Senin, 21 Januari 2008

Tuhan Tak Memiliki Rumah


Dalam jagat yang maha raya ini Tuhan menyembunyikan dirinya. Ia merasuk dalam keheningan semesta, diantara bentangan hutan dan diantara butiran klorofil hijau daun pakis. Dalam mineral yang dikandung dalam rahim bumi ini Tuhan bersemayam, dalam riak gemilang air yang mengalir gemericik Tuhan membasuh wajahNya.
Kepada kepik merah di tubir kuning bunga peoni, kepada insekta yang penuh warna dan mempesona, kepada burung-burung penjelajah samudra. Kepada bianglala merona angkasa, kepada embun pagi bersahaja, kepada andromeda perkasa, Ia bercanda dan bercerita tentang narasi-narasi kasih terdalam. Ia menata semuanya dalam kemah KerahimanNya.

Lalu manusia – rupaNya sendiri mengubah dengan rancangannya yang ringkih. Hutan menjadi tiada, semua dipetakan menjadi sebuah penghunian yang setinggi gedung Babel. Dengan kayu yang ia olah, manusia menjadikannya sebuah tempat ibadah sebagai syukurnya atas Dirinya dengan ornamen rumit dan indah. Dengan mineral dalam kandungan bumi ia oleh menjadi lonceng yang menggema menerobos hening pekat. Pilar, menara, tempok, berdiri bisu dalam keponggahan manusia. Selanjutnya doa dengan pengeras suara, lagu menerobos sesak udara, tak menyisakan lagi ruang hening menggoreskan makna.
Angin bertiup tapi tak lagi mengalunkan nada, mentari tetaplah bersinar tapi tak lagi menyapa.

Saat manusia sadar, Tuhan sudah tak lagi memiliki rumah!

Tidak ada komentar: