Senin, 12 November 2007

Kisah Burung Beo


“Selamat pagi sayang..” kata seorang ibu gendut berpipi merah berambut keriting kepadaku. Wajahnya secerah pagi itu dan senyumannya tertawa lebar, selebar piring yang dibawanya, memperlihatkan deretan gigi kuning bagai biji jagung berderet dengan rapinya.
“Koak! Koak! Koak! Lamat paghi! Lamat Paghi!” seruku riang gembira begitu melihat ibu gemuk yang bekerja sebagai tukang masak pastoran membuka sangkarku dan memasukan lobak kesukaanku. Dengan segera ku sambar lobak itu.
“Ayo sayang, bilang ‘terima kasih’” kata ibu gendut itu mengajariku kosakata baru.
“Tima Kaih, koak!” katanya meniru kata ibu juru masak dapur pastoran itu. Ibu gendut itu lantas tertawa, jemari tangannya menutup sangkarku dan melenggang pergi laksana bebek mau pergi bertelur.
Entah berapa lama aku tinggal di sangkar ini. Yang aku tahu bahwa aku tinggal disangkar yang kecil. Sangkarku ini digantung pada sebuah sangkar yang lebih besar dimana tinggal seorang bapak yang tampak bijaksana dan penyanyang. Ia selalu memberiku pisang. Orang-orang yang lewat biasanya memanggilnya monsinyur ..dan aku menyapanya “Lamat paghi montiknul .. koak! Koak!” aku selalu memanggilnya begitu entah siang, entah senja, entah malam .. yang penting setiap ketemu selalu “Lamat paghi montiknul”. Dan melihatku beliau akan tersenyum, dan kalo lagi ada pisang, diberinya aku pisang jumbo. mungkin bapak ini adalah kepala adat atau mungkin kepala suku bangsa manusia. bangsaku tak ada sesepuh seperti itu.
Dihadapanku ada sangkar yang jauh besar sekali yang luar biasa megah, yang mempunyai lonceng yang pada waktu tertentu, lonceng itu berdentang keras sekali. Ding dong .. ding dong …yang pada saat tertentu orang-orang datang dan bernyanyi di dalamnya. Kadang-kadang membosankan, bikin ngantuk. Tapi kadang mengejutkan tidur siangku dengan lagu-lagu yang aneh-aneh. “koak!” dibangsaku tak ada lagu aneh seperti ini, yang paling mahir pun hanya bisa nyanyi; “bourang khakhak tuuo .. hingtap di cendelow .. koak .koak ...”
Tak jauh dari sangkarku, ada juga sangkar yang agak kecil. Yang pada waktu tertentu anak-
anak lucu datang ke sangkar ini. Mereka tampak ceria, tapi kadang dengan wajah cemberut. Aku suka memperhatikan sikap polos mereka. Sesekali aku pernah memperhatikan mereka. Mereka berteng¬ger dekat kayu panjang, mengatupkan sayap, menutup mata dan paruhnya komat kamit. Katanya sih komunikasi dengan Tuhan.
“koak!” aku semakin bingung, bangsaku juga gak mengenal hal ini. Berbicara dengan Tuhan dengan tidak mereka lihat?
Setelah itu seorang dari anak-anak itu akan berpidato. Kadang anak-anak berkumpul ini akan gaduh sekali. Kadang kalo gak ada kumpul di sangkar itu, mereka akan ke lapangan di dekat sangkar mereka. Mereka akan memainkan benda bulat yang ditendang kesana sini. Mereka ceria. Kadang tertawa lepas. “koak!” aku hanya bisa memandang mereka, atau kalo lagi cuek aku lebih suka memperhatikan binatang lain yang suka berbunyi gukk gukkk, si “Hiro centil” orang memang¬gilnya demikian, yang kemudian aku tau bahwa ia berkaki empat, atau kadang aku lebih suka memilih memperhatikan sepa¬sang cecak di dinding luar toilet sambil memadu kasih.

“hei bulung itam! Lagi ngapain lu” suara bocah laki-laki yang serak-serak basah itu membuyarkan lamunanku. “koak! Koak!” seruku kaget sambil meloncat di kayu kecil tempet tenggerku.
“eh Tenk, jangan ganggu tuh burung dah.. macem kau tak ade kerja jak!” seru seorang perempuan berkulit sawo matang dengan mata melotot. “koak! Koak!” aku berseru girang karna ada yang belain aku. Cewek lagi .. suit suit ..
Ternyata cowok gempal itu tak kalah jahil, “eh bulung item, ayo bilang a San jelek, a San jelek .. ayo bilang..” kembali cowok sambil mengepal tindu di depan sangkarku.
Aku kaget bukan kepalang. “ak Cang Celek, ak Cang Celek .. koak! Koak!” seruku ikut-ikutan sambil mengepakkan sayapku ..
“pletakkkkkk ...” kontan saja cewek bermata besar itu melemparkan topi aneh dari plastik (helm) keras ke arah cowok gempal itu.
“koak koak!!” rasain kata ku, mungkin mereka tak mengerti. Tapi hatiku riang dapat menonton adegan india dimana cowok gempal nakal dikejar ama cewek bermata besar yang tak kalah serem ...”koak! koak!”
Baru saja kejar-kejaran, eh datang gadis cantik lainnya. “kak Vivi, knape ye burung nih item? Jelek banget ye? Coba putih kan keren” Ujar seorang cewek jangkung tinggi semampai (sepuluh meter gak sampai) dengan suara bergetarnya yang khas. “ya biarin sajalah lah Fi, mungkin waktu induknya mau bertelur ngidam burung cucok rowo yang itam kali” jawab gadis yang berkulit sawo matang yang juga semampai (semeter setengah gak sampai)
“koak!.. koak! Ak Cang celek!” aku seakan berusaha berkata “lu tuh yang jelek!” berusaha membela diri tapi aku tak mengerti apa yang kuucapkan. Burung beo kan itam semua! Bego sekali mereka ini. “koak! Koak!” .. aku juga bingung, nama mereka mirip Fifi (dibaca: Pipit) dan Vivi (lagi-lagi dibaca Pipit) .. lha, mereka juga dari keluarga burung pipit tho?
Tiba-tiba datang cowok kacamata dengan kalemnya melemparkan kacang yang entah dari mana datangnya. Hatiku senang. Dapat kiriman makanan. “Tima kaih, tima kaih .. koak!” aku berteriak ingat kosakata yang diajarkan ibu juru masak pastoran yang gendut dan berpipi merah.
“Eh Lix, loe kasih kacang expired ya. Dah kadaluarsa ya? Tar mati burang kau ..” si Vivi semampai berujar
“Burung? Punya sapa?..” si kalem melirik ‘burung’ yang lain.
Cewek semampai hanya terkekeh-kekeh dengan pipi merona sambil mencomot kacang dari tangan cowok kalem dan melemparkannya ke kandangku!
Tuing! .. Kacang memang masuk kandangku, tapi malah terselip diantara kayu dibawah sangkarku.
Oleh si semampai yang sepuluh meter gak sampai, sangkarku digoncang-goncang. Dipikir kacangnya bisa disa dikeluarkan.

“koaaakkk ..koaakk!! montiknul! Koak! ..” aku kaget setengah mati, ku kira anak-anak mao menjadikan ku lalapan sore mereka. Aku teriak keras-keras mao melaporkan pelanggaran HAB –Hak Asasi Burung ke bapak montiknul. Tapi percuma. Anak-anak itu mana ada yang peduli dengan burung-burungan. Malah oleh seorang cewek berrambut ikal berkulit item dibilang: “ih dah item, jelek, bayak gaya, bicara pulak..”
“eh Retno! Ini burung cendrawasih pak uskup nih. Loe hina-hina! Makin item kayak nih burung baru tau luu” kata si cowok kalem sembari melemparkan kacangnya.
Si Retno yang tak terima hinaan si kalem langsung pasang kuda-kuda, siap menendang! Hiattt ...
Cowok jangkung berkacamata melangkah dengan cepat melihat adiknya pasang kuda-kuda. Ia pikir adiknya ini akan bermain kuda lumping. “wei ngapaen sore-sore maen kuda lumping?” Merasa ada kakaknya, Retno mengadukan segala nasibnya, bahwa ia disamakan dengan cendrawasih uskup yang jelek ..
“koakkk ..Koakk .. ak cang celek!” sekali lagi aku membela diri bahwa aku tidak jelek.
“Bego amat sih! Ini burung beo tau! Bukan cendrawasih!” ujar cowok beridung antik
Baru ku tahu bahwa cowok berhidung antik itu bernama Edo.
“Kok disebut burung beo??” tanya polos Tifani seakan tanpa dosa. “Karna kerjanya cuman bisa membeo” ceplas ceplos si semampai Vivi (dibaca pipit) sekenanya.
“Coba kau ajarin dia bilang ‘Felix Pisang’” kata seorang cowok berhidung antik, menghela nafas setelah puas menendang benda bulat di lapangan belakang.
“Janganlah lha Do, sekretaris apa kau? Tugas kau kan memuaskan ketua!” ujar Fifi.
“Koak .. koak!! Elix Icang, Elix Icang .. koak!!” kataku mengikuti tanpa disuruh.. kontan kataku membuat mereka tertawa. Keceriaan memba¬hana. Si kalem tertawa simpul dan membalikkan badannya. Dilemparkan kacang yang digen¬gamnya ke arah cowok berhidung antik. Akhir¬nya, bisa ditebak.. sebutir kacang menyumbat hidungnya yang antik .. aik!

“Kasian juga yah jadi burung beo” tiba-tiba si gadik cilik yang baru keluar dari sangkar dimana anak-anak sering berkumpul. “lho kenapa, Alma?” tanya si Tifani dan semua mata berpandangan mencari tau
“Ya Habisnya cuman bisa mem-beo” jawab cewek itu cengar cengir.
“Yahh itu mah semua juga pada tau kalee” si idung antik berujar.
“Bagus kalo lu tau Do, gue kira lu kagak tau. Abis lu kan juga suka mem-beo” si cewek semampai Vivi (dibaca pipit) kembali berujar.
“Emangnya gue doank yang bisa membeo? Lu juga biasa membeo. Contoh nih ye, abis doa, loe bilang AMIN kuat-kuat. Padahal lu kan gak tahu AMIN warga negara apa? Iya kan? Itu kan membeo..” jawab si idung antik tak mao kalah.

“Koakkk .. Koak ..” aku hendak berkata: benar benar. Tapi kayaknya suaraku tak diperhatikan mereka.
“Ah Edo” ujar si Vivi dengan mata genit, “apakah kau kira kau tak cukup membeo? Ketika kau mencatat notulen rapat, kau kan tinggal membeo, mengutip yang dibicarakan di rapat? Nah loo .. ini kan membeo?..”
“Eh jangan maen tuduh-tuduhan. Kita mesti sadar sendiri kali” ujar si semampai Fifi yang sekarang malah mengamati semut merah di dinding, ingat akan cinta kasih di sekolah SMU.
“Bener sih kata wakil ku” ujar si cowok kalem.
Aku hendak berkata benar, tapi suara yang aku keluarkan: “elik icang .. koak!!!”
Alhasil aku dilempar kerikil ..

“Pokoknya jangan mau kaum muda yang suka membeo deh! Kita kan punya jati diri kita sendiri, kita punya pikiran diri kita sendiri, jangan cuman mau ikut buntut orang.. gimana teman?” ujar cowok adiknya si kalem sambil berapi-api!
“Hidup Chris! ...merdeka!” si idung antik tak kalah berapi-api.
“eh tunggu dulu, kalo membeo orang yang rajin dan sukses, membeo orang yang baik dan saleh? Masa gak boleh?” si Tifani kembali bertanya tanpa dosa.
“Maksud die, jangan diajak makan, kau ikut makan, diajak keluyuran, kau ikut saja, diajak kawin, kau juga manggut-manggut ..” ujar abangnya Retno yang jangkung dan berkacamata.
“oooo..” semua menjawab serempak, tentunya tanpa tenor, bariton, sopran dan alto ..
“Iya ya kita mesti dewasa, kita tau harus kepada siapa kita membeo. Bukankah Kristus adalah yang harus kita Beo?” si cowok kalem Felix bergumam ..

“Kalian kulang keljaan ya? Sole-sole gini bicala soal BEOL MEMBEOL.. mending kalian pe el ka pe, atau losalio sana ..” jawab cowok gempal yang doyan makan.
“Bukan BEOL kak Budi! Ini soal BEO” si kecil Alma menjelaskan.
“Oh, lalu ngapain kalian membahas BEO yang BEOL?” cowok gempal kembali bertanya.

Kembali si semampai Vivi (dibaca pipit) berulah. Dipegangnya kening cowok itu. Sekali lagi wajah si Vivi (dibaca pipit) bersemu merah.
“BUKAN! Kita lagi bicarain kalau kita jangan seperti burung Beo yang suka asal membeo doank. Kita mesti punya jadi diri dan berkembang sebagai kaum muda” kembali si Alma menjelaskan dengan sabar.
“Benel juga! Kita tidak boleh BEOL sembalangan. Eh kan kita mau ulang tahun tuh, kita ajalkan saja bulung ini nyanyi mals kita? Gimana?” cowok itu cekikian merasa idenya brilian.
“Ha? Aku diajarkan bernyayi? Alamakk” .. batinku, membaca saja saya tidak bisa ..koakkk!!! ..

Dipanggilnya cewek cantik berambut ikal manis, “sini Nia, tugas lu ajarin si bulung itam ini nyanyi mals kita ya!” perintah cowok itu lagi..

“eh burung, ambil suara .. doooo~” Nia mengajariku bernyanyi.
“koakkkk ....”
“bukan koak, tapi doooo~”
“koakkkk koakkkkk ...” cuman itu yang ku bisa ku keluarkan lewat keronkonganku
“Disinilah kita Putra Putri Kristus ...” “coba dikit nyanyi burung jelek ..” gerutu Nia.
“ak cang celek .... elik icang .. koak!!!”

“Begonya! Membeo pun tak bisa ...” gerutu kesal Nia dan melenggang pergi mirip bebek pergi bertelur ..

Sore semakin menggelinding, anak-anak hari ini mendapat satu pelajaran, bahwa hidup ini terlalu sayang bila hanya dijalankan dengan membeo, terlalu miskin bila hanya bermodal ikut-ikutan tanpa punya kepribadian.
Bagaimanapun mereka tak akan seperti aku, tinggal dalam sangkar kecil, dan hanya bisa menghibur dan berkoakk koak ria.

Mentari senja semakin memudar, dan dalam hening ku dengar suara: “disinilah kita putla putli Klistus belsatu dalam santo Klistofolus, malilah belsama kita belsatu padu ...”
Dan aku semakin yakin, itu suara siapa ...

“Koakkkkkk...”



Artikel ini dikirim untuk sahabat para putra putri altar katedral st. Yosef.

Tidak ada komentar: