Kamis, 29 November 2007

Bulan


Manusia lebih mudah mengingat siapa yang telah mendekati Tuhan dengan berdiri di atas permukaan bulan ketimbang mengingat siapa yang pertama kali memandang bulan. Bulan pudar ujung meruncing berpendar bersama gemerlap bintang riang ria di atap kenisah semesta. Berkilau. Meredup. Menyapa.
Memandang bulan, pernahkah terbersit sebuah tanya, adakah yang melihat manusia dari bulan, dari bintang, dari jagat yang raya? Jikalau ada, sungguh bahagialah manusia yang terekam jejak peradabannya. Peradaban yang menjalin, berpilin dan memutar spiral kehidupan. Sama halnya dengan bulan dan bintang, berotasi, bergerak dengan roda dan rantai dasyat yang tak terlihat yang di kendalikan oleh Yang Tak Bisa Disamai itu.
Lumrah memang memandang bulan merembes cahaya beserta jagat semesta pekat. Tapi kejadian kerusuhan etnis 1998 di Kalimantan Barat membuat penduduk lebih suka mencari aman nyaman dalam rumah dibanding memandang alam terbuka. Manusia sejenak lupa. Di bawah bentangan cakrawala, dibawah bulan merona meruncing, dibawah hingar bingar gemerlap bintang, manusia dengan idealis merobek kemanusiaannya sendiri. Di atas, semua organ bersatu dalam harmoni mendalam; di bawah, manusia berserakan dalam kepingan arogansi yang terpatri.

Tidak ada komentar: