Rabu, 30 Januari 2008

Sidik Jari Allah dalam Maut


Bayangkan saja kalau malam ini atau beberapa menit lagi kita menghadapi masa-masa yang menentukan dimana malaikat pencabut nyawa berdiri di samping kita dan siap membawa jiwa kita pada pintu maut. Atau coba kita bayangkan raga kita berbaring tenang tanpa hembusan nafas dan detak jantung dalam peti yang dingin kaku. Apakah kita masing-masing sudah siap?
Memang tak satupun dari kita yang dapat menyangkal kematian. Ia adalah salah satunya kepastian ditengah ketidakpastian hidup ini. Bagi yang hidup, mati adalah pasangan hidupnya. Makhluk apapun yang hidup di muka bumi ini pada hakekatnya akan mati. Sehingga seharusnya mati menjadi bagian yang hakiki dari prosesi yang bernama hidup ini. Namun kematian bisa menjadi sedemikian dramatis ketika melibatkan diri kita sendiri, dan melibatkan orang yang kita cintai. Lantas kematian menjadi momok yang sedemikian menakutkan. Nyali menjadi ciut ketika membayangkan raga kita atau orang yang kita cintai membujur kaku. Kematian menjadi hal yang tabu dan kalau bisa kematian pun diminimalisir. Kematian semakin dihindari. Manusia memang tidak bisa mengatasi kematian, ketidaktahuan, kesengsaraan dan akhirnya mereka memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Namun bagaimanapun manusia menghindar, malaikat maut pasti datang. Seperti yang ditulis Horatius, seorang penyair lirik asal Roma (8 SM), dalam bukunya: Mors et fugacem persequitur virum – kematian mengejar siapaun yang berlari di depannya.

Kematian: Prosesi Kehidupan
Menghadapi kematian, pada dasarnya orang dapat mengambil salah satu dari dua sikap berikut. Sikap yang pertama adalah lari dari kematian, mengingkari kematian secara ekstensial dan berusaha mencapai kebakaan melalui anak keturunan, ketenaran, kekuasaan dan berbagai kegiatan lain. Ernest Becker menulis demikian: gagasan kematian, ketakutan akan kematian dan kematian menghantui manusia melebihi hal lain mana pun, ini merupakan dorongan utama kegiatan manusia, kegiatan yang dirancang pada umumnya untuk mngelakkan kefatalan kematian, untuk mengalahkan kematian itu dengan mengingkari bahwa kematian adalah takdir terakhir untuk manusia (The Denial of Death).
Sikap yang lain adalah secara bebas merdeka dan siap sedia menerima kematian, dengan segala implikasinya menyangkut keterbatasan dan ketidaksempurnaan, sebagai kesempatan unik untuk merealisasi diri secara tidak terbatalkan melalui kebebasan, sebagai terang yang menyinari segala sesuatu melalui keberadaan orang. Sikap menerima seperti itu bukanlah sekedar persetujuan intelektual belaka kepada dimensi abstrak bahwa orang akan mati. Sikap seperti ini diwujudkan dalam suatu sikap spiritualitas atau cara hidup yang ditandai yang ditandai oleh rasa syukur dan terima kasih atas anugrah hidup, oleh keseriusan bertanggung jawab untuk membangun hidup melalui kebebasan, oleh sikap menerima keterbatasan-keterbatasan dan kelemahan-kelemahan, dan keberanian yang rendah hati menerima kematian itu sendiri.
Orang Kristen bahkan dapat menginginkan kematian, bukan untuk mengelak dari penderitaan, tetapi untuk mempersatukan diri dengan Kristus yang bangkit dan untuk semakin meresapi misteri Allah. Tentu saja, mistisisme kematian ini tidak membebaskan orang Kristen dari kewajiban memelihara tubuh mereka dengan sebaik-baiknya dan tidak memberi mereka hak untuk mengambil langkah-langkah positif mempercepat kematian mereka.
Barangkali contoh terbaik mistisisme ini ditemukan dalam Gita Sang Surya, karya Santo Fransiskus Asisi. Dalam madah ini, ia mengucap syukur dan berterima kasih kepada Allah tidak saja atas anugrah hidup, tetapi juga atas kematian: Terpujilah Engkau, Tuhanku atas saudari kami Maut jasmani, daripadanya tak ada orang yang bisa lepas. Celaka orang yang akan mati dalam dosa berat! Bahagia orang yang akan ditemukan ada dalam kehendak-Mu yang suci, sebab kematian kedua tidak akan menyentuhnya.

Langit dan Bumi yang Baru
E.J Fortman dalam bukunya Eternal After Death, menulis bahwa ada seorang teologis yang mempunyai banyak sekali angan dalam hidupnya sehingga ia juga menginginkan adanya ruang ilmu, ruang kesenian, ruang musik, ruang psikologi, ruang fisika, ruang filsafat dan sederet ruang lain dalam rumahnya yang baru di surga.
Orang mungkin akan tertawa membaca daftar itu. Sederet permintaan yang tak lebih sama dengan permintaan seorang anak kecil pada hari natal. Namun tentu saja, Feuerbach, Marx, Freud benar apabila mereka berkata bahwa surga tak lebih dari sekedar proyeksi manusia saja seandainya daftar itu dipahami sebagai lukisan faktual tentang seperti apakah kerajaan kekal itu. Akan tetapi, apa yang tidak berhasil oleh para pemikir yang terpancang di bumi dan daya angan-angannya ialah bahwa daftar itu bukan kulisan faktual mengenai hidup di akhirat, melainkan ungkapan harapan manusia yang diciptakan sedemikian sehingga tidak akan tenang sebelum beristirahat dalam Allah.
Pengharapan ini bukanlah penantian yang iseng atau isapan jempol. Nyala api pengharapan itu dipelihara dan terus berkobar oleh iman kepercayaan yang dijadikan aktif dalam cinta kasih. Pemenuhan pengharapan itu bergantung pada cinta kasih Allah yang tak terbatas kepada kita dan pada kedalaman jawaban dan tanggapan kita atas cinta kasih itu dengan mencintai setiap jejak dan karya Allah di bumi ini. Mungkin surga membawa kita kembali ke bumi, ke jantung dunia, tempat kita dengan bebas dan cinta kasih, dan dengan bantuan rahmat Allah, mengukir batu nisan kita yang kekal.Ketika kelak jiwa kita lepas dari raga kita yang hancur, kitapun bisa berseru penuh kemenangan, “Hei maut! Dimana sengatmu?”

Tidak ada komentar: