Senin, 17 Desember 2007

Hierofania: Kemanusiaan & Solider


Merenungi Natal samahalnya merenungi sepenggal narasi kemanusiaan. Menghirup aroma Natal, adalah menghirup wewangian keIllahian yang terbungkus dalam aroma kemanusiaan. Hierofania (Penampakan Diri yang Tersuci) Allah dengan manusia tidaklah dengan cara spektakuler yang gegap gempita, melainkan sarat dengan kemanusiaan, kesederhanaan, luput dari perhatian dunia.
Palestina di abad pertama ditandai zaman penuh pergolakan dan perubahan besar di bidang ekonomi, sosial, politis dan keagamaan, masa persaingan antara berbagai aliran keagamaan dan masa rawan kerusuhan. Ditambah beban pajak yang mencekik leher rakyat, secara politis kian runyam. Palestina selalu menjadi mainan penguasa besar di sekitarnya. Penguasa Romawi, selalu melukai rakyat dengan kekejaman dan kekerasan yang lambat laun memercik api yang menyulut pemberontakan.
Dalam situasi Palestina yang sembraut dan kacau balau itulah Yesus lahir. Semenjak dalam kandungan ibuNya, Yesus telah mengalami sistem kekerasan penguasa Romawi. Dalam perjalanan pengungsian dari Nazaret di Galilea menuju Betlehem di tanah Yudea yang atas perintah paksa sensus penduduk yang beraroma penarikan pajak, Yesus lahir di tempat yang tidak layak. Bayi mungil dibungkus kain lampin dan dibaringkan di palungan, tempat makanan ternak. Tak hanya sampai di situ, Dia pun mengalami nasib ancaman kekerasan dan nyaris terbunuh oleh Raja Herodes yang bengis dan haus kekuasaan. Jika seandainya Bayi Kecil itu tidak diungsikan ke Mesir, nasibnya akan sama dengan ratusan bayi lain yang meregang nyawa tertembus pedang tentara Herodes.

Keadilan
Natal perdana, bintang kejora bersinar menghalau kelam. Dalam kegelapan peradaban itu, Kristus lahir sebagai fajar keadilan di tengah kegelapan hati manusia. KehadiranNya adalah rentangan tangan Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya.
Yesus lahir dan hadir menerbitkan fajar keadilan bagi mereka yang miskin papa, tertindas, tersingkir, lapar, telantar, para pendosa, orang-orang sakit dan susah. Ia menyampaikan kabar baik bagi orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk mewartakan penglihatan baru kepada yang buta dan membebaskan orang yang terbelenggu dan memberitakan tahun rahmat Tuhan! Yesus bercahaya laksana fajar keadilan dengan solidaritas-Nya kepada semua orang, terutama yang miskin dan menderita.
Demi solidaritas-Nya kepada semua orang, Yesus berhadapan dengan pribadi tertentu yang melintas dalam hidup dan pikiran-Nya, sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun dikesampingkan dan setiap orang dicintai demi dirinya sendiri tanpa pandang bulu leluhur, suku, kebangsaan, kedudukan, kepandaian atau hasil- hasil karyanya. Cinta-Nya sedemikian universal dan paripurna berlaku untuk semua orang yang merindukan keadilan dan kedamaian.
Ditengah keretakan itulah Yesus lahir dan hadir.

Keprihatinan
Rupanya wajah dunia kini dan dua ribu tahun silam tidaklah banyak berubah. Dosa yang sama tetap mewajah. Kini, berselang dua puluh satu abad, aroma keprihatinan yang dihirup oleh manusia di Palestina dulu masih dihirup oleh manusia yang hidup di zaman ini. Masa gelap itu masih menembus dimensi waktu, hingga kini masa gelap itu masih menyeruak dalam kehidupan manusia.
Ratap tangis akibat kekerasan, pekikan atas kekejaman, politik yang kotor merembes dalam kapilaritas kehidupan, sistem perekonomian kompleks yang ditimbulkan oleh segelintir pembesar merugikan rakyat yang kecil, diskriminasi ras dan gender, yang tak lagi mampu memenuhi kebutuhan pangan, pengeksploitasian terhadap manusia dan lingkungan hidup demi memuaskan keegoannya, pengungsian akibat konflik dan perang, ketidakadilan yang berselubung dalam modernitas, ketimpangan akibat teknologi, pengeliminasian terhadap hak asasi kemanusiaan masih mengisi koridor-koridor sebuah ruang peradaban manusia. Seberapa berani dan rendah hatikah kita untuk mengakui hal itu?
Ironis memang bila kesederhanaan dan kemanusiaan Kelahiran Yesus dimanipulasi dan dikhianati oleh manusia. Natal tak lain menjadi ajang konsumerisme. Natal menjadi sebatang pohon terang berbinar, natal menjadi sebuah lagu teduh tenang dan meninabobokan manusia dalam kegembiraan semu. Natal menjadi moment bertukar kado, menjadi sepiring kue tart natal, menjadi kerlap kerlip seindah gantungan dekorasi.

Merenungi Natal samahalnya merenungi sepenggal narasi kemanusiaan. Menghirup aroma Natal, adalah menghirup wewangian keIllahian yang terbungkus dalam aroma kemanusiaan. Sungguh, dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan itulah sebenarnya umat Kristiani setiap tahun merayakan kelahiran Yesus. Timbul pertanyaan, sejauh mana segala bentuk kegiatan dan perayaan Natal yang diselenggarakan umat Kristiani kian menyelaraskan diri dengan-Nya? Sejauh mana spirit kemanusiaan, keadilan, solidaritas masih melekat erat dalam lekak lekuk kita? Jika aroma keprihatinan masih mendominasi kehidupan kita, sehingga manusia masih dicekam kegelapan hidup, tidakkah kita dipanggil menghadirkan fajar keadilan dalam kehidupan bersama? Gema malam di Bethlehem itu adalah panggilan kita untuk peduli dan solider pada sesama.

Tidak ada komentar: