Kamis, 08 November 2007

Minggu Ini Miliknya


Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Pagi itu sinar mentari beringsut masuk ke dapur, menerpa sebuah mangkok melamin biru di atas meja. Lalu membiaskan pendar warna yang mempesona. Potongan kembang kol yang putih, seledri dan brokoli yang hijau segar, irisan tomat dan paprika yang merah ranum, wortel yang jingga kesumba, belum lagi ditambah potongan jamur, jangung muda, dan kacang polong. Disamping mangkok biru melamin, ada juga mangkok putih yang isi separuh penuh daging kepiting yang telah dikupas, beberapa butir telur ayam, seikat baby kailan, dan tepung dalam stoples violet bening.
Dalam sesaat, dengan mempesona, diubahnya semua bahan di meja menjadi menu santap siang yang lezat. Sepiring Cap Chai, Sepiring Phu Yonghai, Sayuran baby kailan pun tetap merona hijau, dan sepiring ayam Nanking. Semuanya disajikan diatas piring putih ceper di meja makan bersama sebakul Nasi Hainan. Lengkap dengan Nai Cha, susu yang dicampur dengan teh dan dessert berupa potongan buah sunkist.
Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Sama halnya dengan Minggu ini, Minggu-minggu sebelumnya dan setelahnya adalah minggu yang penuh dengan warna. Ia tak hanya piawai meracik masakan Chinesee. Masakan seperti Ayam Gulai, Empal, Kripik Balado, sampai dengan Tom Yam dan Manggo Salad khas Thailand pernah masuk dalam daftar panjang menu yang pernah dibuatnya. Ia tau persis kelapa muda seperti apa yang mampu melembutkan daging Ayam Kalasan, dan ia tau persis seberapa banyak siung bawang untuk membuat menu Kepiting Saos Padang.

Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Hari dimana suaminya seharian dapat makan di rumah setelah seminggu penuh disesaki dengan kesibukan di kantor, meeting dengan klien, menjamu rekanan bisnis, sampai hal entertain corporate relationship. Hari dimana kedua putranya Pascal dan Corel (mereka diberi nama demikian karena sang ayah sebegitu tergila dengan dunia software komputer) dapat makan dirumah setelah seminggu si sulung sibuk dengan kerja, membuat program yang sesuai dengan keinginan klien hingga membuat daily report yang menumpuk dan si bungsu bebas dari tumpukan tugas kuliah dan kerja kelompok dan acara bersama teman-temannya.
Hari dimana ia dengan sukacita memasak seharian dan menjadikan acara masak sebagai ritual yang dapat ia berikan kepada keluarganya. Ia akan memenuhi meja makan dengan aneka menu makanan dan minuman yang bervariasi setiap Minggu. Ia tahu dengan persis selera suami dan kedua anaknya. Ia akan membuatkan minuman es kelapa muda bercampur sirsak atau singkong yang di kukus lembut dan bersiramkan santan atau susu kesukaan anak sulungnya, dan perkedel kentang bercampur dengan daging sapi yang dicincang halus untuk camilan anak bungsunya. Ia akan lebih berhati-hati untuk suaminya yang sering mengeluh sakit di bagian dadanya. Walau ia khawatir suaminya didekati oleh penyakit jantung, ia tak berani mencegahnya bermain golf siang bolong, walau batinnya hendak mengusulkan jalan di pagi hari di kompleks perumahan jauh lebih baik. Bagi suaminya ia akan membuatkan juice buah segar atau Chinesse tea sebagai minuman. Ia akan menjauhkan jeroan, goreng-gorengan dan memilih minyak sayur terbaik untuk memasak.

Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Hari dimana seharian Ia tak mau seorang pun membantunya di dapur, walaupun itu kedua pembantu yang dipekerjakannya. Pernah suatu ketika, pembantunya melihat betapa ia kerepotan dan kelelahan menyiapkan makan siang. Ia menolaknya. Tapi pembantu tetap berinisiatif membantunya memotong daun bawang. Ia kembali menolaknya dengan tegas. Akhirnya, ia menceritakan kepada Mbok Ati, bahwa menyiapkan makan di hari Minggu adalah pekerjaan yang paling membahagia­kannya. Hal yang sangat bernilai, sangat mendalam, dan sangat pribadi. Ia menjelaskan dengan bahasa yang paling sederhana kepada pembantunya karena yakin pembantunya tak akan habis mengerti mengapa ada kebahagiaan yang sedemikian rupa dibalik kesibukan dan kelelahan yang dimiliki.
Ia mengatakan bahwa dengan tangan sendirinyalah ia akan memasak, tanganlah yang akan memasak sendiri, lidahnyalah yang akan mengecap setiap masakannya, dan wajahnyalah yang akan diterba oleh uap air dari panci yang ia gunakan untuk memasak. Ia sendiri yang akan melewati setiap rangkaian ritual itu dengan cinta yang ia miliki.

Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya.
Awalnya ia tak perlu menungu hingga akhir pekan untuk memasak bagi suami dan anaknya. Dulu, suaminya hanya staff kecil di perusahaan Content Provider hingga ia dapat meluangkan banyak waktu bersama keluarga. Dan kedua anaknya adalah anak sekolahan yang betah dirumah, yang selalu bercerita apa saja yang terjadi di sekolah padanya. Namun kini, perubahan itu semakin mengental dan mengendapkan ruang sempit baginya, yaitu hari Minggu. Ia tak yakin sejak kapan embrio perubahan dalam keluarganya bermula, tapi yang pasti kini suaminya telah menjadi Business Development Manager di Perusahaan Content Provider dan Pascal menduduki posisi Gateway Asisstant Manager. Keduanya disesaki dengan pekerjaan yang tak pernah selesai. Sedang Corel sedang getol-getonya dengan kuliahnya. Saatnya mereka merasakan masakan dari tangannya hanyalah di Minggu. Itupun tidak penuh satu hari. Sebab pagi hari suaminya bermain badmiton, dan kedua putranya ada acara renang. Saatnya berkumpul bersama hanyalah siang hingga sore ditutup dengan misa bersama. Minggu siang ketika suami dan anak-anaknya berkumpul dan mengecap masakan yang dimasak dengan tangannya adalah saat yang membahagiakannya. Pujian anak-anaknya, “enak .. enak! Tambah donk ma” adalah kata yang mampu melambungkan jiwa ke surga.

Tapi pagi ini, semua menjadi lain.
Ketika ia sedang memotong buncis yang akan dimasak, ia mendengar pembicaraan anak bersama ayahnya. “Pa, makan siang kita Soto Kudus di Kedoya aja ya..” ujar Pascal. “Atau kita ke Sushi Tei aja di mall, sekaligus jalan-jalan” usul Corel. “wah boleh juga tuch! Di mall kan banyak pilihan. Kita bisa memilih Platinum, Gokana, Pizza Hut, Eaton, atau Samudra Suki ..”
Ia menjadi gamang mendengar pembicaraan itu. Kepalanya menjadi berat dan pandangannya meredup hingga cahaya terang mentari di dapurnya hanya terlihat bagai kerdip lilin yang jauh. Apalagi ia mendengar sendiri yang dikatakan suaminya, “Boleh-boleh aja, pilihlah apa yang suka dan cocok dengan kita..”.
Ia terus memotong walaupun ia tau bahwa buncis yang ada di talenan itu telah abis dipotong. Ia terus memotong walau tahu itu adalah jarinya. Ia tak mampu lagi mendengar lebih lanjut. Ia juga tak merasakan sakit walau jarinya terluka. Percakapan di pagi itu tak pernah ada dalam benaknya sebab ia yakin keluarganya tak mungkin merampas Minggu miliknya. Lalu dunianya menjadi gelap. Brukkk ...
“Ma bangun maaa ...” panggil Corel, “Ayo lekas bawa ke rumah sakit.. hidupkan mobil” suara suaminya didengarnya secara samar-samar ..

Siang ini, di jok mobil belakang ia bersandar dengan tangan diperban oleh dokter. “Ma, mama udah gak kuat kerja lagi ma. Kita pesan katering aja ya ma. Biar mama istirahat saja” ujar Paskal di disela alunan suara Josh Groban, You Are Loved – Dont Give Up. “Atau jika Mbok Ati tidak bisa memasak, bukankah lebih baik kita mengambil seorang pembantu lagi?” ujar suaminya. “kamu terlalu lelah hingga jarimu teriris..” suaranya menjadi pelan. “Ma, jika mama mau aku bisa buatkan list telepon toko-toko makanan yang bisa di delivery kok ma. Mama tinggal telepon aja .. ya ma ya ..”
Mereka berbicara bersahutan. Mengema dalam mobil yang melaju menuju mall. Tapi bagi perempuan separuh baya itu tak ingin mendengar apa-apa lagi, setiap kata yang diucapkan terbang bersama butiran debu yang ia lihat di luar sana. Baginya dunia ini menjadi hening, menjadi sebegitu dingin.
Ini adalah hari Minggu, dan setiap Minggu adalah miliknya. Seharusnya.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

nice story pal ...

very touching.. and dramatic ending...

good job bek. elu yg bikin yah?
thian

Anonim mengatakan...

KERENN....
Sepotong kisah yang bisa jadi cerminan bagi semua orang.
Mengapa setiap hari tidak bisa bersama? Padahal semuanya masih tinggal di satu atap, masih keluar-masuk dari pintu yang sama.
Akhir cerita yg elu tulis itu bukanlah ending-nya, hanya awal dari kesadaran yang baru.
What path whill you choose?