, dunia ini menanti komitmen Anda.

Kisah Burung Beo


“Selamat pagi sayang..” kata seorang ibu gendut berpipi merah berambut keriting kepadaku. Wajahnya secerah pagi itu dan senyumannya tertawa lebar, selebar piring yang dibawanya, memperlihatkan deretan gigi kuning bagai biji jagung berderet dengan rapinya.
“Koak! Koak! Koak! Lamat paghi! Lamat Paghi!” seruku riang gembira begitu melihat ibu gemuk yang bekerja sebagai tukang masak pastoran membuka sangkarku dan memasukan lobak kesukaanku. Dengan segera ku sambar lobak itu.
“Ayo sayang, bilang ‘terima kasih’” kata ibu gendut itu mengajariku kosakata baru.
“Tima Kaih, koak!” katanya meniru kata ibu juru masak dapur pastoran itu. Ibu gendut itu lantas tertawa, jemari tangannya menutup sangkarku dan melenggang pergi laksana bebek mau pergi bertelur.
Entah berapa lama aku tinggal di sangkar ini. Yang aku tahu bahwa aku tinggal disangkar yang kecil. Sangkarku ini digantung pada sebuah sangkar yang lebih besar dimana tinggal seorang bapak yang tampak bijaksana dan penyanyang. Ia selalu memberiku pisang. Orang-orang yang lewat biasanya memanggilnya monsinyur ..dan aku menyapanya “Lamat paghi montiknul .. koak! Koak!” aku selalu memanggilnya begitu entah siang, entah senja, entah malam .. yang penting setiap ketemu selalu “Lamat paghi montiknul”. Dan melihatku beliau akan tersenyum, dan kalo lagi ada pisang, diberinya aku pisang jumbo. mungkin bapak ini adalah kepala adat atau mungkin kepala suku bangsa manusia. bangsaku tak ada sesepuh seperti itu.
Dihadapanku ada sangkar yang jauh besar sekali yang luar biasa megah, yang mempunyai lonceng yang pada waktu tertentu, lonceng itu berdentang keras sekali. Ding dong .. ding dong …yang pada saat tertentu orang-orang datang dan bernyanyi di dalamnya. Kadang-kadang membosankan, bikin ngantuk. Tapi kadang mengejutkan tidur siangku dengan lagu-lagu yang aneh-aneh. “koak!” dibangsaku tak ada lagu aneh seperti ini, yang paling mahir pun hanya bisa nyanyi; “bourang khakhak tuuo .. hingtap di cendelow .. koak .koak ...”
Tak jauh dari sangkarku, ada juga sangkar yang agak kecil. Yang pada waktu tertentu anak-
anak lucu datang ke sangkar ini. Mereka tampak ceria, tapi kadang dengan wajah cemberut. Aku suka memperhatikan sikap polos mereka. Sesekali aku pernah memperhatikan mereka. Mereka berteng¬ger dekat kayu panjang, mengatupkan sayap, menutup mata dan paruhnya komat kamit. Katanya sih komunikasi dengan Tuhan.
“koak!” aku semakin bingung, bangsaku juga gak mengenal hal ini. Berbicara dengan Tuhan dengan tidak mereka lihat?
Setelah itu seorang dari anak-anak itu akan berpidato. Kadang anak-anak berkumpul ini akan gaduh sekali. Kadang kalo gak ada kumpul di sangkar itu, mereka akan ke lapangan di dekat sangkar mereka. Mereka akan memainkan benda bulat yang ditendang kesana sini. Mereka ceria. Kadang tertawa lepas. “koak!” aku hanya bisa memandang mereka, atau kalo lagi cuek aku lebih suka memperhatikan binatang lain yang suka berbunyi gukk gukkk, si “Hiro centil” orang memang¬gilnya demikian, yang kemudian aku tau bahwa ia berkaki empat, atau kadang aku lebih suka memilih memperhatikan sepa¬sang cecak di dinding luar toilet sambil memadu kasih.

“hei bulung itam! Lagi ngapain lu” suara bocah laki-laki yang serak-serak basah itu membuyarkan lamunanku. “koak! Koak!” seruku kaget sambil meloncat di kayu kecil tempet tenggerku.
“eh Tenk, jangan ganggu tuh burung dah.. macem kau tak ade kerja jak!” seru seorang perempuan berkulit sawo matang dengan mata melotot. “koak! Koak!” aku berseru girang karna ada yang belain aku. Cewek lagi .. suit suit ..
Ternyata cowok gempal itu tak kalah jahil, “eh bulung item, ayo bilang a San jelek, a San jelek .. ayo bilang..” kembali cowok sambil mengepal tindu di depan sangkarku.
Aku kaget bukan kepalang. “ak Cang Celek, ak Cang Celek .. koak! Koak!” seruku ikut-ikutan sambil mengepakkan sayapku ..
“pletakkkkkk ...” kontan saja cewek bermata besar itu melemparkan topi aneh dari plastik (helm) keras ke arah cowok gempal itu.
“koak koak!!” rasain kata ku, mungkin mereka tak mengerti. Tapi hatiku riang dapat menonton adegan india dimana cowok gempal nakal dikejar ama cewek bermata besar yang tak kalah serem ...”koak! koak!”
Baru saja kejar-kejaran, eh datang gadis cantik lainnya. “kak Vivi, knape ye burung nih item? Jelek banget ye? Coba putih kan keren” Ujar seorang cewek jangkung tinggi semampai (sepuluh meter gak sampai) dengan suara bergetarnya yang khas. “ya biarin sajalah lah Fi, mungkin waktu induknya mau bertelur ngidam burung cucok rowo yang itam kali” jawab gadis yang berkulit sawo matang yang juga semampai (semeter setengah gak sampai)
“koak!.. koak! Ak Cang celek!” aku seakan berusaha berkata “lu tuh yang jelek!” berusaha membela diri tapi aku tak mengerti apa yang kuucapkan. Burung beo kan itam semua! Bego sekali mereka ini. “koak! Koak!” .. aku juga bingung, nama mereka mirip Fifi (dibaca: Pipit) dan Vivi (lagi-lagi dibaca Pipit) .. lha, mereka juga dari keluarga burung pipit tho?
Tiba-tiba datang cowok kacamata dengan kalemnya melemparkan kacang yang entah dari mana datangnya. Hatiku senang. Dapat kiriman makanan. “Tima kaih, tima kaih .. koak!” aku berteriak ingat kosakata yang diajarkan ibu juru masak pastoran yang gendut dan berpipi merah.
“Eh Lix, loe kasih kacang expired ya. Dah kadaluarsa ya? Tar mati burang kau ..” si Vivi semampai berujar
“Burung? Punya sapa?..” si kalem melirik ‘burung’ yang lain.
Cewek semampai hanya terkekeh-kekeh dengan pipi merona sambil mencomot kacang dari tangan cowok kalem dan melemparkannya ke kandangku!
Tuing! .. Kacang memang masuk kandangku, tapi malah terselip diantara kayu dibawah sangkarku.
Oleh si semampai yang sepuluh meter gak sampai, sangkarku digoncang-goncang. Dipikir kacangnya bisa disa dikeluarkan.

“koaaakkk ..koaakk!! montiknul! Koak! ..” aku kaget setengah mati, ku kira anak-anak mao menjadikan ku lalapan sore mereka. Aku teriak keras-keras mao melaporkan pelanggaran HAB –Hak Asasi Burung ke bapak montiknul. Tapi percuma. Anak-anak itu mana ada yang peduli dengan burung-burungan. Malah oleh seorang cewek berrambut ikal berkulit item dibilang: “ih dah item, jelek, bayak gaya, bicara pulak..”
“eh Retno! Ini burung cendrawasih pak uskup nih. Loe hina-hina! Makin item kayak nih burung baru tau luu” kata si cowok kalem sembari melemparkan kacangnya.
Si Retno yang tak terima hinaan si kalem langsung pasang kuda-kuda, siap menendang! Hiattt ...
Cowok jangkung berkacamata melangkah dengan cepat melihat adiknya pasang kuda-kuda. Ia pikir adiknya ini akan bermain kuda lumping. “wei ngapaen sore-sore maen kuda lumping?” Merasa ada kakaknya, Retno mengadukan segala nasibnya, bahwa ia disamakan dengan cendrawasih uskup yang jelek ..
“koakkk ..Koakk .. ak cang celek!” sekali lagi aku membela diri bahwa aku tidak jelek.
“Bego amat sih! Ini burung beo tau! Bukan cendrawasih!” ujar cowok beridung antik
Baru ku tahu bahwa cowok berhidung antik itu bernama Edo.
“Kok disebut burung beo??” tanya polos Tifani seakan tanpa dosa. “Karna kerjanya cuman bisa membeo” ceplas ceplos si semampai Vivi (dibaca pipit) sekenanya.
“Coba kau ajarin dia bilang ‘Felix Pisang’” kata seorang cowok berhidung antik, menghela nafas setelah puas menendang benda bulat di lapangan belakang.
“Janganlah lha Do, sekretaris apa kau? Tugas kau kan memuaskan ketua!” ujar Fifi.
“Koak .. koak!! Elix Icang, Elix Icang .. koak!!” kataku mengikuti tanpa disuruh.. kontan kataku membuat mereka tertawa. Keceriaan memba¬hana. Si kalem tertawa simpul dan membalikkan badannya. Dilemparkan kacang yang digen¬gamnya ke arah cowok berhidung antik. Akhir¬nya, bisa ditebak.. sebutir kacang menyumbat hidungnya yang antik .. aik!

“Kasian juga yah jadi burung beo” tiba-tiba si gadik cilik yang baru keluar dari sangkar dimana anak-anak sering berkumpul. “lho kenapa, Alma?” tanya si Tifani dan semua mata berpandangan mencari tau
“Ya Habisnya cuman bisa mem-beo” jawab cewek itu cengar cengir.
“Yahh itu mah semua juga pada tau kalee” si idung antik berujar.
“Bagus kalo lu tau Do, gue kira lu kagak tau. Abis lu kan juga suka mem-beo” si cewek semampai Vivi (dibaca pipit) kembali berujar.
“Emangnya gue doank yang bisa membeo? Lu juga biasa membeo. Contoh nih ye, abis doa, loe bilang AMIN kuat-kuat. Padahal lu kan gak tahu AMIN warga negara apa? Iya kan? Itu kan membeo..” jawab si idung antik tak mao kalah.

“Koakkk .. Koak ..” aku hendak berkata: benar benar. Tapi kayaknya suaraku tak diperhatikan mereka.
“Ah Edo” ujar si Vivi dengan mata genit, “apakah kau kira kau tak cukup membeo? Ketika kau mencatat notulen rapat, kau kan tinggal membeo, mengutip yang dibicarakan di rapat? Nah loo .. ini kan membeo?..”
“Eh jangan maen tuduh-tuduhan. Kita mesti sadar sendiri kali” ujar si semampai Fifi yang sekarang malah mengamati semut merah di dinding, ingat akan cinta kasih di sekolah SMU.
“Bener sih kata wakil ku” ujar si cowok kalem.
Aku hendak berkata benar, tapi suara yang aku keluarkan: “elik icang .. koak!!!”
Alhasil aku dilempar kerikil ..

“Pokoknya jangan mau kaum muda yang suka membeo deh! Kita kan punya jati diri kita sendiri, kita punya pikiran diri kita sendiri, jangan cuman mau ikut buntut orang.. gimana teman?” ujar cowok adiknya si kalem sambil berapi-api!
“Hidup Chris! ...merdeka!” si idung antik tak kalah berapi-api.
“eh tunggu dulu, kalo membeo orang yang rajin dan sukses, membeo orang yang baik dan saleh? Masa gak boleh?” si Tifani kembali bertanya tanpa dosa.
“Maksud die, jangan diajak makan, kau ikut makan, diajak keluyuran, kau ikut saja, diajak kawin, kau juga manggut-manggut ..” ujar abangnya Retno yang jangkung dan berkacamata.
“oooo..” semua menjawab serempak, tentunya tanpa tenor, bariton, sopran dan alto ..
“Iya ya kita mesti dewasa, kita tau harus kepada siapa kita membeo. Bukankah Kristus adalah yang harus kita Beo?” si cowok kalem Felix bergumam ..

“Kalian kulang keljaan ya? Sole-sole gini bicala soal BEOL MEMBEOL.. mending kalian pe el ka pe, atau losalio sana ..” jawab cowok gempal yang doyan makan.
“Bukan BEOL kak Budi! Ini soal BEO” si kecil Alma menjelaskan.
“Oh, lalu ngapain kalian membahas BEO yang BEOL?” cowok gempal kembali bertanya.

Kembali si semampai Vivi (dibaca pipit) berulah. Dipegangnya kening cowok itu. Sekali lagi wajah si Vivi (dibaca pipit) bersemu merah.
“BUKAN! Kita lagi bicarain kalau kita jangan seperti burung Beo yang suka asal membeo doank. Kita mesti punya jadi diri dan berkembang sebagai kaum muda” kembali si Alma menjelaskan dengan sabar.
“Benel juga! Kita tidak boleh BEOL sembalangan. Eh kan kita mau ulang tahun tuh, kita ajalkan saja bulung ini nyanyi mals kita? Gimana?” cowok itu cekikian merasa idenya brilian.
“Ha? Aku diajarkan bernyayi? Alamakk” .. batinku, membaca saja saya tidak bisa ..koakkk!!! ..

Dipanggilnya cewek cantik berambut ikal manis, “sini Nia, tugas lu ajarin si bulung itam ini nyanyi mals kita ya!” perintah cowok itu lagi..

“eh burung, ambil suara .. doooo~” Nia mengajariku bernyanyi.
“koakkkk ....”
“bukan koak, tapi doooo~”
“koakkkk koakkkkk ...” cuman itu yang ku bisa ku keluarkan lewat keronkonganku
“Disinilah kita Putra Putri Kristus ...” “coba dikit nyanyi burung jelek ..” gerutu Nia.
“ak cang celek .... elik icang .. koak!!!”

“Begonya! Membeo pun tak bisa ...” gerutu kesal Nia dan melenggang pergi mirip bebek pergi bertelur ..

Sore semakin menggelinding, anak-anak hari ini mendapat satu pelajaran, bahwa hidup ini terlalu sayang bila hanya dijalankan dengan membeo, terlalu miskin bila hanya bermodal ikut-ikutan tanpa punya kepribadian.
Bagaimanapun mereka tak akan seperti aku, tinggal dalam sangkar kecil, dan hanya bisa menghibur dan berkoakk koak ria.

Mentari senja semakin memudar, dan dalam hening ku dengar suara: “disinilah kita putla putli Klistus belsatu dalam santo Klistofolus, malilah belsama kita belsatu padu ...”
Dan aku semakin yakin, itu suara siapa ...

“Koakkkkkk...”



Artikel ini dikirim untuk sahabat para putra putri altar katedral st. Yosef.

Jumat, 09 November 2007

Tuhan dan KeajaibanNya


Diguncang keluar dari alur persepsi, diperlihatkan sebuah adegan yang mengatasi interval dimensi waktu dan tempat, diluar nalar bagi yang cukup waras, dan merembes dalam keringkihan pengetahuan. Kejadian itu perlahan merambat dalam celah kecil kepercayaan, dan di gelanggang iman tersebut, keteguhan merambat mengganti keraguan.
Kubur kosong menjadi awal tanda Kristus bangkit, yang berlanjut dengan penampakannya beberapa kali kepada para pengikutNya. Kali ini, ia menampakan diri, hadir ditengah para pengikutNya sekalipun pintu dan jendela terkunci rapat, serapat ketakutan mereka terhadap bangsa Yahudi. Ia hadir untuk memberikan harapan baru, memberikan kekuatan baru, ketika harapan dan kekuatan iman yang dimiliki pengikutNya tinggal selembar membran tipis dalam pelupuk iman.
Ia menghembusi mereka, menyalaminya berkali-kali dengan ucapan ‘damai sejahtera’. Sepenggal sapaan yang cukup hangat untuk menghilangkan dahaga kecemasan dan kegalauan. Sepenggal kata sederhana yang cukup merajut kebingungan dan ketidakpastian menjadi pengharapan baru.
Ia membuka lenganNya, membiarkan Thomas mencucukan jarinya dalam lukaNya. Ini memang benar Tubuh yang tertembus paku, dan Tubuh yang hancur. Satu Tubuh yang jasmani yang lapuk didera dan ditikam, beralih mejadi tubuh yang mulia yang mengatasi hukum kimia dan fisika.
Ia masih berada di situ. Berdiri dengan tangan terentang.
Kita bebas memandang TubuhNya yang luka. Jika itu memampukan kita untuk melihat segala sesuatu dibalik peristiwa itu. Kehidupan yang baru dibalik kematian, kemuliaan dibalik kehinaan, kehangatan dibalik keringkihan, kekuatan dibalik ketakutan dan kegalauan.
Kita masih diijinkan untuk menyentuh lukaNya jika itu memampukan kita melihat lebih dalam bahwa ada selalu ada keajaiban ketika melihat dunia semesta ini dengan iman dan harapan yang baru. Kita masih boleh mencucukan jari kita dalam lambungNya jika itu memampukan kita masih meragukan eksitensi diriNya yang tak berawal dan tak berakhir serta segala keajaibanNya disekeliling kita.
Banyak orang beranggapan bahwa berjalan di atas air atau di udara adalah sebuah keajaiban. Tetapi bukankah keajaiban sesungguhnya bukan berjalan di atas air atau di atas udara, keajaiban yang yang sejati adalah berjalan di atas permukaan bumi ini. Setiap hari kita terlibat dalam keajaiban yang bahkan tidak kita sadari lagi; langit biru, awan putih, daun hijau, bola mata hitam yan selalu penuh dengan rasa ingin tahu milik seorang anak kecil. Semua adalah keajaiban, ketika Tuhan mencelikan mata kita.Yakinlah. Tidak ada hal riil yang bisa diancam. Tidak ada hal tidak riil yang eksis. Dan didalamnya Tuhan mendapatkan tempatnya.

Kamis, 08 November 2007

Minggu Ini Miliknya


Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Pagi itu sinar mentari beringsut masuk ke dapur, menerpa sebuah mangkok melamin biru di atas meja. Lalu membiaskan pendar warna yang mempesona. Potongan kembang kol yang putih, seledri dan brokoli yang hijau segar, irisan tomat dan paprika yang merah ranum, wortel yang jingga kesumba, belum lagi ditambah potongan jamur, jangung muda, dan kacang polong. Disamping mangkok biru melamin, ada juga mangkok putih yang isi separuh penuh daging kepiting yang telah dikupas, beberapa butir telur ayam, seikat baby kailan, dan tepung dalam stoples violet bening.
Dalam sesaat, dengan mempesona, diubahnya semua bahan di meja menjadi menu santap siang yang lezat. Sepiring Cap Chai, Sepiring Phu Yonghai, Sayuran baby kailan pun tetap merona hijau, dan sepiring ayam Nanking. Semuanya disajikan diatas piring putih ceper di meja makan bersama sebakul Nasi Hainan. Lengkap dengan Nai Cha, susu yang dicampur dengan teh dan dessert berupa potongan buah sunkist.
Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Sama halnya dengan Minggu ini, Minggu-minggu sebelumnya dan setelahnya adalah minggu yang penuh dengan warna. Ia tak hanya piawai meracik masakan Chinesee. Masakan seperti Ayam Gulai, Empal, Kripik Balado, sampai dengan Tom Yam dan Manggo Salad khas Thailand pernah masuk dalam daftar panjang menu yang pernah dibuatnya. Ia tau persis kelapa muda seperti apa yang mampu melembutkan daging Ayam Kalasan, dan ia tau persis seberapa banyak siung bawang untuk membuat menu Kepiting Saos Padang.

Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Hari dimana suaminya seharian dapat makan di rumah setelah seminggu penuh disesaki dengan kesibukan di kantor, meeting dengan klien, menjamu rekanan bisnis, sampai hal entertain corporate relationship. Hari dimana kedua putranya Pascal dan Corel (mereka diberi nama demikian karena sang ayah sebegitu tergila dengan dunia software komputer) dapat makan dirumah setelah seminggu si sulung sibuk dengan kerja, membuat program yang sesuai dengan keinginan klien hingga membuat daily report yang menumpuk dan si bungsu bebas dari tumpukan tugas kuliah dan kerja kelompok dan acara bersama teman-temannya.
Hari dimana ia dengan sukacita memasak seharian dan menjadikan acara masak sebagai ritual yang dapat ia berikan kepada keluarganya. Ia akan memenuhi meja makan dengan aneka menu makanan dan minuman yang bervariasi setiap Minggu. Ia tahu dengan persis selera suami dan kedua anaknya. Ia akan membuatkan minuman es kelapa muda bercampur sirsak atau singkong yang di kukus lembut dan bersiramkan santan atau susu kesukaan anak sulungnya, dan perkedel kentang bercampur dengan daging sapi yang dicincang halus untuk camilan anak bungsunya. Ia akan lebih berhati-hati untuk suaminya yang sering mengeluh sakit di bagian dadanya. Walau ia khawatir suaminya didekati oleh penyakit jantung, ia tak berani mencegahnya bermain golf siang bolong, walau batinnya hendak mengusulkan jalan di pagi hari di kompleks perumahan jauh lebih baik. Bagi suaminya ia akan membuatkan juice buah segar atau Chinesse tea sebagai minuman. Ia akan menjauhkan jeroan, goreng-gorengan dan memilih minyak sayur terbaik untuk memasak.

Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Hari dimana seharian Ia tak mau seorang pun membantunya di dapur, walaupun itu kedua pembantu yang dipekerjakannya. Pernah suatu ketika, pembantunya melihat betapa ia kerepotan dan kelelahan menyiapkan makan siang. Ia menolaknya. Tapi pembantu tetap berinisiatif membantunya memotong daun bawang. Ia kembali menolaknya dengan tegas. Akhirnya, ia menceritakan kepada Mbok Ati, bahwa menyiapkan makan di hari Minggu adalah pekerjaan yang paling membahagia­kannya. Hal yang sangat bernilai, sangat mendalam, dan sangat pribadi. Ia menjelaskan dengan bahasa yang paling sederhana kepada pembantunya karena yakin pembantunya tak akan habis mengerti mengapa ada kebahagiaan yang sedemikian rupa dibalik kesibukan dan kelelahan yang dimiliki.
Ia mengatakan bahwa dengan tangan sendirinyalah ia akan memasak, tanganlah yang akan memasak sendiri, lidahnyalah yang akan mengecap setiap masakannya, dan wajahnyalah yang akan diterba oleh uap air dari panci yang ia gunakan untuk memasak. Ia sendiri yang akan melewati setiap rangkaian ritual itu dengan cinta yang ia miliki.

Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Awalnya ia tak perlu menungu hingga akhir pekan untuk memasak bagi suami dan anaknya. Dulu, suaminya hanya staff kecil di perusahaan Content Provider hingga ia dapat meluangkan banyak waktu bersama keluarga. Dan kedua anaknya adalah anak sekolahan yang betah dirumah, yang selalu bercerita apa saja yang terjadi di sekolah padanya. Namun kini, perubahan itu semakin mengental dan mengendapkan ruang sempit baginya, yaitu hari Minggu. Ia tak yakin sejak kapan embrio perubahan dalam keluarganya bermula, tapi yang pasti kini suaminya telah menjadi Business Development Manager di Perusahaan Content Provider dan Pascal menduduki posisi Gateway Asisstant Manager. Keduanya disesaki dengan pekerjaan yang tak pernah selesai. Sedang Corel sedang getol-getonya dengan kuliahnya. Saatnya mereka merasakan masakan dari tangannya hanyalah di Minggu. Itupun tidak penuh satu hari. Sebab pagi hari suaminya bermain badmiton, dan kedua putranya ada acara renang. Saatnya berkumpul bersama hanyalah siang hingga sore ditutup dengan misa bersama. Minggu siang ketika suami dan anak-anaknya berkumpul dan mengecap masakan yang dimasak dengan tangannya adalah saat yang membahagiakannya. Pujian anak-anaknya, “enak .. enak! Tambah donk ma” adalah kata yang mampu melambungkan jiwa ke surga.

Tapi pagi ini, semua menjadi lain.
Ketika ia sedang memotong buncis yang akan dimasak, ia mendengar pembicaraan anak bersama ayahnya. “Pa, makan siang kita Soto Kudus di Kedoya aja ya..” ujar Pascal. “Atau kita ke Sushi Tei aja di mall, sekaligus jalan-jalan” usul Corel. “wah boleh juga tuch! Di mall kan banyak pilihan. Kita bisa memilih Platinum, Gokana, Pizza Hut, Eaton, atau Samudra Suki ..”
Ia menjadi gamang mendengar pembicaraan itu. Kepalanya menjadi berat dan pandangannya meredup hingga cahaya terang mentari di dapurnya hanya terlihat bagai kerdip lilin yang jauh. Apalagi ia mendengar sendiri yang dikatakan suaminya, “Boleh-boleh aja, pilihlah apa yang suka dan cocok dengan kita..”.
Ia terus memotong walaupun ia tau bahwa buncis yang ada di talenan itu telah abis dipotong. Ia terus memotong walau tahu itu adalah jarinya. Ia tak mampu lagi mendengar lebih lanjut. Ia juga tak merasakan sakit walau jarinya terluka. Percakapan di pagi itu tak pernah ada dalam benaknya sebab ia yakin keluarganya tak mungkin merampas Minggu miliknya. Lalu dunianya menjadi gelap. Brukkk ...
“Ma bangun maaa ...” panggil Corel, “Ayo lekas bawa ke rumah sakit.. hidupkan mobil” suara suaminya didengarnya secara samar-samar ..

Siang ini, di jok mobil belakang ia bersandar dengan tangan diperban oleh dokter. “Ma, mama udah gak kuat kerja lagi ma. Kita pesan katering aja ya ma. Biar mama istirahat saja” ujar Paskal di disela alunan suara Josh Groban, You Are Loved – Dont Give Up. “Atau jika Mbok Ati tidak bisa memasak, bukankah lebih baik kita mengambil seorang pembantu lagi?” ujar suaminya. “kamu terlalu lelah hingga jarimu teriris..” suaranya menjadi pelan. “Ma, jika mama mau aku bisa buatkan list telepon toko-toko makanan yang bisa di delivery kok ma. Mama tinggal telepon aja .. ya ma ya ..”
Mereka berbicara bersahutan. Mengema dalam mobil yang melaju menuju mall. Tapi bagi perempuan separuh baya itu tak ingin mendengar apa-apa lagi, setiap kata yang diucapkan terbang bersama butiran debu yang ia lihat di luar sana. Baginya dunia ini menjadi hening, menjadi sebegitu dingin.
Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya. Seharusnya.

Jumat, 02 November 2007

Anak-anak: Generasi yang Terhempas




Menjadi manusia – dalam pengertian dilahirkan ke dalam spesies manusia – harus dapat dilihat juga dalam pengertian proses menjadi manusia. Dalam hal ini, anak hanyalah seseorang yang berpotensi menjadi manusia, dan harus tumbuh dalam kemanusiaan.
Sidang MU PBB tanggal 20 November 1989 telah disahkan Konvensi Hak-hak Asasi Anak (KHAA). Hal penting yang terkandung dalam pasal-pasal KHAA antara lain menyebutkan: “Setiap anak secara kodrati memiliki hak hidup dan harus dijamin kehidupan dan perkembangan anak secara maksimal”. Kini, setiap tahun dalam tanggal yang sama dunia diajak kembali meninjau sejauh mana kita memperlakukan anak-anak, sejauh mana kita telah memberikan keamanan, perlindungan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan dari mereka.

Mengacu pada laporan Organisasi Kesehatan Dunia WHO, setiap tahun kurang lebih 10 juta anak-anak di seluruh dunia meninggal dunia sebelum mencapai usia lima tahun dan 150 juta anak-anak menderita kekurangan pangan. Dalam setiap tahunnya terdapat kurang lebih 700 anak menjadi korban penyelundupan manusia dan anak-anak diperdagangkan layaknya budak. Dalam hal ini PBB melaporan bahwa permintaan akan tenaga kerja murah begitu banyak, dan kebutuhan anak-anak dalam perniagaan seks semakin meningkat.
Organisasi Buruh Dunia ILO menyinggung 245 juta anak berusia 5 hingga 17 tahun di seluruh dunia menjadi tenaga kerja. Diantara angka tersebut, sebanyak 8,4 juta anak menjadi korban aktivitas ilegal seperti perbudakan, penyelundupan manusia, eksploitasi seks dan dipaksa terjun ke medan militer. Perlu dicatat bahwa sebanyak 2 juta jiwa anak mengalami pelecehan seksual dan pornografi.
WHO melaporkan bahwa virus Aids selain menjadi faktor utama yang menyebabkan anak-anak kehilangan orang tua, juga meyebabkan kematian 4,5 juta anak di dunia dan 1,5 juta anak di dunia mengidap penyakit tersebut. 7 juta anak di bawah usia lima tahun meninggal dunia karena mengidap lima jenis penyakit yang bisa diobati; TBC, diare, malaria, batuk berdarah dan kekurangan pangan. Malaria merupakan pembunuh nomor satu di Benua Afrika dan menyabet urutan pertama dalam menyeret anak-anak dibawah umur 5 tahun dalam liang kubur.
Angka-angka diatas tak hanya sampai disana. Lebih dari 100 juta anak mengalami kekurangan vitamin A dan terancam mengalami kebutaan sedang 20 juta yang lain kekurangan yodium dan terancam mengalami kemunduran mental. Selama perang dan kekerasan terjadi, 2 juta anak meregang nyawa dan 6 juta rekannya cedera permanen.

Lihatlah kondisi anak-anak di Indonesia. Adakah mereka lebih baik dari anak-anak di Palestina yang merasakan mesiu lebih banyak dari susu ibu mereka? atau anak-anak Irak kini banyak yang terserang kanker darah akibat senjata kimia yang digunakan dalam perang dan sebagian dari mereka menjadi cacat akibat terkena ranjau darat sisa-sisa perang? atau anak-anak Libanon banyak yang kehilangan ayah yang gugur dalam perang dan anak-anak Afghanistan kehilangan tempat tinggal yang hancur akibat serangan pasukan asing?
Data memaparkan bahwa sekurangnya 300-400 ribu bayi yan lahir per tahun di Tanah Air dengan berat badan kurang dari 2.500 gram. Jika tidak ditangani dengan serius, maka akan megalami kematian, keterlambatan perkembangan fisik dan kecerdasan (Untoro, 2005). Tidak mengherankan bila Persatuan Dokter Anak Indonesia (PDAI) mengeluarkan data tingkat kematian bayi 36 per 1000 kelahiran hidup. Bahkan, dalam setiap satu jam sekali tercatat ada 10 dari 20 balita yang meninggal adalah bayi yang umumnya menderita gangguan penyakit malnutrisi, DBD, polio, tuberculosis dan diare.
Masalah kemiskinan dan kerentanan sosial ekonomi tetap tinggi sekalipun sudah ada pemulihan dalam batas tertentu. Dengan total utang 1.318 triliun rupiah dengan jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa, maka setiap penduduk Indonesia (termasuk anak-anak dan bayi yang baru lahir) terbebani utang sekitar 7 juta rupiah (Kompas, 20 Mei 2006). Organisasi Anak-anak Sedunia UNICEF memperingatkan Indonesia, bahwa bangsa ini akan kehilangan beberapa generasi yang disebabkan oleh kekurangan gizi, kekurangan pendidikan dan penurunan status kesehatan berjuta anak Indonesia. Dan kerap kali terdengar skandal sosial busung lapar, malnutrisi, dan gizi buruk melanda anak-anak di negeri ini, yang mestinya secara de facto memposisikan Indonesia sebagai red zone dalam pemenuhan hak-hak anak.

Harus diakui dengan rendah hati, tahun demi tahun menyisakan catatatan yang memprihatinkan mengenai anak-anak sedunia. Perhatian kita terhadap anak-anak tak melebihi perhatian kita terhadap perkembangan ekonomi kapitalis yang kompleks, atau perhatian terhadap masalah birokrasi dan politik, dan masalah lain. Di usia yang dini, mereka harus menjalani kehidupan dengan paradigma yang dimiliki oleh orang dewasa. Karena tidak mengenal cara untuk mempertahankan dirinya, anak-anak menjadi sasaran pertama dari kekejaman, perang, ketidakadilan, kemiskinan, penyakit, dan berbagai masalah yang melanda dunia. Dan tanpa kita sadari, anak-anak hanyalah objek dan korban dari generasi yang berada di atasnya.
Boleh saja laporan pernyataan anak-anak sedunia 2007 menyebutkan bahwa pembangunan seteraaan gender akan berjalan seiring dengan pencapaian pembangunan milenium atau MDGs. Boleh saja pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Program Keluarga Harapan (PHK) bulan Juli 2007 silam yang memberikan bantuan tunai kepada 500 ribu ibu rumah tangga miskin (RTM) yang sedang hamil, memiliki balita atau anak usia sekolah SD-SMP dengan tujuan menekan jumlah penduduk miskin dan mendekatkan akses ke pelayanan kesehatan dan pendidikan (Antara, 11 Juni 2007). Tetapi usaha tersebut belum sepenuhnya berarti, tanpa partisipasi personal dalam kesadaran yang paripurna.
Kekuatan dalam mendidik anak tidak terletak pada perkataan atau pengajaran, melainkan pada kepribadian dan tindakan kita, tidak pada pengajaran yang ideal melainkan pada hidup (Andrea Murray dalam How to Raise Children for Christ). Panggilan setiap pribadi dan keluarga untuk anak adalah pengabdian dalam pada kehidupan (bdk.Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio, 22 November 1981).

Bagaimanapun, kepahitan kemiskinan, ratapan pedih atas perang dan konflik yang memakan korban, air mata yatim piatu, kesakitan akibat tindak kekerasan, diskriminasi ras dan gender, serta buta huruf, penculikan, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan organ tubuh anak, menggunakan anak-anak sebagai media pengedar narkotika masih terus mengancam. Dan benang kusut skandal tersebut akan terurai ketika kita mulai mendengar pekikan sunyi mereka, mulai dengan hati membaca aksara yang keluar dari keringkihan raga mereka.
Anak-anak adalah milik dari masa depan yang tak pernah kita miliki!
** artikel dimuat di majalah Duta - Keuskupan Agung Pontianak, vol November 2007