Senin, 17 Desember 2007

Ketika Damai dan Adil Berpelukan


Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 diwarnai dengan banyak rencana besar tetapi juga dengan pembinasaan yang lebih besar. Tak pernah bisa masuk ambang hati yang bening bahwa Hitler membunuh jutaan Yahudi hanya karena alasan bahwa Jerman harus menjadi awal dari Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki. Tak pernah bisa masuk dalam gerbang logika kemanusiaan bahwa Stalin dan Mao serta Pol Pot membinasakan sekian juta ‘kontrarevolusioner’ hanya karena tiang sosialisme harus berdiri kokoh, atau rezim Orde Baru yang menghilangkan sekian juta jiwa penduduk karena ‘demokrasi Pancasila’ tak memungkinkan adanya komunis dan tindakan ekstrem di sisi manapun. Namun, sekalipun hal tersebut diluar nalar kemanusiaan, hal itu terjadi dan terekam dalam sejarah kelam peradaban manusia.
Berambisi besar, cita-cita dan rencana besar, dan berujung pada darah yang tumpah. Manusia menjadi penakhluk, manusia ingin berbeda – menjadi subjek atas manusia lain.

Perdamaian Dunia
Tak banyak dari kita yang mengetahui bahwa Hari perdamaian Sedunia selalu diperingati bersamaan dengan hari pertama di tahun yang baru, membuka pintu gerbang satu tahun itu dengan menorehkan rasa damai. Percaya atau tidak, moment ini dihormati oleh bangsa-bangsa yang tengah perperang. Medan perang menjadi lenggang, tentara yang tengah berperang rehat sejenak dan kadangkala menulis sepucuk surat untuk keluarganya yang jauh mengabarkan dirinya masih hidup dalam kancah perang yang sewaktu-waktu bisa meregut nyawanya. Terbersit harapan bahwa perang akan segera berakhir dan semua kembali pada keluarga dan memulai hidup yang baru takala melihat fajar yang merekah di hari pertama tahun yang baru. Sungguh, suatu moment manis yang menembus segi kemanusiaan bagi seseorang yang terjepit oleh ideologis dan paradigma pemikir bangsa.
Kini, makna perdamaian yang awalnya berarti ketiadaan perang (Pax Absentia Belli Est) merembes dalam segmen yang lain. Damai tak hanya ketiadaan keadaan perang, tapi keadaan dimana semua manusia merasa dimanusiakan. Dan keadilan adalah salah satu jalan memanusiakan manusia. “Peace is not the absence of conflict but is the presence of justice” – Damai bukanlah diakibatkan dari hadirnya konflik, tapi justru karena tak berkunjungnya keadilan. Inilah yang dilontarkan oleh Martin Luther King, dan sebagai akibatnya sebutir timah panas menembus tenggorokannya sewaktu ia memperjuangkan hak dan keadilan bagi para pekerja kulit hitam di Memphis, Tennesse, 4 April 1968.
There can be no justice without peace and there can be no peace without justice. Respect for human rights is the only way in which justice and peace can be brought to live together. If these principles had always been respected in history, many lives would have been saved; much suffering and many tears would have been spared everywhere”. Tiada keadilan tanpa perdamaian dan tiada perdamaian tanpa keadilan. Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia adalah satu-satunya jalan dalam mana keadilan dan perdamaian dapat dipertemukan untuk hidup bersama. Jika prinsip-prinsip ini senantiasa dihormati dalam sejarah maka banyak nyawa dapat diselamatkan, banyak luka derita dan airmata dapat diperhemat di mana-mana. Bagi Kardinal Roger Etchegaray, Ketua Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, keadilan dan perdamaian dalah dua sisi dalam sekeping wajah kemanusiaan. Keyakinan yang diamini itu dilontarkannya dalam jumpa pers di Bandar Udara Comoro Dili, Timor Timur pada tanggal 27 Februari 1996.

Perdamaian Bukan Utopia
Sekalipun jalan menuju perdamaian dan keadilan bukanlah jalan yang bertabur bunga mawar, bahkan sebagian malah harus menebus harga sebuah kedamaian dengan butiran timah panas yang menembus raga mereka. Sebut saja misalnya Presiden Abraham Lincoln yang tewas pada tahun 1865, ia berjuang keras menghapus perbudakan dan mengupayakan perdamaian Perang Sipil Amerika yang menjadi rekaman penting dalam sejarah negara tersebut. Nasib yang sama juga dihadapi musisi Inggris, John Lennon yang nyawanya berakhir justru di tangan penggemarnya sendiri – Mark David Chapman tahun 1980. Lennon dianggap sebagai musuh Amerika lantaran melontarkan kritik tajam atas peran Amerika dalam perang di Vietnam dan mengusahakan perdamaian dengan berbagai cara. Namun selalu ada saja tangan-tangan kecil yang berjuang demi persamaan, kemanusiaan, hak, solidaritas, yang berujung pada rasa damai itu sendiri.
Damai bukanlah utopia, bukan suatu hal yang hanya berada di wilayah mimpi. Damai adalah sesuatu yang bisa diciptakan! Mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam ‘Negotiation’ (1981) berujar: “Perdamaian bukanlah suatu utopia, juga bukan suatu cita-cita yang tidak bisa diraih atau di realisasikan. Sedang perang bukanlah suatu kekacauan yang tidak dapat dihindari. Perdamaian adalah sesuatu yang mungkin, dan karena itu mungkin, maka perdamaian adalah kewajiban dan tanggung jawab kita yang paling besar. Memang perdamaian itu sukar dan menuntut banyak kemauan baik, kebijaksanaan dan keuletan, tetapi kita harus mampu mengusahakan kekuatan akal budi untuk mengatasi kekerasan”. Tak seorang pun dapat memandang dirinya sendiri asing dan acuh tak acuh terhadap anggota lain dari keluarga manusia. Tak dapat seorang pun dapat berkata bahwa ia tak bertanggung jawab atas kesejahteraan saudara saudarinya (Centesimus Annus).Jika demikian, maka masing-masing dari kita adalah duta-duta perdamaian yang sejatinya menjaga keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas. Perdamaian bukanlah rasa aman nyaman bagi pribadi dan dengan samar-samar memandang kedukaan yang terjadi disekitar. Sebaliknya kedamaian merupakan wujud ketetapan hati yang kuat dan mantap untuk melibatkan diri demi kesejahteraan bersama, yang juga berarti panggilan khusus untuk setiap individu menjadi ‘penjaga saudaranya’ sebagaimana dititipkan Allah kepada kita.

Tidak ada komentar: