Jumat, 02 November 2007

Anak-anak: Generasi yang Terhempas




Menjadi manusia – dalam pengertian dilahirkan ke dalam spesies manusia – harus dapat dilihat juga dalam pengertian proses menjadi manusia. Dalam hal ini, anak hanyalah seseorang yang berpotensi menjadi manusia, dan harus tumbuh dalam kemanusiaan.
Sidang MU PBB tanggal 20 November 1989 telah disahkan Konvensi Hak-hak Asasi Anak (KHAA). Hal penting yang terkandung dalam pasal-pasal KHAA antara lain menyebutkan: “Setiap anak secara kodrati memiliki hak hidup dan harus dijamin kehidupan dan perkembangan anak secara maksimal”. Kini, setiap tahun dalam tanggal yang sama dunia diajak kembali meninjau sejauh mana kita memperlakukan anak-anak, sejauh mana kita telah memberikan keamanan, perlindungan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan dari mereka.

Mengacu pada laporan Organisasi Kesehatan Dunia WHO, setiap tahun kurang lebih 10 juta anak-anak di seluruh dunia meninggal dunia sebelum mencapai usia lima tahun dan 150 juta anak-anak menderita kekurangan pangan. Dalam setiap tahunnya terdapat kurang lebih 700 anak menjadi korban penyelundupan manusia dan anak-anak diperdagangkan layaknya budak. Dalam hal ini PBB melaporan bahwa permintaan akan tenaga kerja murah begitu banyak, dan kebutuhan anak-anak dalam perniagaan seks semakin meningkat.
Organisasi Buruh Dunia ILO menyinggung 245 juta anak berusia 5 hingga 17 tahun di seluruh dunia menjadi tenaga kerja. Diantara angka tersebut, sebanyak 8,4 juta anak menjadi korban aktivitas ilegal seperti perbudakan, penyelundupan manusia, eksploitasi seks dan dipaksa terjun ke medan militer. Perlu dicatat bahwa sebanyak 2 juta jiwa anak mengalami pelecehan seksual dan pornografi.
WHO melaporkan bahwa virus Aids selain menjadi faktor utama yang menyebabkan anak-anak kehilangan orang tua, juga meyebabkan kematian 4,5 juta anak di dunia dan 1,5 juta anak di dunia mengidap penyakit tersebut. 7 juta anak di bawah usia lima tahun meninggal dunia karena mengidap lima jenis penyakit yang bisa diobati; TBC, diare, malaria, batuk berdarah dan kekurangan pangan. Malaria merupakan pembunuh nomor satu di Benua Afrika dan menyabet urutan pertama dalam menyeret anak-anak dibawah umur 5 tahun dalam liang kubur.
Angka-angka diatas tak hanya sampai disana. Lebih dari 100 juta anak mengalami kekurangan vitamin A dan terancam mengalami kebutaan sedang 20 juta yang lain kekurangan yodium dan terancam mengalami kemunduran mental. Selama perang dan kekerasan terjadi, 2 juta anak meregang nyawa dan 6 juta rekannya cedera permanen.

Lihatlah kondisi anak-anak di Indonesia. Adakah mereka lebih baik dari anak-anak di Palestina yang merasakan mesiu lebih banyak dari susu ibu mereka? atau anak-anak Irak kini banyak yang terserang kanker darah akibat senjata kimia yang digunakan dalam perang dan sebagian dari mereka menjadi cacat akibat terkena ranjau darat sisa-sisa perang? atau anak-anak Libanon banyak yang kehilangan ayah yang gugur dalam perang dan anak-anak Afghanistan kehilangan tempat tinggal yang hancur akibat serangan pasukan asing?
Data memaparkan bahwa sekurangnya 300-400 ribu bayi yan lahir per tahun di Tanah Air dengan berat badan kurang dari 2.500 gram. Jika tidak ditangani dengan serius, maka akan megalami kematian, keterlambatan perkembangan fisik dan kecerdasan (Untoro, 2005). Tidak mengherankan bila Persatuan Dokter Anak Indonesia (PDAI) mengeluarkan data tingkat kematian bayi 36 per 1000 kelahiran hidup. Bahkan, dalam setiap satu jam sekali tercatat ada 10 dari 20 balita yang meninggal adalah bayi yang umumnya menderita gangguan penyakit malnutrisi, DBD, polio, tuberculosis dan diare.
Masalah kemiskinan dan kerentanan sosial ekonomi tetap tinggi sekalipun sudah ada pemulihan dalam batas tertentu. Dengan total utang 1.318 triliun rupiah dengan jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa, maka setiap penduduk Indonesia (termasuk anak-anak dan bayi yang baru lahir) terbebani utang sekitar 7 juta rupiah (Kompas, 20 Mei 2006). Organisasi Anak-anak Sedunia UNICEF memperingatkan Indonesia, bahwa bangsa ini akan kehilangan beberapa generasi yang disebabkan oleh kekurangan gizi, kekurangan pendidikan dan penurunan status kesehatan berjuta anak Indonesia. Dan kerap kali terdengar skandal sosial busung lapar, malnutrisi, dan gizi buruk melanda anak-anak di negeri ini, yang mestinya secara de facto memposisikan Indonesia sebagai red zone dalam pemenuhan hak-hak anak.

Harus diakui dengan rendah hati, tahun demi tahun menyisakan catatatan yang memprihatinkan mengenai anak-anak sedunia. Perhatian kita terhadap anak-anak tak melebihi perhatian kita terhadap perkembangan ekonomi kapitalis yang kompleks, atau perhatian terhadap masalah birokrasi dan politik, dan masalah lain. Di usia yang dini, mereka harus menjalani kehidupan dengan paradigma yang dimiliki oleh orang dewasa. Karena tidak mengenal cara untuk mempertahankan dirinya, anak-anak menjadi sasaran pertama dari kekejaman, perang, ketidakadilan, kemiskinan, penyakit, dan berbagai masalah yang melanda dunia. Dan tanpa kita sadari, anak-anak hanyalah objek dan korban dari generasi yang berada di atasnya.
Boleh saja laporan pernyataan anak-anak sedunia 2007 menyebutkan bahwa pembangunan seteraaan gender akan berjalan seiring dengan pencapaian pembangunan milenium atau MDGs. Boleh saja pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Program Keluarga Harapan (PHK) bulan Juli 2007 silam yang memberikan bantuan tunai kepada 500 ribu ibu rumah tangga miskin (RTM) yang sedang hamil, memiliki balita atau anak usia sekolah SD-SMP dengan tujuan menekan jumlah penduduk miskin dan mendekatkan akses ke pelayanan kesehatan dan pendidikan (Antara, 11 Juni 2007). Tetapi usaha tersebut belum sepenuhnya berarti, tanpa partisipasi personal dalam kesadaran yang paripurna.
Kekuatan dalam mendidik anak tidak terletak pada perkataan atau pengajaran, melainkan pada kepribadian dan tindakan kita, tidak pada pengajaran yang ideal melainkan pada hidup (Andrea Murray dalam How to Raise Children for Christ). Panggilan setiap pribadi dan keluarga untuk anak adalah pengabdian dalam pada kehidupan (bdk.Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio, 22 November 1981).

Bagaimanapun, kepahitan kemiskinan, ratapan pedih atas perang dan konflik yang memakan korban, air mata yatim piatu, kesakitan akibat tindak kekerasan, diskriminasi ras dan gender, serta buta huruf, penculikan, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan organ tubuh anak, menggunakan anak-anak sebagai media pengedar narkotika masih terus mengancam. Dan benang kusut skandal tersebut akan terurai ketika kita mulai mendengar pekikan sunyi mereka, mulai dengan hati membaca aksara yang keluar dari keringkihan raga mereka.
Anak-anak adalah milik dari masa depan yang tak pernah kita miliki!
** artikel dimuat di majalah Duta - Keuskupan Agung Pontianak, vol November 2007

Tidak ada komentar: