Selasa, 24 Juni 2008

Kota Pesolek

Jakarta, Kuala Lumpur atau .. kota ini adalah kota yang pesolek tetapi selalu saja seperti tak terbiasa dengan malam, dengan dingin, meskipun ia telah berdiri separuh abad lebih, dengan tertatih-tatih. Sedang gedung-gedung melembing tinggi telah menanggung musim silih berganti, begitu juga dengan taman, trotoar, halaman, bahkan juga pasar yang hiruk pikuk dini hari tadi.
Hujan menjatuhkan ujungnya yang tajam, kerap dan dingin. Sementara lampu-lampu jalanan berdiri sendiri tanpa sapa – seberkas cahaya yang kuyup dalam remang malam. Sedang angin mengaum sesekali. Kita mendengarnya dalam celah lorong yang dibentuk oleh bangunan tinggi.
Pejalan kaki berjalan kaki dengan cepat, malam semakin larut, dan jalanan menjadi semakin datar. Mobil dan sepeda motor sesekali melaju terpaksa, bagian dari kepekatan dan kesunyian malam yang tak diharapkan.

Kota-kota ini tak terbiasa dengan malam. Namun benarkah demikian. Sekali lagi kota-kota ini adalah kota remaja yang pesolek, dan berdandankan niat yang pura-pura. Kota adalah sebuah etalase besar, dimana ada sesuatu yang dipajang, dan selalu ada saja yang disingkirkan seperti najis. Kaum gelandangan merapat ke pojok, penjaga malam yang mengutuk diri, para pelacur yang mencari mangsa tapi mesti hati-hati.

Disebelah poster besar sebuah produk terkemuka di kota itu, ada seorang gadis.
Yang mungkin sama dalam cerita Andersen. Bocah lapar yang menanggung beku, yang menyalakan sebatang demi sebatang korek api, sampai habis. Kita pun tahu ia akan hilang, berpendar dalam partikel tak tampak. Dan kita pun tak peduli, bahkan tak tahu ia telah mati.

Tidak ada komentar: